NovelToon NovelToon

Sayap Patah Si Gendut

1. Kiyara Mentari

~Katanya mimpi adalah bunga tidur, lantas jika mimpiku jadi kenyataan, apa namanya?~

“Syukuri apa yang ada pada dirimu, jangan terlalu memikirkan apa kata orang. Bahagia tidaknya dirimu, bergantung pada hatimu … dirimu sendiri, bukan orang lain.” Lelaki kecil itu tiba-tiba menghilang berganti wujud menjadi laki-laki yang memiliki badan tinggi, tegap namun terlihat samar di bagian mukanya. Gelap-hilang.

Brak … brak … .

“Hihihihi, rasain deh … !”

“Ckckck, mangkannya badannya melar gituh doyan molor, sih.”

“Wkwkwkwk.”

Suara gebrakan di atas meja disusul suara cekikikan yang saling bersahutan, mengejutkan seorang gadis yang sedang menelungkupkan kepalanya, gadis itu tertidur saat pergantian jam, tapi nahasnya … saat guru dijam ke-2 masuk, tak ada satu pun teman sekelas yang membangunkannya.

“Kiyara Mentari … keluar dari kelas Bapak, cuci muka terus ke ruang guru ambil buku PR yang kemarin di atas meja Bapak ...!”

Ya, gadis bertubuh gendut itu … bernama Kiyara Mentari, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya 17 tahun yang lalu, dengan harapan anaknya akan secerah dan sehangat mentari pagi. Tapi, sayang … nama, tinggalah nama karena Kiyara merupakan seorang gadis pemurung, tidak mudah bergaul, dan pemalu.

“Kiyara, cepat berdiri … !”

Kiyara masih menundukan pandangannya, dia malu … malu sekali bahkan, dua tahun berada di tingkat SMA, baru kali ini dia melakukan hal konyol seperti ini. “Ba-baik, Pak.”

Suara tawa dan bisik-bisik kata hujatan terdengar menemani langkah kaki Kiyara. “Ya Tuhan … mimpi itu lagi dan kenapa harus saat tertidur di kelas … !”

Kiyara menatap cermin di hadapannya, memandang wajah bulatnya yang benar-benar terlihat seperti orang yang baru bangun tidur, ah, untung saja tidak ada anak sungai mengalir dari bibir tipisnya itu. Ini kali kesekian dia bermimpi tentang bocah laki-laki yang sudah hampir 8 tahun dia cari, teman masa kecil yang selalu mengulurkan tangannya saat dunia seolah menjaga jarak padanya.

“Hai, Ki … kamu kenapa sedih gitu ?” Tanya seorang gadis yang baru saja masuk ke dalam toilet.

“Eh … emh, anu lagi cuci muka aja,” jawab Kiyara, yang kini sudah menundukkan kepalanya. Insecure, yang ada pada dirinya mungkin sudah pada tingkat tertinggi, sehingga pada siapa pun dia merasa minder.

“Heeeyyy … santai saja, Ki. Bukankah kita berteman? Aku gadis yang beberapa waktu lalu kamu tolong saat kecopetan di bus. Maaf waktu itu aku belum mengenalkan diri, namaku Fani.” Gadis itu mengulurkan tangannya, dengan ragu Kiyara menerima uluran tangan gadis di depannya.

“Aku, Kiyara.”

“Hahaha … kamu lucu juga ternyata ya, Ki. Aku udah tahu kok siapa namamu, aku dari kelas MIA 3 sebelah kelasmu, sesekali keluarlah kelas dan berbaur dengan teman seangkatan yang lain, semua orang tahu siapa kamu tapi kamu tidak tahu siapa mereka.”

Kiyara, diam … menatap dalam mata bernetra hitam di hadapannya itu. “Kamu tidak tahu perundungan yang aku terima, lalu untuk apa aku mengetahui nama mereka? Apa agar aku mengingat nama orang-orang yang selalu membullyiku?” bisiknya dalam hati, ah… Kiyara memang gadis misterius yang sulit sekali ditebak.

“Terima kasih sudah menyapaku, aku pergi ke ruang guru dulu.”

Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicaranya, Kiyara keluar dari toilet lalu mempercepat langkahnya agar cepat sampai ke ruang guru.

Bruk ….

“Awww …!” Kiyara meringis, bahu kirinya yang tertabrak seseorang membuat bahu kanannya menabrak pinggiran papan mading dan sialnya ada paku kecil yang berhasil menggores bahu kanannya.

“Sorry, kamu nggak apa?” suara berat laki-laki yang berdiri di sampingnya, menyapa lembut gendang telinga Kiyara.

Kiyara, masih terdiam … matanya menatap gantungan kunci ‘A’ yang tak asing, mengabaikan rasa perih yang mulai menjalar di bahunya.

“Kamu berdarah …!”

Kiyara menggelengkan kepalanya menepis lamunan diwaktu yang salah, rambut hitam sebahunya bergoyang mengikuti gerak kepalanya. “Tidak masalah,” ucapnya sembari terus menatap gantungan kunci yang menyita perhatiannya sedari tadi.

“Ayo, aku antar ke UKS dulu,” ajak laki-laki yang masih berdiri tegak di hadapannya.

“Ti-tidak usah, aku harus ke ruang guru.” Kaki gendutnya ia ayunkan sedikit cepat, meninggalkan laki-laki yang baru saja menabraknya.

“Heiii … aku mau minta tolong … !”

Kiyara, sama sekali tak menghiraukan teriakan laki-laki asing itu, malah mempercepat langkahnya agar segera sampai ke ruang guru, mengambil tumpukkan buku PR yang mungkin akan membuatnya kesulitan jika membawanya seorang diri.

“Assalamu’alaikum … ,” ucap Kiyara, saat dirinya sudah berada di depan pintu ruang guru.

“Wa’alaikumsalam,” ucap guru piket di balik meja kerjanya.

“Selamat pagi, Bu Ziza … saya mau ambil buku di mejanya Pak Rusdi.”

“Ya, silakan langsung diambil saja,”  jawab Bu Ziza.

“Baik, Bu.”

“Eh, kamu yang berdiri di pintu …!” ucap Bu Ziza, membuat Kiyara menghentikan kakinya yang hendak melangkah menuju meja Pak Rusdi dan mengalihkan pandangannya menuju pintu masuk.

“Saya, Bu?” tanya laki-laki yang tadi menabrak Kiyara sembari menunjuk dirinya sendiri.

“Iya, kamu … siapa lagi?” Kata Bu Ziza, laki-laki itu pun berjalan mendekat menuju meja piket. Kiyara yang masih berdiri di dekat meja piket pun segera berlalu menuju meja Pak Rusdi.

“Kamu, anak baru itu kan? Pindahan dari Surabaya?” tanya Bu Ziza dengan suara yang masih bisa didengar oleh Kiyara, yang diam-diam mencuri dengar dari tempatnya berdiri.

“Iya, Bu. Saya Cakra Agamsyah, pindahan dari SMAN 5 Surabaya, maaf saya baru saja tiba di Bandung tadi pagi pukul 07.30 jadinya baru bisa ikut mata pelajaran ke-2.”

“Agamsyah? Apa dia Agam, yang sama?” bisik Kiyara dalam hati. “Mending aku segera membawa tumpukan buku ini,” sambungnya lagi.

Kiyara sudah membawa tumpukan buku, yang tingginya sudah hampir mencapai hidung mancungnya. Langkahnya jauh lebih hati-hati takut menabrak sesuatu sehingga merugikan dirinya sendiri, buku tercecer misalnya.

“Kamu masuk ke kelas XI MIA 2 kan, Cakra?” tanya Bu Ziza, membuat langkah Kiyara berhenti seketika.

“Ya ampun, itu kelasku,” monolog Kiyara dalam hati.

“Iya, Bu. XI MIA 2.”

“Nah, kebetulan banget … kamu ikut Kiyara, dia kelas XI MIA 2 juga. Kiyara, kamu tolongin Cakra, ya … !” ucap Bu Ziza.

“Ba-baik, Bu … saya permisi terima kasih, Wassalamu’alaikum …”

Tanpa kata, Kiyara lalu melewati tubuh tinggi Cakra begitu saja … tapi, tangan Cakra sudah lebih dulu memegang bahu kiri Kiyara.

“Sini, aku bantuin.” Tangan kekar milik Cakra hampir mengambil seluruh tumpukan buku di tangan Kiyara.

“Jangan diambil semua, kan aku yang disuruh Pak Rusdi bukan kamu.”

“Nggak masalah, kan tanganmu luka.”

“Ya udah, ayo,” ucap Kiyara, lalu berjalan mendahului Cakra.

“Aku kayak nggak asing deh sama kamu,” kata Cakra, membuat langkah Kiyara berhenti.

“Agam, mau jaga Ala sampai tua,” sambung Cakra dengan mata yang tak pernah lepas dari sosok wanita bertubuh gempal di hadapannya.

Mata bernetra coklat pekat milik Kiyara membeliak seketika, ingatannya berkelana menyusuri setiap kejadian 8 tahun yang lalu serta mimpinya tadi. “Apa dia sosok tinggi tegap yang ada dalam mimpiku tadi? Agam … Agam, sahabatku?” ucap Kiyara dalam hati, sembari menatap lekat lelaki tinggi yang kini sudah berada di hadapannya itu.

“A-apa kamu, A---.”

“Heh, Adik Kelas tergendut … tumben mau jalan bareng cowok … !” ucap laki-laki tinggi dengan paras kebarat-baratan menyentak gendang telinga Kiyara.

“Ya … Tuhan dia selalu mengganggu disaat yang nggak tepat, dasar bule gadungan,”  kata Kiyara dalam hati.

Kiyara mencoba tak peduli, dia melangkahkan kembali kaki gendutnya menuju ruang kelas, diikuti laki-laki berparas manis dengan lesung pipi yang tampak menggoda saat bibirnya memamerkan seulas senyum, mengabaikan laki-laki blasteran yang menatapnya tajam.

2. Mentari Yang Redup

~Katanya … manusia adalah makhluk paling sempurna, namun ternyata manusia tidak bisa dianggap sempurna di mata sesamanya~

Kukuruyuk … kukuruyuk ….

Kiyara berniat merebahkan tubuhnya lagi, tapi urung ia lakukan saat telinganya mendengar suara ayam jago yang bersumber dari jam weker di atas nakas, indikasi matahari akan segera terbit menyebarkan sinar penuh kehangatan, karena semalam dia memasang alarm tepat pukul 05.00 pagi. Dengan langkah gontai gadis itu keluar kamarnya, berjalan perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan berwudhu sebelum melaksanakan sholat subuh.

“Assalamu’alaikum warahmatullah …” dia menolehkan kepalanya ke kiri, lalu kedua telapak tangan yang masih tertutup mukenah itu, merangkum wajah bulatnya seraya mengucapkan hamdalah. Mukenah putih dan sajadah hijau bergambar masjid dan dua pohon kelapa sudah dilipat rapi lalu di taruhnya di atas meja belajar, bersebelahan dengan buku bercover biru yang sudah tampak lusuh.

Buku diary, ya, buku berwarna biru yang sudah tampak lusuh itu adalah buku diarynya, yang di bagian covernya, tertulis kalimat ‘Verba Volant, scripta manent.’ Kalimat pelipur lara saat dirinya terabaikan dunia dan lebih memilih menyibukkan diri dengan menuangkan perasaan, dan juga harap untuk masa depannya, pada sebuah buku yang sudah terlihat usang di makan usia, agar semua kisahnya dapat ia kenang dan menjadi saksi bisu perjalanan hidupnya yang penuh luka tak kasat mata. Lalu dibagian pojok kanan atas buku diarynya tertulis dengan rapi

dua susun kata ‘Kiyara Mentari’.

Tangannya yang berisi bergerak lincah membuka lembar demi lembar kertas yang sudah terpenuhi goresan pena. Nafasnya tersengal demi melihat tulisan-tulisan yang ia goreskan sendiri di diary lusuh itu, awal pertemuannya, kata-kata penuh semangatnya, caranya melindungi, bahkan caranya menatap dan berbicara pun Kiyara mengingatnya, sampai goresan-goresan tinta 5 tahun terakhir, yang lebih menceritakan tentang insecure, rasa tak dihargai, juga rasa kecewa merasa ditipu dan pencarian yang tak pernah membuahkan hasil. Sampai pria berparas manis itu menabrak tubuhnya satu minggu yang lalu, berharap hari-harinya perlahan membaik, tetapi malah banyak kejadian yang menguras emosinya.

“Kiyara, sudah jam enam Nak, ayo, sarapan lalu berangkat bersama Kakakmu … !”

Kiyara segera bangkit dari duduknya dan sesegera mungkin menyelesaikan keperluannya untuk berangkat sekolah, “Iya Bun, Kiyara nanti menyusul ke meja makan.”

Gadis itu mematut dirinya di depan kaca besar, lalu berdecak sebal, sudah  beberapa minggu melakukan olahraga rutin, tapi badannya tetap tidak ada perubahan. Kiyara memang memiliki tubuh yang bisa dikatakan gendut dan bisa dikatakan sudah mengarah ke tingkat obesitas, tingginya 158 cm dan berat badannya 87 kg.

“Astagfirullah… masih sama aja. Padahal menurut mesin pencarian  IMT atau indeks masa tubuh, aku itu kalau dihitung berarti tujuh puluh empat kilogram dibagi satu koma lima puluh delapan kuadrat hasilnya dua puluh

sembilan-an (87 : (1,58) 2\=29,6), aarrgggghhh itu udah mau masuk obesitas gilaakkkk. Terus udah olahraga sesuai anjuran mesin pencarian juga masa IMTnya cuma turun nol koma sekian aja, ya Allah… tobat Gustii…”Yap, padahal untuk kisaran berat badan ideal tubuh manusia harus memiliki IMT kisaran 18,5-25 saja, dan untuk kategori gemuk di kisaran angka IMT 25-30. Jadi usaha Kiyara masih sangat panjang tentunya, demi sebuah badan ideal. Niatnya agar terlihat sama dengan teman sebayanya, tak lagi mendapat olokan atau pandangan remeh teman-temannya. Meski katanya, manusia adalah makhluk paling sempurna, namun ternyata manusia tidak bisa dianggap sempurna di mata sesamanya.

Langkahnya terlihat gontai, mengingat ambisinya untuk menurunkan berat badan, kini kembali menguap entah kemana. Usianya 17 tahun, gadis itu ingin seperti kawan-kawannya yang lain, berbaur dengan baik dimana pun berada tanpa takut diejek ataupun dikucilkan karena memiliki berat badan di atas rata-rata. Tapi hatinya menciut

bila teringat kejadian masa lalu, kadang sendiri lebih baik baginya.

“Andai… dia masih sama,” ucapnya lirih, sembari menutup pintu kamarnya.

Kiyara, adalah salah satu sosok korban bullying semenjak duduk di bangku sekolah dasar hingga saat ini. Sebetulnya Kiyara, memiliki paras ayu nan tegas khas Jawa, hidungnya mancung meski sedikit tertutup pipinya

yang kelewat chubby, matanya tidak terlalu bulat pun tidak sipit dengan netra coklat pekat yang memikat. Sayangnya itu semua tertutup oleh rasa tidak percaya dirinya, istilah bulenya sih insecure. Sampai film layar lebar pun mengangkat kisah ini, karena banyak orang yang menganggap gendut adalah suatu ketidaksempurnaan diri

manusia. Seperti halnya orang-orang di sekitar Kiyara, dan diri Kiyara sendiri.

“Kiyara, kenapa kamu, Nak?” suara bariton milik ayahnya pun menyapa gendang telinganya, lembut.

“Eh, Ayah, pagi Yah. Kiyara, baik-baik saja kok, Yah,” ucapnya sembari tersenyum cerah, seperti mentari pagi. Ya, setidaknya di dalam rumah dan bersama keluarganya lah, Kiyara bisa menjadi sosok dirinya sendiri tanpa takut

dipandang rendah. Meski, tak dipungkiri kadang ada kalanya dia menutup diri dari keluarganya juga.

Pasangan ayah dan anak itu pun berjalan beriringan menuruni anak tangga, berjalan menuju ruang makan dengan diselingi canda tawa. Membuat Kiyara, melupakan sejenak kesedihannya.

“Nah, akhirnya muncul juga Ayah sama si Bungsu. Tuh, kasihan si Kakak dari tadi nungguin,” ucap sang Bunda yang masih sibuk menata menu sarapan di atas meja makan.

Bagi keluarga ini sarapan adalah salah satu hal wajib yang mesti dilakukan sebelum dimulainya aktifitas padat selama seharian penuh, ini adalah peraturan yang dibuat khusus oleh wanita yang menjabat sebagai istri dan juga ibu di rumah itu, untuk semua anggota keluarganya. Apalagi semenjak anak bontotnya, Kiyara, melakukan diet ketat sewaktu SMP akibat bullying dari teman-temannya, sampai Kiyara, harus melakukan rawat inap di rumah sakit,

dan sejak saat itu Bunda Alana benar-benar mengatur jadwal makan anggota keluarganya dengan teliti dan cermat, tak lagi mau kecolongan.

Rutinitas pagi yang begitu menghangatkan siapa saja yang melihatnya, sosok keluarga sempurna yang didamba setiap insan. Tapi yang namanya ujian pasti akan tetap ada, bukan?

“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” – QS. Al Baqarah: 155

~~~                                                                                                                               ~~~

Suara dentingan sendok yang beradu dengan piring, riuh rendah terdengar di atas meja makan, di mana keluarga kecil itu tengah menikmati sarapannya, berupa nasi goreng sayur dan ayam potong dadu dengan nikmat, penuh rasa syukur. Sementara jarum jam dinding terus berputar, menjalankan peran sebagai penanda bahwa waktu

terus dan masih akan berjalan sampai titik dimana semua tujuan manusia diturunkan ke muka bumi usai.

“Ara, ayo, kita berangkat nanti Kakak telat masuk kampus.”

Kiyara mengangguk sembari tersenyum, meski tak memiliki teman dekat di sekolahnya, Kiyara tetap harus semangat menjalani masa putih abu-abunya yang tinggal satu setengah tahun lagi akan segera usai.

“Ayo, Kak! Yah, Bun, Kiyara sama Kakak berangkat dulu ya, assalamu’alaikum.” Kakak beradik itu bergantian menyalimi tangan kedua orang tuanya, lalu beranjak pergi meninggalkan rumah, menyisakan pasangan yang tak lagi muda di ruang makan tersebut.

Mereka berdua terhanyut dalam pikiran masing-masing, Kiyara Mentari, anaknya yang dulu paling ceria kini berangsur-angsur menjadi anak yang lebih pendiam dan tertutup, semenjak kasus bullying yang ia terima saat SMP. Berharap secerah dan sehangat mentari pagi, nyatanya Kiyara Mentari kini menjadi sosok gadis yang beraura hujan, apalagi jika di luar rumah. Beruntungnya beberapa bulan ini, gadis bontotnya itu sudah mulai bisa berbicara dengan nyaman dan tersenyum dengan ikhlas saat masih dalam rumahnya. Entah di luaran sana seperti apa, yang mereka tahu anaknya tetap tersenyum ketika di dalam rumah.

.

.

.

*Ini cerita baru, yang Othor buat ... semoga kalian suka ya ... jangan lupa like dan favoritkan cerita ini biar bisa tahu kelanjutan cerita Kiyara* ...

*Terima kasih* ....

3. Luka Hati

...~Rupa fisik tak selamanya mencerminkan apa yang ada di dalam sanubarinya, tetapi hati...

...dapat mencerminkan diri melalui tindak-tanduknya~...

.

.

Mobil sejuta umat yang dinaiki Kiyara bersama Dafa, Kakaknya, sudah membaur dengan

mobil-mobil lain di jalanan, menuju salah satu SMA bergengsi di Kota Kembang. Tak ada perbincangan serius antara kakak beradik itu, hanya obrolan ringan diselingi suara musik pop agar suasana mobil tak terlalu sepi. Hubungan

keduanya memang sangat dekat sebagai saudara, meski kadang-kadang Kiyara merasa

minder bila diantar sang kakak seperti ini. Fisik sempurna Dafa nyaris tanpa celah, membuatnya merasa tak pantas menjadi adik dari laki-laki berbadan tegap dan berparas tampan itu.

“Kak, turunnya jangan di depan gerbang, turunin deket halte aja,” pinta Kiyara.

Dahi Dafa berkerut, otaknya mencerna kalimat yang diucapkan adiknya, “No, terlalu jauh kalau dari halte ke gerbang sekolah kamu, belum lagi masuk ke kelas kamu masih jauh lagi, Dek.

Kayak biasanya aja di depan gerbang pas, nggak lebih dan nggak kurang.”

Kiyara hanya mengerucutkan bibirnya, sebal. Seminggu diantar jemput sang kakak,

membuat dirinya menjadi buah bibir teman-teman sekelasnya, lagi-lagi karena fisik keduanya yang tidak terlihat seperti adik dan kakak.

“Kakak, itu nggak pernah tahu rasanya jadi aku. Sesekali turuti apa mau ku, apa salahnya sih, Kak?”

Dafa mendengus lalu melirik adiknya sekilas, niat hati tak ingin adiknya terlalu

lelah karena harus berjalan cukup jauh untuk masuk ke dalam kelasnya, malah membuat keduanya terlibat adu mulut sepagi ini.

“Kak, turunin Kiyara, ih!” rengek Kiyara.

Si pengemudi masih enggan menjawab, tetapi masih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang mulai padat merayap. Sampai tiba di depan gerbang berwarna hitam bertuliskan nama SMA, Kiyara, barulah mobil hitam itu berhenti.

“Silakan turun, Tuan Putri.”

Bibir mungil milik Kiyara, mencibir ulah Dafa yang terbiasa membukakan seatbelt untuknya. Meski begitu, hatinya teramat senang karena kebiasaan sang kakak yang selalu baik kepadanya, terlebih tak pernah malu mengakuinya sebagai adik.

“Makasih, kek. Dari pada bibir manyun-manyun gituh, entar Kakak karetin baru tahu rasa,”

sindir Dafa.

“Terima kasih, Abang sayang. Hati-hati di jalan, Tuan Putri mau menimba ilmu terlebih dahulu.”

Dafa tersenyum, lalu tangannya terulur mengusap rambut milik adiknya dengan lembut.

“Assalamu’alaikum Kak,” ucap Kiyara sembari membuka pintu mobil.

“Wa’alaikumsalam. Nanti chat Kakak, kalau udah selesai kelas,” teriak Dafa mengiringi langkah sang adik menuju sekolahnya.

Langkah kaki yang berbalut pantofel itu ia

ayunkan perlahan, menyusuri koridor sekolah berharap, setiap langkahnya terhitung sebagai olahraga, dengan begitu kalori di tubuh gemuknya akan sedikit berkurang, atau jika bisa setiap langkahnya bisa meluruhkan 1 kg berat badannya, nyantanya berat badannya tidak berkurang sama sekali.

“Iya, itu tuh. Si Kiyara, kok bisa dia punya kakak setampan dan seperfect itu badannya, bagai bumi dan langit banget deh.”

“Ih, masa sih? Jangan-jangan Kiyara anak pungut lagi.”

Mentari yang memancarkan sinar hangatnya seakan meredup seketika, gadis yang sedang

menjadi topik pembicaraan itu berada di sana, mendengarkan dengan baik dan jelas gunjingan teman-temannya sendiri.

“Apa salahku? Kenapa karena bentuk fisikku yang seperti ini, mereka tega menggunjingku … salahku di mana? Padahal aku tidak pernah mengganggu mereka,” ucap Kiyara lirih.

“Dor … ngapain lu Ndut, ngintip apaan sih?” Kiyara yang mendengar suara pria paling

resek se-sekolahannya pun membalikkan badannya, netra coklat pekatnya bertubrukan dengan netra biru milik laki-laki blasteran yang selalu mengganggunya semenjak pertama kali Kiyara menginjakkan kaki di sekolah ini.

"Jangan mengejekku, Kak. Tolong, mengertilah sesekali saja …” Kiyara menangkupkan kedua

tangannya di depan dada, mengiba pada sang kakak kelas resek, yang masih betah

menatapnya tanpa berkedip sedikit pun.

“Ah, pasti nih orang lagi nyusun rencana jahat buat aku,” bisik Kiyara dalam hati, saat lawan bicaranya hanya diam tak merespon ucapannya.

“Kak, tolong … biar pagi ini cukup mereka yang mengataiku.”

“Dasar, Gendut aneh … mana bisa seperti itu, suka-suka mulut gue lah, mau ngatain lu

atau mau muji lu ya terserah mulut gue lah maunya kapan, nggak usah ngatur-ngatur.”

“Sorry,” ucap Kiyara sembari menundukkan

kepalanya, memang hal semacam ini bukan yang pertama dia rasakan, sudah berkali-kali dia merasakan hal seperti ini … yang lebih parah pun sudah pernah dia rasakan, tapi tetap saja luka hati yang dulu tak pernah sembuh, lalu kini hampir setiap hari goresan di hatinya semakin bertambah.

“Hah … gue kira nyali lu udah bertambah, ternyata masih sama aja … dasar Gendut.”  Dave … laki-laki itu menggelengkan kepalanya lalu mengusap lembut puncak kepala Kiyara dan berlalu pergi meninggalkan gadis gendut itu, yang sekarang sedang membelalakan matanya lebar-lebar.

“Apa yang baru saja terjadi?” bisiknya dalam hati.

Kiyara masih termenung di balik tembok menuju kelasnya, dia masih ingin mendengar apa yang digosipkan kedua temannya lagi, tapi sayang mereka berdua sudah berhenti

bergosip dan kini sedang bermain gawai di tengah jalan yang hendak kiyara lalui, menyandarkan tubuhnya pada pinggiran pintu.

“Ehm, permisi aku mau lewat,” ucap Kiyara sembari menundukkan kepalanya.

“Eh, elo Ndut gue kira siapa. Masuk mah masuk aja kali, tuh pintunya udah terbuka

lebar kok,” jawab gadis berambut pendek, diakhiri dengan senyum sinisnya.

“Eh, gimana sih lu Rin ya jelas nggak muat lah. Minggir dikit sana,” sambung Adelia teman

si gadis berambut pendek.

Kiyara menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, “Terima kasih.”

Mata pelajaran pertama belum juga dimulai tapi rasa dongkol sehingga ingin pulang

sudah menguasai hatinya. Gadis gendut itu berjalan perlahan menuju tempatnya duduk. Kursi pojok paling depan adalah pilihan terbaik baginya, teman-teman julidnya pasti tidak akan berani duduk dibagian depan, sehingga bisa

menghindari mulut bon cabe level lima puluh milik temannya, uh pedes gila.

“Hey, udah ngerjain PR matematika belum?” tanya Cakra yang sudah memposisikan

duduknya di bangku sebelah Kiyara.

Ya, ini sudah satu minggu setelah Kiyara bertemu Cakra di dekat toilet tempo hari

dan sudah satu minggu juga Kiyara memiliki teman sebangku.

“Sudah …”

Suara gaduh yang ditimbulkan oleh teman-teman sekelasnya dari arah pintu,

mengindikasikan bahwa guru yang dinanti-nanti sudah otw ke kelas. Membuat Kiyara dan Cakra tak lagi melanjutkan percakapan mereka dan memilih untuk menyiapkan buku untuk mata pelajaran pertama.

 “Assalamu’alaikum, selamat pagi. Silakan duduk yang rapi kasih jarak satu meja, semua buku dimasukkan ke dalam tas, hanya ada

alat tulis di atas meja. Kita ulangan harian, hari ini,” titah guru matematika yang baru saja tiba. Kelas yang semula sudah sepi, kini riuh seketika.

“Yah, Bu. Kita belum belajar nih, kasih waktu 15 menit ya Bu, buat belajar sebentar aja.”

“Iya.. Bu.”

“Nggak usah ulangan harian aja,Bu.”

Brak … Brak … Brak … Suara saling bersahutan, membuat guru matematika itu menggebrak

mejanya beberapa kali.

“Yang tidak bersedia mengikuti ulangan pagi

ini, silakan keluar dari kelas saya dan dapat dipastikan dalam mata pelajaran saya nilai kalian auto tidak akan lulus.”

Kelas mendadak hening, semua siswa-siswi menata dirinya masing-masing sesuai perintah

gurunya. Sementara Kiyara, gadis itu tetap tenang sedari tadi membiarkan teman-temannya menyuarakan pendapat tanpa ikut berbicara. Dia gadis yang cerdas, dengan atau tanpa belajar pun nilainya tetap bagus.

“Kiyara Mentari, tolong bantu saya membagikan kertas ulangannya.”

Ah, berkeliling kelas melewati jalanan sempit antara meja-meja, sungguh menyebalkan. Belum lagi tatapan merendahkan dari teman temannya. Jika bisa menolak, pasti sudah Kiyara lakukan.

“Baik, Bu.”

Ulangan dadakan pun dimulai, wajah-wajah di dalam kelas itu meredup seketika, tapi

tidak dengan Kiyara, dia menjawab soal-soal di atas kertas itu dengan santai dan mudahnya. Panggilan teman-temannya dia abaikan, karena pengalaman buruk memberi contekan pada temannya masih melekat erat di benaknya dan lagi dia tidak ingin dimanfaatkan oleh teman-teman yang selalu mengejeknya, cukup awal-awal semester saja tidak lagi.

“Ra. Kiyara… woi…nyontek dong!” bisik Arin, wanita berambut sebahu yang menggunjing

Kiyara di pintu kelas pagi tadi.

“Woi, dasar Gendut nggak tahu diri. Minta contekan aja kagak boleh, awas lu.”

Dengan seringai licik, Arin menulis jawabannya di sobekan kertas lalu melipat kertas

itu lebih kecil, dan.. ‘Pluk’ kertas itu dia lempar ke arah Kiyara, tepat mengenai bahu Kiyara lalu jatuh di atas lantai.

“Arin! Apa yang kamu lempar ke arah Kiyara?” teriak Bu Reni, guru muda yang terkenal killer, membuat muridnya yang sedang mengerjakan ulangan harian menatap ke arah objek yang disebut oleh gurunya itu.

“A-anu.Bu, Kiyara tadi meminta jawaban nomor 2 ke saya,” jawabnya pura-pura takut,

padahal itu adalah rencanya. Arin, sangat paham jika gurunya itu sangat membenci siswanya yang meminta contekan tapi tidak pernah menghukum siswa yang memberi contekan.

“Bu, ta—,”

“Diam, Cakra … jangan ikut campur … ! Kiyara Mentari!!! kumpulkan soal dan lembar jawaban kamu di meja Ibu dan keluar dari kelas Ibu!”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!