...~Rupa fisik tak selamanya mencerminkan apa yang ada di dalam sanubarinya, tetapi hati...
...dapat mencerminkan diri melalui tindak-tanduknya~...
.
.
Mobil sejuta umat yang dinaiki Kiyara bersama Dafa, Kakaknya, sudah membaur dengan
mobil-mobil lain di jalanan, menuju salah satu SMA bergengsi di Kota Kembang. Tak ada perbincangan serius antara kakak beradik itu, hanya obrolan ringan diselingi suara musik pop agar suasana mobil tak terlalu sepi. Hubungan
keduanya memang sangat dekat sebagai saudara, meski kadang-kadang Kiyara merasa
minder bila diantar sang kakak seperti ini. Fisik sempurna Dafa nyaris tanpa celah, membuatnya merasa tak pantas menjadi adik dari laki-laki berbadan tegap dan berparas tampan itu.
“Kak, turunnya jangan di depan gerbang, turunin deket halte aja,” pinta Kiyara.
Dahi Dafa berkerut, otaknya mencerna kalimat yang diucapkan adiknya, “No, terlalu jauh kalau dari halte ke gerbang sekolah kamu, belum lagi masuk ke kelas kamu masih jauh lagi, Dek.
Kayak biasanya aja di depan gerbang pas, nggak lebih dan nggak kurang.”
Kiyara hanya mengerucutkan bibirnya, sebal. Seminggu diantar jemput sang kakak,
membuat dirinya menjadi buah bibir teman-teman sekelasnya, lagi-lagi karena fisik keduanya yang tidak terlihat seperti adik dan kakak.
“Kakak, itu nggak pernah tahu rasanya jadi aku. Sesekali turuti apa mau ku, apa salahnya sih, Kak?”
Dafa mendengus lalu melirik adiknya sekilas, niat hati tak ingin adiknya terlalu
lelah karena harus berjalan cukup jauh untuk masuk ke dalam kelasnya, malah membuat keduanya terlibat adu mulut sepagi ini.
“Kak, turunin Kiyara, ih!” rengek Kiyara.
Si pengemudi masih enggan menjawab, tetapi masih melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan yang mulai padat merayap. Sampai tiba di depan gerbang berwarna hitam bertuliskan nama SMA, Kiyara, barulah mobil hitam itu berhenti.
“Silakan turun, Tuan Putri.”
Bibir mungil milik Kiyara, mencibir ulah Dafa yang terbiasa membukakan seatbelt untuknya. Meski begitu, hatinya teramat senang karena kebiasaan sang kakak yang selalu baik kepadanya, terlebih tak pernah malu mengakuinya sebagai adik.
“Makasih, kek. Dari pada bibir manyun-manyun gituh, entar Kakak karetin baru tahu rasa,”
sindir Dafa.
“Terima kasih, Abang sayang. Hati-hati di jalan, Tuan Putri mau menimba ilmu terlebih dahulu.”
Dafa tersenyum, lalu tangannya terulur mengusap rambut milik adiknya dengan lembut.
“Assalamu’alaikum Kak,” ucap Kiyara sembari membuka pintu mobil.
“Wa’alaikumsalam. Nanti chat Kakak, kalau udah selesai kelas,” teriak Dafa mengiringi langkah sang adik menuju sekolahnya.
Langkah kaki yang berbalut pantofel itu ia
ayunkan perlahan, menyusuri koridor sekolah berharap, setiap langkahnya terhitung sebagai olahraga, dengan begitu kalori di tubuh gemuknya akan sedikit berkurang, atau jika bisa setiap langkahnya bisa meluruhkan 1 kg berat badannya, nyantanya berat badannya tidak berkurang sama sekali.
“Iya, itu tuh. Si Kiyara, kok bisa dia punya kakak setampan dan seperfect itu badannya, bagai bumi dan langit banget deh.”
“Ih, masa sih? Jangan-jangan Kiyara anak pungut lagi.”
Mentari yang memancarkan sinar hangatnya seakan meredup seketika, gadis yang sedang
menjadi topik pembicaraan itu berada di sana, mendengarkan dengan baik dan jelas gunjingan teman-temannya sendiri.
“Apa salahku? Kenapa karena bentuk fisikku yang seperti ini, mereka tega menggunjingku … salahku di mana? Padahal aku tidak pernah mengganggu mereka,” ucap Kiyara lirih.
“Dor … ngapain lu Ndut, ngintip apaan sih?” Kiyara yang mendengar suara pria paling
resek se-sekolahannya pun membalikkan badannya, netra coklat pekatnya bertubrukan dengan netra biru milik laki-laki blasteran yang selalu mengganggunya semenjak pertama kali Kiyara menginjakkan kaki di sekolah ini.
"Jangan mengejekku, Kak. Tolong, mengertilah sesekali saja …” Kiyara menangkupkan kedua
tangannya di depan dada, mengiba pada sang kakak kelas resek, yang masih betah
menatapnya tanpa berkedip sedikit pun.
“Ah, pasti nih orang lagi nyusun rencana jahat buat aku,” bisik Kiyara dalam hati, saat lawan bicaranya hanya diam tak merespon ucapannya.
“Kak, tolong … biar pagi ini cukup mereka yang mengataiku.”
“Dasar, Gendut aneh … mana bisa seperti itu, suka-suka mulut gue lah, mau ngatain lu
atau mau muji lu ya terserah mulut gue lah maunya kapan, nggak usah ngatur-ngatur.”
“Sorry,” ucap Kiyara sembari menundukkan
kepalanya, memang hal semacam ini bukan yang pertama dia rasakan, sudah berkali-kali dia merasakan hal seperti ini … yang lebih parah pun sudah pernah dia rasakan, tapi tetap saja luka hati yang dulu tak pernah sembuh, lalu kini hampir setiap hari goresan di hatinya semakin bertambah.
“Hah … gue kira nyali lu udah bertambah, ternyata masih sama aja … dasar Gendut.” Dave … laki-laki itu menggelengkan kepalanya lalu mengusap lembut puncak kepala Kiyara dan berlalu pergi meninggalkan gadis gendut itu, yang sekarang sedang membelalakan matanya lebar-lebar.
“Apa yang baru saja terjadi?” bisiknya dalam hati.
Kiyara masih termenung di balik tembok menuju kelasnya, dia masih ingin mendengar apa yang digosipkan kedua temannya lagi, tapi sayang mereka berdua sudah berhenti
bergosip dan kini sedang bermain gawai di tengah jalan yang hendak kiyara lalui, menyandarkan tubuhnya pada pinggiran pintu.
“Ehm, permisi aku mau lewat,” ucap Kiyara sembari menundukkan kepalanya.
“Eh, elo Ndut gue kira siapa. Masuk mah masuk aja kali, tuh pintunya udah terbuka
lebar kok,” jawab gadis berambut pendek, diakhiri dengan senyum sinisnya.
“Eh, gimana sih lu Rin ya jelas nggak muat lah. Minggir dikit sana,” sambung Adelia teman
si gadis berambut pendek.
Kiyara menghirup napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan, “Terima kasih.”
Mata pelajaran pertama belum juga dimulai tapi rasa dongkol sehingga ingin pulang
sudah menguasai hatinya. Gadis gendut itu berjalan perlahan menuju tempatnya duduk. Kursi pojok paling depan adalah pilihan terbaik baginya, teman-teman julidnya pasti tidak akan berani duduk dibagian depan, sehingga bisa
menghindari mulut bon cabe level lima puluh milik temannya, uh pedes gila.
“Hey, udah ngerjain PR matematika belum?” tanya Cakra yang sudah memposisikan
duduknya di bangku sebelah Kiyara.
Ya, ini sudah satu minggu setelah Kiyara bertemu Cakra di dekat toilet tempo hari
dan sudah satu minggu juga Kiyara memiliki teman sebangku.
“Sudah …”
Suara gaduh yang ditimbulkan oleh teman-teman sekelasnya dari arah pintu,
mengindikasikan bahwa guru yang dinanti-nanti sudah otw ke kelas. Membuat Kiyara dan Cakra tak lagi melanjutkan percakapan mereka dan memilih untuk menyiapkan buku untuk mata pelajaran pertama.
“Assalamu’alaikum, selamat pagi. Silakan duduk yang rapi kasih jarak satu meja, semua buku dimasukkan ke dalam tas, hanya ada
alat tulis di atas meja. Kita ulangan harian, hari ini,” titah guru matematika yang baru saja tiba. Kelas yang semula sudah sepi, kini riuh seketika.
“Yah, Bu. Kita belum belajar nih, kasih waktu 15 menit ya Bu, buat belajar sebentar aja.”
“Iya.. Bu.”
“Nggak usah ulangan harian aja,Bu.”
Brak … Brak … Brak … Suara saling bersahutan, membuat guru matematika itu menggebrak
mejanya beberapa kali.
“Yang tidak bersedia mengikuti ulangan pagi
ini, silakan keluar dari kelas saya dan dapat dipastikan dalam mata pelajaran saya nilai kalian auto tidak akan lulus.”
Kelas mendadak hening, semua siswa-siswi menata dirinya masing-masing sesuai perintah
gurunya. Sementara Kiyara, gadis itu tetap tenang sedari tadi membiarkan teman-temannya menyuarakan pendapat tanpa ikut berbicara. Dia gadis yang cerdas, dengan atau tanpa belajar pun nilainya tetap bagus.
“Kiyara Mentari, tolong bantu saya membagikan kertas ulangannya.”
Ah, berkeliling kelas melewati jalanan sempit antara meja-meja, sungguh menyebalkan. Belum lagi tatapan merendahkan dari teman temannya. Jika bisa menolak, pasti sudah Kiyara lakukan.
“Baik, Bu.”
Ulangan dadakan pun dimulai, wajah-wajah di dalam kelas itu meredup seketika, tapi
tidak dengan Kiyara, dia menjawab soal-soal di atas kertas itu dengan santai dan mudahnya. Panggilan teman-temannya dia abaikan, karena pengalaman buruk memberi contekan pada temannya masih melekat erat di benaknya dan lagi dia tidak ingin dimanfaatkan oleh teman-teman yang selalu mengejeknya, cukup awal-awal semester saja tidak lagi.
“Ra. Kiyara… woi…nyontek dong!” bisik Arin, wanita berambut sebahu yang menggunjing
Kiyara di pintu kelas pagi tadi.
“Woi, dasar Gendut nggak tahu diri. Minta contekan aja kagak boleh, awas lu.”
Dengan seringai licik, Arin menulis jawabannya di sobekan kertas lalu melipat kertas
itu lebih kecil, dan.. ‘Pluk’ kertas itu dia lempar ke arah Kiyara, tepat mengenai bahu Kiyara lalu jatuh di atas lantai.
“Arin! Apa yang kamu lempar ke arah Kiyara?” teriak Bu Reni, guru muda yang terkenal killer, membuat muridnya yang sedang mengerjakan ulangan harian menatap ke arah objek yang disebut oleh gurunya itu.
“A-anu.Bu, Kiyara tadi meminta jawaban nomor 2 ke saya,” jawabnya pura-pura takut,
padahal itu adalah rencanya. Arin, sangat paham jika gurunya itu sangat membenci siswanya yang meminta contekan tapi tidak pernah menghukum siswa yang memberi contekan.
“Bu, ta—,”
“Diam, Cakra … jangan ikut campur … ! Kiyara Mentari!!! kumpulkan soal dan lembar jawaban kamu di meja Ibu dan keluar dari kelas Ibu!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
ZasNov
Kayaknya Dave pengen Kiyara lebih kuat, tapi maksudnya ga jahat..🤔
Asli kesel banget sama Arin, rese banget tu orang. Udah tadi pagi ngehina Kiyara..Trus pas ulangan malah bikin ulah...
Ga dikasih contekan,dia malah fitnah Kiyara minta contekan..😤
Lagian Gurunya ga mikir apa, anak sepinter Kiyara minta contekan sama orang lain..😫
Cakra mau belain Kiyara, malah disuruh diem 😣
2021-06-04
2
Almira Mira
next
2021-05-08
2