~Dia yang rela berbagi kasih dan sayang, tapi tetap baik dan menjadi panutan, juga pelindung
dalam kondisi apapun~ Kiyara Mentari
.
.
Perpustakaan yang semula sepi kini mulai terisi oleh beberapa siswa-siswi, ada yang hanya sekadar ngadem di dalam perpust, ada yang mengerjakan tugas, mencari buku, berdiskusi dengan bisik-bisik, ada yang modus ke perpustakaan karena gebetan suka mojok baca buku di perpus, juga ada yang karena diusir dari kelas, seperti Kiyara.
Puk … .
Kiyara mengalihkan atensinya, mencari tahu siapa yang berani menepuk bahunya saat dia sedang serius-seriusnya membaca tentang anatomi tubuh manusia. Pandangan yang semula tajam berubah menjadi hangat.
“Hai, Ki. Untung aku feeling kamu ada di sini … kamu dicari Bu Reni tuh, disuruh menemui beliau di ruang guru. So sorry, tadi aku nggak bisa bantuin kamu.” Pria berlesung pipi itu berbicara dengan lembut sembari memposisikan duduknya tepat di sebelah Kiyara.
“Nggak apa-apa, santai aja. Makasih udah dikasih tahu, aku ke ruang guru dulu.” Kiyara beranjak dari duduknya sembari merapikan buku yang dia pinjam dan buku diary yang tadi sempat dia bawa ketika di usir dari kelas.
“Hati-hati, semoga semuanya baik-baik saja.” Kiyara mengangguk sembari berlalu.
Hubungan keduanya cukup baik meski tak terlalu dekat, tapi Cakra hampir selalu ada membantu Kiyara saat gadis itu sedang mengalami kesusahan. Meski ada rasa aneh dan asing, saat Cakra mengenalkan diri sebagai teman masa kecilnya, tapi dia memilih untuk percaya karena ada bukti kuat yang mendasari, yaitu … gantungan kunci yang pernah mereka buat 8 tahun yang lalu.
Langkah kaki Kiyara yang semula melangkah dengan ayunan stabil, kini mendadak melambatkan jalannya. Di depan kelas masih ada gerombolan teman sekelasnya yang sedang menghabiskan sisa jam istirahat dengan mengobrol dan memakan jajanan yang mereka bawa dari kantin sekolah, terlebih ada Arin yang sedang tertawa cekikikan tanpa dosa, membuatnya berpikir keras mencari jalan lain agar dapat sampai ruang guru tanpa melewati kelasnya.
“Apa aku lewat lapangan belakang aja kali ya …” gumamnya lirih, lalu bergegas membelokan langkahnya menuju lapangan belakang, sedikit memutar tak masalah daripada mendengar cemoohan yang tak berkesudahan.
Kiyara berjalan menerobos panas matahari pukul setengah sembilan pagi yang mengandung banyak vitamin D, belum istirahat memang … tapi, untuk hari ini, jam kedua sampai jam pulang sekolah memang dibebaskan dari jam pelajaran karena akan ada pensi dari anak kelas 12 acara yang merupakan puncak rangkaian dari praktik sekolah dalam mata pelajaran seni budaya, pensi ini juga mengundang alumni untuk membantu mem-vote tampilan terbaik.
“Kiyara … Ki, di sini …!” suara teriakan perempuan, memanggil namanya, membuat Kiyara menghentikan langkahnya kemudian mencari seseorang itu.
“Gazebo bawah trembesi,” suara teriakan itu menginstrupsi kembali.
Kiyara gusar, melihat wanita berkerudung coklat khas seperti baju dinas PNS sedang duduk di gazebo dekat pohon trembesi yang langsung menghadap ke lapangan voli. Jujur saja, dia takut kena semprot di tempat umum. Membuat kakinya sangat berat untuk digunakan melangkah menuju perempuan yang sedari tadi memanggilnya.
“Untung kamu lewat sini tadi, kalau kamu lewat depan kamu nggak bakal ketemu saya. Tadi mau menghubungi kamu tapi Ibu lupa bawa handphone.” Kiyara tersenyum sembari meringis kecil.
“I-iya, Bu … tidak apa-apa. Oh Iya, Bu Reni apa betul menyuruh saya untuk menemui Ibu?” Tangan gendutnya kini sudah bertaut, saling meremas.
“Iya, saya nyuruh anak baru buat manggil kamu. Ibu udah memeriksa hasil kerja kamu, ternyata selama 28 menit kamu sudah bisa mengerjakan 4 dari 5 soal matematika dengan baik dan yang belum kamu kerjakan soal nomor 2. Jujur Ibu kecewa sama kamu, Ki.”
“Bu, ta—.”
“Stop, Ki. Maaf , Ibu tetap harus memberimu hukuman meskipun kamu adalah anak dengan
prestasi yang sangat membanggakan sekolah diajang olimpiade bergengsi taraf internasional sekalipun.”
Kiyara terpaku dalam diam, kejadian seperti ini terulang kembali, membuatnya semakin merasa rendah diri, tidak diberi kesempatan untuk berpendapat apalagi mengutarakan pembelaan bahwa dirinya tidak bersalah dan sama sekali tidak meminta jawaban dari Arin.
“Kamu saya hukum untuk membuat soal ulangan harian kelas sepuluh, 20 soal beserta jawabannya. Saya tunggu nanti jam pulang sekolah harus sudah dikumpulkan di meja kerja saya,” ucap Bu Reni dengan tegas dan lugas. “Ini, modul kelas sepuluh kamu pelajari terlebih dahulu, biar tidak menyimpang dari apa yang saya ajarkan ke adek kelasmu.”
“Ba-baik, Bu. Kalau begitu saya permisi untuk mengerjakannya. Wassalamu’alaikum …”
Di atas sana, di rooftop gedung sekolah ada sosok yang sedari tadi memerhatikan interaksi antara guru dan murid, tatapannya terlihat mengintimidasi, sayang sekali baik Bu Reni maupun Kiyara, keduanya tak menyadari sosok itu.
“Someday … somehow … gue rasa dia bakal jadi wanita inceran banyak lakik.”
Dave, laki-laki itu pun beranjak pergi dari rooftop berharap bisa mengejar gadis gendut yang tampak semakin muram, wajahnya. Seharusnya, Dave sudah berkumpul dengan teman-temannya, tapi instingnya mengajak Dave melakukan hal lain.
“Shit … perpustakaan lagi,” umpatnya.
Puk … tepukan di bahunya membuat Dave, memutarkan tubuhnya. Netra birunya menatap
asing lelaki yang memakai kemeja berwarna abu sebahu dipadankan dengan celana jeans hitam lengkap dengan sepatu kets hitam.
“Numpang tanya dong, tahu cewek kelas XI IPA namanya Kiyara Mentari?” Dave, sontak membulatkan matanya. Baru saja tadi di rooftop dia bermonolog bahwa suatu hari nanti bakal banyak laki-laki yang mengincar Kiyara, and see tak perlu menunggu waktu lama karena sekarang pun Kiyara sudah dicari oleh laki-laki tampan yang terlihat dewasa, pikirnya.
“Eh … emh, iya Bang tahu gue. Ini, gue juga lagi mau nyusulin dia ke perpust.” Laki-laki di hadapan, Dave pun mengernyitkan dahinya heran.
“Oh, yaudah kalau gituh gue ngikut lu ketemu sama Kiyara aja.” Dave menganggukkan kepalanya, menyetujui ucapan pria asing, sebetulnya dia merasa penasaran ada perlu apa laki-laki tampan ini mencari seorang Kiyara Mentari, wanita gendut yang insecurenya bukan main.
***
Tumpukan sepuluh buku ajar matematika sudah memenuhi meja yang digunakan Kiyara untuk mengerjakan hukuman dari Bu Reni, wajahnya tampak masam, meski sudah sering kali mendapat ketidakadilan, tapi tetap saja rasanya sama, nyesek.
“Kamu, mau aku bantuin bikin soal?” tanya Cakra, yang sedari tadi membantu Kiyara untuk mengumpulkan buku.
“Emh … enggak usah deh Cak. Biar aku aja yang ngerjain ini semua, kan ini memang hukuman buat aku. Mending kamu ke lapangan aja, liat pensi.”
“Nggak ah, aku temenin aja ya di sini?” Kiyara mengangguk, kehadiran teman masa kecilnya cukup membantu membuat moodnya sedikit membaik.
Mereka berdua larut dalam aktivitas masing-masing, sampai suara derap langkah yang
kian mendekat dan suara deheman membuat keduanya mendongakan kepala.
“Kakak …”
“Kak Dafa.” Keduanya berucap lirih secara bersamaan.
“Kalian ngapain berduaan di perpust yang lagi sepi kayak gini? Yang lain udah pada ke lapangan buat liat pensi, kalian?” tanya Dafa dengan tatapan mengintimidasi, sedangkan Dave masih mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di hadapannya ini.
“Aku, lagi nemenin Kiyara buat ngerjain tugas dari Bu Reni.” Dafa mengernyitkan dahinya, heran.
“Katanya, semalam nggak ada tugas,” ucap Dafa sembari mendudukan tubuhnya di kursi samping Kiyara, mengabaikan si bule yang masih setia berdiri dengan tatapan penuh tanya.
“Ah, i-itu Kak--.”
“Kiyara, dihukum karena di fitnah minta contekan sama Arin.” Dengan santainya Cakra mengucapkan apa yang sebenarnya terjadi, membuat Kiyara menundukan kepalanya dalam.
“Astaga, berapa kali Kakak bilang. Jangan mudah terintimidasi, jangan mudah mengalah jika kamu tidak melakukan kesalahan, lawan mereka … lawan Ki.” Dafa, berucap dengan gusar, adiknya ini selalu saja mengalah meski tak bersalah, selalu jadi yang tertindas. Payah … !
“Kak, please jangan di sini kalau mau ngomelin aku.”
“Cakra, lu ikut gue ke ruang guru. Lu, Bule … gue nitip Adik gue bentaran.” Tanpa menunggu jawaban dari Cakra dan Dave, Dafa langsung berdiri dari duduknya dan melangkahkan kaki jenjangnya keluar dari perpustakaan.
Cakra mengayunkan langkahnya cepat, untuk mensejajarkan langkah Dafa. “Apa yang mau Kak Dafa lakukan?”
“Mau, nunjukin bukti kalau Kiyara nggak salah.”
“Caranya?”
“Sebenernya, gue nyimpen kamera kecil di tasnya Kiyara jaga-jaga kalau ada orang yang ngebully dia, gue punya bukti buat bikin pelajaran sama mereka-mereka.”
“Always, the best brother,” kata Cakra yang membuat Dafa tersenyum sinis, membayangkan wajah gadis yang memfitnah adiknya, terkena hukuman.
Sementara itu, di dalam perpustakaan Kiyara masih sibuk mengerjakan hukuman yang diberi Bu Reni, tak menghiraukan kehadiran Dave yang masih setia berdiri di belakangnya.
“Eheemmm … .” Dave berdehem cukup keras, membuat Kiyara mengalihkan atensinya.
“Ada apa?”
Dave mendudukkan dirinya di samping Kiyara. “Dia, Kakak lu?”
“Hem … .”
“Kenapa, masih ngerjain hukuman yang lu sendiri nggak ngerasa ngelakuin kesalahan?”
Kiyara menghentikan gerakan tangannya. “Bukan urusan, Kakak … !”
“Temen baru lu itu, kok bisa kenal sama Kakak lu?”
“Diem, Kak ... ! Ini, nggak selesai-selesai kalau Kak Dave ngajak ngobrol terus. Sana gih, bukannya pensi malah nongkrong di sini.”
“Nunggu Kakak lu dulu, baru gue cabut dari sini.”
.
.
.
Selamat membaca readers ... semoga suka dengan cerita baru yang Author buat ... jangan lupa like dan favoritenya ya ... bentar lagi mau lebaran nih ... masih semangatkan puasanya?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
ZasNov
Asli deh, aku beneran kesel sama Bu Reni..
Kok bisa seorang guru kayak gitu, ga mau denger penjelasan muridnya..😤
Padahal dia tau, Kiyara murid yang cerdas..
Mantap nih Dafa, beneran the best brother 🤩
Untung Dafa bisa ngebuktiin Kiyara ga salah, dianter Cakra..😄
Dave kayaknya ada sesuatu deh sama Kiyara..
Dia sok cuek tapi sebenarnya perhatian banget sama Kiyara..☺️
2021-06-04
2