~Setiap kejadian yang kita lalui tak pernah lepas dari takdir dan … pola sebab-akibat akan selalu mengiringi, menuntut keadalian atas apa yang kita perbuat~
“Sialan tuh, si Gendut … pakai acara lapor Kakaknya pula,” gerutu Arin sembari menyikat lantai kamar mandi dengan jijik, ya … dia sekarang sedang membersihkan toilet putri yang berada di dekat ruang guru. Seharusnya, sekarang dia sudah pulang sekolah … tapi, sayang sekali laporan dari Dafa, pria tampan pujaannya membuatnya harus berkencan dengan sikat toilet.
“Mulut, lu tuh nggak guna banget ya. Kasihan gue sama nyokap-bokap lu, punya anak modelan kek gini.”
Dugh … tubuh mungil Arin terduduk di lantai, gerak reflek karena kaget membuatnya terpleset.
“Sialan lu, ngagetin gue … basahkan jadinya,” gerutu Arin sembari mencoba bangkit dari duduknya.
“Mulut lu tuh ya, minta di karetin emang … !” seloroh pria yang masih berdiri di dekat pintu kamar mandi.
“Elu tuh—,” ucapan Arin terhenti, karena mendapati pria tinggi yang sedang menyandarkan tubuhnya di dinding dekat pintu kamar mandi, sembari menatapnya penuh intimidasi. “Eh, Kak Dave … ngapain di sini, Kak ? Nungguin aku, ya ?”
“Cih … saha maneh, sampek mesti gue tungguin, ngaca sia teh … ngaca … !!!” dasar mulut bon cabe Dave … yang nggak bisa dikontrol dengan baik pun sudah berkicau kesana-kemari, terlebih dengan nada sundanya yang kental tapi dicampur dengan kata lu-gue belum lagi wajah bulenya yang sangat-sangat tidak mendukung. :D
“Mau, Kak Dave apa sih? Mulutnya kok meni pedes pisan, kesel ih.”
Dave, yang mendengar suara manja Arin, tak kuasa menahan gelak tawa sumbangnya … sungguh menjijikan, batin Dave. “Ih, geleuh … biasa aja kalau ngomong sama gue mah … nggak usah di gitu-gituin nadanya. Oh, iya … inget satu hal, jangan pernah gangguin Kiyara lagi … cuma gue yang boleh ngerjain dia, lu atau yang lainnya di sekolah ini dilarang ganggu, Kiyara.”
Arin masih menganga tak percaya, seorang bintang sekolah … kakak kelasnya yang paling tampan karena bule satu-satunya itu, membela gadis gendut yang biasanya jadi bahan bullying. Sorot matanya masih memandang punggung kokoh milik pacar 3 harinya … kala kelas satu SMA dulu, yang terus berjalan meninggalkannya di dalam toilet seorang diri. “Shit … Gendut sialan … Lu kenapa sih, Kak Dave … jadi belain cewek Gendut yang biasanya jadi bahan bully elu sendiri.”
***
Matahari sudah mulai tergelincir ke arah barat, kemilau jingga berpadu dengan awan-awan yang menggantung indah membuat senja menjadi waktu yang paling dinanti oleh Kiyara … apalagi senja di hari jumat, yang katanya … bila kita memanjatkan do’a dan banyak berdzikir di saat itu … doa-doa kita akan cepat terijabah oleh Sang Kholik … wallahu a’lam bishawab.
Suara burung-burung kecil yang hilir mudik untuk kembali ke sarangnya pun, menjadi alunan alam yang menenangkan jiwa, ditambah suara angin yang menerpa rimbunnya pepohonan dan tanaman belukar, menebarkan aroma alam yang mengisi penuh di
indera penciuman. Segar.
Tapi sayang, untuk sore ini … Kiyara masih berkutat dengan rumus-rumus matematika dan tugas biologi bersama dengan Cakra, yang katanya teman masa kecil saat masih tinggal di Buah Batu delapan tahun yang lalu.
“Ini, nomor 7 caranya gini, Cak … x yang di ruas kiri dipindah dulu ke ruas kanan, jangan lupa negatif-positifnya harus cermat juga.” Kiyara masih sibuk menjelaskan rangkaian rumus matematika pada Cakra, tapi sayang saat mengalihkan atensi pada lawan bicaranya, Kiyara menangkap basah Cakra yang malah sibuk chating entah dengan siapa, yang jelas bibirnya terus melengkungkan senyum.
“Ehm … dilanjut nggak nih, Cak?”
Cakra yang tertangkap basah langsung menyimpan kembali ponselnya di atas meja. “Dilanjutlah, Ki.”
“Emh, sorry … aku boleh nanya sesuatu nggak, Cak?” tanya Kiyara hati-hati, sejujurnya ada yang masih mengganjal tentang siapa Cakra sebenarnya.
“Nanya aja, kalau aku bisa jawab pasti aku jawab kok.” Cakra membetulkan posisi duduknya menghadap Kiyara, agar lebih leluasa saat mengobrol, karena sepertinya Kiyara akan membicarakan sesuatu yang cukup serius terlihat dari gelagatnya.
“Itu, emh … apa betul kamu Agam, sahabat kecilku?” Cakra membulatkan matanya, ini pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya terlontar dari bibir tipis Kiyara.
Suara helaan napas berat lolos dari bibir Cakra. “Kamu tuh udah ketemu sama Mamaku kan? Ketemu Papaku juga, sama enggak? Terus muka aku masak kamu nggak bisa lihat kemiripan sama sekali sama aku 8 tahun yang lalu?”
Kiyara memejamkan matanya sekilas. “Jujur untuk Tante Syta aku percaya, kalau Om Surya aku nggak tahu pasti soalnya dulu Agam eh maksudku Cakra, kamu nggak pernah menyebut atau ngenalin aku sama Papa kamu, bahkan, nama lengkapmu saja aku tidak tahu saat itu yang aku ingat hanya nama panggilanmu saja, Agam. Kalau
kamu sendiri, mungkin di sorot mata dan bagian wajah lainnya nggak jauh beda sih sama sewaktu 8 tahun lalu, tapi … ada banyak hal yang berbeda Cak … sikap dan sifatmu, misalnya,” ucap Kiyara lirih.
“Contohnya apa?” tanya Cakra dengan nada setenang mungkin.
“Kamu sedikit lebih kasar daripada 8 tahun yang lalu, sorot matamu berbeda dengan Agam, emh ... Cakra, 8 tahun yang lalu, Agam dulu nggak bisa bilang ‘R’, cara menolongmu saat aku diperlakukan semena-mena oleh teman-teman kita pun berbeda, emh … meski aku tahu 8 tahun bukan waktu yang sebentar untuk kamu banyak berubah. Dan aku masih sering bermimpi Agam kecil yang tiba-tiba berubah wujud mungkin jadi Agam dewasa yang sayangnya … aku nggak bisa lihat wajahnya.”
Cakra mengusap wajahnya kasar, jelas saja kebohongan serapi apapun itu pasti akan menimbulkan kecurigaan. “Nak, berceritalah yang sebenarnya.” Suara lembut seorang wanita yang tengah berdiri di pintu masuk rumah Kiyara membuat kedua remaja itu mengalihkan antesinya.
“Mama … !” Cakra menggeleng tak setuju, sementara Kiyara dia semakin larut dalam kubang penasaran.
“Nak, please ini nggak baik … Kiyara harus tahu yang sebenarnya.” Wanita itu, Syta … Mama dari Cakra, teman kecil Kiyara.
“Tante, apa maksudnya?” kata Kiyara, ketika Syta sudah duduk di kursi ruang tamu.
“Sorry, Ki … sebetulnya, a-aku bukan Agam kamu … Agam …”
Syta menghirup oksigen di sekitarnya cukup banyak, seolah dia sedang menyiapkan amunisi untuk menceritakan kebenaran, meski itu berarti mengulik luka lama kembali. “Agam itu, Kakak kembarnya Cakra namanya Cakro Agamsyah … Dulu kamu kenal Cakro dengan sebutan Agam karena Cakro nggak bisa nyebut huruf ‘R’. 8 tahun yang lalu Tante dan Agam pindah ke Surabaya, karena Tante rujuk kembali dengan Papanya anak-anak. Tapi, 2 tahun yang lalu Agam, Tante, dan Cakra mengalami kecelakaan mobil.” Tak ada isakan saat wanita seumuran dengan Bunda Alana menceritakan semua kenangan pahit itu, tapi air matanya sedari tadi sudah membasahi pipinya.
“Kak Agam sudah meninggal, Ki. Dan pesan terakhirnya, aku harus menggantikannya menjagamu seperti janjinya 8 tahun yang lalu, bahwa dia akan kembali.”
Kiyara tersentak, kaget? Jangan ditanya … ingatannya kini sudah berkelana jauh, ya bocah laki-laki itu, Agam … pernah berjanji bahwa akan masuk di sekolah yang sama dengannya dan menjaganya apapun yang terjadi.
“Ala, jangan nakal ya … nanti Agam akan ke sini lagi buat jagain Ala.”
“Ala, nanti kita masuk sekolah yang sama lagi ya?”
“Ala … aku pelgi dulu.”
“Ya … Allah … Kiyara, ada tamu kok nggak disuguhin minuman.” Kiyara terhenyak dari lamunannya, karena suara nyaring sang Bunda dari arah pintu masuk membuatnya kembali dalam kesadaran seutuhnya.
“Di mana, Agam di makamkan, Tante?” tanya Kiyara dengan wajah sedikit linglung, dia masih shock dengan kenyataan yangada, tapi Tante Syta masih sibuk menghapus air matanya.
“Kiyara, maksud kamu apa? Itu Agamnya ada di sebelah kamu, kok tanya begitu sih, nggak sopan.” Hardik Bunda Alana.
“Tidak … tidak Teh tidak masalah, memang Agam sudah tiada ini Adiknya namanya Cakra … Agam sudah meninggal dua tahun yang lalu saat kami di Surabaya dan dia di makamkan di Surabaya juga.”
“Innalillahi wa innaillaihiroji’un …,” pekik Bunda Alana.
Firasatnya betul bahwa Cakra bukanlah Agam yang dia cari, rasanya semakin bercampur tak jelas karena ada kecewa, sedih, rindu, kesal, juga amarah yang menjadi satu membuatnya bangkit dari duduk dan segera berlari ke dalam kamarnya, tak menghiraukan teriakan Bunda dan juga Mama dari duo Agam yang memanggil-manggil namanya. Ternyata pencariannya tak akan pernah berujung, malaikat penolongnya … teman kecilnya sudah lama tiada dan apa arti mimpi itu selama ini?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
ZasNov
Dave ternyata beneran peduli sama Kiyara..
Meskipun nyari perhatian Kiyara dengan cara selalu ngeledekin Kiyara..😥
Dave ngelarang Arin ngebully Kiyara, karena cuma dia yang boleh ngebully Kiyara..😅
Ah sediiihh..Ternyata Agam udah meninggal..😭
Dan anak baru yang deket sama Kiyara itu saudara kembar Agam, Cakra..😩
Jadi Kiyara ga mungkin ketemu lagi sama Agam..
2021-06-04
2
Little Peony
Like like like
2021-06-02
1