Energy Of Love

Energy Of Love

Awal Yang Memilukan

Bel sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat tiba. Siswa-siswi SMA Negeri 3 Semarang berbondong-bondong keluar dari kelas masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang memilih ke taman, perpustakaan bahkan ke kantin untuk sekadar jajan.

Cuaca di kota ini tampak mendung menandakan sebentar lagi akan hujan. Di ruang kelas sebelas, tiga orang pemuda yang tengah asyik mengobrol seraya keluar dari kelas.

Pemuda pertama keluar dari kelas terlebih dahulu. Kulitnya kuning langsat dan perawakannya berisi. Tingginya seratus tujuh puluh sentimeter. Pemuda bermata sayu dengan rambut acak-acakan. Dari cara berpakaian tidak karuan, seragam putih kusut dan beberapa kancing dibiarkan terbuka. Untung saja, ia memakai kaus putih di balik seragamnya.

"Hai, guys, kenalin, namaku Tommy Fendiawan. Panggil aja Tommy. Paling kece di sekolah ini. Bikin onar juga sih, hahaha. Eits, jangan salah, meski bikin onar, tapi menjaga sopan santun dong. Aku tuh suka lihat cewek cantik dan seksi. Tapi, ngenesnya sampai sekarang masih jomlo juga. Perasaan enggak ada yang kurang deh dari diriku? Jones banget, ya, diri ini, huuwwee," jelas Tommy hingga berujung memelas sambil merekam video di ponsel.

Disusul oleh pemuda kedua berperawakan gempal yang bergilir memegang ponsel. Tingginya sekitar seratus enam puluh lima sentimeter. Pemuda sawo matang yang mempunyai mata besar. Cara berpakaiannya tampak rapi sekali. Ujung bawah seragam putih dimasukan ke dalam celana abu-abu. Ia mengelus rambut cepak sambil bercermin di kamera depan ponsel yang sedang merekam video.

"Sugeng enjing, sedulur. Nami kulo Hardiansyah Weri. Disapa Hardi. Wong Jowo tulen to. Aku paling sederhana di antara dua sahabatku ini. Aku baik hati dan setia kawan, hehehe. Aku pintar loh, guys. Enggak pernah nyontek dan enggak apa-apa jomlo, tapi enggak ganjen, enggak kayak si Tommy. Kata Bapak dan Ibuku, eling kerja keras Bapak-Ibumu buat sekolahin kamu. InsyaAllah, suatu saat Hardi jadi orang sukses, Pak, Bu. Doanya juga, ya, lur, hehe," jelas Hardi dalam logat Jawa. (Selamat pagi, saudara. Nama saya Hardiansyah Weri.) (Orang Jawa tulen dong.)

Pemuda ketiga berwajah oriental itu baru keluar dari kelas. Ia memiliki kulit putih bersih dan berperawakan gagah. Ia sangat tinggi dari teman-temannya, yakni seratus delapan puluh sentimeter.

Cara berpakaiannya rapi, lengkap dengan wangi parfum yang maskulin membuat dirinya percaya diri. Jika tersenyum, matanya sipit dan tampan sekali. Dari paras pemuda itu seperti ada keturunan campuran dari orang tuanya.

"Yuk, ke kantin. Aku sudah lapar ini," ajak Hardi mengelus perut buncit.

"Walah, pikiranmu makan terus. Perasaan di kost udah makan dua porsi nasi uduk. Enggak ada kenyang-kenyangnya kamu," ledek Tommy sambil mengontrol kamera ponsel.

Hardi seketika mencebik. "Ya, beda to. Yang di kost itu kan sarapan, Tom."

"Gitu aja ribut. Ayo kita makan!" ajak pemuda bermata sipit seraya merangkul dua sahabatnya.

***

Ketika tiga pemuda itu hendak ke kantin sambil merekam kebersamaan, dari arah belakang, seorang pemuda berkacamata lari menghampiri mereka. Napasnya tergopoh-gopoh lantas menepuk bahu pemuda bermata sipit itu.

"Henry!" teriak seorang pemuda berkacamata.

Pemuda yang mempunyai setitik tahi lalat di mata kiri itu bernama Henry. Namanya di sekolah ini hanya ada satu. Para siswi di sini menganggapnya idola sekolah. Bukan hanya popular dengan parasnya, ia juga terkenal dengan prestasi.

"Eh, sik-sik. Perkenalan diri dululah," sela Hardi tidak ingin melewatkan kesempatan untuk merekam video. (Eh, sebentar-sebentar.)

Tommy menepuk bahu sahabatnya yang tampan dan berkata, "nah, ini sahabat terganteng kita. Namanya Henry Lee. Disapa Henry. Ganteng to? Bersyukur kita sebagai sahabat punya Henry. Udah baik, cerdas lagi."

"Udah gitu enggak pernah pacaran, guys. Kalau ada cewek yang naksir Henry ini langsung ditolak, wes ewes ewes bablas angine," timpal Hardi.

"Tolak bala kali," sahut Tommy, "oh, iya, makanya itu Henry cuma satu-satunya di sekolah ini, karena dia jadi idola. Anu guys, Henry ini masih berdarah campuran, Jawa dan Korea gitulah, hehehe."

Henry risih hingga menjauhi dua sahabatnya. "Iiss, ono opo to Hardi karo Tommy iki?" Henry lantas menghadap ke arah pemuda yang meneriakinya tadi. "Ya, ada apa, Rif?"

"Ada yang mau ketemu sama kamu di halaman sekolah sana," ujar pemuda berkacamata dan mengarahkan telunjuk ke halaman sekolah.

"Siapa?" tanya Henry.

"Ya, itulah, temanmu. Pokoknya cewek cantik tapi kayaknya udah dewasa. Yowis, aku mau ke toilet dulu, ya. Udah diujung tanduk ini," jawab pemuda lantas buru-buru meninggalkan tiga sekawan.

"Oke," ucap Henry, "sorry, Bro Tommy dan Hardi, aku mau menemui seorang dulu."

"Lah, terus siapa yang bayarin kita, Hen?" tanya Tommy.

"Mbok, ya, apa-apa mandiri to, Tom. Masa dikit-dikit Henry terus yang bayarin," sindir Hardi.

"Maklum, belum dapat kiriman dari Bapak-Ibuku, hehehe."

"Ya udah, aku tinggal dulu. Kalian makan aja, bilang Mbok Ijah, bayarnya menyusul," lanjut Henry pergi berlalu meninggalkan dua sahabatnya.

"Itu namanya sahabat sejati. Henry itu udah ganteng, gemar bersedekah lagi. Masyaallah, ya, Har." Tommy lantas menepuk-nepuk pundak Hardi.

Hardi memelototi Tommy. "Memuji Henry dengan tulus atau modus, Tom?"

"Halah kamu ini. Udah yuk, ke kantin."

"Yowis, guys, mini vlog udahan dulu. Aku dan Tommy mau makan, see you next time, bye-bye. Jangan lupa subscribe kanal UTube kami yaitu ngopi ngopo wae tetap happy."

Tommy dan Hardi saling merangkul dan berjalan riang gembira menuju ke kantin sekolah. Rasanya tidak sabar untuk makan enak di kantin supaya lambung mereka tidak berdemo kelaparan.

***

Sang mentari perlahan lenyap terhalang oleh awan hitam pekat. Namun tampaknya, hujan belum memberi pertanda turun ke bumi. Henry mempercepat langkah untuk menemui seorang temannya. Perasaannya buncah seperti ada yang tidak beres hari ini.

Saat tiba di halaman sekolah, Henry terkesiap dan mengerutkan dahi. Ia pernah menemui seorang wanita, tapi wanita itu justru membelakanginya. Seorang wanita yang berkerudung segitiga yang ditemuinya berusia tiga tahun lebih tua dari Henry.

Wanita dengan balutan tunik dipadukan rok itu sesenggukan. Henry sudah mengenali wanita itu sejak setengah tahun ini. Perasaan Henry semakin penasaran dan tidak nyaman dengan sesuatu yang terjadi pada temannya. Tidak ingin membuang-buang waktu, Henry pun menghampiri dan mulai angkat bicara.

"Mbak Fira," sapanya ramah, sehingga wanita yang disebutnya menoleh tepat di hadapannya. Henry pun terbelalak. "Loh, mata Mbak Fira kok bengkak? Mbak Fira kenapa nangis?"

Wanita yang disapa Fira sontak terisak-isak dan merintih. Ia lantas bersimpuh seraya menutupi wajah dengan dua telapak tangan.

"Ada apa, Mbak? Masalah apa yang menimpa Mbak Fira?" tanya Henry turut duduk bersimpuh-- berlawanan arah dengan Fira. Ia celingukan melihat keadaan sekitar. Khawatir-- jika ada orang lain yang melihat Fira sedang menangis.

"Aku harus bagaimana, Henry?" tanya Fira.

Henry berbalik tanya, "maksudnya?"

"A-aku udah enggak kuat lagi. Aku ingin menyerah! Aku lelah dengan situasi seperti ini," keluh Fira seraya mengepal dua tangan karena terbawa emosi.

"Mbak Fira tarik napas dulu, kemudian embuskan, biar tenang, oke. Kalau Mbak Fira enggak keberatan, cerita ke aku. Apa yang terjadi?"

Henry tidak berani menyentuh wanita yang lemah tak berdaya karena sadar bukan mahramnya. Ia hanya memberi isyarat supaya Fira mengatur napas yang menyesakkan itu.

"Suamiku, dia makin bersikap kasar sama aku dan pengen menikah lagi. Aku selalu salah di matanya. Aku mencoba bertahan demi anakku, Zayn. Tapi, kenyataannya pedih banget. Aku sakit dan lelah!" keluh Fira lagi.

"Istighfar, Mbak," ucap Henry.

"Henry, aku mohon bantu aku. Aku pengen pergi meninggalkan hubungan yang enggak sehat ini," pinta Fira memelas.

Wanita bermata bulat itu seketika memerah akibat berderai air mata. Ia mengiba saat memandang Henry seolah meminta pertolongan. Sebenarnya, ia memiliki paras ayu berkulit kuning langsat tapi jadi pucat dengan kondisi luka batin yang mengoyak hatinya.

"Maaf, Mbak. Dalam urusan seperti ini, aku enggak ingin ikut campur. Itu urusan rumah tangga kalian," tolak Henry secara halus.

"Tolonglah aku! Rasanya aku ingin pergi jauh bersama anakku. Tapi orang tuaku justru menyuruhku bertahan dengan suamiku. Sedangkan aku udah capek!" Tangisan Fira kian memekik.

Di sisi lain, Henry tidak tega, ada keinginan menolong Fira. Ia geram mendengar cerita dari Fira soa prahara rumah tangga bersama suaminya. Namun, apa mau dikata? Henry tidak bisa berbuat apapapun dan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang.

"Mbak, pikirin anakmu yang masih membutuhkan ibunya. Perlihatkan ke anakmu bahwa Mbak Fira adalah ibu yang kuat. Mbak Fira pasti tegar dan orang baik yang insyaAllah, bakal dapat yang terbaik. Minta pertolongan kepada Allah. Pertahankanlah rumah tangga Mbak Fira dan Mas Kirsandi. Maaf, aku enggak bisa menolongmu," jelas Henry.

"Henry!" pekik Fira kian frustrasi.

"Sekali lagi maaf. Maaf, aku harus kembali ke kelas, assalamu'alaikum." Henry terpaksa meninggalkan Fira sendirian, walaupun sebenarnya tidak tega.

Henry cukup sadar diri dengan posisinya sebatas teman bersama Fira. Ia masih melirik Fira yang lunglai di bawah langit mendung. Pemuda berseragam putih abu-abu itu berbalik arah dan berlari menuju ke kelas.

Henry bisa merasakan kepahitan derita Fira dan membatin, "hatiku pilu mendengar tangis lukamu. Maafin aku yang enggak bisa menolongmu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Kamu wanita baik, aku yakin kamu bakal dapat yang terbaik."

***

Mendung kian gelap gulita. Rintikan hujan mulai membasahi Kota Semarang. Angin mulai kencang membuat dahan pohon terombang-ambing. Suasana jadi sendu, hanyut dalam kepiluan. Fira masih duduk bersimpuh kaku di halaman sekolah, merenggang luka batin sendirian. Derai tangis Fira kini tersamar oleh derasnya air hujan.

Wanita rapuh itu pelan-pelan berdiri. Jalannya gontai menuju ke luar halaman sekolah. Seluruh pakaian yang dikenakannya menjadi basah kuyup. Tatapannya menjadi kosong. Pikirannya kacau dan hatinya kian remuk. Fina terhuyung-huyung dengan rasa kecewa karena tiada seorangpun yang bisa mengerti kondisinya.

Benak Fira ingin sekali mengakhiri hidup karena berada di titik terendah. Namun ia masih memikirkan anak semata wayang yang masih kecil. Jika Fira mengingat perlakuan suaminya yang kasar, ada keinginan menikah lagi, membuat dunia Fira runtuh tak tersisa. Ia terpaksa kuat untuk mempertahankan rumah tangga, demi buah hati.

Fira memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, supaya dapat menenangkan diri dan hati di sana. Ia lunglai membuka pintu mobil dan mengalihkan kemudi meninggalkan sekolah menengah atas itu.

Hati Fira bagai ditusuk jarum yang tajam dan membatin, "ya Allah, apa yang terjadi kedepannya, hamba tidak tahu. Hanya Engkau yang Maha Mengetahui. Tapi, bolehkah sekali ini aja hamba merasa enggak berdaya? Hamba harus ke mana lagi? Hamba enggak kuat menghadapi prahara rumah tangga. Hamba capek dengan perilaku Mas Kirsandi. Hamba sudah pasrahkan semuanya kepada Engkau. Berikanlah aku keadilan!"

***

Bagaimana tanggapanmu setelah membaca novel ini? Tinggalkan komentar terbaik kamu di sini, yuk!

Terpopuler

Comments

Rahmat Affandi

Rahmat Affandi

asyik menikmati alur ceritanya

2023-11-14

1

YuliYaya

YuliYaya

Aku mau menemui seseorang dulu
“Seseorang” kayaknya deh mba Famala biar enak 🙏🏼🙂

2022-09-22

1

Erni Fitriana

Erni Fitriana

kita nikmati

2022-04-30

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!