NovelToon NovelToon

Energy Of Love

Awal Yang Memilukan

Bel sekolah berbunyi menandakan waktu istirahat tiba. Siswa-siswi SMA Negeri 3 Semarang berbondong-bondong keluar dari kelas masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang memilih ke taman, perpustakaan bahkan ke kantin untuk sekadar jajan.

Cuaca di kota ini tampak mendung menandakan sebentar lagi akan hujan. Di ruang kelas sebelas, tiga orang pemuda yang tengah asyik mengobrol seraya keluar dari kelas.

Pemuda pertama keluar dari kelas terlebih dahulu. Kulitnya kuning langsat dan perawakannya berisi. Tingginya seratus tujuh puluh sentimeter. Pemuda bermata sayu dengan rambut acak-acakan. Dari cara berpakaian tidak karuan, seragam putih kusut dan beberapa kancing dibiarkan terbuka. Untung saja, ia memakai kaus putih di balik seragamnya.

"Hai, guys, kenalin, namaku Tommy Fendiawan. Panggil aja Tommy. Paling kece di sekolah ini. Bikin onar juga sih, hahaha. Eits, jangan salah, meski bikin onar, tapi menjaga sopan santun dong. Aku tuh suka lihat cewek cantik dan seksi. Tapi, ngenesnya sampai sekarang masih jomlo juga. Perasaan enggak ada yang kurang deh dari diriku? Jones banget, ya, diri ini, huuwwee," jelas Tommy hingga berujung memelas sambil merekam video di ponsel.

Disusul oleh pemuda kedua berperawakan gempal yang bergilir memegang ponsel. Tingginya sekitar seratus enam puluh lima sentimeter. Pemuda sawo matang yang mempunyai mata besar. Cara berpakaiannya tampak rapi sekali. Ujung bawah seragam putih dimasukan ke dalam celana abu-abu. Ia mengelus rambut cepak sambil bercermin di kamera depan ponsel yang sedang merekam video.

"Sugeng enjing, sedulur. Nami kulo Hardiansyah Weri. Disapa Hardi. Wong Jowo tulen to. Aku paling sederhana di antara dua sahabatku ini. Aku baik hati dan setia kawan, hehehe. Aku pintar loh, guys. Enggak pernah nyontek dan enggak apa-apa jomlo, tapi enggak ganjen, enggak kayak si Tommy. Kata Bapak dan Ibuku, eling kerja keras Bapak-Ibumu buat sekolahin kamu. InsyaAllah, suatu saat Hardi jadi orang sukses, Pak, Bu. Doanya juga, ya, lur, hehe," jelas Hardi dalam logat Jawa. (Selamat pagi, saudara. Nama saya Hardiansyah Weri.) (Orang Jawa tulen dong.)

Pemuda ketiga berwajah oriental itu baru keluar dari kelas. Ia memiliki kulit putih bersih dan berperawakan gagah. Ia sangat tinggi dari teman-temannya, yakni seratus delapan puluh sentimeter.

Cara berpakaiannya rapi, lengkap dengan wangi parfum yang maskulin membuat dirinya percaya diri. Jika tersenyum, matanya sipit dan tampan sekali. Dari paras pemuda itu seperti ada keturunan campuran dari orang tuanya.

"Yuk, ke kantin. Aku sudah lapar ini," ajak Hardi mengelus perut buncit.

"Walah, pikiranmu makan terus. Perasaan di kost udah makan dua porsi nasi uduk. Enggak ada kenyang-kenyangnya kamu," ledek Tommy sambil mengontrol kamera ponsel.

Hardi seketika mencebik. "Ya, beda to. Yang di kost itu kan sarapan, Tom."

"Gitu aja ribut. Ayo kita makan!" ajak pemuda bermata sipit seraya merangkul dua sahabatnya.

***

Ketika tiga pemuda itu hendak ke kantin sambil merekam kebersamaan, dari arah belakang, seorang pemuda berkacamata lari menghampiri mereka. Napasnya tergopoh-gopoh lantas menepuk bahu pemuda bermata sipit itu.

"Henry!" teriak seorang pemuda berkacamata.

Pemuda yang mempunyai setitik tahi lalat di mata kiri itu bernama Henry. Namanya di sekolah ini hanya ada satu. Para siswi di sini menganggapnya idola sekolah. Bukan hanya popular dengan parasnya, ia juga terkenal dengan prestasi.

"Eh, sik-sik. Perkenalan diri dululah," sela Hardi tidak ingin melewatkan kesempatan untuk merekam video. (Eh, sebentar-sebentar.)

Tommy menepuk bahu sahabatnya yang tampan dan berkata, "nah, ini sahabat terganteng kita. Namanya Henry Lee. Disapa Henry. Ganteng to? Bersyukur kita sebagai sahabat punya Henry. Udah baik, cerdas lagi."

"Udah gitu enggak pernah pacaran, guys. Kalau ada cewek yang naksir Henry ini langsung ditolak, wes ewes ewes bablas angine," timpal Hardi.

"Tolak bala kali," sahut Tommy, "oh, iya, makanya itu Henry cuma satu-satunya di sekolah ini, karena dia jadi idola. Anu guys, Henry ini masih berdarah campuran, Jawa dan Korea gitulah, hehehe."

Henry risih hingga menjauhi dua sahabatnya. "Iiss, ono opo to Hardi karo Tommy iki?" Henry lantas menghadap ke arah pemuda yang meneriakinya tadi. "Ya, ada apa, Rif?"

"Ada yang mau ketemu sama kamu di halaman sekolah sana," ujar pemuda berkacamata dan mengarahkan telunjuk ke halaman sekolah.

"Siapa?" tanya Henry.

"Ya, itulah, temanmu. Pokoknya cewek cantik tapi kayaknya udah dewasa. Yowis, aku mau ke toilet dulu, ya. Udah diujung tanduk ini," jawab pemuda lantas buru-buru meninggalkan tiga sekawan.

"Oke," ucap Henry, "sorry, Bro Tommy dan Hardi, aku mau menemui seorang dulu."

"Lah, terus siapa yang bayarin kita, Hen?" tanya Tommy.

"Mbok, ya, apa-apa mandiri to, Tom. Masa dikit-dikit Henry terus yang bayarin," sindir Hardi.

"Maklum, belum dapat kiriman dari Bapak-Ibuku, hehehe."

"Ya udah, aku tinggal dulu. Kalian makan aja, bilang Mbok Ijah, bayarnya menyusul," lanjut Henry pergi berlalu meninggalkan dua sahabatnya.

"Itu namanya sahabat sejati. Henry itu udah ganteng, gemar bersedekah lagi. Masyaallah, ya, Har." Tommy lantas menepuk-nepuk pundak Hardi.

Hardi memelototi Tommy. "Memuji Henry dengan tulus atau modus, Tom?"

"Halah kamu ini. Udah yuk, ke kantin."

"Yowis, guys, mini vlog udahan dulu. Aku dan Tommy mau makan, see you next time, bye-bye. Jangan lupa subscribe kanal UTube kami yaitu ngopi ngopo wae tetap happy."

Tommy dan Hardi saling merangkul dan berjalan riang gembira menuju ke kantin sekolah. Rasanya tidak sabar untuk makan enak di kantin supaya lambung mereka tidak berdemo kelaparan.

***

Sang mentari perlahan lenyap terhalang oleh awan hitam pekat. Namun tampaknya, hujan belum memberi pertanda turun ke bumi. Henry mempercepat langkah untuk menemui seorang temannya. Perasaannya buncah seperti ada yang tidak beres hari ini.

Saat tiba di halaman sekolah, Henry terkesiap dan mengerutkan dahi. Ia pernah menemui seorang wanita, tapi wanita itu justru membelakanginya. Seorang wanita yang berkerudung segitiga yang ditemuinya berusia tiga tahun lebih tua dari Henry.

Wanita dengan balutan tunik dipadukan rok itu sesenggukan. Henry sudah mengenali wanita itu sejak setengah tahun ini. Perasaan Henry semakin penasaran dan tidak nyaman dengan sesuatu yang terjadi pada temannya. Tidak ingin membuang-buang waktu, Henry pun menghampiri dan mulai angkat bicara.

"Mbak Fira," sapanya ramah, sehingga wanita yang disebutnya menoleh tepat di hadapannya. Henry pun terbelalak. "Loh, mata Mbak Fira kok bengkak? Mbak Fira kenapa nangis?"

Wanita yang disapa Fira sontak terisak-isak dan merintih. Ia lantas bersimpuh seraya menutupi wajah dengan dua telapak tangan.

"Ada apa, Mbak? Masalah apa yang menimpa Mbak Fira?" tanya Henry turut duduk bersimpuh-- berlawanan arah dengan Fira. Ia celingukan melihat keadaan sekitar. Khawatir-- jika ada orang lain yang melihat Fira sedang menangis.

"Aku harus bagaimana, Henry?" tanya Fira.

Henry berbalik tanya, "maksudnya?"

"A-aku udah enggak kuat lagi. Aku ingin menyerah! Aku lelah dengan situasi seperti ini," keluh Fira seraya mengepal dua tangan karena terbawa emosi.

"Mbak Fira tarik napas dulu, kemudian embuskan, biar tenang, oke. Kalau Mbak Fira enggak keberatan, cerita ke aku. Apa yang terjadi?"

Henry tidak berani menyentuh wanita yang lemah tak berdaya karena sadar bukan mahramnya. Ia hanya memberi isyarat supaya Fira mengatur napas yang menyesakkan itu.

"Suamiku, dia makin bersikap kasar sama aku dan pengen menikah lagi. Aku selalu salah di matanya. Aku mencoba bertahan demi anakku, Zayn. Tapi, kenyataannya pedih banget. Aku sakit dan lelah!" keluh Fira lagi.

"Istighfar, Mbak," ucap Henry.

"Henry, aku mohon bantu aku. Aku pengen pergi meninggalkan hubungan yang enggak sehat ini," pinta Fira memelas.

Wanita bermata bulat itu seketika memerah akibat berderai air mata. Ia mengiba saat memandang Henry seolah meminta pertolongan. Sebenarnya, ia memiliki paras ayu berkulit kuning langsat tapi jadi pucat dengan kondisi luka batin yang mengoyak hatinya.

"Maaf, Mbak. Dalam urusan seperti ini, aku enggak ingin ikut campur. Itu urusan rumah tangga kalian," tolak Henry secara halus.

"Tolonglah aku! Rasanya aku ingin pergi jauh bersama anakku. Tapi orang tuaku justru menyuruhku bertahan dengan suamiku. Sedangkan aku udah capek!" Tangisan Fira kian memekik.

Di sisi lain, Henry tidak tega, ada keinginan menolong Fira. Ia geram mendengar cerita dari Fira soa prahara rumah tangga bersama suaminya. Namun, apa mau dikata? Henry tidak bisa berbuat apapapun dan tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang.

"Mbak, pikirin anakmu yang masih membutuhkan ibunya. Perlihatkan ke anakmu bahwa Mbak Fira adalah ibu yang kuat. Mbak Fira pasti tegar dan orang baik yang insyaAllah, bakal dapat yang terbaik. Minta pertolongan kepada Allah. Pertahankanlah rumah tangga Mbak Fira dan Mas Kirsandi. Maaf, aku enggak bisa menolongmu," jelas Henry.

"Henry!" pekik Fira kian frustrasi.

"Sekali lagi maaf. Maaf, aku harus kembali ke kelas, assalamu'alaikum." Henry terpaksa meninggalkan Fira sendirian, walaupun sebenarnya tidak tega.

Henry cukup sadar diri dengan posisinya sebatas teman bersama Fira. Ia masih melirik Fira yang lunglai di bawah langit mendung. Pemuda berseragam putih abu-abu itu berbalik arah dan berlari menuju ke kelas.

Henry bisa merasakan kepahitan derita Fira dan membatin, "hatiku pilu mendengar tangis lukamu. Maafin aku yang enggak bisa menolongmu. Aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untukmu. Kamu wanita baik, aku yakin kamu bakal dapat yang terbaik."

***

Mendung kian gelap gulita. Rintikan hujan mulai membasahi Kota Semarang. Angin mulai kencang membuat dahan pohon terombang-ambing. Suasana jadi sendu, hanyut dalam kepiluan. Fira masih duduk bersimpuh kaku di halaman sekolah, merenggang luka batin sendirian. Derai tangis Fira kini tersamar oleh derasnya air hujan.

Wanita rapuh itu pelan-pelan berdiri. Jalannya gontai menuju ke luar halaman sekolah. Seluruh pakaian yang dikenakannya menjadi basah kuyup. Tatapannya menjadi kosong. Pikirannya kacau dan hatinya kian remuk. Fina terhuyung-huyung dengan rasa kecewa karena tiada seorangpun yang bisa mengerti kondisinya.

Benak Fira ingin sekali mengakhiri hidup karena berada di titik terendah. Namun ia masih memikirkan anak semata wayang yang masih kecil. Jika Fira mengingat perlakuan suaminya yang kasar, ada keinginan menikah lagi, membuat dunia Fira runtuh tak tersisa. Ia terpaksa kuat untuk mempertahankan rumah tangga, demi buah hati.

Fira memutuskan untuk pulang ke rumah orang tuanya, supaya dapat menenangkan diri dan hati di sana. Ia lunglai membuka pintu mobil dan mengalihkan kemudi meninggalkan sekolah menengah atas itu.

Hati Fira bagai ditusuk jarum yang tajam dan membatin, "ya Allah, apa yang terjadi kedepannya, hamba tidak tahu. Hanya Engkau yang Maha Mengetahui. Tapi, bolehkah sekali ini aja hamba merasa enggak berdaya? Hamba harus ke mana lagi? Hamba enggak kuat menghadapi prahara rumah tangga. Hamba capek dengan perilaku Mas Kirsandi. Hamba sudah pasrahkan semuanya kepada Engkau. Berikanlah aku keadilan!"

***

Bagaimana tanggapanmu setelah membaca novel ini? Tinggalkan komentar terbaik kamu di sini, yuk!

Bukan Akhir Dari Cerita

Empat tahun kemudian ...

"Assalamu'alaikum, aku Maghfira Annisa, aku mau sharing seputar diriku. Aku seorang Ibu rumah tangga sekaligus mahasiswi fakultas ekonomi di Universitas Yogyakarta. Sebentar lagi, aku mau wisuda dan itu momen yang aku tunggu selama ini. Kalau lagi kuliah, aku titip anak-anak ke baby sitter di rumah. Kalau diceritakan antara ngerjain tugas kuliah dengan ngurus anak-anak di rumah terkesan repot, ya, hehehe. Tapi aku menikmatinya dan juga enggak pengen melewati masa anak-anakku," kata Fira sembari merapikan kerudung segitiga.

"Di umurku yang jalan dua puluh lima tahun udah memiliki dua anak laki-laki. Putra sulungku namanya Zayn Ahmad Al Khoiri dan putra bungsuku bernama Zema Abian Ahmad. Aku nikah muda pas umur delapan belas tahun. Tetap melanjutkan kuliah hingga menuju wisuda nanti. Tentang suamiku-- Mas Kirsandi, jarak umurnya dengan umurku terpaut jauh-- sepuluh tahun. Pernikahanku dengan Mas Kirsandi terbilang cukup harmonis setelah lahir putra kedua kami, Zema. Ah, cukup, ya, jadi curhat seperti ini, hehehe," sambungnya.

"Oh, iya, sekarang aku mau siapin barang yang udah dikemas rapi. Hari ini Mas Kirsandi ngajak kami berlibur ke luar kota. Enggak hanya aku dan anak-anak aja, ada Ibu, Bapak, mertua dan adik-adikku berkumpul di rumah. Kami akan liburan bersama selama lima hari. Ditunggu, ya, liburan menyenangkan keluarga kami ini. Yuk, subscribe kanal UTube Maghfira Annisa. See you next time, guys."

"Oke, udah selesai!" seru seorang pemuda berjaket biru.

Pemuda berparas mirip Fira itu mengacungkan jempol setelah merekam video Fira dengan kamera. Fira mendekati pemuda yang merupakan adik kandungnya, kemudian melihat hasil video tadi untuk diedit dan diunggah ke UTube.

Fira merangkul pemuda berhidung mancung. "Gimana, Bryan? Kakak udah keren belum jadi vlogger?"

"Siplah! Kak Fira bukan cuma keren tapi cantik kalau jadi UTube vlogger, hahaha," sanjung Bryan sembari menunjukkan rekaman video.

"Bisa aja kamu. Ta-tapi, Kakak baru pertama kali bikin vlog loh ini, takutnya hasilnya jadi aneh dan alay. Kalau kamu sih udah biasa bikin video gamers."

"Ah, pede aja kali, Kak! Dengan Kakak jadi vlogger, Kakak bisa menginspirasi banyak orang. Nanti aku bantu naikkin subscribers lewat kanal UTube aku."

"Oke deh. Ya udah, kita lanjut kemasin barang, yuk!"

"Oke, Kak!"

***

Fira berkutat menggeret beberapa koper hingga ke ruang tamu. Pandangan harap-harap cemas itu mengarah ke halaman depan di rumahnya. Belum ada tanda-tanda mobil sang suami datang. Fira sebisa mungkin tetap berpikir positif, bisa jadi Kirsandi masih dalam perjalanan atau sedang mengisi bensin untuk mobil.

Fira berbalik arah menuju ke kamar anak-anaknya dan berpas-pasan dengan pengasuh anaknya yang memberitahu bahwa sedari tadi ponsel Fira berdering. Ternyata ada panggilan masuk dari nomor telepon Kirsandi. Pengasuh anaknya itu memberikan ponsel milik Fira. Wanita beranak dua lantas berterima kasih kepada pengasuh anaknya.

Seorang pengasuh anak tadi kembali pada tugas yakni mengurus Zayn dan Zema. Ponsel Fira terus berbunyi dan lekas mengangkat telepon dari Kirsandi.

"Assalamu'alaikum, Dik Fira," sapa Kirsandi.

"Wa'alaikumsalam, Mas Kirsandi. Ada apa? Kami sudah bersiap-siap loh," kata Fira penuh semangat.

"Dik, maaf," singkat Kirsandi.

"Maaf untuk?" tanya Fira.

"Berat rasanya mau mengatakannya padamu," jawab Kirsandi.

Fira mengernyit kebingungan . "Maksudnya apa, ya, Mas?"

"Hari ini kita tunda liburan dulu, ya."

"Loh, kenapa? Mas ada tugas mendadak, ya, di luar kota."

"Bukan itu, tapi aku hari ini mau mengurus ..."

"Mengurus apa? Yang jelas dong, Mas."

"Maafin aku, selama ini aku nyembunyiin sesuatu darimu. Sejak aku punya keinginan menikah lagi itu benar. Ta-tapi, hari ini aku menceraikan dia, karena ternyata dia pengen hartaku aja. Aku menyesal Fira, ternyata hanya kamu istri yang baik dan tulus," jelas Kirsandi.

"Mas!" pekik Fira hingga menitikkan air mata. Hatinya bagai tersambar petir di pagi hari dan tangannya gemetar memegang ponsel saat mendengar ucapan Kirsandi. "Lelucon macam apa ini, Mas?"

Seorang pria setengah baya hadir di samping Fira. Beliau ayahanda Fira. Melihat putri sulungnya gemetaran dan menangis pilu, beliau langsung bertindak merebut ponsel dari tangan Fira.

"Kamu apain putri saya? Kenapa dia menangis? Bukankah hari ini kita berlibur?" tegas beliau.

"Pak Fatih. Emm, Pak, maafin saya. Saya salah, saya mengkhianati putri Bapak," ucap Kirsandi.

"Pak, biarin Fira aja yang menyelesaikan ini. Ini urusan rumah tangga Fira, Pak," rengek Fira berusaha mengambil ponsel dari tangan Fatih.

"Bapak enggak terima, kalau putri Bapak terluka untuk kesekian kalinya. Kau Kirsandi, saya udah beri kesempatan kedua dan Fira mau bertahan malah kau mengingkari lagi. Kali ini kalian harus cerai!" hardik Fatih.

"Bapak, biar Fira yang ngomong sama Mas Kirsandi, ya," mohon Fira mengiba kepada bapaknya.

"Maafkan saya, Pak. Kali ini saya benar-benar sadar bahwa Fira wanita yang baik, Pak. Saya segera pulang sekarang dan menjelaskan semuanya, Pak," kata Kirsandi. Suami Fira itu mengiba dan penuh penyesalan.

"Kamu enggak usah pulang ke rumah selamanya!" gertak Fatih.

"Pak, tolong, Pak. Beri ke-kesempatan kepada saya. Astaghfirullah!" jerit Kirsandi.

Terdengar suara benturan keras dari balik ponsel Kirsandi. Fatih dan Fira tersentak mendengar suara benturan keras itu. Entah apa yang sedang terjadi pada Kirsandi saat ini?

"Mas Kirandi baik-baik aja kan? Mas jawab aku!" jerit Fira. Hatinya kalut. Khawatir ada sesuatu yang terjadi pada Kirsandi. "Mas, kamu enggak kenapa-napa kan? Halo!"

Mendadak sambungan telepon dari Kirsandi jadi terputus. Setelah telepon dari Kirsandi tidak bersuara, Fira duduk lunglai di sofa dan terus menangis. Rasa emosi dan khawatir bercampur menjadi satu. Air mata yang semakin deras membuat matanya memerah.

Fatih menguatkan putrinya yang sedang terluka. Beliau memeluk Fira sangat erat. Seorang ayah dapat merasakan kesakitan bila putrinya menderita.

***

Waktu sudah lima belas menit, tapi masih tidak ada kabar dari Kirsandi melalui telepon. Fira berusaha mengirim pesan ke Kirsandi melalui WhetsApp tapi hanya ceklis satu. Wanita itu mencoba kembali menghubungi Kirsandi melalui telepon WhetsApp dan Acebook tapi hasilnya nihil.

Bryan berlari dengan kepanikan yang teramat. Ia bergegas menghampiri bapak dan kakaknya yang sedang duduk di sofa ruang tamu.

"Pak, Kak!" teriak Bryan membuat semua orang di rumah terkejut. Ibunda Fira dan Kirsandi, Ayahanda Kirsandi serta adik-adik Fira ingin tahu peristiwa yang menyebabkan Bryan teriak.

"Ada apa, Bryan?" tanya Fatih.

"Barusan ada telepon dari pihak kepolisian," jawab Bryan. Napasnya tersengal-sengal dengan penuh kecemasan.

"Apa yang terjadi?" desak Fatih.

"Mas Kirsandi mengalami kecelakaan. Bertabrakan lawan arah dengan truk besar pas mau menyelip di tikungan tajam. Polisi nemuin kartu nama yang ada nomer telepon rumah ini," jelas Bryan.

"Enggak mungkin! Kamu bohong kan, Bry?" Sontak Fira berdiri. Mata bulatnya kian terbelalak hingga sekujur tubuh mendadak panas dan dingin.

"Innalilahi, apa itu benar, Nak Bryan?" ujar ibunda Kirsandi sekaligus ibu mertua Fira nyaris tidak percaya dan mulai menitikkan air mata.

"Ini sungguhan Kak, Bu. Buat apa Bryan berbohong? Sekarang Mas Kirsandi dibawa ke Rumah Sakit Dr. Sardjito."

Mendengar kabar Kirsandi mengalami kecelakaan, tanpa berpikir panjang, Fira berlari mengambil kunci mobil di kamarnya. Wanita itu lantas bergegas keluar dari rumah-- menuju ke garasi mobil dengan hati yang tidak karuan. Di garasi mobil, ia langsung masuk ke dalam mobil dan menginjak gas kemudi mobil di sepanjang jalan.

Pesan Terakhir

"Ya Allah, bangunkan aku, jika ini hanyalah mimpi. Baru beberapa tahun aku merasakan ketentraman dalam rumah tangga. Meskipun aku baru saja merasakan luka kembali saat mendapat telepon darinya. Tetapi, harus aku sadari, bisa jadi ini salahku. Salahku belum menjadi istri yang baik baginya. Ya Allah, mengapa kejadian seperti ini? Ya Allah, berikan aku kesempatan untuk meminta maaf kepadanya, izinkan aku berbicara padanya. Pada suamiku. Mas, bertahanlah! Aku datang," batin Fira.

Fira terus berlari mengejar perawat yang tengah membawa suaminya ke ruang operasi. Ia tidak peduli pada sekitar yang memperhatikannya. Wajah ayu itu kini menjadi murung dan berderai air mata. Fira sekuat hati dan berharap suaminya tidak akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Tatkala tiba di ruang operasi, Fira dihadang dua perawat supaya menunggu di luar ruangan gawat darurat saja. Namun, ia bersikeras dan sempat berdebat dengan dua perawat untuk mengetahui kondisi Kirsandi. Dua perawat tampak menyerah dengan Fira yang sedang histeris. Seorang dokter keluar dari ruangan dan memberi pengertian kepada Fira agar pemeriksaan Kirsandi berjalan dengan lancar.

"Nyonya ingin suaminya baik-baik sajakan?" tanya dokter menegaskan.

"Iya! Ta-tapi ..." Ucapan Fira belum selesai.

Dokter itu memotong pembicaraannya. "Ya, sudah, biarkan kami menanganinya dan Nyonya banyak berdoa saja. Kalau ada kabar baik darinya, kami segera sampaikan kepada Anda."

Dokter itu membalikkan badan dan kembali ke dalam ruang operasi bersama dua perawat tadi. Sementara hati Fira kalut dan pilu beradu menjadi satu. Air mata membanjiri dua pipinya. Hatinya benar-benar diselimuti rasa duka.

Fira duduk di depan ruang gawat darurat. Saking pilunya, ia menutupi wajah dengan kedua telapak tangan. Tidak bisa terbendung kesedihan yang dirasakannya. Tubuhnya seketika gemetaran hingga sempoyongan. Setiap orang yang lewat di sana merasa iba melihat tingkah Fira seperti itu.

Sudah dua puluh menit, belum ada tanda apapun dari dalam ruangan pemeriksaan. Meski tangisan Fira mulai mereda, tapi hatinya masih cemas. Wanita bergamis cokelat itu terus menatap jam dinding di rumah sakit. Ia masih menunggu kabar dari dokter saat keluar dari ruang operasi nanti. Berharap Kirsandi tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Terlihat keluarga Fira dan Kirsandi berjalan di sepanjang koridor rumah sakit untuk menghampiri Fira. Di antara itu, ada dua anak laki-laki. Wajah polos dua bocah laki-laki itu menampakkan kesedihan atas insiden yang menimpa ayahnya. Melihat sang mama tampak sangat gelisah, dua anak laki-lakinya lantas menghampiri Fira.

Si bungsu, Zema yang masih satu tahun sedang belajar jalan juga ikut lari kecil bersama sang kakak, Zayn yang berusia lima tahun.

Fira mendongak. Sorotan mata itu sayu menatap kepada dua putranya. Ia menyambut Zayn dan Zema dengan pelukan hangat. Zayn dan Zema juga membalas pelukan dari mamanya.

Tangisan Fira menjadi pecah, ratapan hatinya tidak karuan. Dua anak laki-laki tadi juga ikut menangis dan merasakan duka yang dirasakan mamanya. Di tengah-tengah mereka, keluarga juga merasakan duka, meminta Fira untuk tetap tenang dan sabar.

"Gimana keadaan Ayah, Ma?" tanya putra sulungnya sembari menyeka air mata di pipi mamanya.

"Mama tidak tahu. Mama hanya bisa berserah diri kepada Allah," jawab Fira kembali terisak-isak.

Bryan mendekat dan memeluk kakaknya yang dirundung kesedihan. Pemuda itu merogoh saku untuk mengambil sebuah tasbih kemudian diberikan kepada Fira.

"Tenangkan hati Kak Fira. Aku bawain tasbih buat Kakak. Saat ini, Kakak butuh pertolongan dari Allah. Yang bisa menolong Mas Kirsandi sekarang hanya Allah melalui perantara dokter," ujar Bryan membelai kepala Fira yang berbalut kerudung.

"Maafkan ucapan Bapak. Bapak menyesal, ucapan Bapak di telepon tadi benar-benar keterlaluan, menjadikan Kirsandi mengalami kecelakaan seperti ini," ucap Fatih mendekati putrinya, kemudian menyeka air mata yang membasahi pipi putrinya.

"Bapak enggak salah, mungkin ini sudah tertulis, Pak. Jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu. Sekarang doakan Mas Kirsandi agar lekas membaik," ucap Fira sesenggukan.

Fatih merangkul putri sulungnya dengan penuh kasih. "Iya, Nak."

***

Seorang dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Mata sang dokter itu sangat tegang. Ia pelan-pelan menghampiri Fira seakan ada sesuatu yang harus disampaikan tentang kondisi Kirsandi. Fira bergegas menghampiri dokter itu. Ia sudah tidak sabar ingin mendengar kondisi suaminya sekarang.

Dokter dan Fira saling berhadapan, dokter tidak bisa menyembunyikan wajah yang tegang dan murung. Pria berkacamata bening itu sesekali menggelengkan kepala. Sepasang mata Fira yang bulat itu masih menyisakan genangan air mata. Berharap masih ada keajaiban untuk suaminya. Kirsandi.

Dokter sesekali menghela napas sebelum berbicara kepada Fira lantas bertanya, "Anda istrinya 'kan?"

"Iya, saya istrinya. Bagaimana kondisi suami saya, Dok?" ujar Fira berbalik tanya ke dokter.

"Suami Anda sudah siuman. Saat ini dia ingin berbicara penting kepada Anda. Ta-tapi, kemungkinan dia akan ..."

"Alhamdulillah, di mana Mas Kirsandi? Saya akan bertemu dengannya." Tanpa mendengar penjelasan dokter sampai selesai, Fira langsung menemui Kirsandi di dalam ruang operasi.

"Nyonya itu," geram dokter seraya menepuk jidat lantas berkata, "saya belum selesai berbicara, justru dia langsung menemui suaminya. Padahal suaminya sedang sekarat kemungkinan besar akan menemui ajalnya."

"Mas Kirsandi!" sapa Fira senang menemui suaminya sembari memeluknya. "Alhamdulillah, Mas sudah siuman, aku jadi senang. Pasti Zayn dan Zema ikut senang jika Ayahnya baik-baik saja."

Fira melepas pelukan dan senyum merekah melihat Kirsandi sudah siuman. Berbeda dengan Kirsandi hanya datar dan pucat, tidak berdaya di atas kasur.

"Aku sedang tidak baik-baik saja, Dik Fira," kata Kirsandi bersuara serak basah.

"Mas enggak boleh ngomong gitu. Semangat! Mas, percayalah aku sudah memaafkanmu. Justru aku yang minta maaf, aku belum bisa jadi istri yang baik untuk Mas."

Mimik wajah yang tadinya senang karena Kirsandi siuman, kini Fira merasa menyesal seraya menggenggam tangan Kirsandi.

"Justru aku yang minta maaf padamu karena selalu melukai perasaanmu. Aku belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Pun belum bisa menjadi Ayah yang baik untuk anak-anak," lirih Kirsandi di tengah masa sekarat. Napasnya terasa sesak di dada itu masih bisa membelai pipi Fira yang basah karena air mata.

"Mas, bicara apa sih?" tanya Fira.

"Dengarkan aku dulu, sepertinya aku tidak akan lama lagi. Tolong, jaga anak-anak dengan baik. Jadilah Mama yang kuat dan baik untuk anak-anak. Bahagiakan dua anak kita. Aku yakin kamu orang kuat dan penuh kasih sayang," jawab Kirsandi.

Fira mendesis, "Mas ..."

"Satu lagi, untuk menembus rasa bersalahku padamu, aku sudah ikhlas jika kamu menikah lagi dengan pria lain. Aku tahu, di surga kelak, kita tidak bisa bersama, tapi kamu pasti bersama dengan suamimu nanti. Kamu adalah wanita baik dan pantas mendapatkan laki-laki yang baik pula. Bukan seperti aku yang selalu menyakitimu. Kamu dan anak-anak berhak bahagia bersama laki-laki yang akan menjadi imam kalian kelak. Titip anak-anak. Aku yakin ada seorang yang akan membahagiakanmu dan anak-anak."

"Mas, kenapa bicara seperti itu? Aku ingin bersamamu, kita perbaiki rumah tangga dengan cinta lagi. Membentuk keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Jangan berbicara yang tidak-tidak, Mas!"

"Sudahlah, itu pesan terakhirku. Dan, sekarang ... uhuk, uhuk, uhuk." Kirsandi menutup mulut dengan tangan kanannya hingga darah mengalir keluar dari mulutnya.

Fira seketika mengambil tisu dan membersihkan darah dari mulut Kirsandi. "Mas, ya Allah, kenapa mulut Mas keluar darah banyak? Mas pasti bisa sehat, ya. Semangat!"

"Fira, tolong bantu aku mengucapkan dua kalimat syahadat," pinta Kirsandi.

Fira berupaya pikiran positif. "Mas, Mas pasti bisa sembuh!"

"Kamu istri yang paling baik. Tolonglah!"

Fira mendekat ke telinga kanan Kirsandi. Batinnya kian pilu saat Kirsandi ingin dibantu mengucapkan dua kalimat syahadat. Fira mulai mengembun hingga kembali membasahi pipi. Genggaman kedua tangan dua sejoli begitu erat. Hati terasa berat untuk meninggalkan dan ditinggalkan selamanya.

Walaupun rumah tangga mereka sempat diterpa prahara, tapi mereka juga pernah merasakan manisnya cinta. Firasat Fira sudah terasa pasti sebentar lagi Allah akan menjemput sang suami. Separuh jiwanya akan menemui Sang Illahi. Mau tidak mau, ia harus berlapang dada atas suratan takdir ini.

Pada saat Fira membantu mengucapkan dua kalimat syahadat, Kirsandi pun mengikuti. Mengucapkan dua kalimat syahadat itu belum sampai selesai, Kirsandi perlahan memejamkan dua mata. Alat pendeteksi jantung pun mulai menunjukkan jika jantung Kirsandi sudah tidak ada kehidupan.

Fira memekik memanggil dokter. Dua dokter dibantu tim perawat segera mengecek detak jantung dan denyut nadi Kirsandi. Takdir berkata lain, Allah lebih sayang Kirsandi. Salah seorang dokter menggelengkan kepala, menandakan kondisi Kirsandi sudah tiada.

"Maaasss!" teriak Fira semakin histeris hingga suaranya menggema luar ruangan.

***

Yuk, dukung terus novel Energy Of Love 1 dan 2 karya Famala Dewi ini. Bagaimana cara dukungnya? Dengan cara sukai (like), vote, dan kasih rating (bintang 5). Rekomendasikan novel Energy Of Love 1 dan 2 ini ke keluarga, sahabat dan kerabat kalian, ya. Kamsahamnida. Saranghaeyo.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!