Anti Fi Qolby Daiman

Anti Fi Qolby Daiman

Chapter #1

Menggapaimu bagaikan menggapai awan. Semakin kudekati semakin menjauh.

__________

Hari Senin adalah hari yang paling Artha benci. Karena di hari Senin ia harus merelakan tubuhnya tersengat matahari yang menyengat. Apalagi untuk disuruh terus tegap, sungguh itu sangat menyiksa. Belum lagi mendengar ceramahan papanya setiap mendapat bagian untuk menyapaikan sepatah dua patah kata di tengah upacara. Bilangnya si, "saya enggak banyak-banyak," tapi apa, 30 menit lewat kalau dia sudah ceramah.

"Ma, Artha telat ke sekolah niat dari rumah bisa enggak sih? Males, Ma, dijemur di lapangan."

Mama Artha menggeleng. "Ada-ada saja kamu Artha, coba Mama tanya sama Papa, ya, siapa tahu kamu diizinin."

Baru satu langkah Mamanya melangkah Artha langsung menahannya, kalau berurusan dengan papanya bisa-bisa pagi ini ia akan mendapat ceramahan dua kali, di rumah dan di sekolah.

"Enggak usah, Ma, Artha bercanda kok, yaudah Artha otw dulu, bye."

"Bye, hati-hati di jalan, ya."

"Siap."

Motor tercintanya yang sudah megikuti berbagai keluh kesah dalam hidupnya sudah terpampang di depan pintu. Sudah pasti Mamanyalah yang memanaskan motornya itu. Artha sedikit ngeyel kalau disuruh untuk memanaskan motor, hal sepele itu bisa membuahkan suatu kejadian luar biasa yang tidak dapat diketahui oleh siapacpun kalau tidak dilaksanakan.

***

Sesampai di sekolah Artha langsung belok ke arah kantin. Bukan untuk makan tapi untuk merokok di belakang kantin. Siapa yang bisa melarangnya. Tidak akan ada yang berani, untuk mengadu kepada papanya pun ia yakin tidak ada yang berani.

Sekali terkena masalah dengan Artha maka berlarut-larutlah sebuah hal yang tidak diinginkan terjadi pada orang yang mencari masalah itu. Siapa yang tidak kenal Artha kalau sudah marah. Pisau dan tombak pun berani ia bawa untuk segera mentikam orang yang mencari masalah dengannya.

"Tha?"

"Hmm."

Dia Rio teman dekat Artha sejak SD. Laki-laki berkulit putih kemerahan itu sangat setia mengintil Artha kemana pun. Orang-orang menyebutnya buntut Artha, karena kemana pun Artha pergi pasti ada dia.

"Bokap udah dateng, matiin udah tuh rokok, ketawan bisa digantung lo di tiang bendera."

Artha langsung mematikan rokok yang sebelumnya menyala. Ia langsung menyemprot bajunya dengan parfume yang tidak pernah absen ia bawa untuk menghilangkan bau asap rokok di bajunya. Dia langsung melangkah ke kelas, tas masih setia ia gemblok.

"Pagi, Tha."

Artha tidak melirik sedikit pun. Dia malah memutar bola matanya malas. Yang menyapanya itu Anya. Perempuan yang wajahnya mirip barby saja tidak dilirik sama dia, tidak kebayang yang tipe-tipe masih ingusan lagi makan bakso.

"Pagi juga, Nya."

Jawaban itu bukan berasal dari mulut Artha, tetapi dari mulut Rio yang masih setia mengintil Artha di belakangnya.

Anya hanya tersenyum simpul sambil melambaikan tangan kepada Rio. Anya itu perempuan ramah, dia mudah akrab dengan siapa saja. Selama hidupnya ia belum pernah pacaran, di saat dia suka sama laki-laki, laki-laki itu malah cuek bebek. Ibarat cat yang sudah kering dikerokin, bakal tetap menyisa secercah-dua cercah. Sekali pun ditimpali dengan warna lain, warna cat yang sebelumnya masih tetap membekas di dalam. Begitulah yang Anya rasakan saat ini.

"Anya kasian ege, Tha, lu tega amat. Emang dia kurang apaan sih? Gila cantiknya, cewek idaman banyak cowo, apa lu enggak sama sekali terpesona gitu, Tha?"

Artha tidak menjawab ucapan Rio. Dia malah sibuk mengotak-ngatik ponselnya yang beberapa kali bergetar.

"Siapa sih?"

Artha menggedikkan bahu. "Ada yang bom chat gua, tapi gua enggak tau siapa, gua blok aja lah bodo amat."

Rio hanya menggeleng. Temannya ini memang rada-rada. Tingkat kecuekannya itu sudah sulit dideskripsikan. Anak itu selain keras kepala dia juga tidak suka direcoki urusannya, yang ada bonyok muka kalau amuknya kumat.

Di kelas XI IPS 3 ini anak-anaknya rada kurang ajar. Guru sudah datang mereka malah masih asik dengan kesibukannya masing-masing. Apalagi yang ngajar itu guru yang tidak bisa ngomel, bisa-bisa nangis guru itu, dan lagi-lagi kelas itu akan mendapat hukuman menyapu halaman bersama.

"Artha yang lain sudah mulai kondusif kamu bisa enggak ponselnya ditaruh dulu."

"Tha udah taro napa, kasian Bu Moza, dia lagi hamil ege, kalo kekeselan dia brojol di mari, kan, bahaya. Hukumannya bukan nyapu lapangan lagi, bisa-bisa jalan raya."

Artha tidak menggubris ucapan siapa pun. Dia masih asik mendengar musik favoritnya menggunakan earphone.

"Udah, Bu, lanjut aja, biarin si Artha mah kaga mau belajar dia," ucap Rio.

Plak...

"Lu mau ngajak gulet? Gua mau belajar."

"Eh i ... iya sorry elah."

Semua cekikian menertawakan Rio yang wajahnya sudah memelas.

Artha langsung melepas earphone dari telinganya dan memasukan ponselnya kedalam saku. Dia mengeluarkan satu buku tulis dan satu buku LKS. Bu Moza bernapas lega, ia tidak harus menahan kesal untuk kesekian kalinya menghadapi anak Kepala Sekolah ini.

Baru sepuluh menit mendengarkan Bu Moza menjelaskan rumus-rumus Matematika Artha sudah kewalahan mendengarnya. Dia memilih melipat tangan di atas bangku dan terlelap menemui mimpi indahnya.

Lagi-lagi Bu Moza hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kali ini Rio tidak berbicara apa-apa, setan Artha banyak kalau lagi ngatuk, bisa-bisa kepalanya benjol pulang dari sekolah. Marwan yang mempunyai jabatan Ketua Kelas saja tidak berani, apalagi dia yang jabatannya cuma buntut Artha.

***

"Tha-tha, lu mau ke kantin enggak? Nanti kalo gua enggak bangunin kena dampratnya gua pulang sekolah."

Artha menggeliat, matanya memerah layaknya orang baru bangun tidur. Bukannya menunggu Rio dia malah langsung ngacir begitu saja.

Rio mengepalkan kedua tangannya sambil menampakkan wajah kesal khas cewek habis disakitin cowok

***

Rio mengedarkan kepalanya mencari di mana si Artha duduk, kepadatan kantin bikin kepalanya muter-muter, pengen jambak rambut sendiri rasanya, tapi sayang sakit.

Plak...

Sedotan es mengenai muka Rio, baru saja ingin memaki orang yang melemparnya tetepi tidak jadi saat tahu siapa yang melempar.

"Gua muter-muter cari lu eh taunya ada di belakang gua."

Artha hanya tersenyum miring, dia tidak sendiri, ada dua laki-laki dari kelas lain yang ikut duduk bersamanya. Namanya John dan Angga, mereka teman nongkrong Artha selama di SMA.

"Gua udah pesen tuh buat lu, lu berdua temenin Rio makan, gua mau ke toilet."

"Terima kasih banyak Arthaku, hati-hati dicegat cabe-cabean."

Artha tidak menggubris ucapan Rio, dia terus melangkah menuju tujuannya.

"Tha ... Tha ...."

Artha sudah sangat kenal siapa pemilik suara itu. "Paan?"

Anya sangat bahagia ketika Artha menggubrisnya walau dengan jawaban malas-malasan.

"Malem ini acara ulang tahun Ega, kamu mau enggak nemenin aku dateng ke sana?"

"Rio aja." Dia langsung ngacir tanpa kata permisi.

Senyuman yang sebelumnya terukir indah kini luntur kembali. Anya menghentakkan kakinya di lantai.

Lagi serius jalan tiba-tiba Artha menginjak lantai basah yang sedang dipel oleh seorang perempuan, dia terpelesat dan bodohnya dia malah memegang lengan perempuan itu hingga pelan yang digenggam perempuan itu mental entah kemana.

"Astaghfirullah," desis perempuan itu sebelum akhirnya dia jatuh di pelukan Artha.

Baju putih mereka langsung kotor, seketika tempat kejadian riuh dikerumuni banyak orang.

"Syahla!" Teriakan itu berasal dari lorong bagian kanan. Perempuan yang baru saja datang itu langsung membantu perempuan yang terjatuh untuk bangun.

"Ya Allah, Syahla, ada yang sakit enggak? Mana baju kamu kotor lagi, Syah."

Perempuan bernama Syahla itu hanya bisa menunduk, ada suatu hal yang berhasil membuatnya benar-benar rapuh. Ia sudah sekuat tenanga menjaga diri agar tidak akan ada orang yang bukan makhramnya menyentuh tubuhnya, tapi suatu kejadian yang tidak ia harapkan malah terjadi, dan itu terjadi di depan banyak orang. Saat ini hatinya benar-benar sakit.

"Syah?"

"Kamu nangis?"

Syahlah tidak menjawab apapun, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan kerumunan yang tercipta saat ini.

"Lu tuh ya, lu udah ngerusak hal yang Syahla udah jaga ketat, jahat lu!" ucap Husna teman Syahla sebelum akhirnya ia pergi untuk mengejar Syahla.

Artha diam sesaat. "Bubar, damn!" gentak Artha seraya bangkit.

***

Artha masih memikirkan apa yang diucapkan oleh Husna tadi. Hal apa yang membuat dia dibilang merusak hal yang sudah Syahla jaga ketat. Apa hal yang membuat dia dibilang jahat. Perasaan cuma jatuh, dan itu pun tidak sengaja. Itu hal biasa yang memang sering terjadi.

"Gua kayaknya harus minta maaf sama tuh cewek." Entah dari mana datangnya ucapan itu hingga bisa keluar dengan lancar dari mulut Artha yang sebelumnya anti meminta maaf.

"Lu yakin?" tanya Rio yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Artha.

Artha mengangguk. "Namanya Syahla, anak XI IPA 1, suruh dia ke kantin pas istirahat kedua, kalo lu enggak bisa bawa dia ke kantin, dua minggu lu enggak masuk sekolah."

Rio menelan salivanya dalam-dalam sebelum ia mengangguk setuju.

Seperti sebelumnya Artha menghabiskan dua jam pelajaran dengan tertidur. Pak Mahmud yang notabe-nya masih guru baru bisa berbuat apa, salah ngomong bisa kena imbasnya dari mamanya Artha, istri dari Kepala Sekolah yang terkenal memiliki ucapan pedas.

"Tha, udah istrahat ke dua nih, jadi enggak nih mau minta maaf sama siapa tadi, Syahla."

Mata Artha langsung terbuka. "Lu cari sonoh gua nanti tunggu di bangku biasa."

Sejurus kemudian Rio benar-benar pergi meninggalkan kelas untuk mencari wanita penghuni kelas XI IPA 1 yang bernama Syahla. Semoga saja wanita itu memiliki hati nurani untuk mengasihaninya agar tidak patah tulang.

"Kebetulan, Wis, Wisma, budeg sia." Rio langsung berlari mendekat ke arah Wisma si Ketua Kelas XI IPA 1.

"Gua mohon tolongin gua, bilang si Syahla temen satu kelas lu, suruh nemuin si Artha yang di istirahat pertama bikin dia jatoh, usahain gua mohon, masa lu tega lihat temen satu kampung lu patah tulang sama anak itu. Ya?"

Wisma tertawa. "Bloon, udah lu temuin Artha sono, biar urusan si Syahla gua yang urus, diamah gampang."

Rio tersenyum lega, dengan napas teratur ia berbalik arah untuk menemui Artha di kantin.

***

Walaupun cukup lama menunggu, Wisma akhirnya berhasil membawa Syahla ke kantin. Entah jurus apa yang Wisma keluarkan untuk membujuk si Syahla.

Syahla tidak datang sendiri dia bersama temanya, Husna. Syahla hanya menunduk sementara Husna malah menatap tajam ke arah Artha dan Rio bergantian.

"Gua Artha."

"Udah pada kenal kali, lu, kan, anak paling nakal di sekolah."

Coba saja kalau niatnya bukan untuk meminta maaf sudah ia unyeng-unyeng si Husna.

"Gua cuma mau minta maaf."

Kini Syahla berani mengangkat wajahnya. "Laki-laki gak jantan." Sejurus kemudian dia malah pergi begitu saja tanpa pamit.

"Syahla doanya maqbul lu, bisa aja lu beneran jadi bencong, makanya jantan dong, minta maaf tuh samperin bukan malah nyuruh nyamperin, udah tau situ yang salah. Mentang-mentang kedudukan tinggi, gua juga bisa ya naek meja biar tinggi." Setelahnya Husna ngacir mengejar Syahla.

"Gua pendem di adonan ketapang lama-lama tuh cewek biar bibirnya keras," gerutu Artha.

***

Entah mengapa sampai pulang sekolah Artha masih memikirkan kata-kata yang diucapkan Husna dan Syahla. Sebenarnya ada apa pada dirinya, biasanya ia enggan memikirkan kesalahannya.

"Tha, tadi kamu jatoh, ya? Ada yang sakit enggak?" Anya yang tiba-tiba datang, ia langsung mengelilingi Artha.

"Enggak usah sok perduli, gua enggak suka lo perduliin."

Kata-kata Artha sangat menusuk. Anya merasa saat ini hatinya seakan dihantam beton, sesak, ia benar-benar tidak kuat merasakan semua ini. Apa yang harus ia lakukan agar Artha bisa meliriknya, meladeninya dengan baik, dan tentunya bisa jadi miliknya.

Di pertengahan jalan menuju rumahnya Artha dicegat oleh bapak-bapak, dia sebelumnya enggan untuk berhenti, terurungkan saat ada seorang wanita berkerudung tergelepak di tanah dengan darah mengalir di bagian kaki kanannya.

"Dek, anak SMA Oetomo, kan? Nih temannya ada yang jatuh dari motor kasihan, kakinya berdarah, lukanya enggak berat tapi dia masih lemes, lah orang dia hampir aja mau ketabrak kontener."

Artha langsung turun dari motornya untuk melihat siapa yang jatuh dari motor. Matanya memicing saat melihat wanita yang baru saja ia suruh menemuinya di kantin kini sedang tergelepak lemas sambil terus menangis.

"Lu ikut gua." Artha langsung menaikan Syahla ke atas motornya. Mata Syahla terus menutup ia tidak berani membuka mata. Ia turuti apa yang dititah, ia merasa saat ini sedang berada di tengah hidup dan mati.

"Pak, tolong dijagain motornya, temen saya bakal ngambil motor itu ke sini."

Sesampai di rumah sakit Syahla langsung di tangani. Ketika kakinya sudah diperban dan dia sudah lebih baik Artha masuk ke dalam ruangan. Syahlah sangat terkejut dengan kehadiran Artha, ia tidak tahu kalau Arthalah yang membawanya sampai rumah sakit. Ia seolah tidak ingat dengan apa yang terjadi tadi.

"Kok kamu ada di sini?"

Bukannya menjawab Artha malah diam saja.

"Motor lu ada di parkiran belakang, gua mau pulang."

Sejurus kemudian Artha benar-benar hilang dari pandangan. Syahla masih bingung bagaimana bisa ia ada di rumah sakit bersama Artha. Otaknya berputar mengingat kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu.

"Lu ikut gua." Artha langsung menaikan Syahla ke atas motornya. Mata Syahla terus menutup ia tidak berani membuka mata. Ia turuti apa yang di titah, ia merasa saat ini sedang berada di tengah hidup dan mati.

"Pak, tolong dijagain motornya, temen saya bakal ngambil motor itu ke sini."

"Berarti yang nolong aku Artha? Artha nyentuh aku? Ya Allah ...."

"Bunda, maafin Syasya enggak bisa nepatin janji, Syasya benar-benar enggak niat melakukan ini semua, bunda, maafin Syasya."

***

Syahla pulang dijemput Syakib kakak kandungnya. Ia mengabari kakaknya kalau ia baru saja mengalami kecelakaan ringan dan saat ini ia berada di RS. Mawar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.

"Kamu gimana naik motornya, Sya, sampe bisa nyusruk gitu? Enggak kebayang kalo kontener itu remnya peret, kegores udah tubuh kamu, masih mending kegores kalo lewat, wallahu 'alam kita enggak bisa ketemu lagi di dunia."

"Kakak mah bukannya bantu nenangin aku biar shock-nya ilang malah bikin aku tambah shock."

"Lagian kamu ceroboh."

Syahla mengerucutkan bibirnya.

"Ke apotek dulu, ya, abba sakit."

"Sakit apa, Kak? Kakak kok enggak ngabarin Syasya kalo abba sakit, Kakak mah jahat."

"Ini kan kita baru ketemu, Sya, et, Kakak rendem di danau sekalian nih anak."

"Ih Kakak ...."

Syahla memilih untuk menunggu di motor saja. Apotek itu Ac-nya dingin, Syahlah paling tidak suka dingin. Sudah gitu aroma obat-obatan sangat mencuak di indra penciuman, itu sangat mengganggu bagi Syahla.

Syahla yang sebelumnya sibuk memutar-mutar sepion kini beralih pandang ke arah pintu apotek. Ia memicingkan matanya, ia seperti tidak asing dengan orang itu, dan benar ia mengenal orang itu.

"Itukan Artha, kenapa ya aku jadi berurusan terus sama dia, aku gondok banget sama dia, seandainya aja aku boleh nampol, udah aku tampol dia sampe babak belur, tapi sayang aku enggak bisa nampol, bisa-bisa aku yang ditampol."

"Apaan, Sya? Kamu habis di tampol orang?"

"Eh, Kakak, enggak itu tadi Syasya lagi kesel sama orang."

"Jangan terlalu kesel, rasa kesel bisa jadi suka. Dari kata suka jadi cinta, kalo udah cinta susah buat ngelupain kalo emang enggak punya pengganti yang mahir membuat kamu lupa cinta kamu sebelumnya."

Syahla menggaruk telungkuknya yang tidak gatal, malas berbincang panjang mengenai cinta Syahla lebih memilih untuk mengangguk saja.

***

Artha benar-benar bingung kenapa hari ini dia sangat sering berurusan dengan Syahla. Jujur saja ia baru pertama kali melihat sosok Syahla, sebelumnya ia mengira Syahla anak baru tapi ternyata tidak. Selama kelas sepuluh ia tidak pernah bertemu dengan Syahla sekali pun. Tapi sekali berurusan dengan dia karena membuat dia jatuh kepelukannya hari ini dia benar-benar bertemu Syahla terus.

"Mungkin dia lagi beli obat," pikirnya lalu pergi begitu saja.

Langkah Artha berhenti saat ia melihat ada laki-laki yang menghampiri Syahla. Syahla terlihat salah tingkah saat laki-laki itu datang.

"Ternyata dia udah punya pacar, pantes waktu gua tatap di kantin kaga baper sama sekali, malah nunduk aja." Artha tersenyum miring. "Tipe wanita setia." Setelahnya ia benar-benar pergi.

Artha ke apotek untuk membeli pil tambah darah, sudah satu minggu ini darahnya mengurang drastis, dia malas kalau bilang kepada mamanya, bisa-bisa dibawa ke Rumah Sakit terus disuruh nginap di sana, terus dimanja-manja, Artha tidak suka diperlakukan terlalu baik.

"Tha, kok pulangnya telat dua jam, kamu dari mana?" Cegat Mama Artha di depan pintu.

"Ada urusan, Ma." Sejurus kemudian dia langsung nyelonong ke kamarnya.

"Dari mana tuh si Artha, Ma? Biar Papa hukum anak itu pulang sekolah malah main dulu, bukannya pulang."

"Enggak usah, Pa, si Artha habis belajar kelompok kok," alibi sang Mama demi menyelamatkan Artha dari amukan Papa.

Papa menghembuskan napas lega. "Buatkan Papa teh hangat ya, Ma."

Mama Artha tersenyum sambil mengangguk. Setelah Papa pergi ke kamar di dalam hati Mama bersyukur Papa percaya.

***

"Syahla itu anak kedua dari dua bersaudara kata Wisma, denger-denger sih katanya dia enggak punya ibu, udah meninggal, gua cuma tau itu, selebihnya lu cari tau sendiri ajalah."

Tut ... tut ....

"Kurang ajar si Rio, main putusin aja tuh sambungan telepon."

Artha memang memerintahkan Rio untuk mencari tau siapa Syahla. Entah mengapa ia ingin tahu banyak tentang Syahla. Baru kali pertama Artha kepo dengan seorang wanita, apalagi wanita itu baru dia kenal.

"Gua ini kenapa sih? Sejak kapan gua belajar kepo, cuma gara-gara ocehan si mulut mercon kalo gua udah ngerusak apa yang si Syahla jaga, gua jadi pengen tau apa makna itu sebenernya."

"Tha, besok tante Devi mau nikahan, kamu libur dulu mau? Biar Mama yang minta izin sama papa."

Biasanya Artha akan langsung mengangguk senang, entah mengapa ia tidak bergairah untuk libur besok. Ada sesuatu yang harus ia perjelas agar ia bisa hilang dari rasa kepo ini.

"Gak ah, Ma, Artha mau sekolah aja."

"Tumben, biasanya kamu langsung ngangguk sambil bilang, makasih Mama."

Artha hanya nyengir kuda.

"Mama besok berangkat pagi-pagi, nanti Mama siapin dulu sarapan buat kamu, Mama sama papa sekarang mau cari kado buat tante Devi."

"Yaudah hati-hati."

Saat Mamanya keluar kamar Artha loncat di kasur. "Akhirnya papa pergi, gua bisa bebas ngerokok dalem rumah."

Mata dia benar-benar ngantuk. Bagi Artha tidur siang adalah sebuah kewajiban, siapa yang berani mengganggu tidur siangnya akan terkena imbas. Tapi tergantung orangnya sih, kalau yang ganggu papanya, mana berani dia.

____

Novel ini sudah tersedia trailer ya.

Format pencarian: TRAILER Anti Fi Qolby Daiman Aidahlia.

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

😂😁

2024-09-20

0

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

Assalamu'alaikum
mampir and salken

Anty aidhon fii qolby daaiman, thor😍☺

2024-09-13

0

Norayolayora

Norayolayora

what? di gantung di atas tiang bendera?
mo on maap, kok jadi horor yah

2021-03-19

1

lihat semua
Episodes
1 Chapter #1
2 Chapter #2
3 Chapter #3
4 Chapter #4
5 Chapter #5
6 Chapter #6
7 Chapter #7
8 Chapter #8
9 Chapter #9
10 Chapter #10
11 Chapter #11
12 Chapter #12
13 Chapter #13
14 Chapter #14
15 Chapter #15
16 Chapter #16
17 Chapter #17
18 VISUAL
19 Chapter #18
20 Chapter #19
21 Chapter #20
22 Chapter #21
23 Chapter #22
24 Chapter #23
25 Chapter #24
26 Chapter #25
27 Chapter #26
28 Chapter #27
29 Chapter #28
30 Chapter #29
31 Chapter #30
32 Chapter #31
33 Chapter #32
34 Chapter #33
35 Chapter #34
36 Chapter #35
37 VISUAL
38 Chapter #36
39 Chapter #37
40 Chapter #38
41 Chapter #39
42 Chapter #40
43 Chapter #41
44 Berteman
45 Chapter #42
46 Chapter #43
47 Chapter #44
48 Chapter #45
49 Chapter #46
50 Chapter #47
51 Chapter #48
52 Chapter #49
53 Chapter #50
54 Chapter #51
55 Chapter #52
56 Chapter #53
57 Chapter #54
58 Chapter #55
59 Chapter #56
60 Chapter #57
61 Chapter #58
62 Chapter #59
63 Chapter #60
64 Chapter #61
65 Pengumuman
66 Chapter #62
67 Chapter #63
68 Chapter #64
69 Chapter #65
70 Chapter #66
71 Chapter #67
72 Chapter #68
73 Chapter #69
74 Chapter #70
75 Chapter #71
76 Chapter #72
77 Chapter #73
78 Chapter #74
79 Chapter #75
80 Chapter #76
81 Chapter #77
82 Chapter #78
83 Chapter #79
84 Chapter #80
85 Chapter #81
86 Chapter #82
87 Chapter #83
88 Chapter #84
89 Chapter #85
90 Chapter #86
91 Chapter #87
92 Chapter #88
93 Chapter #89
94 Chapter #90
95 Chapter #91
96 Chapter #92
97 Chapter #93
98 Chapter #94
99 Chapter #95
100 Chapter #96
101 Chapter #97
102 Chapter #98
103 Chapter #99
104 Chapter #100
105 Chapter #101
106 Chapter #102
107 Chapter #103
108 Chapter #104
109 Chapter #105
110 Chapter #106
111 Chapter #107
112 Chapter #108
113 Chapter #109
114 Chapter #110
115 Chapter #111
116 FREE
117 ENDING
118 Trailer Rilis
119 Komentar Favorit Author
120 Info
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Chapter #1
2
Chapter #2
3
Chapter #3
4
Chapter #4
5
Chapter #5
6
Chapter #6
7
Chapter #7
8
Chapter #8
9
Chapter #9
10
Chapter #10
11
Chapter #11
12
Chapter #12
13
Chapter #13
14
Chapter #14
15
Chapter #15
16
Chapter #16
17
Chapter #17
18
VISUAL
19
Chapter #18
20
Chapter #19
21
Chapter #20
22
Chapter #21
23
Chapter #22
24
Chapter #23
25
Chapter #24
26
Chapter #25
27
Chapter #26
28
Chapter #27
29
Chapter #28
30
Chapter #29
31
Chapter #30
32
Chapter #31
33
Chapter #32
34
Chapter #33
35
Chapter #34
36
Chapter #35
37
VISUAL
38
Chapter #36
39
Chapter #37
40
Chapter #38
41
Chapter #39
42
Chapter #40
43
Chapter #41
44
Berteman
45
Chapter #42
46
Chapter #43
47
Chapter #44
48
Chapter #45
49
Chapter #46
50
Chapter #47
51
Chapter #48
52
Chapter #49
53
Chapter #50
54
Chapter #51
55
Chapter #52
56
Chapter #53
57
Chapter #54
58
Chapter #55
59
Chapter #56
60
Chapter #57
61
Chapter #58
62
Chapter #59
63
Chapter #60
64
Chapter #61
65
Pengumuman
66
Chapter #62
67
Chapter #63
68
Chapter #64
69
Chapter #65
70
Chapter #66
71
Chapter #67
72
Chapter #68
73
Chapter #69
74
Chapter #70
75
Chapter #71
76
Chapter #72
77
Chapter #73
78
Chapter #74
79
Chapter #75
80
Chapter #76
81
Chapter #77
82
Chapter #78
83
Chapter #79
84
Chapter #80
85
Chapter #81
86
Chapter #82
87
Chapter #83
88
Chapter #84
89
Chapter #85
90
Chapter #86
91
Chapter #87
92
Chapter #88
93
Chapter #89
94
Chapter #90
95
Chapter #91
96
Chapter #92
97
Chapter #93
98
Chapter #94
99
Chapter #95
100
Chapter #96
101
Chapter #97
102
Chapter #98
103
Chapter #99
104
Chapter #100
105
Chapter #101
106
Chapter #102
107
Chapter #103
108
Chapter #104
109
Chapter #105
110
Chapter #106
111
Chapter #107
112
Chapter #108
113
Chapter #109
114
Chapter #110
115
Chapter #111
116
FREE
117
ENDING
118
Trailer Rilis
119
Komentar Favorit Author
120
Info

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!