Setiap cobaan ada batas waktunya dan setiap waktu pasti ada cobaannya.
_________
Syahla terkejut saat mendengar suara teriakan pak Natha, Kepala Sekolahnya. Saat ia menoleh ke sumber suara, sungguh pemandangan yang sama sekali tidak ia inginkan. Ada Artha berdiri tepat di samping lapangan di mana saat ini ia berada. Mengapa ia harus bertemu terus dengan Artha. Sebenarnya ada apa dengan Artha. Mengapa dia seolah terus-terusan menghantui Syahla. Jujur saja, Syahla sangat tidak nyaman.
Husna menyenggol lengan Syahla sambil memonyongkan bibirnya ke arah dimana Artha berada. Syahla hanya menggedikkan bahu sambil mengambil bola dari tanah.
"Kayanya aku izin ke kelas deh, ini hari pertama aku haid, jadi badan aku rada enggak enak gitu," ucap Syahla sambil mengembalikan bola kepada Husna.
"Lho kok kamu enggak enak badan enggak bilang dari tadi sih Syah, nanti kalo kamu kenapa-napa gimana? Udah tadi pagi kamu di jemur," omel Husna sambil menyentuh kening Syahla.
"Ini cuma efek haid, enggak deman, Na, jadi mana mungkin kening aku panas," ucap Syahla sedikit terkekeh.
"Aku enggak suka ya, kalo kamu sakit bilang, jangan maksain kehendak. Aku enggak mau kamu kenapa-napa." Masih dengar raut marah.
"Iya, Nanaku, yaudah aku ke kelas, ya, semangat olahraganya. Jangan lupa kalo pak Hendri datang bilang aku izin."
"Perempuan enggak wajib kok, tanpa aku izin pun pak Hendri enggak akan tanya," ucap Husna sambil meniup kerudungnya yang melengkung akibat terkibas angin.
Syahla tersenyum. "Yaudah aku ke kelas. Assalamu'alaikum, Na.."
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah."
Di tengah perjalanan Syahla melihat Wardani sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit dideskripsikan. Syahla tersenyum, akhirnya Wardani tersenyum.
"Ada apa, ya, kok kamu liatin aku kaya gitu?" ucap Syahla sambil menunduk.
"Mm ... itu, Syah ... rok kamu."
Syahla terdiam, ia memaknai apa maksud dari ucapan Wardani tadi. Seketika wajah Syahla memerah saat ia mengetahui apa maksud Wardani. Ia benar-benar ingin menangis. Ia benar-benar malu.
"A ... aku ... mm." Wardani terlihat canggung.
"Aku bingung, Syah, aku merem aja deh, kamu pake ini untuk menutupi noda itu." Wardani benar-benar menutup matanya. Ia menyodorkan slayer berwarna hitam perpaduan navy kepada Syahla.
"Yaudah aku pergi ya, Assalamu'alaikum." Syahla benar-benar malu. Wardani yang Husna bilang pacarnya berentet, sebenarnya tidak. Dia tidak pernah pacaran malah. Husna hanya berucap asal, itulah kebiasaan Husna yang Syahla tidak suka.
Wardani itu Ketua Osis baru tahun ini. Entah karena apa para siswa dan siswi memilih Wardani sebagai Ketua Osis. Mungkin karena dia pandai membaca Al-Qur'an, pandai berpuisi, dan dia juga pintar, tapi jika di bandingkan dengan Syahla, masih lebih pintar Syahla. Wardani hanya pintar di pelajaran-pelajaran tertentu yang ia sukai.
Syahla langsung menuju kamar mandi. Ia bersyukur nodanya hanya sedikit, masih bisa ia bersihkan. Dan untungnya ia membawa pembalut cadangan di dalam kantong celana trainingnya. Ia sengaja membawanya, untuk persiapan. Ukurannya tidak terlalu besar jadi ia bisa menaruhnya di kantong training. Ia memakai rok dan baju putih padang seperti biasa. Ia memang tidak berniat untuk olahraga hari ini. Ia hanya memakai celana trainingnya saja untuk dalaman.
Ia ingin segera ke kelas. Rasanya ia tidak ingin bertemu Wardani. Ia benar-benar malu. Perempuan sangat sensitif perihal itu. Apalagi yang melihatnya laki-laki. Naudzubillah, malunya luar biasa.
***
"Papa sudah bilang, kan, Artha. Jika kamu menginginkan sesuatu itu jangan melakukan semaumu. Syahla itu anak baik-baik. Jangan sampai kamu merusak nama baiknya."
"Soal pingsannya kamu tadi, Papa mau tanya, kamu ini sedang menderita penyakit apa sih? Kamu mengumpatnya dari Papa? Kamu ini kenapa Artha. Jadilah anak yang baik."
Artha hanya terdiam. Antara malas berdebat, ngantuk, dan takut. Papanya ini tidak segan-segan main tangan jika Artha membantah ucapannya. Selama hidupnya, ia baru merasakan satu kali rasanya tamparan Papanya. Perih, padahal di awal tidak terasa apa-apa.
"Artha!" Teriakan Papanya berhasil membuat Artha tersentak.
"Papa sedang bicara denganmu disini, kenapa pikiran kamu kemana-mana. Kamu ini harus dinasihati seperti apa sih, Tha. Papa capek! Papa enggak memaksa kamu untuk cerdas, Papa hanya meminta kamu untuk menjadi anak yang baik, nurut dengan orangtua, guru, dan jangan merasa paling jago!"
"Papa tahu siapa kamu di sekolah ini, kamu itu sudah seperti singa yang apabila tersentuh akan menerkam. Artha! Tolong, kali ini saja, dengarkan Papa."
"Ya, Pa."
"Udah ya Artha mau ke kelas," ucap Artha sambil bangkit dari duduknya.
"Belum ada yang menyuruhmu bangun! Duduk kembali!"
Artha mendengus.
"Papa mau kamu minta maaf sama Syahla di depan Papa dan bilang sama dia kalo kamu enggak akan ganggu dia lagi."
Artha mengerutkan keningnya. "Aku enggak pernah ganggu dia, gak pernah sama sekali."
"Jangan banyak berbohong, diam di situ, Papa akan memanggil Syahla melalui speaker yang terhubung ke kelas IPA 1."
Artha hanya bisa pasrah. Andai saja yang saat ini memaksanya bukan Papa, sudah pasti ia tidak akan menggubrisnya. Mungkin sudah sejak tadi ia kembali ke kelas.
Sepuluh menit menunggu akhirnya Syahla datang. Wajah Syahla terlihat pucat. Ia berjalan seperti seseorang yang khawatir.
"Siang, Syahla," sapa Papa Artha.
"Siang, Pak Natha."
"Artha cepat, laksanakan apa yang Papa bilang tadi, Papa tidak punya waktu banyak hanya untuk mengurusimu."
Artha lagi-lagi hanya mendengus, ia membuang napas kasar. Ia bangkit dari duduknya dan berdiri tepat di hadapan Syahla. Ia menyodorkan tangannya sambil mengucap maaf. Tapi sodoran tangannya itu tidak kunjung Syahla balas.
Artha menatap Syahla tajam, Syahla hanya menunduk lalu menangkupkan tangannya di dada.
"Aku enggak marah sama kamu, Ar, karena kamu enggak punya salah sama aku. Maaf aku enggak bisa balas sodoran tangan kamu. Kita bukan makhrom."
"Makhrom?"
Syahla hanya mengangguk.
"Yasudah kalian boleh ke kelas masing-masing."
Syahla berjalan mendahului Artha. Kelas mereka berjauhan, tetapi satu lantai. Kelas Syahla sangat dekat kamar mandi, sementara kelas Artha sangat dekat tangga.
Artha memicingkin matanya, apa Syahla sedang tidak baik-baik saja. Mengapa ia berjalan sangat pelan seolah sedang menahan rasa sakit. Entah angin dari mana tiba-tiba Artha mendekat ke arah Syahla.
"Sya, berhenti sebentar dah, gua enggak bakal ngapa-ngapain kok, gua cuma mau nanya."
Syahla menghentikan langkahnya. Ia diam, belum membalikkan badan.
"Janji."
Hingga akhirnya ia membalikkan badan ke arah Artha. "Ada apa?" tanya Syahla pelan.
"Lu kenapa? Kok muka lu pucet, lu lagi enggak sakit, kan?"
Syahla terdiam. "Enggak, aku enggak kenapa-napa."
"Jujur, gua enggak bakal tinggal diem, lu udah bantu gua tadi pagi, jadi gua harus bantu lu." Really, ini beneran Artha?
Syahla menghembuskan napas pelan. "Aku." Lagi-lagi ia menghembuskan napas pelan seolah sedang menahan rasa sakit.
"Perut aku sakit, Ar," ucap Syahla lirih.
Matanya mengeluarkan airmata. Ketika haid pertama Syahla memang seperti itu, ia akan merasakan sakit di bagian perut dan betisnya. Biasanya ia izin untuk tidak sekolah, karena hari ini ada Ulangan Harian ia memaksakan diri untuk sekolah, ia takut nilainya berkurang. Ia tidak mau mengecewakan abbanya yang selalu berharap memiliki anak yang cerdas, berakhlakul karimah, sholehah. Ia tidak mau memutuskan harapan abbanya itu.
Syahla berjongkok saat rasa sakit itu semakin menjadi, ia meremas perutnya. Rasa sakit yang diderita saat haid sulit mencari obatnya.
"Gua harus apa dong, Sya?" tanya Artha dengan nada khawatir.
"Sakit." Syahla hanya mengucap itu, ia tidak sanggup berkata apa-apa. Di rumah biasanya ia suka berguling-guling di kasur, dan pelampiasannya adalah kak Syakib, kak Syakib rela dijambak, di betot-betot, dia selalu bilang, "Enggak apa-apa, berbagi rasa sakitnya ke kakak, enggak papa."
"Aku mau pulang, Ar," lirih Syahla.
"Gua anter, ya?"
"Tas aku, aku belum izin, dan .... Astaghfirullah." Syahla tidak bisa berkata apa-apa lagi rasanya.
"Lu bangun sanggup enggak? Pindah ke bangku panjang itu, dan gua ke kelas lu buat ngambil tas lu, soal izin, gampang."
Syahla menggeleng lemah. "Aku bisa ambil sendiri, aku bisa izin sendiri, aku bisa pul—"
Syahla terdiam, kak Syakib sedang kuliah, abbanya sedang mengajar, lalu ia pulang dijemput siapa, mana mungkin dia harus pulang naik angkot. Bisa-bisa dia pingsan di dalam angkot.
"Jangan banyak bacot, lu duduk di situ sekarang, atau gua pegang lagi tangan lu."
Syahla mengalah, hatinya berontak untuk menerima bantuan Artha, tapi keadaan memaksa untuk menerima bantuan Artha, rasa sakit yang ia rasakan tidak bisa menolak bantuan Artha. Dengan gerakan pelan Syahla bangun dan duduk di bangku panjang. Artha pergi tanpa izin.
Artha berlari menuju kelas IPA 1. Tepat di pintu kelas IPA 1 Artha mematung sesaat, ternyata jam kosong, ia bersyukur dalam hati. Tanpa mengucap salam dan meminta izin ia langsung masuk begitu saja dan mengambil tas Syahla di meja paling depan. Husna yang sedang membelakanginya seketika terkejut saat membalikan badan tas Syahla sudah ada di tangan Artha. Artha pergi begitu saja. Semua penghuni kelas menatap Artha dengan tatapan horor, Artha tidak memperdulikannya.
Husna mengejar Artha, ia tidak akan membiarkan tas Syahla diambil Artha. Ia tidak tahu kalau di tempat yang berlainan Syahla sedang menunggu Artha.
Tepat saat Artha menghentikan langkahnya Husna pun menghentikan langkahnya. Ia terkejut saat melihat Syahla sedang duduk, wajahnya pucat pasi, tangannya memegangi perut. Husna yang sudah sering melihat Syahla seperti itu langsung kalangkabut.
"Mending lu diem, mama gua kalo lagi halangan galak kalo ada orang yang banyak omong. Lu malah nambahin rasa sakit dia. Mending sekarang lu ke ruangan papa gua, jangan ke ruangan lain. Gua yakin lu bakal kena omelan. You know, Papa gua guru paling baik di sekolah ini."
Husna terdiam, benar yang Artha ucap. "Gua berusaha percaya sama lu, jangan sedikit pun lu sentuh Syahla. Jangan macem-macem. Atau nanti gua aduin ke Papa lu."
"Easy, *s*lowly."
"Cepet dodol, Syahla udah kesakitan itu."
Husna membantu Syahla berjalan sampai parkiran. Dia izin kepada satpam untuk membiarkan Syahla pulang. Karena ada Artha, siswa yang tidak hanya ditakuti para siswa dan siswi, para staf-staf di sekolah ini pun ada sebagian yang takut berurusan dengan Artha. Termasuk pak Satpam yang saat ini sedang membukakan gerbang untuk Artha.
Di perjalanan Syahla hanya diam, Artha pun ikut diam. Hanya suara napas berat Syahlalah yang ada di pendengaran Artha saat ini. Syukurnya jalanan lenggang.
Sesampai di rumah Syahla, Artha disambut laki-laki yang pernah ia lihat di apotek bersama Syahla beberapa hari yang lalu. Yang sempat ia kira itu pacar Syahla. Ternyata setelah mendapat penjelasan secara langsung Artha baru percaya.
Syahla sudah masuk ke dalam kamarnya sedaritadi. Saat ini Artha berada di ruang tamu Syahla bersama Kakaknya.
"Oh jadi gitu," ucap Kak Syakib setelah mendapat penjelasan dari Artha mengenai Syahla.
"Dia suka gitu, padahal saya udah pringati, lebih baik dia libur dulu hari ini, tapi malah ngeyel. Syahla itu kalau sudah berprinsip sulit untuk diganggu gugat."
Artha menganggukkan kepala. *S*eperti tidak ingin disentuh mungkin.
"Kalo gitu saya ke sekolah lagi, ya, salam sama Syahla." Artha langsung nyelonong saja keluar dari rumah Syahla.
Kak Syakib melongo, dia pergi begitu saja tanpa bersalaman, tanpa mengucap salam, itu akan menjadi PR Syahla setelah rasa sakitnya hilang. Kak Syakib akan bertanya kepadanya.
***
Artha termenung. Pristiwa tadi membuatnya sedikit aneh. Terkadang ia tersenyum, tapi dia seolah marah-marah. Baru kali ini Artha merasakan sebuah perasaan yang berbeda dengan perempuan. Anya yang disebut primadona sekolah saja tidak sama sekali membuatnya terpesona. Lalu dengan Syahla? Apa benar dia terpesona dengan Syahla. Gadis polos yang sombongnya luar biasa, menurutnya.
"Lu mikirin apaan sih, tuh es cair," ucap Rio sambil menyeruput es jeruk miliknya.
"Sy—"
Ria menaikkan sebelah alisnya. "Syahla?"
Plak...
Artha menjitak Rio. "Asal ceplos aja lu kalo ngomong, ya enggaklah, mana mungkin gua mikirin Syahla."
"Mungkin ajalah. Si Syahla kan bening tuh, eh-eh tapi—" belum sempat Rio menyelesaikan ucapannya Artha sudah bangun dan pergi begitu saja.
Di tengah perjalanan menuju kelas Artha melihat Anya sedang berbicara dengan Husna. Dia seperti mengintrogasi Husna layaknya si Husna itu seorang maling yang ketewak.
"Ekhem." Seketika Anya menghentikan ucapannya.
"Kok nama gua di sebut-sebut, ya?"
"Dia ini nanyain Syahla, dan dia bilang apa Syahla itu lagi deket sama lu, gua bilang enggak, lu ganggu Syahla malah." Setelahnya Husna pergi dengan tampang judes meledes.
Artha menatap tajam Anya yang sedang menatapnya dengan tatapan keterpesonaan. "Gua bilangin sama lu, berhenti mau tau urusan gua! Dan jangan ngejar-ngejar gua. Mau gua sama Syahla itu pacaran kek, nikahan kek, itu semua bukan urusan lu." Setelahnya Artha pergi.
Anya menunduk. "Kenapa sih dia enggak pernah lirik gua sedikit pun. Kenapa dia malah milih si Syahla yang polos itu. Muka dia sama gua juga cakepan gua," ucap Anya lirih.
Di jam pelajaran terakhir ini Artha memilih untuk mendengarkan. Karena mata pelajaran Seni ini guru pengajarnya sangat dekat dengan papa Artha. Dia tidak akan segan-segan menyeret Artha ke papanya.
"Jadi seni itu gak harus ngegambar, banyak, bisa membuat patung, membuat ...." Guru seni itu seketika diam saat ia melihat Artha menatapnya dengan tatapan kosong. Sampai-sampai, saat ia menatapnyapun Artha tidak sadar, padahal dia sedang memperhatikan.
"Artha Pranatha Saputra."
Artha mengedipkan matanya dua kali. "Ya?"
"Bisa jelaskan apa yang Bapak jelaskan tadi?"
Artha terdiam.
"Bisa?"
"Enggak."
"Kedua kalinya kamu bakal saya bawa ke ruang BK."
Artha hanya diam, dia tidak menggubris ucapan guru seninya itu.
"Nah jadi kalian buat kelompok, satu kelompok dua orang, kalian buat lukisan, terserah mau gambar apa, pada intinya kalian hanya di perbolehkan memakai pensil dan penghapus."
"Lu sama gua ya, Tha?"
"Ya, lu yang bikin."
"Idih, enggak jadi, gua enggak mau sama lu."
Artha menggedikkan bahu. "Masih banyak yang mau satu kelompok sama gua."
"Dih udah aja sama gua, tapi kerjain bareng."
"Heleh, lu itu enggak bisa jauh-jauh dari gua, iya kan? Banyak omong aja lu," ucap Artha sambil bangkit dari duduknya karena bel pertanda pulang sudah terdengar melengking-lengking di indra pendengaran.
***
Kak Syakib membrondongi Syahla dengan beberapa pertanyaan seputar Artha.
"Aku kira Kakak kuliah, lagi juga aku enhgak bawa handphone."
"Kakak enggak permasalahin itu. Kakak cuma mau tanya, apa anak itu beragama Islam? Masa iya keluar dari rumah orang main selonong aja, enggak punya tatakrama apa."
"Aku enggak tau. Soalnya papanya dia aja pernah ngucap salam kalo lagi ceramah. Aku enggak tau, aku baru kenal, itu kebetulan aja dia bantu aku."
Kak Syakib mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalo kamu mau berteman sama dia, rubah dia, kalo kamu enggak berani rubah, saran Kakak mending kamu enggak usah temenan sama dia, jadi racun aja."
Syahla menggaruk telungkuknya yang tidak gatal. "I ... iya, Kak."
Syahla memutar kembali memori di otaknya, hari ini adalah hari yang memiliki sebuah hal yang membuat Syahla malu pada dirinya sendiri. Andai saja ia mengikuti ucapan Kak Syakib, dia tidak akan malu kepada Wardani yang melihat noda di roknya, dan dia tidak akan malu kepada Artha yang melihatnya menangis menahan sakit. Syahla ingin menangis, Syahla sangat sulit meluapkan emosi, dia lebih sering menangis ketika emosi.
Bayang-bayang wajah khawatir Artha berhasil membuat Syahla terdiam. "Setau aku, Artha itu tipe laki-laki cuek. Aku pernah liat dia nyelonong aja pas Anya kepeleset di depannya."
"Kok dia mau ya nolong aku."
"Astaghfirullah, Syahla, seharusnya itu kamu pikirin cara berterima kasih, bukan malah su'udzon gini."
Syahla langsung menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang lebih penting daripada harus memikirkan Artha yang sama sekali tidak penting dan malah menambah-nambah dosa saja karena memikirkan laki-laki yang bukan makhromnya.
Tapi sayang, sungguh hal yang Syahla tidak inginkan. Wajah Artha terus-terusan memutari penglihatannya. Wajah Artha pertama kali saat ia menabrak Syahla di dekat kamar mandi, wajah saat di hukum, saat ia pingsan, dan saat khawatir tadi. Ternyata Artha yang selama ini ia kenal sebagai laki-laki nakal dan tidak tahu prikemanusiaan masih memiliki rasa tolong-menolong sesama manusia. Tidak terasa Syahla menarik simpulnya kecil.
"Astaghfirullah, Syahla." Syahla langsung melanjutkan pekerjaan rumahnya.
Tidak hanya Syahla, Artha pun merasakan hal yang sama. Selama ini ia tidak pernah memikirkan perempuan. Hidupnya terasa bebas tanpa perempuan. Ia sempat berpikir tidak akan menikah, biarlah ia hidup bebas sesukanya, tapi apa ini. Baru beberapa hari mengenal Syahla hidup bebasnya terasa terkekang. Ia pun tidak bisa mendeskripsikan apa maksud dari terkekang yang ia rasakan. Pada intinya, karena Syahla ia tidak bisa tidur nyenyak, pikirannya yang sebelumnya bebas kini wajah Syahla masuk kedalamnya.
Ia pun bingung. Sebelum ia mengenal Syahla banyak perempuan-perempuan yang lebih dulu ia kenal, dan memiliki wajah dan body yang jauh lebih bagus daripada Syahla. Tapi kenapa malah Syahlalah yang berhasil membuat dirinya terpesona di awal. Tunggu-tunggu terpesona?
Artha menarik napasnya pelan. "Apa gua harus ngalah sama prinsip hidup gua, apa gua harus buka hati gua, dan untuk dia?" Artha menarik simpulnya.
"Gila, ya enggak mungkin lah." Seketika senyum Artha meluntur.
"Masa iya gua harus deketin dia, nembak dia kayak cowok-cowok alay gitu, enggak-enggak, Artha enggak kayak gitu."
"Sampe kapan sih, Tha, lu keras kepala sama hidup lu sendiri." Lagi-lagi Artha berbicara sendiri.
"Tuh cewek bener-bener bikin gua gila." Artha mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
Artha langsung bangun, dia pikir dengan keluar rumah menikmati angin bisa membuat otaknya fresh, setidaknya wajah Syahla bisa sirna, sungguh itu sangat menyiksa.
Baru satu langkah keluar namanya sudah di sebut oleh sang Papa. Itu pertanda ia tidak di izinkan untuk keluar rumah. Jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Sebenarnya Artha itu bukan laki-laki yang nakal. Dia masih tau aturan, buktinya ia tidak pernah keluar malam lebih dari jam sembilan.
Di sekolah pun dia tidak pernah berbuat ulah kecuali ada yang memulainya. Lebih tepatnya ia itu cuek, untuk bergaul pun ia tidak pandai. Dia hanya keras kepala, apa yang dia bilang benar, harus benar. Dia juga tidak mau ada orang yang mengambil kebahagiaanya. Entah sejak kapan dan kerena apa ia sampai disebut sebagai laki-laki nakal. Mungkin karena ia sering bulak-balik ruang BK karena kasus perkelahian.
"Jangan keluar malem, bahaya, nanti kalo kamu dibegal, dibawa polisi gara-gara disangka anak nakal gimana?"
Artha tidak menghiraukan ucapan Papanya, ia memilih untuk langsung masuk kedalam kamarnya dan mengunci kamarnya itu rapat-rapat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Lila Anggraini
puppy love ato gmn nih artha
2022-08-25
0
Happyy
👍🏼👍🏼👍🏼
2021-01-24
0
David Arkhana
Bocor... bocor, pake nodrop
2020-09-08
0