Kau bagai bunga di antara duri. Untuk menggapaimu pun aku harus pandai-pandai melewati duri yang ada di sekitarmu.
__________
Makan sarapan sendirian itu rasanya nikmat bagi Artha. Tidak ada si mama yang selalu sibuk bertanya segala macam saat Artha sedang lahap-lahapnya makan, tidak ada si papa yang selalu nasihatin dia panjang lebar tiap pagi, intinya dia benar-benar plong pagi ini.
Dengan kegesitan yang tidak biasanya, dia berangkat ke sekolah sangat pagi, berbeda dari sebelumnya. Yang biasanya ia akan belok ke belakang kantin untuk merokok kini tidak, karena ia sudah puas merokok pagi tadi. Ia ingin menemui perempuan bernama Syahla yang membuatnya tidak bisa tidur semalam. Bukan karena saat ini Artha sedang dimabuk cinta, bukan! Dia hanya penasaran. Selama ini banyak perempuan yang rela mempermalukan dirinya hanya untuk mendapatkan perhatian Artha. Dan dia, Syahla, bisa mengobrol, dapat pelukan, ya walaupun melalui kepeleset. Memangnya di tidak nge-fly gitu.
Artha memutar bola matanya mengelilingi sudut ruangan. Saat ini ia berada di kelas XI IPA 1. Nekatkah dia? Ini hal biasa bagi Artha. Kelas masih sangat sepi, hanya ada beberapa orang saja yang saat ini menatap Artha dengan tatapan aneh sekaligus ngeri, tidak biasanya Artha ke kelas XI IPA 1.
"Syahla mana?" tanya Artha tanpa menujukan siapa yang ia tanya.
Tidak ada yang menjawab, penghuni kelas hanya saling menatap satu sama lain saja, mereka bingung mau menjawab apa, ya karena mereka tidak tahu di mana Syahla saat ini, mungkin masih di rumah, atau lagi di perjalanan, mereka tidak tahu.
Brak...
"Tuli semua, gua kira anak IPA 1 itu orangnya pinter, ternyata ...." Arta tidak melanjutkan ucapannya saat orang yang ia cari melewatinya tanpa menoleh.
"Syah, tuh dia nyariin kamu," bisik salah satu teman Syahla.
Syahla hanya menggedikan bahu, entah maknanya apa. Ia memilih mengeluarkan buku-bukunya ke atas meja tanpa memperdulikan Artha yang masih mematung di depan pintu.
"Lu!" Artha menunjuk Syahla dengan jari telunjuknya, spontan Syahla langsung menujukan pandangannya ke arah Artha yang ternyata kini ada di depan bangkunya.
"Jangan sok cantik, jangan sok jual mahal, lu itu ...."
"Cukup!" bantah Syahla.
"Kalo kamu ke kelas aku cuma mau caci maki aku, lebih baik kamu intropeksi diri dulu, kamu udah baik atau belum. Di dunia ini enggak ada yang sempurna kecuali Allah semata."
Artha mengangkat sebelah alisnya. "Tapi gua sama lu beda, jelas bedanya jauh. Jadi gua berhak caci lu." Setelahnya Artha pergi begitu saja.
Syahla menghembuskan napasnya pelan, ia terus beristighfar, laki-laki itu benar-benar menguras emosinya. Andai saja dia berani, sudah ia pelintir mulut si Artha itu.
"Itu si bulepotan ngapain ke kelas kita?" tanya si Husna yang baru saja datang.
Syahla hanya menggedikkan bahu. "Enggak tau tuh, enggak jelas."
"Dia ngapain kamu?"
"Enggak ngapa-ngapain, udah ah jangan bahas dia lagi, aku mau fokus ke materi hari ini."
***
"What? Are you crazy, Tha?" teriak Rio saat mendengar cerita Artha yang belum selesai terceritakan.
"Lu berisik banget sih," dengus Artha sambil melirik tajam Rio. Sudah malas meneruskan cerita akhirnya dia memilih untuk mendengarkan lagu favoritnya menggunakan earphone, itu adalah hobby Artha.
"Terus si Syahla ngapain lu, Tha?"
Pertanyaan Rio hanya melayang di udara. Kalau Artha sudah malas berbicara lagi dia akan bungkam sebungkam-bungkamnya. Rio hanya melirik Artha dengan tatapan malas, setelahnya dia malah mengambrukkan kepalanya di atas meja dengan tatakan tangan. Malam ini ia tidur hanya tiga jam, gara-gara bergadangin Mobile Legend, demi naikin Rank ke Legend.
"O, Rio, budek lu ya," ucap Artha sambil menggoyangkan tubuh Rio.
Rio yang baru saja ngelenyep menatap Artha dengan tatapan bingung. "Ngapa sih, Tha? Ganggu tidur gua aja lu dah."
"Gua mau tanya, agama si Syahla itu apa sih?"
Mata Rio yang sebelumnya hampir menutup kembali kini terbuka lebar. "Kenapa tiba-tiba lu nanyain agamanya si Syahla?"
"Kalo orang nanya itu di jawab, bukan malah nanya balik."
"Yailah, Islam, agama dia Islam."
Seolah tidak perduli Artha hanya menganggukkan kepala sambil membulatkan bibir.
"Nah sekarang lu yang jawab, kenapa lu nanyain agamanya si Syahla?"
"Bukan urusan lu."
"Idih."
"Kenapa lu enggak seneng, mau gulet sama gua lu?" tanya Artha santai tapi sedikit mengancam.
"Tuhan kenapa gua ditakdirin punya temen arogan kaya gini ya," ucap Rio dengan nada memelas.
Pletak...
Artha menyelepet kening Rio, setelahnya dia acuh dan meneruskan kegiatannya lagi. Sementara Rio, dia meringis menahan tangis tapi tidak ingin menangis. Ingin ku teriaak!
Dibalik sifat Artha yang buruk, Artha juga memiliki sifat baik. Dia dermawan, dia tidak hitung-hitung kalau sudah jajanin orang. Selain itu dia juga suka ngebela teman-temannya yang ada masalah. Contohnya Rio, dua bulan yang lalu Rio ada masalah sama kakak kelas cuma karena si kakak kelas kalah tanding dan si Rio itu ngeledek. Sepulang sekolah, di tengah jalan Rio dicegat kurang lebih delapan orang, babak belur dia. Pas di puncak-puncak saat Rio benar-benar tidak bisa melawan Artha datang, dia membuat delapan orang kakak kelas itu babak belur. Artha itu jago pukul, dia menguasai karate, dan silat.
Dan ada lagi, Artha itu bisa jadi pendengar yang baik walaupun terkadang kata-katanya itu pedas, tajam, nyelekit. Tapi fakta, dia itu tipe laki-laki yang suka hal-hal nyata.
"Woi, bangun ada guru!"
Gendang telinga Rio seakan terkaget-kaget dan terheran-heran. Saat ia mengedarkan pandangan, benar, hari ini pelajaran bu Asma yang terkenal gualaknya.
***
Istirahat ini Syahla memilih untuk ke kantin, sudah lama juga dia tidak ke kantin. Istirahatnya lebih banyak ia gunakan untuk hal-hal yang serius, ya itulah Syahla, jika sudah di sekolah dia akan berubah menjadi seorang Syahla yang tingkat keseriusannya di atas rata-rata. Tidak heran kalau sejak kelas sepuluh dia mendapat peringkat satu di kelas.
"Mau makan apa, Syah?" tanya Husna sambil memilih menu yang tersedia di kertas berukuran A4 yang dilaminating.
"Aku mau jus strowberry, terus makanannya, hm ... apa ya yang enak, aku bingung."
Husna hanya menggelengkan kepala, di balik otaknya yang cerdas Syahla rada lemot dan raguan. Mungkin itulah yang di sebut bahwa setiap manusia itu memiliki kekurangan dan kelebihan.
"Ini aja samain kayak aku, pangsitnya dijamin dah. Aku sering beli soalnya," saran Husna.
"Boleh-boleh, yaudah samain aja, tapi aku jus strowberry ya jangan samain sama kamu minumannya."
"Oke, biar aku yang pesen kamu tunggu sini aja."
Antrian tidak terlihat begitu banyak, Syahla bersyukur saat ia memilih istirahat di kantin, kantin lagi tidak ramai.
"Lu tau enggak, masa tadi pagi-pagi katanya Artha ngomelin anak IPA 1, siapa dah namanya?"
"Syahla. Ituloh yang terkenal cewek pendiam, yang di kagumin si ikhwan-ikhwan rohis."
"Iya tuh."
Syahla menghembuskan napasnya pelan. "Santai Syahla, anggap saja mereka sedang mengalunkan nyanyian yang indah," ucap Syahla sedikit berbisik untuk dirinya sendiri.
"Ssstt, gila, itu orangnya tuh yang lagi duduk sendiri, kayaknya gua baru ngeliat dia deh di kantin, dia jarang nongol, betah banget di kelas."
Inilah yang membuat Syahla tidak nyaman berada di kantin. Ia takut terkena pergibahan, atau mendengar pergibahan, dan ironisnya saat ini ia malah mendengar orang lain menggibahi dirinya, Astaghfirullah.
Menjadi orang pendiam dan tidak banyak omong bukan berarti menampakkan sosok orang yang sombong, tidak mau bergaul, bukan. Hanya saja ia lebih memilih diam karena ia takut salah satu kalamnya berkata yang tidak-tidak, hal yang Allah tidak suka dan akhirnya dari kalamnya itu dia malah terkena dosa. Jagalah lisanmu, lisan bukanlah tinta yang bisa dihilangkan, jika lisan sudah berkata pada seseorang, dan seseorang itu tersakiti, sulit mencari obatnya.
"Assalamu'alaikum, Syah sendirian aja, boleh aku kita duduk?"
Syahla sampai tidak sadar sedaritadi ia melamun. Syahla langsung mendongakkan kepalanya melihat siapa yang mengajaknya bicara.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah, eh Ikhsan, Wardani. Ada apa, ya? Aku sama si Husna sih, nah itu dia."
"Et, ditinggal sebentar aja udah ada yang ganggu, ya, susah sih ya punya muka bening," kekeh Husna.
"Hust... Husna ... enggak baik bicara kayak gitu."
"Iya, Mom, afwan."
"Btw lu berdua ngapain duduk-duduk situ?"
"Enggak sengaja lewat aja sih, eh liat si Syahla sendirian, mau nemenin niatnya, kalo ada Husna yaudah enggak jadi, pamit, ya, Syah, Assalamu'alaikum," ucap Ikhsan. Wardani yang mengintil.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah."
"Dih sinting kali ya, lagi juga mana mau kan kamu ditemenin mereka berdua? Si cowok sok alim yang pacarnya berentet."
"Husna ...."
"Iya-iya maaf, ayo kita makan, selamat makan.."
***
Artha sampai tidak berkedip saat matanya menangkap sosok perempuan yang sejak kemarin membuatnya sulit untuk menghilangkan bayangan wajahnya. Sebenarnya dia kesal dengan perempuan itu, tapi, entah mengapa melihat wajahnya membuat dia sedikit tenang. Wajah teduhnya sangat sedap di pandang.
"Tha, lu liatin siapa sih?" ucap Rio sambil mengikuti arah pandang Artha.
"Oh Syahla?"
"Apaan sih lu," gentak Artha.
"Jangan-jangan lu jatuh cinta sama si Syahla. Wah berarti dia itu cinta pertama lu dong, Tha?"
"Ngomong sekali lagi gua jotos lu ya, O."
"Et, galak amat dah."
"Cepet makannya, gua mau ke lapangan basket."
"Ngapain?"
"Nyuri lapangan."
"Lapangan bisa dicuri, Tha?"
"Ah banyak bacot lu ya, udah cepet."
***
Sesampai di lapangan basket Artha langsung duduk di bawah pohon, sebenarnya bukan di lapangan basketnya, dia hanya suka duduk di bawah pohon dekat lapangan basket, itu tempat favorit dia sejak kelas sepulu dulu. Padahal di sana dia cuma diam, dan Rio, dia malah asyik main Mobile Legend menggunakan wifi sekolah yang kata sandinya diberitahu Artha.
"Lu enggak jenuh kali, Tha, diem mulu, lu kalo lagi diem serem. Gua aja main game ada jenuhnya."
"Gua lebih suka diam daripada berkoar. Hal spele yang menyenangkan itu bisa membuat masalah besar kalo meleset sedikit."
"Kata-kata lu, Tha, udah kayak sarjana sastra."
"Itu fakta lol."
"Btw, gua liat-liat si Syahla itu cakep juga ya."
Entah kenapa mendengar Rio memuji Syahla Artha merasa tidak senang. "Terus?"
"Ya gua cuma ngomongin fakta aja, biar gua bisa ngikutin jejak lu, laki-laki yang menyukai kenyataan."
"Ada saatnya kelak gua benci kenyataan."
"Kok lu ngomong begitu, Tha?"
"Gua cuma bicara apa yang ada di otak gua, udah ayo kita ke kelas."
***
Artha sampai mengerem motornya mendadak saat ada motor metic melaju memotong jalan yang Artha lalui seenaknya. Dia tidak bisa tinggal diam. Artha langsung berteriak menyuruh pengendara itu berhenti, dan untungnya pengendara itu berhenti, coba kalau tidak, bisa-bisa gondokan Artha membeludak.
Artha langsung menggas motornya untuk mendekat. Ternyata pengendara itu perempuan. Dilihat dari gaya berkerudungnya Artha seperti tidak asing dengan perempuan itu, dan benar, Artha mengenal perempuan itu, Syahla.
"Lu lagi lu lagi, bosen gua berurusan sama lu."
Syahla menautkan alisnya. "Kalo kamu bosen berurusan sama aku ngapain kamu suruh aku berhenti?"
"Ya karena lu salah bodoh."
Syahla terdiam, ia diam bukan ciut, dia hanya menahan emosinya yang sudah menyala-nyala kepada laki-laki yang ada di hadapannya ini.
"Coba tadi gua enggak ngerem, motor lu udah ancur ketabrak gua."
"Nah, di situ salah kamu. Kamu naik motor di jalan umum serasa jalan nenek moyang. Ngebut sesuka kamu, aku nyebrang itu liat kanan-kiri, kamu tuh yang main trobos-trobos aja, apa susahnya dipelanin," ucap Syahla dengan suara tidak meninggi, jujur saja Syahla tidak biasa berbicara dengan nada tinggi. Maka dari itu ia tidak suka digentak, karena dia tidak suka menggentak.
"Oh jadi lu nyalahin gua? Padahal udah jelas kalo lu itu salah!"
"Terserah kamu aja, malas ngomong sama orang keras kepala. Sampai kapan pun cuma kamu yang benar." Setelahnya Syahla pergi begitu saja.
Artha tidak terima. "Liat aja lu besok." Setelahnya Artha pergi.
Sesampai di rumah, rumah masih sepi. Hanya ada mbok Ayu asisten rumah tangga dan pak Darmin satpam rumah. Rambut Artha sudah tidak terkontrol, walaupun begitu Artha tetap terlihat cool abis.
Hari ini dia pulang cepat karena ada rapat wali kelas, ditambah saat ini papanya yang tugasnya Kepala Sekolah lagi izin datang ke acara pernikahan saudaranya. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Inilah waktunya Artha merokok, melepas lelah dan kesal terhadap Syahla, ah nama itu lagi. Artha mengacak-ngacak rambutnya.
"Kenapa sih gua mesti kenal perempuan sok perfect itu."
Artha melempar baju kemeja putihnya ke sembarang tempat. Ia membiarkan dada bidangnya terkena angin yang berasal dari jendela, di luar cukup panas, masuk kamar tambah panas karena Ac belum dibersihkan.
"Enggak bisa, gua enggak kuat. Panas bange." Artha menyambar sweeter berwarna abu dan mengganti celana abu-abunya dengan levis hitam. Sejurus kemudian dia meluncur ke luar, sebenarnya ia belum tujukan kemana dia akan pergi. Intinya ia bisa menghilangkan keringat di tubuhnya ini.
Akhirnya Artha memarkirkan motornya di sebuah restaurant bergaya clasic. Ac-nya tidak bisa diragukan, adem betul. Dia hanya memesan satu gelas coklat dingin. Selera makannya seketika menurun, entah mengapa.
Setelah menghabiskan segelas coklat dingin Artha langsung keluar dari restaurant itu. Ia sudah merasa lebih fresh dari sebelumnya.
Kini ia sudah berada di atas motornya lagi. Motor yang ia kendarai belum sama sekali dikendarai oleh siapapun selain dirinya, bahkan jok bagian belakangnya pun belum pernah diduduki oleh siapa pun. Dia terlalu sayang dengan motornya sampai tidak rela orang menyentuhnya.
Di tengah jalan tiba-tiba matanya berkunang-kunang, gerakan motornya melambat, ia seperti hilang kendali saat ini.
Brukk...
Artha jatuh di tengah jalan, untung saat ini jalanan masih sepi, ia langsung di kerumuni banyak orang. Ia sudah tidak ingat lagi setelahnya.
***
Siang ini Syahla diperintahkan abbanya untuk membeli obat di apotek. Sebenarnya malas sekali ia keluar rumah, apalagi ke apotek. Karena yang memerintahkannya itu abbanya ia tidak akan membantah sekali pun. Baginya abba dan kakaknya itu orang yang spesial. Ia tidak akan membantah keduanya.
Di pertengahan jalan sepulang dari apotek Syahla melihat di tengah jalan ada kerumunan orang banyak. Ia langsung menghampiri kerumunan itu untuk mengobati rasa kepo-nya.
"Ada apa ya, Pak?"
"Ini, Neng, ada orang jatoh dari motor, pingsan, padahal enggak ada angin enggak ada hujan."
"Mungkin dia lagi kurang sehat kali, ya, Pak?"
"Mungkin, Bapak juga bingung."
Syahla mendekat ke arah kerumunan itu lebih jauh, matanya terbelak saat melihat siapa yang jatuh, Artha. Awalnya ia enggan mengatakan kalau dia mengenal laki-laki itu, tapi dia teringat kemarin Arthalah yang membawanya ke rumah sakit, bahkan pembayarannya pun dia yang tanggung.
"Pak, ini teman saya, bisa tolong berhentiin mobil, saya mau bawa dia ke rumah sakit."
"O iya-iya, Neng. Alhamdulillah."
Ada dua orang bapak-bapak ikut bersamanya, Syahla duduk di bagian pojok, dia tidak mau sampai tersentuh kulit laki-laki yang bukan makhromnya lagi.
Untung saja dia tidak membawa motor karena jarak apotek sangat dekat dengan rumahnya, jadi dia tidak perlu memikirkan bagaimana motornya saat ini.
Setelah Artha sudah ditangani kedua bapak-bapak yang ikut tadi izin pulang. Kini hanya tersisa Syahla di ruangan Artha. Tidak hanya ada Syahla dan Artha di sini. Ada banyak pasien.
"Dia kenapa ya, apa dia jatoh gara-gara masih kesel sama aku?" Bukan Syahla kalau tidak mengatakan kesalahan itu adalah kesalahan dia.
"Ar, aku minta maaf deh," ucap Syahla pelan.
"Lu minta maaf sama gua?"
Syahla tersentak sampai tersedak air liurnya sendiri, berarti Artha mendengar ucapannya. Ini mungkin efek nunduk mulu.
"I ... iya, maaf kalo aku tadi bikin kamu kesel, ak ... aku enggak biasa bikin orang kesel, kayanya cu ... cuma kamu doang deh yang pernah caci aku karena kesel sama aku."
Ucapan polos Syahla berhasil membuat Artha tertawa. "Lu ini lugu banget sih. Terus sekarang kenapa gua ada di sini, dan Lu?"
Lagi-lagi Syahla tersentak.
"Lu ngapain ada di sini juga?"
"Aku bakal ceritain, tapi aku enggak suka kalo ada yang potong-potong cerita aku. Kamu harus dengerin, ya?"
Dan bodohnya Artha malah mengangguk menurut.
"Tadi itu ...." Syahla menceritakan dari awal ia melihat kerumunan sampai ia ada di sini bersama Artha.
"Dan untuk yang kemarin, aku mau bilang terima kasih sekarang, karena, kan, kemarin waktu aku mau bilang terima kasih kamunya udah ngacir duluan."
Luluh sudah rasa kesalnya itu, Artha pun tidak mengerti bagaimana ia semudah itu luluh dengan perempuan, apalagi Syahla ini baru ia kenal.
"Oke gua juga mau bilang sesuatu."
Cukup lama Artha terdiam, Syahla hanya meremas ujung kerudungnya saja.
"Thank's."
Syahla menarik simpulnya sambil mengangguk. Dan jujur saja senyuman itu sangat manis. Artha tidak pernah melihat senyuman semanis dan seteduh milik Syahla.
"Ya ... yaudah aku mau pulang ya, aku harus cepet-cepet sampai rumah, abba tunggu aku."
Baru satu langkah Syahla menggerakkan kakinya. Suara Artha menghentikan gerakannya.
"Gua anter lu sampe rumah, gua enggak suka orang nolak gua. Dan lu, gua bakal kesel lagi sama lu, dan besok di sekolah kalo lu enggak mau gua anter pulang, lu bakal gua jailin."
"Loh kok kamu malah ngatur sih."
"Up to you."
"Tapikan kamu masih sakit."
"Gua udah sembuh sejak ...." Artha menepuk pelan mulutnya, bisa-bisanya ia terpikiran ingin mengatakan hal itu. Lihat senyum lu.
"Sejak kapan?"
"Sejak gua sadar tadi."
Syahla menganggukkan kepalanya. "Tapi motor kamu itu joknya ...."
"No problem, gua bakal pelanin, santai, lu enggak bakal jatuh di pelukan gua untuk yang kedua kalinya."
Seketika pipi Syahla terasa memanas, entah ia ini kenapa, ketika berhadapan di depan Artha jantungnya itu seperti sedang berada di atas jungkat-jangkit.
Sambil menunggu Artha memarkirkan motornya Syahla hanya beristighfar di dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sambutan abba dan kakaknya nanti di rumah saat tahu siapa yang mengantarnya pulang. Apalagi dia pulang lambat sekali. Ingin rasanya menolak, tapi, ah dia tidak mau sampai terkena jailan Artha di sekolah. Ia ingin mulai saat ini urusannya dengan Artha terselesaikan. Dan dia tidak akan bertemu dengan Artha lagi setelah ini.
"Naik!"
Untuk ke tiga kalinya Syahla tersentak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana wajahnya saat tersentak. Malu, pokonya malu, mau cepat-cepat pulang.
"Inget ya, Ar, pelan-pelan," ucap Syahla saat ia sudah ada di jok bagian belakang Artha.
Dia panggil gua apaan tadi? Ar? Ar atau Arrgghhh??
"Slowly."
Lumayan lama, hingga akhirnya tibalah di depan rumah Syahla. Rumah yang memiliki halaman rumah lumayan besar yang di tumbuhi banyak pohon-pohon. Terlihat teduh, sama seperti pemilik rumahnya.
"Te ... terima kasi,h ya."
"Gua pulang."
Untungnya Abba dan kak Syakib tidak melihat Artha. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika abba dan kakaknya tahu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments
Ummi Na Ssya
setuju banget....
aku lebih hobi baca2 daripada ngumpul2
2023-01-14
0
Happyy
😘😘😘😘
2021-01-24
0
David Arkhana
Bengal bener si Artha wkwk
2020-09-07
0