Chapter #3

Berusaha menilai diri sendiri itu sulit. Maka dari itu berterima kasihlah kepada orang yang pandai menilai dirimu.

__________

Artha bungkam sebungkam-bungkamnya saat mamanya bertanya kenapa keningnya memar. Ia tidak akan mengatakan kalau tadi dia terjatuh di jalan dan keningnya itu terbentur stang motor. Bisa-bisa mamanya itu akan membrondongi dirinya dengan beribu pertanyaan. Rasa sayangnya kepada sang mama memang besar, tapi ia tidak suka kalau mamanya itu menampakkan rasa sayang kepadanya berlebihan. Cukup lakukanlah apa yang Artha lakukan kepadanya gitu.

"Artha kamu dengar Mama, kan? Kenapa kening kamu memar gitu? Terus kenapa jari kamu ada yang dipakaikan handsaplas gini?" Tangan lembut sang Mama yang sebelumnya menyentuh kening Artha kini beralih ke jari telunjuk Artha.

"Tadi aku kepeleset."

"Dimana? Kapan?"

Tuh kan. Apalagi kalo Mama tau kalo gua jatoh dari motor gara-gara darah gua turun coba.

"Itu, apa namanya, kamar mandi, aku kepeleset di kamar mandi, Ma."

"Loh kok bisa sampe kepeleset sih, kamu enggak lagi ngigo kan, Tha?"

"Intinya tadi aku kepeleset, Ma. Udah, ya, aku mau istirahat, aku mau tidur siang."

Mama Artha hanya menggelengkan kepala. "Jangan lupa cucian dulu sebelum tidur, Tha."

"Ya, Ma."

Terbebas dari pertanyaan mama. Lega rasanya. Artha langsung mengambrukkan tubuhnya ke atas kasur empuknya. Saat ia memejamkan mata sialnya senyuman perempuan itu memenuhi penglihatannya. Ada apa dengan Artha? Ia langsung bangun dari posisinya.

"Kenapa sih lu, Tha." Artha mengusap wajahnya pelan. Ia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya setelah ini ia akan tidur siang.

Dan lagi-lagi tidurnya terganggu karena perempuan itu. Berani-beraninya ia hadir kedalam mimpi Artha. Artha benar-benar gila cuma karena senyumnya. Ia baru saja memejamkan mata lima menit yang lalu, rasanya ia sudah tidak bergairah lagi untuk tidur.

Artha memilih untuk ke balkon rumah, menikmati angin segar yang berhembus mengenai wajah putihnya. Ya Artha laki-laki berkulit putih, dia keturunan Tionghoa. Tapi ada hal yang ia hindari, cahaya matahari, terkadang wajahnya suka memerah kalau terkena cahaya matahari. Dia hanya putih seperti warna kulit orang Indonesia biasanya, tidak seputih bule-bule yang suka mampir cuma buat foto-fotoin pemandangan, bukan.

Artha itu selalu terlihat rapih, ia terlihat seperti laki-laki yang apik menjaga diri. Aroma tubuhnya pun wangi, walaupun ada aroma-aroma asap rokok, tapi itu tidak menyengat. Mau seperti apapun, Artha akan terus terlihat tampan, tidak bisa dibohongi lagi ketampananya itu.

"Gua enggak kayak gini sebelumnya. Gara-gara dia gua enggak ngerokok dari sepulang sekolah sampe jam lima sore begini. Gua enggak nyaman wajah dia ada di penglihatan gua, tapi gua merasa tenang kalo ada di samping dia."

"Gua harus menghindar dari dia, gua enggak akan bisa terus-terusan dihantui sama ... ah malu rasanya mengatakan hal yang sebenarnya kalo gua tergila-gila sama senyumnya itu."

"Apa bener yang Rio bilang, kalo gua itu jatuh cinta sama Syahla? Ah enggak mungkin. Selama enam belas tahun ini gua enggak pernah jatuh cinta sama perempuan. Apalagi perempuan itu baru gua kenal. Mustahil."

"Tapi ...." Artha mengacak-ngacak rambutnya frustasi.

"Oh ternyata anak satu-satunya Mama ini lagi jatuh cinta."

Artha tersentak, ia merutuki dirinya sendiri, Mama mendengar ucapannya, ah memalukan! Jurang mana jurang gua mau terjun.

"Mama denger semua yang Artha omong?"

Mama Artha mengangguk sambil tersenyum. "Hm."

"Kalo kamu emang jatuh cinta sama dia. Kejar, Mama dukung kamu kok."

Mama enggak tahu kalo gua sama Syahla itu punya perbedaan. Agama gua sama agama Syahla itu berbeda. Andai Mama tau itu. Gua yakin dia bakal ceramah.

"Enggak, Ma, Artha enggak suka sama dia."

"Jangan bohongi perasaan kamu sendiri, Tha. Kalo ada waktu ajak, ya, siapa tadi ... hmm ... Syahla, kerumah. Oke?" ucap Mama sambil berjalan menjauh.

Ancur!

***

"Kamu ini anak Papa satu-satunya. Papa rewel sama kamu, kejam sama kamu, bukan berarti Papa benci sama kamu. Papa itu sayang sama kamu. Papa enggak mau anak Papa satu-satunya ini malah jadi anak yang enggak berguna. Banggain Papa, Tha. Itu harapan Papa. Jangan jadi anak nakal, jangan suka cari masalah, dan JANGAN MEROKOK!"

"Kamu tahu, eyangmu meninggal karena rokok di usia yang masih dibilang muda. Sejak saat itu Papa benci merokok, dan kamu harus hindari rokok, Artha. Papa enggak mau orang yang Papa sayangi itu tersakiti kembali cuma karena rokok, hanya itu."

"Dan, denger-denger dari Mama, katanya kamu lagi jatuh cinta ya sama siswi di sekolah. Siapa namanya, Ma?"

"Syahla."

"Nah itu dia, Papa tahu siapa dia. Jangan sampai ya kamu buat Papa malu. Jangan mencoba hal-hal buruk hanya untuk mendapatkan apa yang kamu mau, ingat! Nah sekarang kamu berangkat ke sekolah."

Ya seperti itulah Papanya setiap pagi. Ceramahan panjang lebar yang tidak pernah berubah topik, hanya saja ada topik baru pagi ini. Dan itu terjadi karena Mama. Mama pasti cerita sama Papa.

Selama enam belas tahun tahun ia hidup di dunia ini, ia paling takut sama Papa. Dia tidak pernah berani membantah Papa. Entahlah mengapa, ia sangat hormat dengan Papanya itu.

"Yaudah, Pa, Ma, aku berangkat."

Pagi ini ia tidak bergairah untuk sekolah sebenarnya. Dan itu semua terjadi karena Syahla, ya karena wanita itu ia harus dibuat malu di rumah. Mama terus saja menggodanya, dan Papa, seperti yang kalian lihat, dia malah menasihati Artha kalau mau mendapatkan apa yang dia mau jangan mencoba hal-hal buruk. Apa coba?

"Gua belum bilang kalo gua jatuh cinta sama si Syahla. Gua yakin sekolah bakal gempar kalo Mama kasih tau ke Rio. Gila-gila. Gua enggak mau nama gua ini tercemar. Gua belum pernah jatuh cinta sama perempuan," oceh Artha di sela kemudinya.

Sesampai di sekolah dia langsung belok ke belakang kantin. Kemarin dia hanya merokok pagi sebelum sekolah, jadi hari ini dia harus merokok di belakang kantin. Mumpung papa belum berangkat ke sekolah. Telinga Artha sudah kebal dengan nasihat papa, baginya itu hanya sebuah alunan musik yang hanya ia dengar tanpa harus ia ikuti.

Artha langsung mengambil sebatang rokok dari dalam kotak rokok. Ia menghirup asapnya melalui mulut dan mengeluarkannya melalui hidung. Itu menenangkan, dan tentunya menyenangkan.

"Astaghfirullah, Artha kamu merokok di sekolah? Kan Orangtua kamu sendiri selaku Kepala Sekolah yang melarang muridnya untuk merokok di area sekolah."

Artha menoleh santai, saat melihat siapa yang berbicara, wajahnya nampak tidak santai.

"Lu ngapain sih! Pergi sono. Nanti yang ada malah elu yang kena masalah."

"Aku lagi buang sampah, aku liat semak-semak goyang, taunya kamu lagi asik ngerokok. Kamu matiin enggak rokoknya!"

"Enggak!"

"Aku aduin ya ke ayah kamu?"

"Aduin aja, emang berani. Mau kena masalah sama gua?"

"Iya aku berani, lihat aja, aku bakal aduin sekarang juga." Syahla benar-benar pergi.

"Wah nekat dia." Artha langsung mematikan rokoknya dan mengejar Syahla yang berjalan tetapi terlihat seperti berlari.

"Berenti, Sya."

"Woi!"

"Lu berenti enggak!"

Artha geram, akhirnya ia menarik lengan Syahla, dan ... mereka terjatuh untuk yang ke dua kalinya.

"Artha! Syahla! Ikut Ibu ke ruang BK!"

Sungguh memalukan, mereka terjatuh dengan posisi yang benar-benar memalukan. Dan sialnya tepat di saat itu Bu Asma si guru BK lagi keliling sekolah. Memalukan!

***

Teriknya matahari pagi membuat mata dua orang yang sedang terkena hukuman ini tersilau-silau. Belum sempat memberikan penjelasan mereka sudah mendapat hukuman berdiri di tengah lapangan.

"Ini gara-gara kamu tau," gerutu Syahla.

"Lah siapa suruh, gua kan udah bilang, kalo lu enggak pergi malah elu nanti yang kena masalah, realy? Gimana enak enggak kena masalah?"

"Aku kesel sama kamu, Ar. Kamu berani-beraninya nyentuh aku. Selama ini aku jaga kulit aku agar tidak tersentuh laki-laki yang bukan makhram aku. Tapi kamu, sudah berapa kali kamu nyentuh aku. Aku benci sama kamu."

Hening.

"Jangan terlalu benci, benci bisa jadi cinta."

Setelahnya kembali hening.

"Assalamu'alaikum, Syah, *i*nnalillahi. Gimana kamu bisa kena masalah kayak gini sih, Syah?"

"Wa'alaikumsalam warrahmatullah, itu tuh War, gara-gara Artha aku kena masalah, padahal ini bukan salah aku," gerutu Syahla sambil menekuk wajahnya yang sudah setengah berkeringat.

Wardani melirik sekilas ke arah Artha, ternyata Artha sedang menatapnya tajam, ia langsung mengalihkan pandangannya. Wardani tidak suka mencari masalah.

"Lu sendiri yang buat masalah."

"Kamu tuh."

"Elu."

"Kamu!"

Wardani menggaruk telungkuknya yang tidak gatal. "Yaudah deh, Syah, yang sabar, ya. Oh ya tadi kata Husna kalo aku ketemu Syahla sepulang dari ruang guru, dia bilang nanti pas istirahat kamu disuruh ke kantin, dia nunggu kamu di kantin."

"Ya, War, terima kasih, ya."

"Iya sama-sama, yaudah aku balik ke kelas, ya, semoga hukumannya cepat-cepat selesai. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam warrahmatullah."

Niatnya ingin melirik tajam tiba-tiba wajah Syahla shock melihat wajah Artha yang sebelumnya putih kini memerah.

"Ka ... kamu kenapa, Ar?"

Artha yang sebelumnya memperhatikan ke arah lain kini menatap wajah Syahla bingung. "Apanya yang kenapa?"

"Kok muka kamu merah?"

Artha diam sejenak, ia melihat pergelangan tangannya, benar, kulitnya mulai memerah.

"Gua alergi cahaya matahari. Apalagi panas."

"Lho, yaudah kamu aku izinin ke Bu Asma ya, biar aku aja yang selesain hukumannya?"

Tumben baik. Tadi sangar, seru nih kalo pura-pura pingsan.

"Duh, Sya, kepala gua pusing, gua mau pingsan, pangku gua Sya. Aduh Sya."

"Ih gimana, ak ... aku bingung, Ar, aku panggilin teman-teman, ya. Aku enggak bisa," wajah Syahla terlihat panik.

"Sya, enggak kuat, Sya."

"Ar."

Artha pura-pura mengolengkan tubuhnya, berhasil ... Syahla menahan lengan Artha agar tidak terjatuh. Artha sengaja memejamkan matanya.

"Ih Artha, aku itu enggak suka kalo liat kamu sakit. Soalnya kamu ngeribetin. Ih Arr ... berat! Bangun ngapa sih."

Ngeribetin dia bilang?

Artha langsung bangkit lalu tertawa sendirian.

"Kamu boongin aku?"

"Ya."

"Kamu jahat!"

Kali ini Syahla benar-benar diam. Artha pun bingung, ia yang memulai ide jail, ia bingung menghentikannya, akhirnya, garing seperti tadi. Dan kini hening kembali.

"Sya?"

"Sya?"

"Syahla?"

"Hm."

"Gua minta maaf deh, gua salah."

"Aku enggak marah."

"Masa diem?"

"Ya emang aku biasa diem."

Dan Artha pun kehilangan kata-kata.

"Yaudah mulai sekarang kita temenan, gua enggak bakal nyentuh lu lagi, kalo enggak darurat. Dan gua enggak bakal jailin lu lagi. Janji."

"Jangan sering mengumbar janji."

"Terus gua harus apa?"

"Diem, aku enggak suka cowok banyak omong. Aku berharap setelah ini aku enggak bakal berurusan lagi sama kamu."

Seh nyelekit ya.

"Gua enggak pernah ngajak perempuan temenan sebelumnya, dan lu, najis, sok jual mahal lu." Artha mulut mu.

"Terserah kamu mau bilang apa."

Setelahnya mereka saling bungkam sampai bel pertanda istirahat berbunyi. Hukuman mereka selesai sampai bel istirahat berbunyi.

Baru satu langkah Syahla menjauh, tiba-tiba pandangan tidak mengenakan ada di hadapanya. Mata Artha sayup, wajahnya memerah, keringat bercucuran dimana-mana, ia terlihat tidak baik-baik saja.

Dia lagi enggak bohongin aku, kan?

"Lu pergi aja, gua bisa urus diri gua sendiri," ucap Artha dingin.

"Lu bilang lu enggak mau berurusan sama gua kan setelah ini, yaudah lu pergi aj—"

Brukk...

Dimana-mana kalau kena hukuman bareng antara perempuan dan laki-laki yang akan kekurangan energi itu perempuan, dan ini ... ingat Syahla ini bukan novel.

"Ar? Kamu kenapa, Ar? Ya Allah, Tolong! Tolong!"

***

Ucapan Syahla yang katanya tidak ingin berurusan lagi dengan Artha gagal. Ia tidak bisa menyalahkan keadaan. Mana mungkin ia membiarkan Artha tergelepak di lapangan, akhirnya ia membantu Artha sampai ke UKS, dan sekarang ia masih berada di UKS karena dokter penjaga UKS lagi dicariin, dia lagi makan di kantin. Ampun deh!

"Sya?"

"I ... iya, kamu udah sadar?"

Artha berusaha bangun, dia terlihat tidak baik-baik saja.

"Tolong jangan kasih tau papa gua kalo gua ngerokok, dan soal pingsan itu, tolong jangan kasih tau juga."

"Tapi banyak orang yang tau, Ar. Percuma juga aku tutup mulut, ayah kamu pasti tau."

"Mereka enggak akan berani bilang ke papa gua, dan lu, apa lu bakal bilang ke papa gua?"

Syahla menggeleng lemah. "Aku cuma bakal bilang kalo kamu merokok, aku enggak suka laki-laki perokok, merokok itu membuat kamu sakit, kamu tau kan rokok itu berbahaya? Aku bukan sok perduli sama kamu, aku cuma enggak suka aja kamu ngerokok, saat kakakku merokok saja mulutnya hampir aku tampar, untung tidak jadi."

"Tuh kan aku jadi cerita," ucap Syahla pelan.

Satu hal yang Artha tau, Syahla ini tipe wanita pendiam, tetapi saat dia sudah bicara, dia akan mudahnya bercerita entah kemana.

"Please kali ini aja, apa lu tega liat gua di siksa dua kali, kalo gua mati mendadak gimana?" Ucapan Artha berhasil membuat Syahla kikuk.

Perbincangan mereka terhenti saat suara pintu diketuk terdengar.

"Masih ada di dalam?" Suara itu menyadarkan Syahla akan sesuatu.

"Astaghfirullah," desis Syahla pelan. Ia baru tersadar bahwa sedaritadi ia berduaan dengan Artha di dalam ruangan tertutup. Ia langsung berlari menjauh, ah rasanya ia ingin menangis. Rasa kesal terhadap Artha kini timbul kembali. Sejak Artha menabraknya waktu itu, apa yang ia sudah jaga ketat malah tersentuh olehnya. Dan kini, untuk kesekian kalinya ia melakukan kesalahan.

Ya Allah mengapa aku harus mengenalnya, berurusan dengannya. Aku ingin bunda bangga, seperti yang bunda bilang. Aku harus jadi sebaik-baiknya perhiasan di dunia, menjadi seorang wanita sholehah.

Setetes airmata membasahi pipi Syahla. Ia mengabaikan orang-orang yang menatapnya heran. Ia pun baru teringat, Husna menunggunya di kantin. Ya Allah, maaf Ya Allah.

Andai tadi ia memilih untuk langsung ke kantin tanpa harus menunggu Artha di ruang UKS. Ia merutuki nasibnya sendiri. Ada apa dengan dirinya ini. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Kemana Syahla yang dulu.

"Syah?"

Syahla langsung menoleh, senyuman Husna sedikit menghilangkan rasa kecewanya itu. Untung saja Husna tidak marah.

"Lho ... lho, kok mata kamu sembab, bulu mata kamu juga basah, kamu nangis? Siapa yang bikin kamu nangis? Bilang sama aku." Wajah khawatir Husna terlihat jelas.

Syahla memeluk Husna, ia menangis di pelukan Husna. Selama ia sekolah di SMA ini, sahabat terbaiknya adalah Husna. Husna selalu mengerti akan dirinya. Padahal ia baru berteman satu tahun enam bulan dengan Husna, tapi rasanya ia sudah kenal lama dengan Husna. Ia berharap pertemanannya itu akan berlangsung sampai ke Surga.

"Syah? Kamu kenapa?" Suara Husna melembut, Syahla sudah melepaskan pelukannya. Ia menunduk rapuh. Ia bingung. Selama ini ia selalu terbuka dengan Husna, begitu juga Husna. Tapi untuk kali ini, ia malu berbagi cerita dengan Husna.

Syahla menggeleng. "Aku enggak apa-apa kok."

Husna tersenyum. "Aku tahu air muka kamu kalo lagi bohong, jujur sama aku."

Syahla pasrah, ia tidak mau hanya karena ini pertemanannya dengan Husna merenggang. Akhirnya ia ceritakan semuanya kepada Husna. Husna malah kesal dengan Artha. Dia bilang saat bertemu nanti dia akan omeli si Artha itu.

"Jangan ... udah cukup, aku enggak mau berurusan sama dia lagi."

Karena Syahla berbicara dengan nada memelas Husna pun meluluh.

"Demi kamu," ucap Husna dengan nada kesal.

Syahla hanya tersenyum. Husna saat marah sangat lucu, pipinya yang tembam membuat Syahla gemas. Akhirnya Syahla mencubit gemas pipi kanan dan kiri Husna.

***

Artha mendorong Fahriz selaku dokter kecil di sekolah. Ia merasa sudah baik, entah mengapa ia kesal dengan Fahriz. Karena Fahriz Syahla pergi.

Lihat, ada apa dengannya?

Artha mengikuti langkah Syahla. Artha kebingungan saat melihat Syahla menangis. Ada apa dengan Syahla. Apa dia melakukan sesuatu sampai Syahla menangis.

Baru saja ia ingin mendekat, tapi terurungkan saat ia melihat Husna si mulut mercon menghampiri Syahla. Ia malas mendengar ocehan, akhirnya ia hanya bisa melihat Syahla dari kejauhan. Syahla menangis di pelukan Husna.

Artha baru tersadar, untuk apa dia memperhatikan Syahla. Dan sejak kapan ia perduli dengan Syahla. Siapa Syahla. Dia baru saja mengenal Syahla beberapa hari yang lalu, dan ini, apa ini. Apa benar saat ini Artha benar-benar Artha. Sejak kapan Artha perdulikan perempuan selain mamanya. Sejak kapan hati nuraninya mulai ikut dalam kehidupannya.

Artha akhirnya memilih untuk pergi. Ia langsung pergi ke kelas, Rio pasti menunggunya di kelas. Langkahnya terhenti saat ia mendengar seseorang menyebut namanya dan nama Syahla, ia menoleh ke sumber suara.

Ia tidak mengenali siapa dua laki-laki di hadapannya. Pada intinya, ingin rasanya saat itu juga ia menelan hidup-hidup dua laki-laki itu. Dia bilang, Syahla yang jual mahal tiba-tiba ngerendah ketika didekati Artha. Bahkan mereka mengata-ngatai Syahla perempuan munafik.

Bugh...

"Lu berdua enggak tau apa-apa tentang gua dan Syahla. Segitu mudahnya lu menilai Syahla. Dia lebih baik dari lu." Artha memukuli dua laki-laki di hadapannya. Mereka berdua melawan, tetapi tiba bisa melawan Artha.

"Sekali lu kena pukul sama gua, panjang urusan lu. Gua incer muka lu." Setelahnya Artha pergi begitu saja sambil menendang tong sampah agar jatuh dan mengenai salah satu laki-laki yang tergeletak di lantai.

Dua laki-laki itu nampak tidak suka. Mereka menyumpahi Artha dengan berbagai bentuk sumpah serapah. Artha tidak perduli, baginya, saat ia sudah melihat orang yang membuatnya kesal bonyok, itu adalah suatu kepuasan, dan ia akan pergi setelah itu. Artha tidak suka memperpanjang hal-hal yang tidak penting.

Sesampai di kelas Rio langsung menyambutnya dengan berbagai macam pertanyaan. Tidak ada satu pun pertanyaan Rio yang Artha jawab. Saat ini ia sedang menahan rasa emosi yang entah datang dari mana. Ia kesal pada dirinya sendiri.

"Lu kenapa bisa kena masalah sama Syahla, Tha? Dan kenapa lu bisa pingsan tadi? Gua baru aja mau nyusul lu, gua juga baru kena hukuman dari bu Ashley."

Artha masih terdiam, lama-lama ocehan Rio membuatnya muak. Ia tahan emosinya, ia tidak mau menjadikan Rio pelampiasan rasa emosinya ini. Sesegara mungkin ia menatap Rio dengan tatapan tajam. Rio langsung diam, itulah cara Artha membuat Rio diam.

Artha mengambrukkan kepalanya di meja.

***

Di tengah pelajaran Artha di panggil papanya untuk ke kantor. Ia sudah tahu apa yang akan papanya bicarakan, rasanya ingin sekali ia tidak memenuhi permintaan papanya itu. Seperti ia mengabaikan guru-guru lain.

Dari pada ia akan di permalukan papanya sendiri di depan orang banyak. Lebih baik ia dengarkan saja ocehan papanya itu. Ya walaupun telinga rasanya belum siap untuk mendengarnya.

Seperempat jalan ia menoleh ke arah lapangan, matanya terkunci pada sesosok perempuan berjilbab panjang yang sedang asyik bermain bola basket. Ia tidak menyangka ternyata perempuan sekalem Syahla bisa bermain bola basket.

Bukannya segera menghampiri papanya di Kantor Kepala Sekolah ia malah gagal fokus hanya kerena senyuman Syahla. Baru pertama kali ini ia merasakan sebuah sensasi di hatinya saat melihat senyuman dari seorang perempuan.

"Artha ... Papa panggil kamu ke ruangan Papa, bukan di lapangan basket."

Artha tersentak, saat ia menoleh kembali ke arah lapangan ternyata para perempuan yang di sana sedang memperhatikan Artha dan Papanya dengan tatapan bingung.

Gayung mana gayung, tolong muka gua tutupin bentar.

Terpopuler

Comments

Msyururriah

Msyururriah

Thor saya minta endingnya pemeran utama bahagia , kalo bisa hidup bersama

2023-01-17

0

Hilya Safa

Hilya Safa

tersihir senyuman bidadari yatha😄

2021-02-02

0

Hilya Safa

Hilya Safa

😜 tutupin pake ember ajh sekalian

2021-02-02

0

lihat semua
Episodes
1 Chapter #1
2 Chapter #2
3 Chapter #3
4 Chapter #4
5 Chapter #5
6 Chapter #6
7 Chapter #7
8 Chapter #8
9 Chapter #9
10 Chapter #10
11 Chapter #11
12 Chapter #12
13 Chapter #13
14 Chapter #14
15 Chapter #15
16 Chapter #16
17 Chapter #17
18 VISUAL
19 Chapter #18
20 Chapter #19
21 Chapter #20
22 Chapter #21
23 Chapter #22
24 Chapter #23
25 Chapter #24
26 Chapter #25
27 Chapter #26
28 Chapter #27
29 Chapter #28
30 Chapter #29
31 Chapter #30
32 Chapter #31
33 Chapter #32
34 Chapter #33
35 Chapter #34
36 Chapter #35
37 VISUAL
38 Chapter #36
39 Chapter #37
40 Chapter #38
41 Chapter #39
42 Chapter #40
43 Chapter #41
44 Berteman
45 Chapter #42
46 Chapter #43
47 Chapter #44
48 Chapter #45
49 Chapter #46
50 Chapter #47
51 Chapter #48
52 Chapter #49
53 Chapter #50
54 Chapter #51
55 Chapter #52
56 Chapter #53
57 Chapter #54
58 Chapter #55
59 Chapter #56
60 Chapter #57
61 Chapter #58
62 Chapter #59
63 Chapter #60
64 Chapter #61
65 Pengumuman
66 Chapter #62
67 Chapter #63
68 Chapter #64
69 Chapter #65
70 Chapter #66
71 Chapter #67
72 Chapter #68
73 Chapter #69
74 Chapter #70
75 Chapter #71
76 Chapter #72
77 Chapter #73
78 Chapter #74
79 Chapter #75
80 Chapter #76
81 Chapter #77
82 Chapter #78
83 Chapter #79
84 Chapter #80
85 Chapter #81
86 Chapter #82
87 Chapter #83
88 Chapter #84
89 Chapter #85
90 Chapter #86
91 Chapter #87
92 Chapter #88
93 Chapter #89
94 Chapter #90
95 Chapter #91
96 Chapter #92
97 Chapter #93
98 Chapter #94
99 Chapter #95
100 Chapter #96
101 Chapter #97
102 Chapter #98
103 Chapter #99
104 Chapter #100
105 Chapter #101
106 Chapter #102
107 Chapter #103
108 Chapter #104
109 Chapter #105
110 Chapter #106
111 Chapter #107
112 Chapter #108
113 Chapter #109
114 Chapter #110
115 Chapter #111
116 FREE
117 ENDING
118 Trailer Rilis
119 Komentar Favorit Author
120 Info
Episodes

Updated 120 Episodes

1
Chapter #1
2
Chapter #2
3
Chapter #3
4
Chapter #4
5
Chapter #5
6
Chapter #6
7
Chapter #7
8
Chapter #8
9
Chapter #9
10
Chapter #10
11
Chapter #11
12
Chapter #12
13
Chapter #13
14
Chapter #14
15
Chapter #15
16
Chapter #16
17
Chapter #17
18
VISUAL
19
Chapter #18
20
Chapter #19
21
Chapter #20
22
Chapter #21
23
Chapter #22
24
Chapter #23
25
Chapter #24
26
Chapter #25
27
Chapter #26
28
Chapter #27
29
Chapter #28
30
Chapter #29
31
Chapter #30
32
Chapter #31
33
Chapter #32
34
Chapter #33
35
Chapter #34
36
Chapter #35
37
VISUAL
38
Chapter #36
39
Chapter #37
40
Chapter #38
41
Chapter #39
42
Chapter #40
43
Chapter #41
44
Berteman
45
Chapter #42
46
Chapter #43
47
Chapter #44
48
Chapter #45
49
Chapter #46
50
Chapter #47
51
Chapter #48
52
Chapter #49
53
Chapter #50
54
Chapter #51
55
Chapter #52
56
Chapter #53
57
Chapter #54
58
Chapter #55
59
Chapter #56
60
Chapter #57
61
Chapter #58
62
Chapter #59
63
Chapter #60
64
Chapter #61
65
Pengumuman
66
Chapter #62
67
Chapter #63
68
Chapter #64
69
Chapter #65
70
Chapter #66
71
Chapter #67
72
Chapter #68
73
Chapter #69
74
Chapter #70
75
Chapter #71
76
Chapter #72
77
Chapter #73
78
Chapter #74
79
Chapter #75
80
Chapter #76
81
Chapter #77
82
Chapter #78
83
Chapter #79
84
Chapter #80
85
Chapter #81
86
Chapter #82
87
Chapter #83
88
Chapter #84
89
Chapter #85
90
Chapter #86
91
Chapter #87
92
Chapter #88
93
Chapter #89
94
Chapter #90
95
Chapter #91
96
Chapter #92
97
Chapter #93
98
Chapter #94
99
Chapter #95
100
Chapter #96
101
Chapter #97
102
Chapter #98
103
Chapter #99
104
Chapter #100
105
Chapter #101
106
Chapter #102
107
Chapter #103
108
Chapter #104
109
Chapter #105
110
Chapter #106
111
Chapter #107
112
Chapter #108
113
Chapter #109
114
Chapter #110
115
Chapter #111
116
FREE
117
ENDING
118
Trailer Rilis
119
Komentar Favorit Author
120
Info

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!