Menggapaimu bagaikan menggapai awan. Semakin kudekati semakin menjauh.
__________
Hari Senin adalah hari yang paling Artha benci. Karena di hari Senin ia harus merelakan tubuhnya tersengat matahari yang menyengat. Apalagi untuk disuruh terus tegap, sungguh itu sangat menyiksa. Belum lagi mendengar ceramahan papanya setiap mendapat bagian untuk menyapaikan sepatah dua patah kata di tengah upacara. Bilangnya si, "saya enggak banyak-banyak," tapi apa, 30 menit lewat kalau dia sudah ceramah.
"Ma, Artha telat ke sekolah niat dari rumah bisa enggak sih? Males, Ma, dijemur di lapangan."
Mama Artha menggeleng. "Ada-ada saja kamu Artha, coba Mama tanya sama Papa, ya, siapa tahu kamu diizinin."
Baru satu langkah Mamanya melangkah Artha langsung menahannya, kalau berurusan dengan papanya bisa-bisa pagi ini ia akan mendapat ceramahan dua kali, di rumah dan di sekolah.
"Enggak usah, Ma, Artha bercanda kok, yaudah Artha otw dulu, bye."
"Bye, hati-hati di jalan, ya."
"Siap."
Motor tercintanya yang sudah megikuti berbagai keluh kesah dalam hidupnya sudah terpampang di depan pintu. Sudah pasti Mamanyalah yang memanaskan motornya itu. Artha sedikit ngeyel kalau disuruh untuk memanaskan motor, hal sepele itu bisa membuahkan suatu kejadian luar biasa yang tidak dapat diketahui oleh siapacpun kalau tidak dilaksanakan.
***
Sesampai di sekolah Artha langsung belok ke arah kantin. Bukan untuk makan tapi untuk merokok di belakang kantin. Siapa yang bisa melarangnya. Tidak akan ada yang berani, untuk mengadu kepada papanya pun ia yakin tidak ada yang berani.
Sekali terkena masalah dengan Artha maka berlarut-larutlah sebuah hal yang tidak diinginkan terjadi pada orang yang mencari masalah itu. Siapa yang tidak kenal Artha kalau sudah marah. Pisau dan tombak pun berani ia bawa untuk segera mentikam orang yang mencari masalah dengannya.
"Tha?"
"Hmm."
Dia Rio teman dekat Artha sejak SD. Laki-laki berkulit putih kemerahan itu sangat setia mengintil Artha kemana pun. Orang-orang menyebutnya buntut Artha, karena kemana pun Artha pergi pasti ada dia.
"Bokap udah dateng, matiin udah tuh rokok, ketawan bisa digantung lo di tiang bendera."
Artha langsung mematikan rokok yang sebelumnya menyala. Ia langsung menyemprot bajunya dengan parfume yang tidak pernah absen ia bawa untuk menghilangkan bau asap rokok di bajunya. Dia langsung melangkah ke kelas, tas masih setia ia gemblok.
"Pagi, Tha."
Artha tidak melirik sedikit pun. Dia malah memutar bola matanya malas. Yang menyapanya itu Anya. Perempuan yang wajahnya mirip barby saja tidak dilirik sama dia, tidak kebayang yang tipe-tipe masih ingusan lagi makan bakso.
"Pagi juga, Nya."
Jawaban itu bukan berasal dari mulut Artha, tetapi dari mulut Rio yang masih setia mengintil Artha di belakangnya.
Anya hanya tersenyum simpul sambil melambaikan tangan kepada Rio. Anya itu perempuan ramah, dia mudah akrab dengan siapa saja. Selama hidupnya ia belum pernah pacaran, di saat dia suka sama laki-laki, laki-laki itu malah cuek bebek. Ibarat cat yang sudah kering dikerokin, bakal tetap menyisa secercah-dua cercah. Sekali pun ditimpali dengan warna lain, warna cat yang sebelumnya masih tetap membekas di dalam. Begitulah yang Anya rasakan saat ini.
"Anya kasian ege, Tha, lu tega amat. Emang dia kurang apaan sih? Gila cantiknya, cewek idaman banyak cowo, apa lu enggak sama sekali terpesona gitu, Tha?"
Artha tidak menjawab ucapan Rio. Dia malah sibuk mengotak-ngatik ponselnya yang beberapa kali bergetar.
"Siapa sih?"
Artha menggedikkan bahu. "Ada yang bom chat gua, tapi gua enggak tau siapa, gua blok aja lah bodo amat."
Rio hanya menggeleng. Temannya ini memang rada-rada. Tingkat kecuekannya itu sudah sulit dideskripsikan. Anak itu selain keras kepala dia juga tidak suka direcoki urusannya, yang ada bonyok muka kalau amuknya kumat.
Di kelas XI IPS 3 ini anak-anaknya rada kurang ajar. Guru sudah datang mereka malah masih asik dengan kesibukannya masing-masing. Apalagi yang ngajar itu guru yang tidak bisa ngomel, bisa-bisa nangis guru itu, dan lagi-lagi kelas itu akan mendapat hukuman menyapu halaman bersama.
"Artha yang lain sudah mulai kondusif kamu bisa enggak ponselnya ditaruh dulu."
"Tha udah taro napa, kasian Bu Moza, dia lagi hamil ege, kalo kekeselan dia brojol di mari, kan, bahaya. Hukumannya bukan nyapu lapangan lagi, bisa-bisa jalan raya."
Artha tidak menggubris ucapan siapa pun. Dia masih asik mendengar musik favoritnya menggunakan earphone.
"Udah, Bu, lanjut aja, biarin si Artha mah kaga mau belajar dia," ucap Rio.
Plak...
"Lu mau ngajak gulet? Gua mau belajar."
"Eh i ... iya sorry elah."
Semua cekikian menertawakan Rio yang wajahnya sudah memelas.
Artha langsung melepas earphone dari telinganya dan memasukan ponselnya kedalam saku. Dia mengeluarkan satu buku tulis dan satu buku LKS. Bu Moza bernapas lega, ia tidak harus menahan kesal untuk kesekian kalinya menghadapi anak Kepala Sekolah ini.
Baru sepuluh menit mendengarkan Bu Moza menjelaskan rumus-rumus Matematika Artha sudah kewalahan mendengarnya. Dia memilih melipat tangan di atas bangku dan terlelap menemui mimpi indahnya.
Lagi-lagi Bu Moza hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kali ini Rio tidak berbicara apa-apa, setan Artha banyak kalau lagi ngatuk, bisa-bisa kepalanya benjol pulang dari sekolah. Marwan yang mempunyai jabatan Ketua Kelas saja tidak berani, apalagi dia yang jabatannya cuma buntut Artha.
***
"Tha-tha, lu mau ke kantin enggak? Nanti kalo gua enggak bangunin kena dampratnya gua pulang sekolah."
Artha menggeliat, matanya memerah layaknya orang baru bangun tidur. Bukannya menunggu Rio dia malah langsung ngacir begitu saja.
Rio mengepalkan kedua tangannya sambil menampakkan wajah kesal khas cewek habis disakitin cowok
***
Rio mengedarkan kepalanya mencari di mana si Artha duduk, kepadatan kantin bikin kepalanya muter-muter, pengen jambak rambut sendiri rasanya, tapi sayang sakit.
Plak...
Sedotan es mengenai muka Rio, baru saja ingin memaki orang yang melemparnya tetepi tidak jadi saat tahu siapa yang melempar.
"Gua muter-muter cari lu eh taunya ada di belakang gua."
Artha hanya tersenyum miring, dia tidak sendiri, ada dua laki-laki dari kelas lain yang ikut duduk bersamanya. Namanya John dan Angga, mereka teman nongkrong Artha selama di SMA.
"Gua udah pesen tuh buat lu, lu berdua temenin Rio makan, gua mau ke toilet."
"Terima kasih banyak Arthaku, hati-hati dicegat cabe-cabean."
Artha tidak menggubris ucapan Rio, dia terus melangkah menuju tujuannya.
"Tha ... Tha ...."
Artha sudah sangat kenal siapa pemilik suara itu. "Paan?"
Anya sangat bahagia ketika Artha menggubrisnya walau dengan jawaban malas-malasan.
"Malem ini acara ulang tahun Ega, kamu mau enggak nemenin aku dateng ke sana?"
"Rio aja." Dia langsung ngacir tanpa kata permisi.
Senyuman yang sebelumnya terukir indah kini luntur kembali. Anya menghentakkan kakinya di lantai.
Lagi serius jalan tiba-tiba Artha menginjak lantai basah yang sedang dipel oleh seorang perempuan, dia terpelesat dan bodohnya dia malah memegang lengan perempuan itu hingga pelan yang digenggam perempuan itu mental entah kemana.
"Astaghfirullah," desis perempuan itu sebelum akhirnya dia jatuh di pelukan Artha.
Baju putih mereka langsung kotor, seketika tempat kejadian riuh dikerumuni banyak orang.
"Syahla!" Teriakan itu berasal dari lorong bagian kanan. Perempuan yang baru saja datang itu langsung membantu perempuan yang terjatuh untuk bangun.
"Ya Allah, Syahla, ada yang sakit enggak? Mana baju kamu kotor lagi, Syah."
Perempuan bernama Syahla itu hanya bisa menunduk, ada suatu hal yang berhasil membuatnya benar-benar rapuh. Ia sudah sekuat tenanga menjaga diri agar tidak akan ada orang yang bukan makhramnya menyentuh tubuhnya, tapi suatu kejadian yang tidak ia harapkan malah terjadi, dan itu terjadi di depan banyak orang. Saat ini hatinya benar-benar sakit.
"Syah?"
"Kamu nangis?"
Syahlah tidak menjawab apapun, ia langsung pergi begitu saja meninggalkan kerumunan yang tercipta saat ini.
"Lu tuh ya, lu udah ngerusak hal yang Syahla udah jaga ketat, jahat lu!" ucap Husna teman Syahla sebelum akhirnya ia pergi untuk mengejar Syahla.
Artha diam sesaat. "Bubar, damn!" gentak Artha seraya bangkit.
***
Artha masih memikirkan apa yang diucapkan oleh Husna tadi. Hal apa yang membuat dia dibilang merusak hal yang sudah Syahla jaga ketat. Apa hal yang membuat dia dibilang jahat. Perasaan cuma jatuh, dan itu pun tidak sengaja. Itu hal biasa yang memang sering terjadi.
"Gua kayaknya harus minta maaf sama tuh cewek." Entah dari mana datangnya ucapan itu hingga bisa keluar dengan lancar dari mulut Artha yang sebelumnya anti meminta maaf.
"Lu yakin?" tanya Rio yang sebelumnya sudah diceritakan oleh Artha.
Artha mengangguk. "Namanya Syahla, anak XI IPA 1, suruh dia ke kantin pas istirahat kedua, kalo lu enggak bisa bawa dia ke kantin, dua minggu lu enggak masuk sekolah."
Rio menelan salivanya dalam-dalam sebelum ia mengangguk setuju.
Seperti sebelumnya Artha menghabiskan dua jam pelajaran dengan tertidur. Pak Mahmud yang notabe-nya masih guru baru bisa berbuat apa, salah ngomong bisa kena imbasnya dari mamanya Artha, istri dari Kepala Sekolah yang terkenal memiliki ucapan pedas.
"Tha, udah istrahat ke dua nih, jadi enggak nih mau minta maaf sama siapa tadi, Syahla."
Mata Artha langsung terbuka. "Lu cari sonoh gua nanti tunggu di bangku biasa."
Sejurus kemudian Rio benar-benar pergi meninggalkan kelas untuk mencari wanita penghuni kelas XI IPA 1 yang bernama Syahla. Semoga saja wanita itu memiliki hati nurani untuk mengasihaninya agar tidak patah tulang.
"Kebetulan, Wis, Wisma, budeg sia." Rio langsung berlari mendekat ke arah Wisma si Ketua Kelas XI IPA 1.
"Gua mohon tolongin gua, bilang si Syahla temen satu kelas lu, suruh nemuin si Artha yang di istirahat pertama bikin dia jatoh, usahain gua mohon, masa lu tega lihat temen satu kampung lu patah tulang sama anak itu. Ya?"
Wisma tertawa. "Bloon, udah lu temuin Artha sono, biar urusan si Syahla gua yang urus, diamah gampang."
Rio tersenyum lega, dengan napas teratur ia berbalik arah untuk menemui Artha di kantin.
***
Walaupun cukup lama menunggu, Wisma akhirnya berhasil membawa Syahla ke kantin. Entah jurus apa yang Wisma keluarkan untuk membujuk si Syahla.
Syahla tidak datang sendiri dia bersama temanya, Husna. Syahla hanya menunduk sementara Husna malah menatap tajam ke arah Artha dan Rio bergantian.
"Gua Artha."
"Udah pada kenal kali, lu, kan, anak paling nakal di sekolah."
Coba saja kalau niatnya bukan untuk meminta maaf sudah ia unyeng-unyeng si Husna.
"Gua cuma mau minta maaf."
Kini Syahla berani mengangkat wajahnya. "Laki-laki gak jantan." Sejurus kemudian dia malah pergi begitu saja tanpa pamit.
"Syahla doanya maqbul lu, bisa aja lu beneran jadi bencong, makanya jantan dong, minta maaf tuh samperin bukan malah nyuruh nyamperin, udah tau situ yang salah. Mentang-mentang kedudukan tinggi, gua juga bisa ya naek meja biar tinggi." Setelahnya Husna ngacir mengejar Syahla.
"Gua pendem di adonan ketapang lama-lama tuh cewek biar bibirnya keras," gerutu Artha.
***
Entah mengapa sampai pulang sekolah Artha masih memikirkan kata-kata yang diucapkan Husna dan Syahla. Sebenarnya ada apa pada dirinya, biasanya ia enggan memikirkan kesalahannya.
"Tha, tadi kamu jatoh, ya? Ada yang sakit enggak?" Anya yang tiba-tiba datang, ia langsung mengelilingi Artha.
"Enggak usah sok perduli, gua enggak suka lo perduliin."
Kata-kata Artha sangat menusuk. Anya merasa saat ini hatinya seakan dihantam beton, sesak, ia benar-benar tidak kuat merasakan semua ini. Apa yang harus ia lakukan agar Artha bisa meliriknya, meladeninya dengan baik, dan tentunya bisa jadi miliknya.
Di pertengahan jalan menuju rumahnya Artha dicegat oleh bapak-bapak, dia sebelumnya enggan untuk berhenti, terurungkan saat ada seorang wanita berkerudung tergelepak di tanah dengan darah mengalir di bagian kaki kanannya.
"Dek, anak SMA Oetomo, kan? Nih temannya ada yang jatuh dari motor kasihan, kakinya berdarah, lukanya enggak berat tapi dia masih lemes, lah orang dia hampir aja mau ketabrak kontener."
Artha langsung turun dari motornya untuk melihat siapa yang jatuh dari motor. Matanya memicing saat melihat wanita yang baru saja ia suruh menemuinya di kantin kini sedang tergelepak lemas sambil terus menangis.
"Lu ikut gua." Artha langsung menaikan Syahla ke atas motornya. Mata Syahla terus menutup ia tidak berani membuka mata. Ia turuti apa yang dititah, ia merasa saat ini sedang berada di tengah hidup dan mati.
"Pak, tolong dijagain motornya, temen saya bakal ngambil motor itu ke sini."
Sesampai di rumah sakit Syahla langsung di tangani. Ketika kakinya sudah diperban dan dia sudah lebih baik Artha masuk ke dalam ruangan. Syahlah sangat terkejut dengan kehadiran Artha, ia tidak tahu kalau Arthalah yang membawanya sampai rumah sakit. Ia seolah tidak ingat dengan apa yang terjadi tadi.
"Kok kamu ada di sini?"
Bukannya menjawab Artha malah diam saja.
"Motor lu ada di parkiran belakang, gua mau pulang."
Sejurus kemudian Artha benar-benar hilang dari pandangan. Syahla masih bingung bagaimana bisa ia ada di rumah sakit bersama Artha. Otaknya berputar mengingat kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu.
"Lu ikut gua." Artha langsung menaikan Syahla ke atas motornya. Mata Syahla terus menutup ia tidak berani membuka mata. Ia turuti apa yang di titah, ia merasa saat ini sedang berada di tengah hidup dan mati.
"Pak, tolong dijagain motornya, temen saya bakal ngambil motor itu ke sini."
"Berarti yang nolong aku Artha? Artha nyentuh aku? Ya Allah ...."
"Bunda, maafin Syasya enggak bisa nepatin janji, Syasya benar-benar enggak niat melakukan ini semua, bunda, maafin Syasya."
***
Syahla pulang dijemput Syakib kakak kandungnya. Ia mengabari kakaknya kalau ia baru saja mengalami kecelakaan ringan dan saat ini ia berada di RS. Mawar yang jaraknya tidak terlalu jauh dari sekolah.
"Kamu gimana naik motornya, Sya, sampe bisa nyusruk gitu? Enggak kebayang kalo kontener itu remnya peret, kegores udah tubuh kamu, masih mending kegores kalo lewat, wallahu 'alam kita enggak bisa ketemu lagi di dunia."
"Kakak mah bukannya bantu nenangin aku biar shock-nya ilang malah bikin aku tambah shock."
"Lagian kamu ceroboh."
Syahla mengerucutkan bibirnya.
"Ke apotek dulu, ya, abba sakit."
"Sakit apa, Kak? Kakak kok enggak ngabarin Syasya kalo abba sakit, Kakak mah jahat."
"Ini kan kita baru ketemu, Sya, et, Kakak rendem di danau sekalian nih anak."
"Ih Kakak ...."
Syahla memilih untuk menunggu di motor saja. Apotek itu Ac-nya dingin, Syahlah paling tidak suka dingin. Sudah gitu aroma obat-obatan sangat mencuak di indra penciuman, itu sangat mengganggu bagi Syahla.
Syahla yang sebelumnya sibuk memutar-mutar sepion kini beralih pandang ke arah pintu apotek. Ia memicingkan matanya, ia seperti tidak asing dengan orang itu, dan benar ia mengenal orang itu.
"Itukan Artha, kenapa ya aku jadi berurusan terus sama dia, aku gondok banget sama dia, seandainya aja aku boleh nampol, udah aku tampol dia sampe babak belur, tapi sayang aku enggak bisa nampol, bisa-bisa aku yang ditampol."
"Apaan, Sya? Kamu habis di tampol orang?"
"Eh, Kakak, enggak itu tadi Syasya lagi kesel sama orang."
"Jangan terlalu kesel, rasa kesel bisa jadi suka. Dari kata suka jadi cinta, kalo udah cinta susah buat ngelupain kalo emang enggak punya pengganti yang mahir membuat kamu lupa cinta kamu sebelumnya."
Syahla menggaruk telungkuknya yang tidak gatal, malas berbincang panjang mengenai cinta Syahla lebih memilih untuk mengangguk saja.
***
Artha benar-benar bingung kenapa hari ini dia sangat sering berurusan dengan Syahla. Jujur saja ia baru pertama kali melihat sosok Syahla, sebelumnya ia mengira Syahla anak baru tapi ternyata tidak. Selama kelas sepuluh ia tidak pernah bertemu dengan Syahla sekali pun. Tapi sekali berurusan dengan dia karena membuat dia jatuh kepelukannya hari ini dia benar-benar bertemu Syahla terus.
"Mungkin dia lagi beli obat," pikirnya lalu pergi begitu saja.
Langkah Artha berhenti saat ia melihat ada laki-laki yang menghampiri Syahla. Syahla terlihat salah tingkah saat laki-laki itu datang.
"Ternyata dia udah punya pacar, pantes waktu gua tatap di kantin kaga baper sama sekali, malah nunduk aja." Artha tersenyum miring. "Tipe wanita setia." Setelahnya ia benar-benar pergi.
Artha ke apotek untuk membeli pil tambah darah, sudah satu minggu ini darahnya mengurang drastis, dia malas kalau bilang kepada mamanya, bisa-bisa dibawa ke Rumah Sakit terus disuruh nginap di sana, terus dimanja-manja, Artha tidak suka diperlakukan terlalu baik.
"Tha, kok pulangnya telat dua jam, kamu dari mana?" Cegat Mama Artha di depan pintu.
"Ada urusan, Ma." Sejurus kemudian dia langsung nyelonong ke kamarnya.
"Dari mana tuh si Artha, Ma? Biar Papa hukum anak itu pulang sekolah malah main dulu, bukannya pulang."
"Enggak usah, Pa, si Artha habis belajar kelompok kok," alibi sang Mama demi menyelamatkan Artha dari amukan Papa.
Papa menghembuskan napas lega. "Buatkan Papa teh hangat ya, Ma."
Mama Artha tersenyum sambil mengangguk. Setelah Papa pergi ke kamar di dalam hati Mama bersyukur Papa percaya.
***
"Syahla itu anak kedua dari dua bersaudara kata Wisma, denger-denger sih katanya dia enggak punya ibu, udah meninggal, gua cuma tau itu, selebihnya lu cari tau sendiri ajalah."
Tut ... tut ....
"Kurang ajar si Rio, main putusin aja tuh sambungan telepon."
Artha memang memerintahkan Rio untuk mencari tau siapa Syahla. Entah mengapa ia ingin tahu banyak tentang Syahla. Baru kali pertama Artha kepo dengan seorang wanita, apalagi wanita itu baru dia kenal.
"Gua ini kenapa sih? Sejak kapan gua belajar kepo, cuma gara-gara ocehan si mulut mercon kalo gua udah ngerusak apa yang si Syahla jaga, gua jadi pengen tau apa makna itu sebenernya."
"Tha, besok tante Devi mau nikahan, kamu libur dulu mau? Biar Mama yang minta izin sama papa."
Biasanya Artha akan langsung mengangguk senang, entah mengapa ia tidak bergairah untuk libur besok. Ada sesuatu yang harus ia perjelas agar ia bisa hilang dari rasa kepo ini.
"Gak ah, Ma, Artha mau sekolah aja."
"Tumben, biasanya kamu langsung ngangguk sambil bilang, makasih Mama."
Artha hanya nyengir kuda.
"Mama besok berangkat pagi-pagi, nanti Mama siapin dulu sarapan buat kamu, Mama sama papa sekarang mau cari kado buat tante Devi."
"Yaudah hati-hati."
Saat Mamanya keluar kamar Artha loncat di kasur. "Akhirnya papa pergi, gua bisa bebas ngerokok dalem rumah."
Mata dia benar-benar ngantuk. Bagi Artha tidur siang adalah sebuah kewajiban, siapa yang berani mengganggu tidur siangnya akan terkena imbas. Tapi tergantung orangnya sih, kalau yang ganggu papanya, mana berani dia.
____
Novel ini sudah tersedia trailer ya.
Format pencarian: TRAILER Anti Fi Qolby Daiman Aidahlia.
Kau bagai bunga di antara duri. Untuk menggapaimu pun aku harus pandai-pandai melewati duri yang ada di sekitarmu.
__________
Makan sarapan sendirian itu rasanya nikmat bagi Artha. Tidak ada si mama yang selalu sibuk bertanya segala macam saat Artha sedang lahap-lahapnya makan, tidak ada si papa yang selalu nasihatin dia panjang lebar tiap pagi, intinya dia benar-benar plong pagi ini.
Dengan kegesitan yang tidak biasanya, dia berangkat ke sekolah sangat pagi, berbeda dari sebelumnya. Yang biasanya ia akan belok ke belakang kantin untuk merokok kini tidak, karena ia sudah puas merokok pagi tadi. Ia ingin menemui perempuan bernama Syahla yang membuatnya tidak bisa tidur semalam. Bukan karena saat ini Artha sedang dimabuk cinta, bukan! Dia hanya penasaran. Selama ini banyak perempuan yang rela mempermalukan dirinya hanya untuk mendapatkan perhatian Artha. Dan dia, Syahla, bisa mengobrol, dapat pelukan, ya walaupun melalui kepeleset. Memangnya di tidak nge-fly gitu.
Artha memutar bola matanya mengelilingi sudut ruangan. Saat ini ia berada di kelas XI IPA 1. Nekatkah dia? Ini hal biasa bagi Artha. Kelas masih sangat sepi, hanya ada beberapa orang saja yang saat ini menatap Artha dengan tatapan aneh sekaligus ngeri, tidak biasanya Artha ke kelas XI IPA 1.
"Syahla mana?" tanya Artha tanpa menujukan siapa yang ia tanya.
Tidak ada yang menjawab, penghuni kelas hanya saling menatap satu sama lain saja, mereka bingung mau menjawab apa, ya karena mereka tidak tahu di mana Syahla saat ini, mungkin masih di rumah, atau lagi di perjalanan, mereka tidak tahu.
Brak...
"Tuli semua, gua kira anak IPA 1 itu orangnya pinter, ternyata ...." Arta tidak melanjutkan ucapannya saat orang yang ia cari melewatinya tanpa menoleh.
"Syah, tuh dia nyariin kamu," bisik salah satu teman Syahla.
Syahla hanya menggedikan bahu, entah maknanya apa. Ia memilih mengeluarkan buku-bukunya ke atas meja tanpa memperdulikan Artha yang masih mematung di depan pintu.
"Lu!" Artha menunjuk Syahla dengan jari telunjuknya, spontan Syahla langsung menujukan pandangannya ke arah Artha yang ternyata kini ada di depan bangkunya.
"Jangan sok cantik, jangan sok jual mahal, lu itu ...."
"Cukup!" bantah Syahla.
"Kalo kamu ke kelas aku cuma mau caci maki aku, lebih baik kamu intropeksi diri dulu, kamu udah baik atau belum. Di dunia ini enggak ada yang sempurna kecuali Allah semata."
Artha mengangkat sebelah alisnya. "Tapi gua sama lu beda, jelas bedanya jauh. Jadi gua berhak caci lu." Setelahnya Artha pergi begitu saja.
Syahla menghembuskan napasnya pelan, ia terus beristighfar, laki-laki itu benar-benar menguras emosinya. Andai saja dia berani, sudah ia pelintir mulut si Artha itu.
"Itu si bulepotan ngapain ke kelas kita?" tanya si Husna yang baru saja datang.
Syahla hanya menggedikkan bahu. "Enggak tau tuh, enggak jelas."
"Dia ngapain kamu?"
"Enggak ngapa-ngapain, udah ah jangan bahas dia lagi, aku mau fokus ke materi hari ini."
***
"What? Are you crazy, Tha?" teriak Rio saat mendengar cerita Artha yang belum selesai terceritakan.
"Lu berisik banget sih," dengus Artha sambil melirik tajam Rio. Sudah malas meneruskan cerita akhirnya dia memilih untuk mendengarkan lagu favoritnya menggunakan earphone, itu adalah hobby Artha.
"Terus si Syahla ngapain lu, Tha?"
Pertanyaan Rio hanya melayang di udara. Kalau Artha sudah malas berbicara lagi dia akan bungkam sebungkam-bungkamnya. Rio hanya melirik Artha dengan tatapan malas, setelahnya dia malah mengambrukkan kepalanya di atas meja dengan tatakan tangan. Malam ini ia tidur hanya tiga jam, gara-gara bergadangin Mobile Legend, demi naikin Rank ke Legend.
"O, Rio, budek lu ya," ucap Artha sambil menggoyangkan tubuh Rio.
Rio yang baru saja ngelenyep menatap Artha dengan tatapan bingung. "Ngapa sih, Tha? Ganggu tidur gua aja lu dah."
"Gua mau tanya, agama si Syahla itu apa sih?"
Mata Rio yang sebelumnya hampir menutup kembali kini terbuka lebar. "Kenapa tiba-tiba lu nanyain agamanya si Syahla?"
"Kalo orang nanya itu di jawab, bukan malah nanya balik."
"Yailah, Islam, agama dia Islam."
Seolah tidak perduli Artha hanya menganggukkan kepala sambil membulatkan bibir.
"Nah sekarang lu yang jawab, kenapa lu nanyain agamanya si Syahla?"
"Bukan urusan lu."
"Idih."
"Kenapa lu enggak seneng, mau gulet sama gua lu?" tanya Artha santai tapi sedikit mengancam.
"Tuhan kenapa gua ditakdirin punya temen arogan kaya gini ya," ucap Rio dengan nada memelas.
Pletak...
Artha menyelepet kening Rio, setelahnya dia acuh dan meneruskan kegiatannya lagi. Sementara Rio, dia meringis menahan tangis tapi tidak ingin menangis. Ingin ku teriaak!
Dibalik sifat Artha yang buruk, Artha juga memiliki sifat baik. Dia dermawan, dia tidak hitung-hitung kalau sudah jajanin orang. Selain itu dia juga suka ngebela teman-temannya yang ada masalah. Contohnya Rio, dua bulan yang lalu Rio ada masalah sama kakak kelas cuma karena si kakak kelas kalah tanding dan si Rio itu ngeledek. Sepulang sekolah, di tengah jalan Rio dicegat kurang lebih delapan orang, babak belur dia. Pas di puncak-puncak saat Rio benar-benar tidak bisa melawan Artha datang, dia membuat delapan orang kakak kelas itu babak belur. Artha itu jago pukul, dia menguasai karate, dan silat.
Dan ada lagi, Artha itu bisa jadi pendengar yang baik walaupun terkadang kata-katanya itu pedas, tajam, nyelekit. Tapi fakta, dia itu tipe laki-laki yang suka hal-hal nyata.
"Woi, bangun ada guru!"
Gendang telinga Rio seakan terkaget-kaget dan terheran-heran. Saat ia mengedarkan pandangan, benar, hari ini pelajaran bu Asma yang terkenal gualaknya.
***
Istirahat ini Syahla memilih untuk ke kantin, sudah lama juga dia tidak ke kantin. Istirahatnya lebih banyak ia gunakan untuk hal-hal yang serius, ya itulah Syahla, jika sudah di sekolah dia akan berubah menjadi seorang Syahla yang tingkat keseriusannya di atas rata-rata. Tidak heran kalau sejak kelas sepuluh dia mendapat peringkat satu di kelas.
"Mau makan apa, Syah?" tanya Husna sambil memilih menu yang tersedia di kertas berukuran A4 yang dilaminating.
"Aku mau jus strowberry, terus makanannya, hm ... apa ya yang enak, aku bingung."
Husna hanya menggelengkan kepala, di balik otaknya yang cerdas Syahla rada lemot dan raguan. Mungkin itulah yang di sebut bahwa setiap manusia itu memiliki kekurangan dan kelebihan.
"Ini aja samain kayak aku, pangsitnya dijamin dah. Aku sering beli soalnya," saran Husna.
"Boleh-boleh, yaudah samain aja, tapi aku jus strowberry ya jangan samain sama kamu minumannya."
"Oke, biar aku yang pesen kamu tunggu sini aja."
Antrian tidak terlihat begitu banyak, Syahla bersyukur saat ia memilih istirahat di kantin, kantin lagi tidak ramai.
"Lu tau enggak, masa tadi pagi-pagi katanya Artha ngomelin anak IPA 1, siapa dah namanya?"
"Syahla. Ituloh yang terkenal cewek pendiam, yang di kagumin si ikhwan-ikhwan rohis."
"Iya tuh."
Syahla menghembuskan napasnya pelan. "Santai Syahla, anggap saja mereka sedang mengalunkan nyanyian yang indah," ucap Syahla sedikit berbisik untuk dirinya sendiri.
"Ssstt, gila, itu orangnya tuh yang lagi duduk sendiri, kayaknya gua baru ngeliat dia deh di kantin, dia jarang nongol, betah banget di kelas."
Inilah yang membuat Syahla tidak nyaman berada di kantin. Ia takut terkena pergibahan, atau mendengar pergibahan, dan ironisnya saat ini ia malah mendengar orang lain menggibahi dirinya, Astaghfirullah.
Menjadi orang pendiam dan tidak banyak omong bukan berarti menampakkan sosok orang yang sombong, tidak mau bergaul, bukan. Hanya saja ia lebih memilih diam karena ia takut salah satu kalamnya berkata yang tidak-tidak, hal yang Allah tidak suka dan akhirnya dari kalamnya itu dia malah terkena dosa. Jagalah lisanmu, lisan bukanlah tinta yang bisa dihilangkan, jika lisan sudah berkata pada seseorang, dan seseorang itu tersakiti, sulit mencari obatnya.
"Assalamu'alaikum, Syah sendirian aja, boleh aku kita duduk?"
Syahla sampai tidak sadar sedaritadi ia melamun. Syahla langsung mendongakkan kepalanya melihat siapa yang mengajaknya bicara.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah, eh Ikhsan, Wardani. Ada apa, ya? Aku sama si Husna sih, nah itu dia."
"Et, ditinggal sebentar aja udah ada yang ganggu, ya, susah sih ya punya muka bening," kekeh Husna.
"Hust... Husna ... enggak baik bicara kayak gitu."
"Iya, Mom, afwan."
"Btw lu berdua ngapain duduk-duduk situ?"
"Enggak sengaja lewat aja sih, eh liat si Syahla sendirian, mau nemenin niatnya, kalo ada Husna yaudah enggak jadi, pamit, ya, Syah, Assalamu'alaikum," ucap Ikhsan. Wardani yang mengintil.
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah."
"Dih sinting kali ya, lagi juga mana mau kan kamu ditemenin mereka berdua? Si cowok sok alim yang pacarnya berentet."
"Husna ...."
"Iya-iya maaf, ayo kita makan, selamat makan.."
***
Artha sampai tidak berkedip saat matanya menangkap sosok perempuan yang sejak kemarin membuatnya sulit untuk menghilangkan bayangan wajahnya. Sebenarnya dia kesal dengan perempuan itu, tapi, entah mengapa melihat wajahnya membuat dia sedikit tenang. Wajah teduhnya sangat sedap di pandang.
"Tha, lu liatin siapa sih?" ucap Rio sambil mengikuti arah pandang Artha.
"Oh Syahla?"
"Apaan sih lu," gentak Artha.
"Jangan-jangan lu jatuh cinta sama si Syahla. Wah berarti dia itu cinta pertama lu dong, Tha?"
"Ngomong sekali lagi gua jotos lu ya, O."
"Et, galak amat dah."
"Cepet makannya, gua mau ke lapangan basket."
"Ngapain?"
"Nyuri lapangan."
"Lapangan bisa dicuri, Tha?"
"Ah banyak bacot lu ya, udah cepet."
***
Sesampai di lapangan basket Artha langsung duduk di bawah pohon, sebenarnya bukan di lapangan basketnya, dia hanya suka duduk di bawah pohon dekat lapangan basket, itu tempat favorit dia sejak kelas sepulu dulu. Padahal di sana dia cuma diam, dan Rio, dia malah asyik main Mobile Legend menggunakan wifi sekolah yang kata sandinya diberitahu Artha.
"Lu enggak jenuh kali, Tha, diem mulu, lu kalo lagi diem serem. Gua aja main game ada jenuhnya."
"Gua lebih suka diam daripada berkoar. Hal spele yang menyenangkan itu bisa membuat masalah besar kalo meleset sedikit."
"Kata-kata lu, Tha, udah kayak sarjana sastra."
"Itu fakta lol."
"Btw, gua liat-liat si Syahla itu cakep juga ya."
Entah kenapa mendengar Rio memuji Syahla Artha merasa tidak senang. "Terus?"
"Ya gua cuma ngomongin fakta aja, biar gua bisa ngikutin jejak lu, laki-laki yang menyukai kenyataan."
"Ada saatnya kelak gua benci kenyataan."
"Kok lu ngomong begitu, Tha?"
"Gua cuma bicara apa yang ada di otak gua, udah ayo kita ke kelas."
***
Artha sampai mengerem motornya mendadak saat ada motor metic melaju memotong jalan yang Artha lalui seenaknya. Dia tidak bisa tinggal diam. Artha langsung berteriak menyuruh pengendara itu berhenti, dan untungnya pengendara itu berhenti, coba kalau tidak, bisa-bisa gondokan Artha membeludak.
Artha langsung menggas motornya untuk mendekat. Ternyata pengendara itu perempuan. Dilihat dari gaya berkerudungnya Artha seperti tidak asing dengan perempuan itu, dan benar, Artha mengenal perempuan itu, Syahla.
"Lu lagi lu lagi, bosen gua berurusan sama lu."
Syahla menautkan alisnya. "Kalo kamu bosen berurusan sama aku ngapain kamu suruh aku berhenti?"
"Ya karena lu salah bodoh."
Syahla terdiam, ia diam bukan ciut, dia hanya menahan emosinya yang sudah menyala-nyala kepada laki-laki yang ada di hadapannya ini.
"Coba tadi gua enggak ngerem, motor lu udah ancur ketabrak gua."
"Nah, di situ salah kamu. Kamu naik motor di jalan umum serasa jalan nenek moyang. Ngebut sesuka kamu, aku nyebrang itu liat kanan-kiri, kamu tuh yang main trobos-trobos aja, apa susahnya dipelanin," ucap Syahla dengan suara tidak meninggi, jujur saja Syahla tidak biasa berbicara dengan nada tinggi. Maka dari itu ia tidak suka digentak, karena dia tidak suka menggentak.
"Oh jadi lu nyalahin gua? Padahal udah jelas kalo lu itu salah!"
"Terserah kamu aja, malas ngomong sama orang keras kepala. Sampai kapan pun cuma kamu yang benar." Setelahnya Syahla pergi begitu saja.
Artha tidak terima. "Liat aja lu besok." Setelahnya Artha pergi.
Sesampai di rumah, rumah masih sepi. Hanya ada mbok Ayu asisten rumah tangga dan pak Darmin satpam rumah. Rambut Artha sudah tidak terkontrol, walaupun begitu Artha tetap terlihat cool abis.
Hari ini dia pulang cepat karena ada rapat wali kelas, ditambah saat ini papanya yang tugasnya Kepala Sekolah lagi izin datang ke acara pernikahan saudaranya. Jam masih menunjukkan pukul sebelas siang. Inilah waktunya Artha merokok, melepas lelah dan kesal terhadap Syahla, ah nama itu lagi. Artha mengacak-ngacak rambutnya.
"Kenapa sih gua mesti kenal perempuan sok perfect itu."
Artha melempar baju kemeja putihnya ke sembarang tempat. Ia membiarkan dada bidangnya terkena angin yang berasal dari jendela, di luar cukup panas, masuk kamar tambah panas karena Ac belum dibersihkan.
"Enggak bisa, gua enggak kuat. Panas bange." Artha menyambar sweeter berwarna abu dan mengganti celana abu-abunya dengan levis hitam. Sejurus kemudian dia meluncur ke luar, sebenarnya ia belum tujukan kemana dia akan pergi. Intinya ia bisa menghilangkan keringat di tubuhnya ini.
Akhirnya Artha memarkirkan motornya di sebuah restaurant bergaya clasic. Ac-nya tidak bisa diragukan, adem betul. Dia hanya memesan satu gelas coklat dingin. Selera makannya seketika menurun, entah mengapa.
Setelah menghabiskan segelas coklat dingin Artha langsung keluar dari restaurant itu. Ia sudah merasa lebih fresh dari sebelumnya.
Kini ia sudah berada di atas motornya lagi. Motor yang ia kendarai belum sama sekali dikendarai oleh siapapun selain dirinya, bahkan jok bagian belakangnya pun belum pernah diduduki oleh siapa pun. Dia terlalu sayang dengan motornya sampai tidak rela orang menyentuhnya.
Di tengah jalan tiba-tiba matanya berkunang-kunang, gerakan motornya melambat, ia seperti hilang kendali saat ini.
Brukk...
Artha jatuh di tengah jalan, untung saat ini jalanan masih sepi, ia langsung di kerumuni banyak orang. Ia sudah tidak ingat lagi setelahnya.
***
Siang ini Syahla diperintahkan abbanya untuk membeli obat di apotek. Sebenarnya malas sekali ia keluar rumah, apalagi ke apotek. Karena yang memerintahkannya itu abbanya ia tidak akan membantah sekali pun. Baginya abba dan kakaknya itu orang yang spesial. Ia tidak akan membantah keduanya.
Di pertengahan jalan sepulang dari apotek Syahla melihat di tengah jalan ada kerumunan orang banyak. Ia langsung menghampiri kerumunan itu untuk mengobati rasa kepo-nya.
"Ada apa ya, Pak?"
"Ini, Neng, ada orang jatoh dari motor, pingsan, padahal enggak ada angin enggak ada hujan."
"Mungkin dia lagi kurang sehat kali, ya, Pak?"
"Mungkin, Bapak juga bingung."
Syahla mendekat ke arah kerumunan itu lebih jauh, matanya terbelak saat melihat siapa yang jatuh, Artha. Awalnya ia enggan mengatakan kalau dia mengenal laki-laki itu, tapi dia teringat kemarin Arthalah yang membawanya ke rumah sakit, bahkan pembayarannya pun dia yang tanggung.
"Pak, ini teman saya, bisa tolong berhentiin mobil, saya mau bawa dia ke rumah sakit."
"O iya-iya, Neng. Alhamdulillah."
Ada dua orang bapak-bapak ikut bersamanya, Syahla duduk di bagian pojok, dia tidak mau sampai tersentuh kulit laki-laki yang bukan makhromnya lagi.
Untung saja dia tidak membawa motor karena jarak apotek sangat dekat dengan rumahnya, jadi dia tidak perlu memikirkan bagaimana motornya saat ini.
Setelah Artha sudah ditangani kedua bapak-bapak yang ikut tadi izin pulang. Kini hanya tersisa Syahla di ruangan Artha. Tidak hanya ada Syahla dan Artha di sini. Ada banyak pasien.
"Dia kenapa ya, apa dia jatoh gara-gara masih kesel sama aku?" Bukan Syahla kalau tidak mengatakan kesalahan itu adalah kesalahan dia.
"Ar, aku minta maaf deh," ucap Syahla pelan.
"Lu minta maaf sama gua?"
Syahla tersentak sampai tersedak air liurnya sendiri, berarti Artha mendengar ucapannya. Ini mungkin efek nunduk mulu.
"I ... iya, maaf kalo aku tadi bikin kamu kesel, ak ... aku enggak biasa bikin orang kesel, kayanya cu ... cuma kamu doang deh yang pernah caci aku karena kesel sama aku."
Ucapan polos Syahla berhasil membuat Artha tertawa. "Lu ini lugu banget sih. Terus sekarang kenapa gua ada di sini, dan Lu?"
Lagi-lagi Syahla tersentak.
"Lu ngapain ada di sini juga?"
"Aku bakal ceritain, tapi aku enggak suka kalo ada yang potong-potong cerita aku. Kamu harus dengerin, ya?"
Dan bodohnya Artha malah mengangguk menurut.
"Tadi itu ...." Syahla menceritakan dari awal ia melihat kerumunan sampai ia ada di sini bersama Artha.
"Dan untuk yang kemarin, aku mau bilang terima kasih sekarang, karena, kan, kemarin waktu aku mau bilang terima kasih kamunya udah ngacir duluan."
Luluh sudah rasa kesalnya itu, Artha pun tidak mengerti bagaimana ia semudah itu luluh dengan perempuan, apalagi Syahla ini baru ia kenal.
"Oke gua juga mau bilang sesuatu."
Cukup lama Artha terdiam, Syahla hanya meremas ujung kerudungnya saja.
"Thank's."
Syahla menarik simpulnya sambil mengangguk. Dan jujur saja senyuman itu sangat manis. Artha tidak pernah melihat senyuman semanis dan seteduh milik Syahla.
"Ya ... yaudah aku mau pulang ya, aku harus cepet-cepet sampai rumah, abba tunggu aku."
Baru satu langkah Syahla menggerakkan kakinya. Suara Artha menghentikan gerakannya.
"Gua anter lu sampe rumah, gua enggak suka orang nolak gua. Dan lu, gua bakal kesel lagi sama lu, dan besok di sekolah kalo lu enggak mau gua anter pulang, lu bakal gua jailin."
"Loh kok kamu malah ngatur sih."
"Up to you."
"Tapikan kamu masih sakit."
"Gua udah sembuh sejak ...." Artha menepuk pelan mulutnya, bisa-bisanya ia terpikiran ingin mengatakan hal itu. Lihat senyum lu.
"Sejak kapan?"
"Sejak gua sadar tadi."
Syahla menganggukkan kepalanya. "Tapi motor kamu itu joknya ...."
"No problem, gua bakal pelanin, santai, lu enggak bakal jatuh di pelukan gua untuk yang kedua kalinya."
Seketika pipi Syahla terasa memanas, entah ia ini kenapa, ketika berhadapan di depan Artha jantungnya itu seperti sedang berada di atas jungkat-jangkit.
Sambil menunggu Artha memarkirkan motornya Syahla hanya beristighfar di dalam hati. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sambutan abba dan kakaknya nanti di rumah saat tahu siapa yang mengantarnya pulang. Apalagi dia pulang lambat sekali. Ingin rasanya menolak, tapi, ah dia tidak mau sampai terkena jailan Artha di sekolah. Ia ingin mulai saat ini urusannya dengan Artha terselesaikan. Dan dia tidak akan bertemu dengan Artha lagi setelah ini.
"Naik!"
Untuk ke tiga kalinya Syahla tersentak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana wajahnya saat tersentak. Malu, pokonya malu, mau cepat-cepat pulang.
"Inget ya, Ar, pelan-pelan," ucap Syahla saat ia sudah ada di jok bagian belakang Artha.
Dia panggil gua apaan tadi? Ar? Ar atau Arrgghhh??
"Slowly."
Lumayan lama, hingga akhirnya tibalah di depan rumah Syahla. Rumah yang memiliki halaman rumah lumayan besar yang di tumbuhi banyak pohon-pohon. Terlihat teduh, sama seperti pemilik rumahnya.
"Te ... terima kasi,h ya."
"Gua pulang."
Untungnya Abba dan kak Syakib tidak melihat Artha. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya jika abba dan kakaknya tahu.
Berusaha menilai diri sendiri itu sulit. Maka dari itu berterima kasihlah kepada orang yang pandai menilai dirimu.
__________
Artha bungkam sebungkam-bungkamnya saat mamanya bertanya kenapa keningnya memar. Ia tidak akan mengatakan kalau tadi dia terjatuh di jalan dan keningnya itu terbentur stang motor. Bisa-bisa mamanya itu akan membrondongi dirinya dengan beribu pertanyaan. Rasa sayangnya kepada sang mama memang besar, tapi ia tidak suka kalau mamanya itu menampakkan rasa sayang kepadanya berlebihan. Cukup lakukanlah apa yang Artha lakukan kepadanya gitu.
"Artha kamu dengar Mama, kan? Kenapa kening kamu memar gitu? Terus kenapa jari kamu ada yang dipakaikan handsaplas gini?" Tangan lembut sang Mama yang sebelumnya menyentuh kening Artha kini beralih ke jari telunjuk Artha.
"Tadi aku kepeleset."
"Dimana? Kapan?"
Tuh kan. Apalagi kalo Mama tau kalo gua jatoh dari motor gara-gara darah gua turun coba.
"Itu, apa namanya, kamar mandi, aku kepeleset di kamar mandi, Ma."
"Loh kok bisa sampe kepeleset sih, kamu enggak lagi ngigo kan, Tha?"
"Intinya tadi aku kepeleset, Ma. Udah, ya, aku mau istirahat, aku mau tidur siang."
Mama Artha hanya menggelengkan kepala. "Jangan lupa cucian dulu sebelum tidur, Tha."
"Ya, Ma."
Terbebas dari pertanyaan mama. Lega rasanya. Artha langsung mengambrukkan tubuhnya ke atas kasur empuknya. Saat ia memejamkan mata sialnya senyuman perempuan itu memenuhi penglihatannya. Ada apa dengan Artha? Ia langsung bangun dari posisinya.
"Kenapa sih lu, Tha." Artha mengusap wajahnya pelan. Ia langsung menuju kamar mandi untuk mencuci mukanya setelah ini ia akan tidur siang.
Dan lagi-lagi tidurnya terganggu karena perempuan itu. Berani-beraninya ia hadir kedalam mimpi Artha. Artha benar-benar gila cuma karena senyumnya. Ia baru saja memejamkan mata lima menit yang lalu, rasanya ia sudah tidak bergairah lagi untuk tidur.
Artha memilih untuk ke balkon rumah, menikmati angin segar yang berhembus mengenai wajah putihnya. Ya Artha laki-laki berkulit putih, dia keturunan Tionghoa. Tapi ada hal yang ia hindari, cahaya matahari, terkadang wajahnya suka memerah kalau terkena cahaya matahari. Dia hanya putih seperti warna kulit orang Indonesia biasanya, tidak seputih bule-bule yang suka mampir cuma buat foto-fotoin pemandangan, bukan.
Artha itu selalu terlihat rapih, ia terlihat seperti laki-laki yang apik menjaga diri. Aroma tubuhnya pun wangi, walaupun ada aroma-aroma asap rokok, tapi itu tidak menyengat. Mau seperti apapun, Artha akan terus terlihat tampan, tidak bisa dibohongi lagi ketampananya itu.
"Gua enggak kayak gini sebelumnya. Gara-gara dia gua enggak ngerokok dari sepulang sekolah sampe jam lima sore begini. Gua enggak nyaman wajah dia ada di penglihatan gua, tapi gua merasa tenang kalo ada di samping dia."
"Gua harus menghindar dari dia, gua enggak akan bisa terus-terusan dihantui sama ... ah malu rasanya mengatakan hal yang sebenarnya kalo gua tergila-gila sama senyumnya itu."
"Apa bener yang Rio bilang, kalo gua itu jatuh cinta sama Syahla? Ah enggak mungkin. Selama enam belas tahun ini gua enggak pernah jatuh cinta sama perempuan. Apalagi perempuan itu baru gua kenal. Mustahil."
"Tapi ...." Artha mengacak-ngacak rambutnya frustasi.
"Oh ternyata anak satu-satunya Mama ini lagi jatuh cinta."
Artha tersentak, ia merutuki dirinya sendiri, Mama mendengar ucapannya, ah memalukan! Jurang mana jurang gua mau terjun.
"Mama denger semua yang Artha omong?"
Mama Artha mengangguk sambil tersenyum. "Hm."
"Kalo kamu emang jatuh cinta sama dia. Kejar, Mama dukung kamu kok."
Mama enggak tahu kalo gua sama Syahla itu punya perbedaan. Agama gua sama agama Syahla itu berbeda. Andai Mama tau itu. Gua yakin dia bakal ceramah.
"Enggak, Ma, Artha enggak suka sama dia."
"Jangan bohongi perasaan kamu sendiri, Tha. Kalo ada waktu ajak, ya, siapa tadi ... hmm ... Syahla, kerumah. Oke?" ucap Mama sambil berjalan menjauh.
Ancur!
***
"Kamu ini anak Papa satu-satunya. Papa rewel sama kamu, kejam sama kamu, bukan berarti Papa benci sama kamu. Papa itu sayang sama kamu. Papa enggak mau anak Papa satu-satunya ini malah jadi anak yang enggak berguna. Banggain Papa, Tha. Itu harapan Papa. Jangan jadi anak nakal, jangan suka cari masalah, dan JANGAN MEROKOK!"
"Kamu tahu, eyangmu meninggal karena rokok di usia yang masih dibilang muda. Sejak saat itu Papa benci merokok, dan kamu harus hindari rokok, Artha. Papa enggak mau orang yang Papa sayangi itu tersakiti kembali cuma karena rokok, hanya itu."
"Dan, denger-denger dari Mama, katanya kamu lagi jatuh cinta ya sama siswi di sekolah. Siapa namanya, Ma?"
"Syahla."
"Nah itu dia, Papa tahu siapa dia. Jangan sampai ya kamu buat Papa malu. Jangan mencoba hal-hal buruk hanya untuk mendapatkan apa yang kamu mau, ingat! Nah sekarang kamu berangkat ke sekolah."
Ya seperti itulah Papanya setiap pagi. Ceramahan panjang lebar yang tidak pernah berubah topik, hanya saja ada topik baru pagi ini. Dan itu terjadi karena Mama. Mama pasti cerita sama Papa.
Selama enam belas tahun tahun ia hidup di dunia ini, ia paling takut sama Papa. Dia tidak pernah berani membantah Papa. Entahlah mengapa, ia sangat hormat dengan Papanya itu.
"Yaudah, Pa, Ma, aku berangkat."
Pagi ini ia tidak bergairah untuk sekolah sebenarnya. Dan itu semua terjadi karena Syahla, ya karena wanita itu ia harus dibuat malu di rumah. Mama terus saja menggodanya, dan Papa, seperti yang kalian lihat, dia malah menasihati Artha kalau mau mendapatkan apa yang dia mau jangan mencoba hal-hal buruk. Apa coba?
"Gua belum bilang kalo gua jatuh cinta sama si Syahla. Gua yakin sekolah bakal gempar kalo Mama kasih tau ke Rio. Gila-gila. Gua enggak mau nama gua ini tercemar. Gua belum pernah jatuh cinta sama perempuan," oceh Artha di sela kemudinya.
Sesampai di sekolah dia langsung belok ke belakang kantin. Kemarin dia hanya merokok pagi sebelum sekolah, jadi hari ini dia harus merokok di belakang kantin. Mumpung papa belum berangkat ke sekolah. Telinga Artha sudah kebal dengan nasihat papa, baginya itu hanya sebuah alunan musik yang hanya ia dengar tanpa harus ia ikuti.
Artha langsung mengambil sebatang rokok dari dalam kotak rokok. Ia menghirup asapnya melalui mulut dan mengeluarkannya melalui hidung. Itu menenangkan, dan tentunya menyenangkan.
"Astaghfirullah, Artha kamu merokok di sekolah? Kan Orangtua kamu sendiri selaku Kepala Sekolah yang melarang muridnya untuk merokok di area sekolah."
Artha menoleh santai, saat melihat siapa yang berbicara, wajahnya nampak tidak santai.
"Lu ngapain sih! Pergi sono. Nanti yang ada malah elu yang kena masalah."
"Aku lagi buang sampah, aku liat semak-semak goyang, taunya kamu lagi asik ngerokok. Kamu matiin enggak rokoknya!"
"Enggak!"
"Aku aduin ya ke ayah kamu?"
"Aduin aja, emang berani. Mau kena masalah sama gua?"
"Iya aku berani, lihat aja, aku bakal aduin sekarang juga." Syahla benar-benar pergi.
"Wah nekat dia." Artha langsung mematikan rokoknya dan mengejar Syahla yang berjalan tetapi terlihat seperti berlari.
"Berenti, Sya."
"Woi!"
"Lu berenti enggak!"
Artha geram, akhirnya ia menarik lengan Syahla, dan ... mereka terjatuh untuk yang ke dua kalinya.
"Artha! Syahla! Ikut Ibu ke ruang BK!"
Sungguh memalukan, mereka terjatuh dengan posisi yang benar-benar memalukan. Dan sialnya tepat di saat itu Bu Asma si guru BK lagi keliling sekolah. Memalukan!
***
Teriknya matahari pagi membuat mata dua orang yang sedang terkena hukuman ini tersilau-silau. Belum sempat memberikan penjelasan mereka sudah mendapat hukuman berdiri di tengah lapangan.
"Ini gara-gara kamu tau," gerutu Syahla.
"Lah siapa suruh, gua kan udah bilang, kalo lu enggak pergi malah elu nanti yang kena masalah, realy? Gimana enak enggak kena masalah?"
"Aku kesel sama kamu, Ar. Kamu berani-beraninya nyentuh aku. Selama ini aku jaga kulit aku agar tidak tersentuh laki-laki yang bukan makhram aku. Tapi kamu, sudah berapa kali kamu nyentuh aku. Aku benci sama kamu."
Hening.
"Jangan terlalu benci, benci bisa jadi cinta."
Setelahnya kembali hening.
"Assalamu'alaikum, Syah, *i*nnalillahi. Gimana kamu bisa kena masalah kayak gini sih, Syah?"
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah, itu tuh War, gara-gara Artha aku kena masalah, padahal ini bukan salah aku," gerutu Syahla sambil menekuk wajahnya yang sudah setengah berkeringat.
Wardani melirik sekilas ke arah Artha, ternyata Artha sedang menatapnya tajam, ia langsung mengalihkan pandangannya. Wardani tidak suka mencari masalah.
"Lu sendiri yang buat masalah."
"Kamu tuh."
"Elu."
"Kamu!"
Wardani menggaruk telungkuknya yang tidak gatal. "Yaudah deh, Syah, yang sabar, ya. Oh ya tadi kata Husna kalo aku ketemu Syahla sepulang dari ruang guru, dia bilang nanti pas istirahat kamu disuruh ke kantin, dia nunggu kamu di kantin."
"Ya, War, terima kasih, ya."
"Iya sama-sama, yaudah aku balik ke kelas, ya, semoga hukumannya cepat-cepat selesai. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam warrahmatullah."
Niatnya ingin melirik tajam tiba-tiba wajah Syahla shock melihat wajah Artha yang sebelumnya putih kini memerah.
"Ka ... kamu kenapa, Ar?"
Artha yang sebelumnya memperhatikan ke arah lain kini menatap wajah Syahla bingung. "Apanya yang kenapa?"
"Kok muka kamu merah?"
Artha diam sejenak, ia melihat pergelangan tangannya, benar, kulitnya mulai memerah.
"Gua alergi cahaya matahari. Apalagi panas."
"Lho, yaudah kamu aku izinin ke Bu Asma ya, biar aku aja yang selesain hukumannya?"
Tumben baik. Tadi sangar, seru nih kalo pura-pura pingsan.
"Duh, Sya, kepala gua pusing, gua mau pingsan, pangku gua Sya. Aduh Sya."
"Ih gimana, ak ... aku bingung, Ar, aku panggilin teman-teman, ya. Aku enggak bisa," wajah Syahla terlihat panik.
"Sya, enggak kuat, Sya."
"Ar."
Artha pura-pura mengolengkan tubuhnya, berhasil ... Syahla menahan lengan Artha agar tidak terjatuh. Artha sengaja memejamkan matanya.
"Ih Artha, aku itu enggak suka kalo liat kamu sakit. Soalnya kamu ngeribetin. Ih Arr ... berat! Bangun ngapa sih."
Ngeribetin dia bilang?
Artha langsung bangkit lalu tertawa sendirian.
"Kamu boongin aku?"
"Ya."
"Kamu jahat!"
Kali ini Syahla benar-benar diam. Artha pun bingung, ia yang memulai ide jail, ia bingung menghentikannya, akhirnya, garing seperti tadi. Dan kini hening kembali.
"Sya?"
"Sya?"
"Syahla?"
"Hm."
"Gua minta maaf deh, gua salah."
"Aku enggak marah."
"Masa diem?"
"Ya emang aku biasa diem."
Dan Artha pun kehilangan kata-kata.
"Yaudah mulai sekarang kita temenan, gua enggak bakal nyentuh lu lagi, kalo enggak darurat. Dan gua enggak bakal jailin lu lagi. Janji."
"Jangan sering mengumbar janji."
"Terus gua harus apa?"
"Diem, aku enggak suka cowok banyak omong. Aku berharap setelah ini aku enggak bakal berurusan lagi sama kamu."
Seh nyelekit ya.
"Gua enggak pernah ngajak perempuan temenan sebelumnya, dan lu, najis, sok jual mahal lu." Artha mulut mu.
"Terserah kamu mau bilang apa."
Setelahnya mereka saling bungkam sampai bel pertanda istirahat berbunyi. Hukuman mereka selesai sampai bel istirahat berbunyi.
Baru satu langkah Syahla menjauh, tiba-tiba pandangan tidak mengenakan ada di hadapanya. Mata Artha sayup, wajahnya memerah, keringat bercucuran dimana-mana, ia terlihat tidak baik-baik saja.
Dia lagi enggak bohongin aku, kan?
"Lu pergi aja, gua bisa urus diri gua sendiri," ucap Artha dingin.
"Lu bilang lu enggak mau berurusan sama gua kan setelah ini, yaudah lu pergi aj—"
Brukk...
Dimana-mana kalau kena hukuman bareng antara perempuan dan laki-laki yang akan kekurangan energi itu perempuan, dan ini ... ingat Syahla ini bukan novel.
"Ar? Kamu kenapa, Ar? Ya Allah, Tolong! Tolong!"
***
Ucapan Syahla yang katanya tidak ingin berurusan lagi dengan Artha gagal. Ia tidak bisa menyalahkan keadaan. Mana mungkin ia membiarkan Artha tergelepak di lapangan, akhirnya ia membantu Artha sampai ke UKS, dan sekarang ia masih berada di UKS karena dokter penjaga UKS lagi dicariin, dia lagi makan di kantin. Ampun deh!
"Sya?"
"I ... iya, kamu udah sadar?"
Artha berusaha bangun, dia terlihat tidak baik-baik saja.
"Tolong jangan kasih tau papa gua kalo gua ngerokok, dan soal pingsan itu, tolong jangan kasih tau juga."
"Tapi banyak orang yang tau, Ar. Percuma juga aku tutup mulut, ayah kamu pasti tau."
"Mereka enggak akan berani bilang ke papa gua, dan lu, apa lu bakal bilang ke papa gua?"
Syahla menggeleng lemah. "Aku cuma bakal bilang kalo kamu merokok, aku enggak suka laki-laki perokok, merokok itu membuat kamu sakit, kamu tau kan rokok itu berbahaya? Aku bukan sok perduli sama kamu, aku cuma enggak suka aja kamu ngerokok, saat kakakku merokok saja mulutnya hampir aku tampar, untung tidak jadi."
"Tuh kan aku jadi cerita," ucap Syahla pelan.
Satu hal yang Artha tau, Syahla ini tipe wanita pendiam, tetapi saat dia sudah bicara, dia akan mudahnya bercerita entah kemana.
"Please kali ini aja, apa lu tega liat gua di siksa dua kali, kalo gua mati mendadak gimana?" Ucapan Artha berhasil membuat Syahla kikuk.
Perbincangan mereka terhenti saat suara pintu diketuk terdengar.
"Masih ada di dalam?" Suara itu menyadarkan Syahla akan sesuatu.
"Astaghfirullah," desis Syahla pelan. Ia baru tersadar bahwa sedaritadi ia berduaan dengan Artha di dalam ruangan tertutup. Ia langsung berlari menjauh, ah rasanya ia ingin menangis. Rasa kesal terhadap Artha kini timbul kembali. Sejak Artha menabraknya waktu itu, apa yang ia sudah jaga ketat malah tersentuh olehnya. Dan kini, untuk kesekian kalinya ia melakukan kesalahan.
Ya Allah mengapa aku harus mengenalnya, berurusan dengannya. Aku ingin bunda bangga, seperti yang bunda bilang. Aku harus jadi sebaik-baiknya perhiasan di dunia, menjadi seorang wanita sholehah.
Setetes airmata membasahi pipi Syahla. Ia mengabaikan orang-orang yang menatapnya heran. Ia pun baru teringat, Husna menunggunya di kantin. Ya Allah, maaf Ya Allah.
Andai tadi ia memilih untuk langsung ke kantin tanpa harus menunggu Artha di ruang UKS. Ia merutuki nasibnya sendiri. Ada apa dengan dirinya ini. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Kemana Syahla yang dulu.
"Syah?"
Syahla langsung menoleh, senyuman Husna sedikit menghilangkan rasa kecewanya itu. Untung saja Husna tidak marah.
"Lho ... lho, kok mata kamu sembab, bulu mata kamu juga basah, kamu nangis? Siapa yang bikin kamu nangis? Bilang sama aku." Wajah khawatir Husna terlihat jelas.
Syahla memeluk Husna, ia menangis di pelukan Husna. Selama ia sekolah di SMA ini, sahabat terbaiknya adalah Husna. Husna selalu mengerti akan dirinya. Padahal ia baru berteman satu tahun enam bulan dengan Husna, tapi rasanya ia sudah kenal lama dengan Husna. Ia berharap pertemanannya itu akan berlangsung sampai ke Surga.
"Syah? Kamu kenapa?" Suara Husna melembut, Syahla sudah melepaskan pelukannya. Ia menunduk rapuh. Ia bingung. Selama ini ia selalu terbuka dengan Husna, begitu juga Husna. Tapi untuk kali ini, ia malu berbagi cerita dengan Husna.
Syahla menggeleng. "Aku enggak apa-apa kok."
Husna tersenyum. "Aku tahu air muka kamu kalo lagi bohong, jujur sama aku."
Syahla pasrah, ia tidak mau hanya karena ini pertemanannya dengan Husna merenggang. Akhirnya ia ceritakan semuanya kepada Husna. Husna malah kesal dengan Artha. Dia bilang saat bertemu nanti dia akan omeli si Artha itu.
"Jangan ... udah cukup, aku enggak mau berurusan sama dia lagi."
Karena Syahla berbicara dengan nada memelas Husna pun meluluh.
"Demi kamu," ucap Husna dengan nada kesal.
Syahla hanya tersenyum. Husna saat marah sangat lucu, pipinya yang tembam membuat Syahla gemas. Akhirnya Syahla mencubit gemas pipi kanan dan kiri Husna.
***
Artha mendorong Fahriz selaku dokter kecil di sekolah. Ia merasa sudah baik, entah mengapa ia kesal dengan Fahriz. Karena Fahriz Syahla pergi.
Lihat, ada apa dengannya?
Artha mengikuti langkah Syahla. Artha kebingungan saat melihat Syahla menangis. Ada apa dengan Syahla. Apa dia melakukan sesuatu sampai Syahla menangis.
Baru saja ia ingin mendekat, tapi terurungkan saat ia melihat Husna si mulut mercon menghampiri Syahla. Ia malas mendengar ocehan, akhirnya ia hanya bisa melihat Syahla dari kejauhan. Syahla menangis di pelukan Husna.
Artha baru tersadar, untuk apa dia memperhatikan Syahla. Dan sejak kapan ia perduli dengan Syahla. Siapa Syahla. Dia baru saja mengenal Syahla beberapa hari yang lalu, dan ini, apa ini. Apa benar saat ini Artha benar-benar Artha. Sejak kapan Artha perdulikan perempuan selain mamanya. Sejak kapan hati nuraninya mulai ikut dalam kehidupannya.
Artha akhirnya memilih untuk pergi. Ia langsung pergi ke kelas, Rio pasti menunggunya di kelas. Langkahnya terhenti saat ia mendengar seseorang menyebut namanya dan nama Syahla, ia menoleh ke sumber suara.
Ia tidak mengenali siapa dua laki-laki di hadapannya. Pada intinya, ingin rasanya saat itu juga ia menelan hidup-hidup dua laki-laki itu. Dia bilang, Syahla yang jual mahal tiba-tiba ngerendah ketika didekati Artha. Bahkan mereka mengata-ngatai Syahla perempuan munafik.
Bugh...
"Lu berdua enggak tau apa-apa tentang gua dan Syahla. Segitu mudahnya lu menilai Syahla. Dia lebih baik dari lu." Artha memukuli dua laki-laki di hadapannya. Mereka berdua melawan, tetapi tiba bisa melawan Artha.
"Sekali lu kena pukul sama gua, panjang urusan lu. Gua incer muka lu." Setelahnya Artha pergi begitu saja sambil menendang tong sampah agar jatuh dan mengenai salah satu laki-laki yang tergeletak di lantai.
Dua laki-laki itu nampak tidak suka. Mereka menyumpahi Artha dengan berbagai bentuk sumpah serapah. Artha tidak perduli, baginya, saat ia sudah melihat orang yang membuatnya kesal bonyok, itu adalah suatu kepuasan, dan ia akan pergi setelah itu. Artha tidak suka memperpanjang hal-hal yang tidak penting.
Sesampai di kelas Rio langsung menyambutnya dengan berbagai macam pertanyaan. Tidak ada satu pun pertanyaan Rio yang Artha jawab. Saat ini ia sedang menahan rasa emosi yang entah datang dari mana. Ia kesal pada dirinya sendiri.
"Lu kenapa bisa kena masalah sama Syahla, Tha? Dan kenapa lu bisa pingsan tadi? Gua baru aja mau nyusul lu, gua juga baru kena hukuman dari bu Ashley."
Artha masih terdiam, lama-lama ocehan Rio membuatnya muak. Ia tahan emosinya, ia tidak mau menjadikan Rio pelampiasan rasa emosinya ini. Sesegara mungkin ia menatap Rio dengan tatapan tajam. Rio langsung diam, itulah cara Artha membuat Rio diam.
Artha mengambrukkan kepalanya di meja.
***
Di tengah pelajaran Artha di panggil papanya untuk ke kantor. Ia sudah tahu apa yang akan papanya bicarakan, rasanya ingin sekali ia tidak memenuhi permintaan papanya itu. Seperti ia mengabaikan guru-guru lain.
Dari pada ia akan di permalukan papanya sendiri di depan orang banyak. Lebih baik ia dengarkan saja ocehan papanya itu. Ya walaupun telinga rasanya belum siap untuk mendengarnya.
Seperempat jalan ia menoleh ke arah lapangan, matanya terkunci pada sesosok perempuan berjilbab panjang yang sedang asyik bermain bola basket. Ia tidak menyangka ternyata perempuan sekalem Syahla bisa bermain bola basket.
Bukannya segera menghampiri papanya di Kantor Kepala Sekolah ia malah gagal fokus hanya kerena senyuman Syahla. Baru pertama kali ini ia merasakan sebuah sensasi di hatinya saat melihat senyuman dari seorang perempuan.
"Artha ... Papa panggil kamu ke ruangan Papa, bukan di lapangan basket."
Artha tersentak, saat ia menoleh kembali ke arah lapangan ternyata para perempuan yang di sana sedang memperhatikan Artha dan Papanya dengan tatapan bingung.
Gayung mana gayung, tolong muka gua tutupin bentar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!