When I ...
**Sebelum kalian baca ini, tolong untuk diperhatikan batasan umurnya.
⚠17+⚠
Jadi, jangan dibaca kalau umurnya di bawah itu, karena mengandung unsur ya ... pokoknya gitu.
Jangan lupa Like, Vote, dan Komen pastinya. Ini bukan update harian, jadi jangan tanya kapan up.
Tolong komen yang sopan, jangan SARA, dan maaf kalau kalian komen cuma aku kasih "Like" aja.
So, Happy Reading**.
Sudah 3 tahun Dea di kota pelajar ini. Menuntut ilmu dari Jakarta ke Jogja. Bukan, Dea kuliah di sini bukan karena tidak betah tinggal bersama dengan orangtuanya, keluarganya sangat harmonis dan saling menyayangi. Tentu saja, berpisah dari mereka terasa sangat sedih.
Sabtu sore ini, Dea, Alin, dan Gendis pergi berjalan-jalan di Malioboro. Dengan menaiki andong, ketiga mahasiswi itu menikmati keindahan kota yang ramai, dan tentunya banyak makanan.
"Capek, panas lagi," keluh Alin, sesampainya mereka di bangku taman, duduk sambil memegang semangkok es krim.
"Nih, dinginin pakai ini!" Dea menempelkan gelas es krim yang dingin ke pipi Alin, sembari tertawa jahil.
"Rese, lo! Dingin tau!"
Dea dan Gendis sama-sama tertawa, lalu memakan es krim mereka. Namun, Dea meletakkan es krimnya, kemudian berdiri.
"Gue mau ke toilet dulu, ya?" katanya.
"Dasar bocor!" celetuk Alin. "Hitung aja deh, udah berapa kali lo bolak-balik ke kamar mandi?"
"Kalau perlu sampai pecahkan rekor dunia!" balas Dea terkekeh. "Udah, ah! Ngeladenin lo malah bikin gue tambah kebelet."
"Ya, udah sana!"
Padahal sudah makan es krim, tapi Alin masih saja mengeluh. Kenapa? Karena panas melihat sepasang muda-mudi pacaran di depan mereka. Bikin iri! Tetapi bukan hanya yang muda-muda aja, yang tua-tua juga pamer kemesraan, seperti halnya om-om dengan gadis muda yang berpakaian seksi.
"Itu bukannya ..." gumam Alin.
"Siapa, Lin?" tanya Gendis, mencari-cari orang yang dimaksud Alin.
"Dis, lo pernah lihat bapaknya Dea, kan?" Dan gadis itu menganggukkan kepalanya. "Itu! Bukannya bapaknya Dea?"
Gendis menyipitkan matanya ke arah yang ditunjuk oleh Alin, kemudian ia mengangguk tidak yakin. "Kayaknya? Tapi, kok, bapaknya nggak mampir ke kos-kosan kita?"
Iya juga kata gadis itu. Biasanya, bapak Dea sering menjenguknya ke tempat kos, sekalian kasih uang jajan buat dia. Alin berpikir, mungkin juga Dea dan papanya sudah ketemuan. Hanya saja, Dea, kok, nggak kasih tahu?
"Di sebelah itu mamanya, Lin?" kata Gendis lagi. Dia bertanya karena tidak pernah bertemu dengan ibunya Dea. "Kok, muda banget? Ayu pula."
Alin menaikkan kedua bahunya, kemudian bersahut, "Iya, lah! Lihat aja Dea, cantik, kan? Pasti turunan ibunya, lah!"
Gendis mangut-mangut. Perhatian mereka tak lagi tertuju pada bapaknya Dea dan wanita tadi. Ponsel Gendis berbunyi, sebuah notifikasi pesan WA masuk, yang membuatnya tersenyum sendiri setelah membacanya.
Alin yang melihatnya, menyikut dan menggodanya. "Ciee ... mas gantengmu udah kangen, toh?"
"Iya, dia ngajak ketemuan," jawab Gendis malu-malu. "Tapi gimana, nih?"
"Apanya yang gimana? Samperin, deh!"
"Tapi kan kita lagi jalan-jalan. Nggak enak sama si Dea?"
"Nggak enak kasih sama kucing!" sahut Alin gemas. "Dea dipikirin? Dia, mah, selow orangnya. Entar gue bilangin ke dia, deh!"
Sembari beranjak, Gendis berkata, "Yo, weis. Tak jalan dulu, yo?"
"Sek, sek. Ati-ati!"
Gendis telah menghilang dari pandangan. Tak lama kemudian, Dea datang sambil tertegun karena kehilangan satu anggota.
"Mana Gendis?"
"Ketemu sama mas'e gantengnya," seloroh Alin. "BTW, lama banget, sih? Lo kencing atau molor?"
Dea cengengesan. "Sori, tadi antre banget."
Es krim milik Dea telah mencair, sedangkan Alin telah menghabiskan es krimnya. Mereka mengobrol sambil menunggu Dea menghabiskan es krimnya. Karena sedang membicarakan soal pasangan yang berpacaran di taman ini, Alin jadi teringat oleh sesuatu.
"Barusan gue lihat bapak sama ibu lo ... kayaknya?" celoteh Alin.
"Moso? Yang bener lo?" tanya Dea tak percaya.
"Lah, ini bocah nggak percaya dibilangin? Emangnya gue pernah bohong sama lo?"
Dea terkekeh. "Iya, gue percaya. Di mana lo lihat tadi?"
"Di sana, pas mau keluar dari taman ini ... eh, ngomong-ngomong, lo nggak tahu bapak lo ke sini?"
Justru Dea malah baru tahu. "Nggak. Telepon aja kagak."
"Oh, berarti gue salah lihat tadi. Soalnya, gue lihat bapak-bapak--yang mirip sama bapak lo--jalan bareng sama perempuan cantik. Gue pikir, itu ibu lo." Setelah mengatakannya, Alin diam-diam mencomot sendok dan es krim yang lagi dianggurin sama yang punya.
Dea benar-benar kaget dan hampir tak percaya. Apa benar papanya ke sini? Kenapa tidak kasih kabar? Kenapa tidak menemuinya? Apa papa dan mama pengin kasih kejutan? Biasanya, papa ke sini kalau lagi ada tugas dari perusahaan. Coba, deh, ia telepon papanya dulu.
"Lo telepon siapa, De?" tanya Alin.
"Sstt."
Dea mengernyit. Telepon tersambung, tapi tak diangkat. Apa mungkin ia coba telepon ke perusahaannya saja?
"Halo, ada yang bisa saya bantu?"
"Halo, apa ini PT Indocitra?" jawab Dea.
"Iya, benar. Dengan siapa saya berbicara?"
"Saya Dea Luana Mahardika, anaknya Pak Martin Mahardika."
"Oh, anaknya Pak Martin. Ada apa, ya, Mbak?"
"Saya mau tanya ..." Dea berhenti sebentar karena keraguan yang datang mendadak. "Apa bapak saya ditugaskan ke Jogja?"
"Iya betul, Mbak. Sudah tiga hari yang lalu."
Alin yang mendengarkan percakapan mereka, memandang Dea yang juga memandangnya dengan terkejut.
"Kapan beliau pulang, ya, Mbak?" tanya Dea, jantungnya mulai berdetak gelisah.
"Harusnya hari ini."
Dan ini yang membuatnya bertambah terkejut. Kalau memang begitu, kenapa papanya masih ada di sini?
"Kalau boleh saya tahu, di mana Pak Martin menginap? Soalnya saya ingin bertemu, kalau masih sempat."
"Pak Martin menginap di hotel Garuda, Mbak."
Alin dan Dea saling memandang. Berarti, hotelnya di dekat-dekat sini, dong? Ia bisa ke sana sekarang!
"Terima kasih, ya, Mbak," tutup Dea, kemudian meletakkan ponselnya ke dalam tas.
Alin memandang Dea sembari tersenyum. "Kalau kayak gini, berarti kita go ke sana?"
"Iya, lah! Kapan lagi gue bisa ketemu sama papa. Yuk!"
-;-;-;-
Taksi biru yang mereka tumpangi berhenti di area hotel mewah bintang 4 itu. Langkah Dea sangat cepat memasuki lobi hotel. Ia juga tidak sabar menemui resepsionisnya, menanyakan kamar papanya menginap.
"De, pelan-pelan napa?" seru Alin mengeluh, mengejar Dea yang bergegas menghampiri lift.
Tidak bisa, Alin. Dea terlalu senang saat ini. Pasalnya, ia akan bertemu dengan papa dan mamanya, yang turut serta bersamanya. Dea keluar dari lift dengan langkah penuh harap, berjalan menuju kamar 1357.
Diketuknya pintu kamar itu, tapi tak sekalian berseru karena ingin membuat kejutan. Lagian, siapa suruh orangtuanya tak memberi kabar soal kedatangannya? Ia yang akan mengejutkan mereka duluan.
Pintu terbuka, senyum Dea mulai merekah seperti bunga yang terkembang. Namun, senyum itu hanya bertahan sebentar. Orang yang membukakan pintu bukan papanya, melainkan seorang wanita asing, yang keluar hanya berbalut dengan selimut putih.
"Siapa itu, sayang?" Terdengar suara sahutan--yang suaranya sangat familier-- dari dalam kamar itu.
"Nggak tau," jawab wanita itu menoleh ke dalam sekejab, lalu menatap Dea dan Alin lagi. "Kalian siapa?"
Jangankan menjawab, Dea saja tak mampu menegakkan tubuhnya lagi. Setelah tahu semua ini, seluruh tubuhnya gemetaran. Jika tidak Alin yang menopang tubuhnya, mungkin ia akan jatuh. Air mata kepedihan keluar dari matanya. Ia menunduk dan terisak.
"Dia kenapa?" tanya wanita tadi, heran.
"Hehe, maaf. Kayaknya, kita salah kamar," kata Alin. Kemudian, ia berbisik. "Yuk, De!"
Alin membawa Dea yang sedang menahan tangisannya. Tak membahas apa pun di sepanjang perjalanan, karena ia tahu hati Dea sangat remuk. Tak ada yang menyangka, orang yang paling disayangi, dipercayai, akan berbuat setega ini![]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
🏵️🌟Meeya🌟🏵️
😟
2021-08-06
0
Gian Sugianto
ok c
2021-07-29
0
Anies
kosa kata nya bagus tulisannya juga rapi... dan makin penasaran sama alurnya...
2021-07-23
1