Empat

"Kamu kenapa, Ris?"

Apa Haris tidak mengerti pancaran kekhawatiran yang ada di wajah kakaknya? Tetapi dia malah tersenyum dan berkata dengan santai, "Nggak apa-apa, Kak. Cuma terpeleset di kamar mandi aja, kok."

"Masa sampai lebam gini?" tanya Dea, masih tidak percaya. "Haris, bilang! Kakak tahu kamu bohong. Kakak udah tahu sifat kamu. Kamu paling nggak bisa berbohong."

Haris menundukkan kepala. Bagaimanapun percuma kalau ia berbohong. Tapi ia tidak mau membuat kakaknya khawatir dan sedih, jika mengetahui kejadian yang sebenarnya.

"Iya, Kak, wajahku memar bukan karena terpeleset. Papa mukul aku, Kak."

Dea terkejut bukan kepalang, lalu berseru pelan, "Kok, Bisa? Gimana ceritanya, sih, Ris?"

Haris menceritakan semua yang telah terjadi saat ia pulang dari rumah sakit. Dea tidak menyangka kalau adiknya sampai berani berbuat seperti ini. Kemarahan dan kebenciannya pada papa sudah mengakar.

Dea menghela napas sambil memejamkan mata, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Kenapa jadi kacau gini? Desahnya di dalam hati.

"Maaf, Kak, aku nggak bisa menahan diri," sesal Haris.

"Ya udah. Tapi, nanti kamu mau bilang apa sama mama soal luka kamu ini?"

"Soal itu gampang, Kakak nggak usah khawatir." Haris melirik Naomi yang sedang tertidur. "Mending Kakak pulang. Kasihan Naomi."

Ya juga. Gadis remaja SMP kelas 1 ini begitu kelelahan. Sejak tadi, dia mengeluh lapar dan gatal karena belum mandi. Keberadaan Haris yang tak kunjung datang, dipertanyakan terus pada Dea.

"Naomi, bangun. Kak Haris udah datang," kata Dea sembari menepuk pundak gadis itu.

Naomi tersentak setelah Dea dua kali membangunkannya. Dilihatnya sekeliling, mencari keberadaan kakak laki-lakinya. "Mana kak Haris?"

"Kak Haris udah masuk ke kamar rawat mama." Dea membantu Naomi untuk bangun. Gadis itu menguap, lalu mengucek mata kanannya. "Yuk, pulang."

-;-;-;-

Rumah dalam keadaan sepi saat Dea datang bersama dengan Naomi. Hanya ada Bi Titin yang masih terjaga untuk membukakan mereka pintu. Sambil memasuki rumah, Dea melihat ke sekeliling rumah, termasuk kamar papa dan mamanya.

Syukurlah, pintu kamar itu tertutup rapat. Dea tak perlu bersusah-payah untuk menghindari papanya.

"Bi, tolong siapkan makanan dan bawakan ke kamar kami, ya?" pinta Dea.

Bi Titin mengangguk, kemudian bergegas ke dapur setelah Dea dan Naomi berjalan menuju ke sebuah kamar. Dea mengantarkan Naomi ke kamarnya dulu.

"Dek, kamu mandi, terus makan ya? Habis itu, kerjakan PR, baru tidur," kata Dea berpesan.

"Iya, Kak," sahut Naomi disertai anggukkan.

Dea berjalan ke lantai atas setelahnya. Kamarnya dengan kamar orangtuanya bersebelahan, jadi sewaktu-waktu ia dan papanya bisa berpapasan. Di kamar itu tidak terdengar suara apa pun. Dalam hati Dea membatin: bisa-bisanya pria itu tidur dengan nyenyak, tak memikirkan istrinya yang sedang berjuang untuk tetap hidup.

Kemarahan dan kebencian Dea terhadap papanya semakin jadi, sampai ia tak memikirkan apa pun. Dia baru menyadari bahwa ponselnya tertinggal di rumah. Benda itu tergeletak di atas nakas, dalam keadaan baterai sudah habis.

Dea mendecak, meraih charger yang ada di dalam tas ranselnya. Alena, yang teringat hanya gadis itu. Dea sudah berjanji akan mengabarkan pada Alena, jika ia sudah sampai di Jakarta.

Matanya membulat melihat daftar panggilan tak terjawab hari ini, begitu ponselnya menyala.

"Reza nelpon aku dari tadi?" gumam Dea terkejut. Reza telah mencoba menghubunginya sebanyak 50 kali dari tadi siang.

Dea berniat untuk menghubungi Reza, tapi diurungkan. Ia belum siap untuk menceritakan keadaan saat ini, terpikir kalau pria itu akan menjauhinya jika tahu tentang masalah yang menimpa keluarganya.

"Mending nelepon Alena …" Dea terdiam sembari berpikir. "Besok aja kali, ya? Mungkin dia udah tidur?"

Akhirnya, ia memutuskan untuk mengirim pesan WA, kalau dirinya sudah sampai di Jakarta dalam keadaan selamat dan sehat. Setelah itu, ia menghempaskan tubuhnya di ranjang.

Bayang-bayang Reza tampak perlahan di atas langit-langit kamarnya. Matanya perlahan menyendu. Kerinduan menguar hingga hatinya menjadi sesak. Namun, masalah yang dihadapinya membuatnya semakin sakit. Lama-lama pandangannya mengabur oleh air mata yang memenuhi matanya, disertai oleh isakan.

"Reza, maaf. Aku tidak bisa memberitahukanmu."

-;-;-;-

Alena tersenyum saat membaca pesan dari Dea pagi ini. Rasanya ingin membalas, tapi ia tak bisa karena sudah telat kuliah.

Ia membuka pintunya dengan kasar, lalu terkejut sejenak. "Reza?"

Pria yang akan jadi calon dokter itu berdiri di hadapannya. Dia terlihat sangat tampan dengan kaus putih dan celana jins biru dongker, lalu dibalut dengan jaket army.

"Dea pergi ke mana? Sejak kemarin, aku nggak lihat dia," tanya Reza. Ini yang tidak Alena suka dari pria ini; dia dingin dan terkesan arogan. Heran, kenapa Dea cinta banget sama dia.

Sambil keluar dari kamar kostnya, Alena menjawab, "Ke Jakarta."

"Kok, nggk bilang sama aku?"

Alena menaikkan bahunya dengan acuh tak acuh sambil mengunci pintu. "Nggak tahu. Emang kamu suaminya, yang harus ngelapor sama kamu setiap waktu?" timpalnya sinis.

"Ya, tapi seenggaknya dia kasih kabar."

Alena yang geram, berbalik sembari mendengus. "Dia ke Ja-kar-ta, menemui mamanya yang sedang sa-kit. Jelas?"

"Ale! Ale! Kok, kamu ketus banget, sih, sama aku?" cecar Reza sembari mengejar Alena yang jalannya cepat.

Mereka berhenti di depan pintu. Alena akan menyahut, tapi penghuni kost yang lain ingin lewat. Reza menarik tangan Alena menjauh dari sana. Alen tidak suka dipegang, maka ia menghempaskan dengan kasar tangan Reza.

"Gue udah telat! Mau kuliah!"

"Jawab gue dulu!" sergah Reza.

"Penting gitu, harus jelasin masalah sepele kayak gitu? Minggir! Gue mau lewat!"

Tanpa mementingkan seberapa kasarnya dan pikiran pria itu tentangnya, Alena menghela Reza lalu pergi dengan motor matiknya yang berwarna merah muda.

Tak mendapatkan jawaban yang memuaskan, Reza beranjak dari tempat kost Dea menuju kampus. Sesampainya di sana? Ia melihat Vika yang baru saja keluar dari kerumunan beberapa mahasiswi, setelah melihat kehadirannya. Dengan gaya manjanya, gadis itu menghampiri Reza.

"Pagi, Rez."

"Pagi, Vik," balas Reza sembari membuka helm.

"Ada kabar dari Dea?"

Reza menggeleng. "Alena cuma bilang kalau Dea ke Jakarta karena mamanya sakit."

"Tapi dia nggak bilang, kan, kalau papanya berselingkuh?" celetuk Vika.

"Apa?" seru Reza mengernyit. "Maksud kamu apa?"

Tepat di sebelah rumah Dea, terdapat rumah bercat kuning yang didiami oleh keluarga Vika. Mereka bertetangga, hubungan keluarganya dengan keluaga Dea baik—hanya hubungan Dea dan Vika yang tidak. Keduanya satu kampus dan satu fakultas, tapi tidak pernah akur karena seorang pria yang sama-sama diperebutkan. Reza.

Pertengkaran papa Dea dengan Haris membuat keributan di sekitar area perumahan itu. Otomatis, keluarga Vika mengetahui jelas kejadian itu, lalu memberitahukannya pada Vika kemarin malam.

Ini adalah senjata yang kuat untuk mengadu domba Reza dan Dea, mengingat bagaimana sifat Reza. Selain pada Reza, ia juga menyebarkannya pada beberapa mahasiswi yang lain.

"Alena pasti nggak mau kasih tahu karena Dea yang minta," kata Vika, setelah menceritakan semua yang didengar dari mamanya pada Reza.

Pantas saja. Itulah yang membuat Dea tak mengangkat teleponnya? Tanpa mengatakan apa pun, Reza beranjak dari tempat itu dengan emosi yang meluap.

"Reza!" seru Vika memanggil. Kemudian, senyumnya terkembang, puas melihat kemarahan yang berkilat pada kedua mata Reza.[]

Terpopuler

Comments

🏵️🌟Meeya🌟🏵️

🏵️🌟Meeya🌟🏵️

seru...lanjut..😊

2021-08-06

0

Maya Sari Niken

Maya Sari Niken

hmmmm

2020-11-17

1

Maya Sari Niken

Maya Sari Niken

hmmmm

2020-11-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!