NovelToon NovelToon

When I ...

Satu

**Sebelum kalian baca ini, tolong untuk diperhatikan batasan umurnya.

⚠17+⚠

Jadi, jangan dibaca kalau umurnya di bawah itu, karena mengandung unsur ya ... pokoknya gitu.

Jangan lupa Like, Vote, dan Komen pastinya. Ini bukan update harian, jadi jangan tanya kapan up.

Tolong komen yang sopan, jangan SARA, dan maaf kalau kalian komen cuma aku kasih "Like" aja.

So, Happy Reading**.

Sudah 3 tahun Dea di kota pelajar ini. Menuntut ilmu dari Jakarta ke Jogja. Bukan, Dea kuliah di sini bukan karena tidak betah tinggal bersama dengan orangtuanya, keluarganya sangat harmonis dan saling menyayangi. Tentu saja, berpisah dari mereka terasa sangat sedih.

Sabtu sore ini, Dea, Alin, dan Gendis pergi berjalan-jalan di Malioboro. Dengan menaiki andong, ketiga mahasiswi itu menikmati keindahan kota yang ramai, dan tentunya banyak makanan.

"Capek, panas lagi," keluh Alin, sesampainya mereka di bangku taman, duduk sambil memegang semangkok es krim.

"Nih, dinginin pakai ini!" Dea menempelkan gelas es krim yang dingin ke pipi Alin, sembari tertawa jahil.

"Rese, lo! Dingin tau!"

Dea dan Gendis sama-sama tertawa, lalu memakan es krim mereka. Namun, Dea meletakkan es krimnya, kemudian berdiri.

"Gue mau ke toilet dulu, ya?" katanya.

"Dasar bocor!" celetuk Alin. "Hitung aja deh, udah berapa kali lo bolak-balik ke kamar mandi?"

"Kalau perlu sampai pecahkan rekor dunia!" balas Dea terkekeh. "Udah, ah! Ngeladenin lo malah bikin gue tambah kebelet."

"Ya, udah sana!"

Padahal sudah makan es krim, tapi Alin masih saja mengeluh. Kenapa? Karena panas melihat sepasang muda-mudi pacaran di depan mereka. Bikin iri! Tetapi bukan hanya yang muda-muda aja, yang tua-tua juga pamer kemesraan, seperti halnya om-om dengan gadis muda yang berpakaian seksi.

"Itu bukannya ..." gumam Alin.

"Siapa, Lin?" tanya Gendis, mencari-cari orang yang dimaksud Alin.

"Dis, lo pernah lihat bapaknya Dea, kan?" Dan gadis itu menganggukkan kepalanya. "Itu! Bukannya bapaknya Dea?"

Gendis menyipitkan matanya ke arah yang ditunjuk oleh Alin, kemudian ia mengangguk tidak yakin. "Kayaknya? Tapi, kok, bapaknya nggak mampir ke kos-kosan kita?"

Iya juga kata gadis itu. Biasanya, bapak Dea sering menjenguknya ke tempat kos, sekalian kasih uang jajan buat dia. Alin berpikir, mungkin juga Dea dan papanya sudah ketemuan. Hanya saja, Dea, kok, nggak kasih tahu?

"Di sebelah itu mamanya, Lin?" kata Gendis lagi. Dia bertanya karena tidak pernah bertemu dengan ibunya Dea. "Kok, muda banget? Ayu pula."

Alin menaikkan kedua bahunya, kemudian bersahut, "Iya, lah! Lihat aja Dea, cantik, kan? Pasti turunan ibunya, lah!"

Gendis mangut-mangut. Perhatian mereka tak lagi tertuju pada bapaknya Dea dan wanita tadi. Ponsel Gendis berbunyi, sebuah notifikasi pesan WA masuk, yang membuatnya tersenyum sendiri setelah membacanya.

Alin yang melihatnya, menyikut dan menggodanya. "Ciee ... mas gantengmu udah kangen, toh?"

"Iya, dia ngajak ketemuan," jawab Gendis malu-malu. "Tapi gimana, nih?"

"Apanya yang gimana? Samperin, deh!"

"Tapi kan kita lagi jalan-jalan. Nggak enak sama si Dea?"

"Nggak enak kasih sama kucing!" sahut Alin gemas. "Dea dipikirin? Dia, mah, selow orangnya. Entar gue bilangin ke dia, deh!"

Sembari beranjak, Gendis berkata, "Yo, weis. Tak jalan dulu, yo?"

"Sek, sek. Ati-ati!"

Gendis telah menghilang dari pandangan. Tak lama kemudian, Dea datang sambil tertegun karena kehilangan satu anggota.

"Mana Gendis?"

"Ketemu sama mas'e gantengnya," seloroh Alin. "BTW, lama banget, sih? Lo kencing atau molor?"

Dea cengengesan. "Sori, tadi antre banget."

Es krim milik Dea telah mencair, sedangkan Alin telah menghabiskan es krimnya. Mereka mengobrol sambil menunggu Dea menghabiskan es krimnya. Karena sedang membicarakan soal pasangan yang berpacaran di taman ini, Alin jadi teringat oleh sesuatu.

"Barusan gue lihat bapak sama ibu lo ... kayaknya?" celoteh Alin.

"Moso? Yang bener lo?" tanya Dea tak percaya.

"Lah, ini bocah nggak percaya dibilangin? Emangnya gue pernah bohong sama lo?"

Dea terkekeh. "Iya, gue percaya. Di mana lo lihat tadi?"

"Di sana, pas mau keluar dari taman ini ... eh, ngomong-ngomong, lo nggak tahu bapak lo ke sini?"

Justru Dea malah baru tahu. "Nggak. Telepon aja kagak."

"Oh, berarti gue salah lihat tadi. Soalnya, gue lihat bapak-bapak--yang mirip sama bapak lo--jalan bareng sama perempuan cantik. Gue pikir, itu ibu lo." Setelah mengatakannya, Alin diam-diam mencomot sendok dan es krim yang lagi dianggurin sama yang punya.

Dea benar-benar kaget dan hampir tak percaya. Apa benar papanya ke sini? Kenapa tidak kasih kabar? Kenapa tidak menemuinya? Apa papa dan mama pengin kasih kejutan? Biasanya, papa ke sini kalau lagi ada tugas dari perusahaan. Coba, deh, ia telepon papanya dulu.

"Lo telepon siapa, De?" tanya Alin.

"Sstt."

Dea mengernyit. Telepon tersambung, tapi tak diangkat. Apa mungkin ia coba telepon ke perusahaannya saja?

"Halo, ada yang bisa saya bantu?"

"Halo, apa ini PT Indocitra?" jawab Dea.

"Iya, benar. Dengan siapa saya berbicara?"

"Saya Dea Luana Mahardika, anaknya Pak Martin Mahardika."

"Oh, anaknya Pak Martin. Ada apa, ya, Mbak?"

"Saya mau tanya ..." Dea berhenti sebentar karena keraguan yang datang mendadak. "Apa bapak saya ditugaskan ke Jogja?"

"Iya betul, Mbak. Sudah tiga hari yang lalu."

Alin yang mendengarkan percakapan mereka, memandang Dea yang juga memandangnya dengan terkejut.

"Kapan beliau pulang, ya, Mbak?" tanya Dea, jantungnya mulai berdetak gelisah.

"Harusnya hari ini."

Dan ini yang membuatnya bertambah terkejut. Kalau memang begitu, kenapa papanya masih ada di sini?

"Kalau boleh saya tahu, di mana Pak Martin menginap? Soalnya saya ingin bertemu, kalau masih sempat."

"Pak Martin menginap di hotel Garuda, Mbak."

Alin dan Dea saling memandang. Berarti, hotelnya di dekat-dekat sini, dong? Ia bisa ke sana sekarang!

"Terima kasih, ya, Mbak," tutup Dea, kemudian meletakkan ponselnya ke dalam tas.

Alin memandang Dea sembari tersenyum. "Kalau kayak gini, berarti kita go ke sana?"

"Iya, lah! Kapan lagi gue bisa ketemu sama papa. Yuk!"

-;-;-;-

Taksi biru yang mereka tumpangi berhenti di area hotel mewah bintang 4 itu. Langkah Dea sangat cepat memasuki lobi hotel. Ia juga tidak sabar menemui resepsionisnya, menanyakan kamar papanya menginap.

"De, pelan-pelan napa?" seru Alin mengeluh, mengejar Dea yang bergegas menghampiri lift.

Tidak bisa, Alin. Dea terlalu senang saat ini. Pasalnya, ia akan bertemu dengan papa dan mamanya, yang turut serta bersamanya. Dea keluar dari lift dengan langkah penuh harap, berjalan menuju kamar 1357.

Diketuknya pintu kamar itu, tapi tak sekalian berseru karena ingin membuat kejutan. Lagian, siapa suruh orangtuanya tak memberi kabar soal kedatangannya? Ia yang akan mengejutkan mereka duluan.

Pintu terbuka, senyum Dea mulai merekah seperti bunga yang terkembang. Namun, senyum itu hanya bertahan sebentar. Orang yang membukakan pintu bukan papanya, melainkan seorang wanita asing, yang keluar hanya berbalut dengan selimut putih.

"Siapa itu, sayang?" Terdengar suara sahutan--yang suaranya sangat familier-- dari dalam kamar itu.

"Nggak tau," jawab wanita itu menoleh ke dalam sekejab, lalu menatap Dea dan Alin lagi. "Kalian siapa?"

Jangankan menjawab, Dea saja tak mampu menegakkan tubuhnya lagi. Setelah tahu semua ini, seluruh tubuhnya gemetaran. Jika tidak Alin yang menopang tubuhnya, mungkin ia akan jatuh. Air mata kepedihan keluar dari matanya. Ia menunduk dan terisak.

"Dia kenapa?" tanya wanita tadi, heran.

"Hehe, maaf. Kayaknya, kita salah kamar," kata Alin. Kemudian, ia berbisik. "Yuk, De!"

Alin membawa Dea yang sedang menahan tangisannya. Tak membahas apa pun di sepanjang perjalanan, karena ia tahu hati Dea sangat remuk. Tak ada yang menyangka, orang yang paling disayangi, dipercayai, akan berbuat setega ini![]

Dua

Sepanjang perjalanan ke rumah, Dea hanya terdiam. Alena juga tidak berani membuka suara, membiarkan Dea merenung dan bersusah-payah menahan tangisannya.

Alena tahu apa yang sedang dirasakan oleh Dea, meski ia sendiri belum pernah berada di posisi itu. Ia menutup pintu kamar Dea, agar para penghuni kos tidak bertanya-tanya soal gadis itu. Kini, Dea menghamburkan dirinya di atas ranjang, menangis sejadi-jadinya.

"Aku nggak nyangka kalau papa mengkhianati mama," isak Dea.

Alena perlahan mendekati dan duduk di atas ranjang, di samping Dea, mengelus lembut punggung gadis itu. Dea beranjak, lalu memeluk Alena, meluapkan tangisan sedih yang bercampur rasa kesal.

"Udah, ya, De. Jangan nangis terus. Mata lo udah sembab dan bengkak gitu. Nanti kalau temen-temen pada curiga gimana? Lo mau jawab apa? Nggak mungkin, kan, lo jawab yang sebenarnya?" kata Alena.

Benar juga. Dea yang menyadarinya, melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Ia juga tidak mau kalau teman, termasuk Reza, sampai tahu soal perselingkuhan papanya. Reza, cowok yang sudah 2 tahun dipacarinya, adalah tipe cowok setia. Dia paling tidak suka berselingkuh, apalagi pada pria yang bertipe seperti itu—dia akan langsung membencinya. Apa katanya jika papa Dea ternyata peserong? Cinta mereka mungkin akan kandas. Ia tidak mau!

Tetapi yang dipikirkan saat ini adalah mama dan kedua adiknya, Haris dan Naomi. Perasaan mereka lebih hancur jika mengetahui hal ini. Ia tak bisa membayangkan jika penyakit jantung mamanya kambuh. Tidak! Ia tak siap jika kehilangan mama sekarang. Air muka Dea berubah murung sekejab.

"Apa gue ke Jakarta aja, ya?" gumam Dea.

"Tapi, bukannya kata lo ujian sebentar lagi? Lagian, ngapain lo ke sana?" kata Alena.

"Gue mau kasih tahu soal ini sama mama, Haris, dan Naomi."

Alena terlihat ragu. "Apa itu nggak terlalu riskan bagi keluarga lo?"

"Gue nggak peduli. Papa gue akan kembali ke Jakarta hari ini. Gue akan pulang ke Jakarta malam ini juga. Gue nggak mau keduluan dari papa!" tekad Dea.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendukungnya, meski menurut Alena ide itu tidak bagus. "Terus, mau berapa lama lo di sana?"

"Seminggu … pokoknya, sebelum hari ujian," jawab Dea. "Oh, iya. Lo bisa rahasiain hal ini pada temen-temen, apalagi dari Reza, kan?"

Alena tersenyum. "Pasti dong! Tenang aja, rahasia lo aman sama gue!"

Sahabat dekatnya ini, walaupun tidak satu kampus, Alena adalah orang yang paling bisa diandalkan—dan juga selalu membuatnya tersenyum. Ia bahagia memiliki sahabat seperti Alena.

Baiklah! Ia segera melompat dari ranjang, meraih koper, mengeluarkan beberapa potong pakaian dari lemari untuk dibawanya. Tiket kereta juga sudah ia minta pesankan pada Alena. Setelah itu, ia langsung berangkat ke stasiun dengan diantarkan oleh Alena.

-;-;-;-

Tepat memasuki waktu Subuh, kereta berhenti di stasiun Gambir. Dea tersentak dari tidurnya saat kereta berhenti. Ia langsung meraih kopernya yang disimpan di bagasi atas. Sulit sekali menurunkannya, sampai kedua lengan kekar nan putih milik seseorang mengambilkannya.

Dea berbalik, tercengang melihat seorang pria, yang tidak lebih tampan dari Reza--menurutnya, berdiri di hadapannya. Pria itu mengunyah permen karet, gayanya lebih mirip seperti preman; memakai kaus tanpa lengan berwarna putih, bertopi tapi pakainya terbalik. Dia tersenyum, lalu tanpa mengatakan apa pun, pria itu pergi dari hadapannya.

Aneh. Gumam Dea di dalam hati. Bisa gitu, ia bertemu dengan pria urakan kayak gitu? Cukup sekali aja. Ia lebih suka pada tipe pria berpakaian rapi seperti Reza.

Tuh, kan! Gara-gara pria itu, Dea jadi lupa untuk turun dari kereta. Kaki mungilnya berlari secepat mungkin, keluar dari area stasiun sampai tak sengaja menabrak seseorang. Matanya membulat melihat pria yang ditabraknya. Ya, cowok yang tadi!

"Sori," kata Dea, lalu kembali berlari.

Gawat, ia lupa pesan taksi online! Ia merutuki kebodohannya pada hal yang kecil seperti ini. Ujung-ujungnya, ia harus menunggu sampai ia mendapatkan sebuah taksi online.

Mobil berwarna silver itu akhirnya datang. Ia menghela napas lega, dan tanpa membuang waktu, menaiki mobil itu. Namun, seseorang turut naik ke mobil itu, kemudian mengatakan hal yang sama:

"Cepetan, Pak!"

Dea dan pria itu sama-sama tertegun, lalu saling menoleh heran.

"Kamu? Ngapain di sini?" tanya Dea nyolot.

"Lho? Harusnya aku yang tanya dong? Ngapain kamu di taksi aku?" balas cowok itu.

"Ini taksi aku!" Karena tak mau kalah, Dea sampai bertanya pada supir. "Iya, kan, Pak? Ini taksi pesanan aku?"

"Eng … maaf, Mbak. Ini taksi pesanannya mas ini," jawab si supir sambil menunjuk cowok itu dengan jempolnya.

Dea tercengang beberapa saat, sebelum suara notifikasi pesan muncul di layar ponselnya. Supir taksi yang dipesannya mengirim pesan itu. Tanpa mengatakan maaf, ia bergegas keluar dari taksi dengan perasaan malu.

-;-;-;-

Rumah besar bertingkat itu adalah rumah milik keluarga Dea. Taksi yang ditumpanginya berhenti di depan rumah. Keadaan rumah masih sepi—mungkin mama dan kedua adiknya masih tidur. Tak beberapa lama kemudian, seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumah sambil membawa sapu lidi.

"Bi Titin!" seru Dea, tapi tidak begitu keras.

Wanita itu bergegas menghampiri Dea, tersenyum riang, lalu membuka pagar. "Nona udah pulang?"

"Mama masih tidur?" tanya Dea agak berbisik.

"Nggak, Non. Nyonya baru aja selesai mandi," jawab Bi Titin, ikut berbisik juga.

"Kalo Haris, Naomi?"

"Belum bangun kayaknya. Tapi, Non. Kok ngomongnya bisik-bisik gini?"

"Ah, enggak. Cuma mau bikin kejutan aja. Makanya, Bibi jangan kasih tahu aku udah pulang. Bibi nyapu aja deh, biar aku masuk ke dalam sendirian. Oke!"

Bi Titin yang lugu mengikuti gaya Dea yang mengacungkan jempolnya. Sesuai dengan instruksi Dea, Bi Titin menyapu halaman rumah, sementara Dea masuk ke dalam rumah.

Aroma sejuk dan pewangi ruangan menyambut kedatangannya. Rindu dengan aroma kehangatan dari kasih sayang yang dirasakannya dari kedua orangtuanya yang saling mencintai.

Namun, semua itu hanya kenangan yang pedih. Perselingkuhan yang dilakukan papanya membuatnya hancur. Air mata perlahan meleleh lagi dari kedua mata indahnya.

"Dea?" seru suara seorang wanita yang begitu lembut dan familiar.

Wanita yang disebut mama itu, berjalan menghampirinya. Ia buru-buru mengelap air matanya, lalu memasang senyuman yang dipaksakan.

"Mama, apa kabar?" Dea langsung menghamburkan tubuhnya dalam pelukan sang ibu, membuat hatinya kembali mencelus.

"Ada apa nih? Kok, pulang? Emang lagi libur?" tanya mamanya, setelah melepaskan pelukannya.

Dea berjalan bersama dengan mamanya sembari berkata, "Aku mau menyampaikan sesuatu—"

Pandangan Dea teralihkan pada seorang pria yang sangat ingin ia maki, ia jambak, bahkan ingin ia cakar wajahnya itu. Papanya keluar dari kamar mandi, dengan memakai piyama handuk putih sambil menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk.

Baik papa maupun Dea, sama-sama terkejut. Kemarahan meluap setelah detik mencengangkan itu berlalu. Dea tak kuasa membendung air matanya, kala ingatan kemarin di hotel itu terlintas. Ia membuang muka, kemudian beranjak ke kamarnya yang ada di lantai atas—tanpa mengatakan apa pun, dan menghiraukan seruan khawatir sang ibu.

Mamanya mendekati suaminya dengan perasaan heran, sambil melihat ke arah Dea yang telah masuk ke dalam kamar. "Dea kenapa, Pa?"

Pria itu terhenyak, lalu tersinggung. "Entahlah. Mungkin karena dia capek."

Entahlah, perasaan seorang ibu terlalu kuat pada anaknya. Ia tahu bahwa Dea sedang lelah—perjalanan dari Jogja ke Jakarta memakan waktu yang cukup lama—tapi bukan itu yang memicu sikap Dea menjadi seperti itu. Ia merasa bahwa ini ada kaitannya dengan suaminya. Pasalnya, air muka Dea berubah saat melihat suaminya. Makanya, ia bertanya pada pria itu. Mungkinkah mereka memiliki suatu masalah yang disembunyikan?

-;-;-;-

Niatnya ambyar kala itu juga. Ia gagal menguatkan hatinya untuk mengatakan kebenaran tentang papanya pada mama. Dea menumpahkan rasa kesalnya dengan tangisan, membenamkan wajah di atas bantalnya yang kini telah basah.

Hanya cara itu yang dapat ia lampiaskan perasaannya, selain memukul-mukul bantal sambil mengumpat seolah bantal itu adalah papanya.

Menangis ternyata membuatnya lelah, Dea tertidur tak lama kemudian. Pada pukul 10 pagi, ia terbangun, menyadari bahwa ia telah ketiduran. Ia beranjak dari atas ranjang, melintas ke depan cermin yang ada di meja hias.

Saat melihat pantulan bayangannya sekilas, ia kembali berbalik ke meja rias, memperhatikan penampilannya di cermin. Huft, ternyata sampai sekacau ini; mata sembab, rambut berantakan, dan wajahnya lusuh.

Karena cemas, mama mengecek keadaannya di kamar. Sambil berseru pelan, wanita itu mengetuk pintu kamar Dea.

"Kak, boleh Mama masuk? Mama mau ngomong."

Dea mengatup bibirnya. Alena benar, sebenarnya ia benar-benar tidak sanggup untuk mengatakan kebenaran yang pahit itu pada mamanya. Tetapi sudah terlambat untuk menghindar—memutar waktupun juga sudah tidak bisa—mama sudah ada di depan pintu kamarnya, mau tak mau harus dihadapi.

Ia menyisir rambutnya asal, merapikan pakaiannya sebelum membukakan pintu untuk sang ibu. Ia tak dapat memaksakan bibirnya untuk tersenyum, begitu pintu dibuka. Ia mempersilakan mamanya masuk, lalu mereka duduk di tepi ranjang.

"Kak, apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba begini?" tanya mama, menggenggam tangan Dea yang terletak di atas pahanya.

Dea menunduk, berusaha untuk tidak menangis lagi, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya, ia jatuh ke dalam pelukan mama, merengek seperti anak kecil yang sehabis terluka karena jatuh.

Mama semakin bingung, mengelus punggung Dea dengan lembut. "Ada apa? Kok, kamu sampai nangis gini?"

"Papa, Ma...." rengek Dea.

Papa? Mama mengernyit. "Kenapa papa, Sayang."

"Papa, Ma…."

Ada apa ini? Kenapa anaknya menyebut suaminya terus? Mama semakin penasaran, sampai tak dapat mengendalikan emosinya. Dilepaskannya pelukannya dari Dea.

"Iya, papa kenapa?" desaknya.

Papa berselingkuh! Hanya dua kata, tapi lidah Dea sulit untuk berucap. Ia terus terisak sambil menunduk. Desakkan dari mamanya yang membuatnya mengambil keputusan. Ini sulit, tapi pada akhirnya ia mengumpulkan keberaniannya untuk bilang:

"Papa selingkuh, Ma."[]

Tiga

Selama hampir 25 pernikahan ini berjalan, tak pernah ada masalah dan pertengkaran, semua berjalan secara harmonis. Mama dan papanya menikah karena cinta, lalu kasih sayang itu dibaginya pada tiga anak kandung mereka yang penurut dan baik hati.

Tentang perselingkuhan suaminya, ia hampir tak percaya. Masa iya, suaminya seperti itu? Selama ini, ia telah berusaha memenuhi kebutuhannya. Apa yang kurang darinya? Suaminya juga tidak pernah ada gelagat mencurigakan seperti seorang peselingkuh. Ini pasti salah! Namun, Dea tidak mungkin berbohong. Apa untungnya bagi dia?

"Apa?!" jerit Kartika. Sorot matanya mendadak kuyu. Wajahnya memucat, dan tubuhnya menegang. Tak lama kemudian, ia tak sadarkan diri.

"Mama!" jerit Dea diiringi tangisan dan rasa cemas. Memegangi tubuh Kartika yang telah terkulai.

Jeritan histeris itu terdengar oleh Bi Titin. Wanita itu tergopoh-gopoh ke lantai atas, menghampiri ke tempat suara itu berasal.

"Nyonya!" serunya terkejut, lalu menghampiri Kartika dan Dea.

"Bi, cepet hubungi ambulans! Terus, kasih tahu Pak Bambang untuk jemput Naomi dan Haris, ya?" pesan Dea, dan wanita itu mengangguk lalu bergegas melakukan perintah Dea.

Dea memeluk mamanya. Dunianya seakan runtuh mendapati mamanya anfal karena berita ini. Ia takut kalau terjadi apa-apa pada Kartika, apalagi Kartika memilki riwayat penyakit jantung.

Di dalam hati, ia terus bergumam akan tindakan bodohnya ini. Sungguh, ia sangat menyesalinya. Akan tetapi, ia tak dapat menahan diri, semua kebobrokan papanya harus dibongkar. Kalau tidak, penyesalan yang lebih besar akan menghantuinya seumur hidup.

-;-;-;-

Lorong rumah sakit terasa dingin dan sunyi. Ketiga kakak-beradik sedang duduk termenung di dekat sebuah ruang perawatan sejak tadi. Berbagai macam hal yang mereka pikirkan, tapi hanya si kecil Naomi mengkhawatirkan soal yang lain.

Dea dan Haris dengan sigap berdiri, saat pintu ruangan dibuka. Seorang pria paruh baya berkacamata, dengan uban yang hanya tumbuh di bagian depan kepalanya, memakai jas putih keluar dari dalam sana.

"Bagaimana keadaan mama saya, Dok?" cecar Dea seraya menghampiri.

"Jantungnya melemah. Saya rasa, karena dia terlalu syok. Sebaiknya, biarkan dia istirahat dulu," kata dokter itu.

Sudah Dea duga, pasti penyakit jantung mama kambuh. Ya Tuhan, tolong selamatkan mama. Gumamnya dalam hati, sembari duduk di kursinya, tubuhnya lemas.

Satu lagi beban pikiran yang ada di dalam benak Dea. Mamanya memang yang paling diprioritaskan, tapi ada hal lain yang harus dipikirkan: kedua adiknya.

Hari sudah senja, kedua adiknya sangat lelah karena sejak tadi menunggu di sini. Mereka masih berpakaian lengkap seragam sekolah, dan mereka juga belum makan. Si kecil Naomi menguap. Dea baru menyadari bahwa adiknya itu sejak tadi mengantuk.

"Haris, kamu bawa adikmu pulang. Biar Kakak yang nunggu di sini," kata Dea.

"Nggak, Kakak aja yang pulang," tolak Haris.

"Lho, kok, gitu? Kamu pasti laper dan capek, kan? Lagian, kamu belum ganti baju."

"Aku juga ada PR, Kak," timpal Naomi.

"Tuh, kan!" Dea berseru. "Udah, bawa pulang adikmu sana! Kasihan dia. Lagian, Naomi juga baru sembuh dari sakit, kan?"

"Tapi aku sudah sembuh, kok," bantah Naomi, protes. "Aku udah nggak apa-apa."

"Emang. Tapi penyakitnya bisa balik lagi, apalagi kalo kena angin malam," ujar Dea. "Udah, sekarang kalian pulang. Kakak yang akan jaga mama. Kalo ada apa-apa, Kakak akan kasih kabar."

Haris adalah remaja 16 tahun yang memiliki kecerdasan dan sisi dewasa yang tidak ada di dalam seorang remaja lainnya. Ia tak mau kakaknya sakit, apalagi beban pikirannya juga banyak. Ia menyarankan usul yang lebih baik.

"Gimana kalo aku pulang duluan, habis itu Kakak sama Naomi yang pulang. Aku akan jaga mama semalaman ini. Besok, pagi-pagi gantian Kakak yang jaga mama. Baru habis itu, aku berangkat ke sekolah."

Ide yang bagus, tapi Dea masih saja cemas. "Memangnya, bisa tidur di rumah sakit?"

"Yah, emang nggak nyaman. Tapi aku nggak masalahin, kok."

"Ya, udah. Kamu pulang duluan, deh! Mandi, ganti baju, terus makan, ya?"

Haris mencium tangan kakaknya, lalu pergi meninggalkannya bersama dengan Naomi. Si bungsu mengantuk, dan Dea menyandarkannya ke dalam pelukannya. Ia menghela napas panjang.

Setelah menceritakan soal perselingkuhan papanya pada Haris, ia jadi khawatir. Bagaimana Haris bersikap, saat bertatap muka dengan papa? Tadi saja, ekspresi Haris langsung murung dan dingin. Kepalan tangannya menguat, sampai jari-jarinya memutih.

Jam segini, biasanya papa sudah pulang dari kantor, kemungkinan saling bertemu dengan Haris pasti ada.

"Semoga Haris dapat menahan emosinya," gumam Dea, berharap.

-;-;-;-

Haris turun dari mobil silver yang sering mengantarkannya dan Naomi ke sekolah, dengan disupiri oleh Pak Bambang. Sengatan lampu yang menyilaukan, menyorot matanya dari arah pintu pagar. Mobil papa.

Haris melanjutkan langkahnya, tanpa menunggu papanya yang sedang memasukkan mobil ke dalam area rumah. Suara klakson mobil menghentikan langkahnya sejenak, lalu kembali berjalan, menghiraukan seruan papanya.

Papa bergegas turun dari mobil. "Haris! Haris! Tunggu!"

Haris terpaksa berhenti, tapi tidak menoleh. Mendecakkan lidahnya, kesal.

"Haris." Papa menghela lembut pundak Haris, hingga anak itu menoleh padanya. "Gimana keadaan mama? Mama sakit apa?"

Haris tersenyum sinis. "Papa khawatir?"

Papa mengernyit. "Apa maksud pertanyaan kamu, Nak? Tentu saja, Papa khawatir."

"Kalau begitu, kenapa tidak jenguk mama ke rumah sakit?"

Setelah berkata dengan gusar, Haris berbalik. Tetapi papa mencegahnya, kembali menghela pundak Haris agar menatapnya lagi.

"Haris, kenapa kamu ngomongnya begitu? Papa tidak pernah mengajarimu untuk berkata kasar pada orangtua," kata papa agak marah.

Emosi Haris sebenarnya sudah naik ke ubun-ubun, tapi ditahannya karena teringat pada ucapan Dea. Ia tak menggubris pertanyaan papa. Malah, ia pergi, dan itulah penyebab kemarahan papa semakin meningkat.

Papa meraih kerah baju Haris, mengangkat tubuhnya seraya membentak, "JAWAB, HARIS! Kenapa kamu diam?! Jangan bikin Papa sampai berbuat kasar sama kamu!"

Haris mendelik dan sempat gentar saat papa mengacungkan kepalan tangannya ke atas. Namun, kemarahannya tersulut, sehingga ia berani menantangnya.

"Pukul aja, Pa! Pukul! Aku pikir, Papa adalah panutan yang baik buat aku. Nggak nyangka, ternyata aku punya orangtua yang bejat dan tukang selingkuh!"

"APA KAMU BILANG?!"

Papa melayangkan pukulan ke pipi kanan Haris. Anak itu tak melawan, tapi akhirnya tak ia tak dapat menahan emosi. Saat papanya kembali mendaratkan pukulan ketiganya, Haris meraih leher papa, mencekiknya dan membanting tubuhnya ke tanah.

Bi Titin yang mendengar keributan, pergi keluar bersama dengan Pak Bambang. Jeritan Bu Titin mengundang penghuni rumah lainnya untuk datang.

Pak Bambang dan beberapa pria lainnya melerai perkelahian anak dan ayah itu. Bi Titin menenangkan Haris, lalu membawanya masuk ke dalam rumah.

Para tetangga saling berbisik dan mendebatkan soal kejadian tadi. Isu hangat yang akan menyebar dalam waktu yang singkat, dan topik yang akan selalu dibahas setiap ada pertemuan di manapun, termasuk di gerobak tukang sayur.

-;-;-;-

Sudah jam 8 malam, tapi Haris belum juga datang. Ke mana anak itu? Seharusnya, sejam yang lalu ia sudah ada di sini. Kasihan Naomi, sudah mengeluh sejak tadi karena ingin segera mengerjakan PR-nya.

Antara kesal dan khawatir, Dea berjalan mondar-mandir di lorong. Kadang melirik sekejab pada Naomi yang sedang tertidur pulas di atas bangku ruang tunggu.

Tak lama kemudian, ia melihat sosok Haris datang. Ia sudah bersiap untuk memarahinya. Tetapi ia malah tercengang, begitu melihat memar yang ada di wajah adiknya. Segera dihampirinya adiknya itu.

"Haris, kamu kenapa?" tanyanya cemas.[]

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!