Dua

Sepanjang perjalanan ke rumah, Dea hanya terdiam. Alena juga tidak berani membuka suara, membiarkan Dea merenung dan bersusah-payah menahan tangisannya.

Alena tahu apa yang sedang dirasakan oleh Dea, meski ia sendiri belum pernah berada di posisi itu. Ia menutup pintu kamar Dea, agar para penghuni kos tidak bertanya-tanya soal gadis itu. Kini, Dea menghamburkan dirinya di atas ranjang, menangis sejadi-jadinya.

"Aku nggak nyangka kalau papa mengkhianati mama," isak Dea.

Alena perlahan mendekati dan duduk di atas ranjang, di samping Dea, mengelus lembut punggung gadis itu. Dea beranjak, lalu memeluk Alena, meluapkan tangisan sedih yang bercampur rasa kesal.

"Udah, ya, De. Jangan nangis terus. Mata lo udah sembab dan bengkak gitu. Nanti kalau temen-temen pada curiga gimana? Lo mau jawab apa? Nggak mungkin, kan, lo jawab yang sebenarnya?" kata Alena.

Benar juga. Dea yang menyadarinya, melepaskan pelukannya dan menghapus air matanya. Ia juga tidak mau kalau teman, termasuk Reza, sampai tahu soal perselingkuhan papanya. Reza, cowok yang sudah 2 tahun dipacarinya, adalah tipe cowok setia. Dia paling tidak suka berselingkuh, apalagi pada pria yang bertipe seperti itu—dia akan langsung membencinya. Apa katanya jika papa Dea ternyata peserong? Cinta mereka mungkin akan kandas. Ia tidak mau!

Tetapi yang dipikirkan saat ini adalah mama dan kedua adiknya, Haris dan Naomi. Perasaan mereka lebih hancur jika mengetahui hal ini. Ia tak bisa membayangkan jika penyakit jantung mamanya kambuh. Tidak! Ia tak siap jika kehilangan mama sekarang. Air muka Dea berubah murung sekejab.

"Apa gue ke Jakarta aja, ya?" gumam Dea.

"Tapi, bukannya kata lo ujian sebentar lagi? Lagian, ngapain lo ke sana?" kata Alena.

"Gue mau kasih tahu soal ini sama mama, Haris, dan Naomi."

Alena terlihat ragu. "Apa itu nggak terlalu riskan bagi keluarga lo?"

"Gue nggak peduli. Papa gue akan kembali ke Jakarta hari ini. Gue akan pulang ke Jakarta malam ini juga. Gue nggak mau keduluan dari papa!" tekad Dea.

Tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendukungnya, meski menurut Alena ide itu tidak bagus. "Terus, mau berapa lama lo di sana?"

"Seminggu … pokoknya, sebelum hari ujian," jawab Dea. "Oh, iya. Lo bisa rahasiain hal ini pada temen-temen, apalagi dari Reza, kan?"

Alena tersenyum. "Pasti dong! Tenang aja, rahasia lo aman sama gue!"

Sahabat dekatnya ini, walaupun tidak satu kampus, Alena adalah orang yang paling bisa diandalkan—dan juga selalu membuatnya tersenyum. Ia bahagia memiliki sahabat seperti Alena.

Baiklah! Ia segera melompat dari ranjang, meraih koper, mengeluarkan beberapa potong pakaian dari lemari untuk dibawanya. Tiket kereta juga sudah ia minta pesankan pada Alena. Setelah itu, ia langsung berangkat ke stasiun dengan diantarkan oleh Alena.

-;-;-;-

Tepat memasuki waktu Subuh, kereta berhenti di stasiun Gambir. Dea tersentak dari tidurnya saat kereta berhenti. Ia langsung meraih kopernya yang disimpan di bagasi atas. Sulit sekali menurunkannya, sampai kedua lengan kekar nan putih milik seseorang mengambilkannya.

Dea berbalik, tercengang melihat seorang pria, yang tidak lebih tampan dari Reza--menurutnya, berdiri di hadapannya. Pria itu mengunyah permen karet, gayanya lebih mirip seperti preman; memakai kaus tanpa lengan berwarna putih, bertopi tapi pakainya terbalik. Dia tersenyum, lalu tanpa mengatakan apa pun, pria itu pergi dari hadapannya.

Aneh. Gumam Dea di dalam hati. Bisa gitu, ia bertemu dengan pria urakan kayak gitu? Cukup sekali aja. Ia lebih suka pada tipe pria berpakaian rapi seperti Reza.

Tuh, kan! Gara-gara pria itu, Dea jadi lupa untuk turun dari kereta. Kaki mungilnya berlari secepat mungkin, keluar dari area stasiun sampai tak sengaja menabrak seseorang. Matanya membulat melihat pria yang ditabraknya. Ya, cowok yang tadi!

"Sori," kata Dea, lalu kembali berlari.

Gawat, ia lupa pesan taksi online! Ia merutuki kebodohannya pada hal yang kecil seperti ini. Ujung-ujungnya, ia harus menunggu sampai ia mendapatkan sebuah taksi online.

Mobil berwarna silver itu akhirnya datang. Ia menghela napas lega, dan tanpa membuang waktu, menaiki mobil itu. Namun, seseorang turut naik ke mobil itu, kemudian mengatakan hal yang sama:

"Cepetan, Pak!"

Dea dan pria itu sama-sama tertegun, lalu saling menoleh heran.

"Kamu? Ngapain di sini?" tanya Dea nyolot.

"Lho? Harusnya aku yang tanya dong? Ngapain kamu di taksi aku?" balas cowok itu.

"Ini taksi aku!" Karena tak mau kalah, Dea sampai bertanya pada supir. "Iya, kan, Pak? Ini taksi pesanan aku?"

"Eng … maaf, Mbak. Ini taksi pesanannya mas ini," jawab si supir sambil menunjuk cowok itu dengan jempolnya.

Dea tercengang beberapa saat, sebelum suara notifikasi pesan muncul di layar ponselnya. Supir taksi yang dipesannya mengirim pesan itu. Tanpa mengatakan maaf, ia bergegas keluar dari taksi dengan perasaan malu.

-;-;-;-

Rumah besar bertingkat itu adalah rumah milik keluarga Dea. Taksi yang ditumpanginya berhenti di depan rumah. Keadaan rumah masih sepi—mungkin mama dan kedua adiknya masih tidur. Tak beberapa lama kemudian, seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumah sambil membawa sapu lidi.

"Bi Titin!" seru Dea, tapi tidak begitu keras.

Wanita itu bergegas menghampiri Dea, tersenyum riang, lalu membuka pagar. "Nona udah pulang?"

"Mama masih tidur?" tanya Dea agak berbisik.

"Nggak, Non. Nyonya baru aja selesai mandi," jawab Bi Titin, ikut berbisik juga.

"Kalo Haris, Naomi?"

"Belum bangun kayaknya. Tapi, Non. Kok ngomongnya bisik-bisik gini?"

"Ah, enggak. Cuma mau bikin kejutan aja. Makanya, Bibi jangan kasih tahu aku udah pulang. Bibi nyapu aja deh, biar aku masuk ke dalam sendirian. Oke!"

Bi Titin yang lugu mengikuti gaya Dea yang mengacungkan jempolnya. Sesuai dengan instruksi Dea, Bi Titin menyapu halaman rumah, sementara Dea masuk ke dalam rumah.

Aroma sejuk dan pewangi ruangan menyambut kedatangannya. Rindu dengan aroma kehangatan dari kasih sayang yang dirasakannya dari kedua orangtuanya yang saling mencintai.

Namun, semua itu hanya kenangan yang pedih. Perselingkuhan yang dilakukan papanya membuatnya hancur. Air mata perlahan meleleh lagi dari kedua mata indahnya.

"Dea?" seru suara seorang wanita yang begitu lembut dan familiar.

Wanita yang disebut mama itu, berjalan menghampirinya. Ia buru-buru mengelap air matanya, lalu memasang senyuman yang dipaksakan.

"Mama, apa kabar?" Dea langsung menghamburkan tubuhnya dalam pelukan sang ibu, membuat hatinya kembali mencelus.

"Ada apa nih? Kok, pulang? Emang lagi libur?" tanya mamanya, setelah melepaskan pelukannya.

Dea berjalan bersama dengan mamanya sembari berkata, "Aku mau menyampaikan sesuatu—"

Pandangan Dea teralihkan pada seorang pria yang sangat ingin ia maki, ia jambak, bahkan ingin ia cakar wajahnya itu. Papanya keluar dari kamar mandi, dengan memakai piyama handuk putih sambil menggosok-gosokkan rambutnya yang basah dengan handuk.

Baik papa maupun Dea, sama-sama terkejut. Kemarahan meluap setelah detik mencengangkan itu berlalu. Dea tak kuasa membendung air matanya, kala ingatan kemarin di hotel itu terlintas. Ia membuang muka, kemudian beranjak ke kamarnya yang ada di lantai atas—tanpa mengatakan apa pun, dan menghiraukan seruan khawatir sang ibu.

Mamanya mendekati suaminya dengan perasaan heran, sambil melihat ke arah Dea yang telah masuk ke dalam kamar. "Dea kenapa, Pa?"

Pria itu terhenyak, lalu tersinggung. "Entahlah. Mungkin karena dia capek."

Entahlah, perasaan seorang ibu terlalu kuat pada anaknya. Ia tahu bahwa Dea sedang lelah—perjalanan dari Jogja ke Jakarta memakan waktu yang cukup lama—tapi bukan itu yang memicu sikap Dea menjadi seperti itu. Ia merasa bahwa ini ada kaitannya dengan suaminya. Pasalnya, air muka Dea berubah saat melihat suaminya. Makanya, ia bertanya pada pria itu. Mungkinkah mereka memiliki suatu masalah yang disembunyikan?

-;-;-;-

Niatnya ambyar kala itu juga. Ia gagal menguatkan hatinya untuk mengatakan kebenaran tentang papanya pada mama. Dea menumpahkan rasa kesalnya dengan tangisan, membenamkan wajah di atas bantalnya yang kini telah basah.

Hanya cara itu yang dapat ia lampiaskan perasaannya, selain memukul-mukul bantal sambil mengumpat seolah bantal itu adalah papanya.

Menangis ternyata membuatnya lelah, Dea tertidur tak lama kemudian. Pada pukul 10 pagi, ia terbangun, menyadari bahwa ia telah ketiduran. Ia beranjak dari atas ranjang, melintas ke depan cermin yang ada di meja hias.

Saat melihat pantulan bayangannya sekilas, ia kembali berbalik ke meja rias, memperhatikan penampilannya di cermin. Huft, ternyata sampai sekacau ini; mata sembab, rambut berantakan, dan wajahnya lusuh.

Karena cemas, mama mengecek keadaannya di kamar. Sambil berseru pelan, wanita itu mengetuk pintu kamar Dea.

"Kak, boleh Mama masuk? Mama mau ngomong."

Dea mengatup bibirnya. Alena benar, sebenarnya ia benar-benar tidak sanggup untuk mengatakan kebenaran yang pahit itu pada mamanya. Tetapi sudah terlambat untuk menghindar—memutar waktupun juga sudah tidak bisa—mama sudah ada di depan pintu kamarnya, mau tak mau harus dihadapi.

Ia menyisir rambutnya asal, merapikan pakaiannya sebelum membukakan pintu untuk sang ibu. Ia tak dapat memaksakan bibirnya untuk tersenyum, begitu pintu dibuka. Ia mempersilakan mamanya masuk, lalu mereka duduk di tepi ranjang.

"Kak, apa yang terjadi? Kenapa kamu tiba-tiba begini?" tanya mama, menggenggam tangan Dea yang terletak di atas pahanya.

Dea menunduk, berusaha untuk tidak menangis lagi, tapi tetap tidak bisa. Akhirnya, ia jatuh ke dalam pelukan mama, merengek seperti anak kecil yang sehabis terluka karena jatuh.

Mama semakin bingung, mengelus punggung Dea dengan lembut. "Ada apa? Kok, kamu sampai nangis gini?"

"Papa, Ma...." rengek Dea.

Papa? Mama mengernyit. "Kenapa papa, Sayang."

"Papa, Ma…."

Ada apa ini? Kenapa anaknya menyebut suaminya terus? Mama semakin penasaran, sampai tak dapat mengendalikan emosinya. Dilepaskannya pelukannya dari Dea.

"Iya, papa kenapa?" desaknya.

Papa berselingkuh! Hanya dua kata, tapi lidah Dea sulit untuk berucap. Ia terus terisak sambil menunduk. Desakkan dari mamanya yang membuatnya mengambil keputusan. Ini sulit, tapi pada akhirnya ia mengumpulkan keberaniannya untuk bilang:

"Papa selingkuh, Ma."[]

Terpopuler

Comments

Reni Suryani

Reni Suryani

aduhh ampe panas dingin ni Thor..

2022-10-11

0

🏵️🌟Meeya🌟🏵️

🏵️🌟Meeya🌟🏵️

seru

2021-08-06

0

Win_dha88

Win_dha88

Nama teman nya Alin apa Alena thor??

2020-10-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!