Dea termenung saat melihat kuitansi yang diterimanya dari seorang suster. Sepuluh juta rupiah, itulah uang yang harus dibayarnya untuk melunasi biaya pengobatan mama. Apa uang yang ada di tabungannya cukup?
Saat mengecek di ATM, saldo tabungannya hanya ada 7 juta rupiah. Masih belum cukup, apalagi ia butuh uang selama di Jogja. Tidak bisa diambil semuanya.
"Pakai uang tabunganku aja, Kak," kata Haris, setelah melihat rincian biaya dan mendengar cerita Dea.
"Ya, aku juga punya uang sedikit, kok, Kak," timpal Naomi.
"Tapi, nanti kalian nggak punya uang untuk disimpan," kata Dea.
"Gini aja, Kakak 5 juta, sedangkan kami mengumpulkan 5 juta," usul Haris. "Dek, kamu tarik tunai 2 juta aja, selebihnya uang Abang."
Naomi mengangguk. "Ya udah, anterin aku ke ATM ya, Kak."
Dea terharu melihat adik-adiknya yang mau saling membantu. Biarlah papanya itu, yang sudah tak peduli dan sayang sama mama lagi. Toh, mereka tidak butuh bantuan dari laki-laki yang sudah mengkhianati mama. Rasa hormat ketiga anak itu sudah hilang untuknya.
Setelah melunasi pembayaran, Dea kembali ke ruangan mama. Ia tersenyum dan lega, satu masalah sudah teratasi. Bertepatan dengan itu juga, ponselnya berdering. Senyumnya semakin merekah melihat nama si penelepon yang muncul di layar.
"Halo, Le?"
"Hai, cantik. Lagi apa lo?" ceplos Alena.
"Lagi di rumah sakit."
"Rumah sakit? Lo sakit?"
Dea jadi harus menjauhkan ponsel dari telinganya karena Alena berteriak. "Yang ada elo yang bikin telinga gue sakit. Kebiasaan, teriak-teriak."
"Hehehe, maaf. Jadi, siapa yang sakit?"
"Mama gue, Le," jawab Dea lesu, sembari duduk disebuah bangku yang ada di lobi.
"Ya, ampun. Sakit apa?"
Dea menceritakan soal kejadian yang berlangsung kemarin dengan sedih dan terisak. Kadang, nada penyesalan terdengar, kala Dea mengatakan bahwa tak seharusnya ia berkata jujur pada mamanya, yang menyebabkan wanita itu masuk rumah sakit.
"Itu bukan salah lo, De," kata Alena berpendapat. "Gimanapun juga, lo harus kasih tahu soal itu. Coba kalo mama lo tahu dari orang lain? Kan lebih parah."
"Bener juga kata lo," kata Dea sedih, sekaligus senang.
"Oh, iya!" seru Alena kemudian, menyudahi topik pembicaraan yang hanya bikin Dea sedih. "Reza tadi pagi ke kost-an."
Dea terlonjak sampai beranjak dari kursi. "Hah? Ngapain?"
"Nyari lo lah! Ngapain lagi coba? Masa nyari gue!"
Dea terdiam dan sedih, sembari menunduk. "Terus, lo bilang apa?"
"Ya, bilang apa adanya, kalo lo pergi ke Jakarta. Udah."
"Hmm … makasih, ya, lo nggak ceritain soal masalah keluarga gue sama Reza."
"Ya elah! Ngapain juga gue cerita sama Reza. Ya udah, lo jangan pikirin soal di sini. Mending, lo fokus selesain masalah keluarga lo aja dulu. Tapi ingat, jangan lama-lama baliknya. "
Dea tersenyum. "Iya bawel."
"Bye. Buruan pulang!"
Telepon ditutupnya sambil tersenyum. Sebelum ponsel diletakkan kembali ke dalam saku celananya, ia menatap layar ponsel sejenak. Yang terpikirkan saat ini adalah pria yang telah dipacarinya sejak dua tahun yang lalu. Kemarin ponselnya penuh dengan panggilan tak terjawab dari cowok itu. Tetapi sekarang, hampir seharian dia tak menghubunginya.
Biarlah, lebih baik begini. Setidaknya, ia tidak perlu repot-repot mencari jawaban yang akan dilayangkan oleh Reza. Cowok itu terlalu kritis.
Sambil berbalik, Dea menaruh ponselnya di saku celana. Namun, ia tertabrak oleh seseorang tanpa sengaja, hingga ponselnya jatuh dan isinya berantakan.
Dea terkejut, lalu menatap sosok yang menabraknya tadi. Mulutnya ternganga saat tahu bahwa pria asing yang ditemuinya di stasiun Gambir adalah orangnya.
Cowok itu tersenyum sembari menunjuk. "Kamu? Wah, nggak nyangka kalau kita bakal ketemu lagi, ya?"
Sok kenal! Dea malas menanggapi. Lantas, ia jongkok, memungut serpihan komponen ponselnya di lantai.
"Maaf, ya," kata Dea singkat tanpa menatapnya, lalu buru-buru pergi.
Cowok itu mendengus sambil berkacak pinggang. Apa semua gadis cantik sangat sombong? Kenapa berbeda sekali dengan gadis-gadis di Amerika, yang rela mendekatinya dengan menyodorkan tubuhnya kepadanya?
-;-;-;-
Dea memunculkan kepalanya, mengintip kedua adiknya sedang mengobrol dengan mamanya. Kondisi mama sudah sedikit membaik, asal jangan dibebani oleh pikiran yang membuat kondisinya semakin memburuk.
"Dari mana kamu, Kak?" tanya mama, yang menyadari keberadaannya. Naomi dan Haris berhenti tertawa, lalu menoleh ke arah pintu.
Dea tersenyum, masuk ke dalam ruangan sembari menjawab, "Habis ke kamar mandi. Bagaimana keadaan Mama?"
"Melihat kalian ada di sini aja Mama udah merasa baikan," sahut mama sembari tersenyum.
Dea pun turut tersenyum, meski hatinya merasa perih melihat keadaan wanita yang sangat disayanginya itu. Digenggamnya tangan mamanya, kemudian meletakkannya di pipinya sembari berusaha untuk tidak menangis.
"Cepat sembuh ya, Ma."
"Iya, Sayang. Oh, iya. Kapan kamu pulang? Memangnya tidak apa-apa kalau kamu libur terus?"
"Sebenarnya, minggu depan aku ada ujian," jawab Dea sangsi. "Tapi aku memutuskan untuk pulangnya nanti, kalau mama udah agak baikan."
"Mama udah nggak apa-apa, kok," tukas mama, yang merasa bahwa ujian Dea lebih penting dari dirinya.
"Nggak, Ma, aku belum bisa meninggalkan Mama. Kasihan Haris sama Naomi, mereka pasti capek dan kewalahan kalau nggak ada aku."
Setelah terdiam dan berpikir sesaat, mama merasa ada benarnya ucapan Dea. Tetapi ia cemas kalau Dea tidak bisa ujian, kalau kondisinya tak kunjung membaik.
"Ya udah, Mama usahakan biar cepat sembuh," kata mama.
"Nah, kalau gitu. Mama harus istirahat, oke!" seru Naomi.
Mama meraih kepala Naomi, mengelus lembut rambut cokelatnya yang halus dan lurus hingga sebahu. "Iya, Sayang."
Karena hari sudah menjelang malam, Dea dan Naomi berpamitan pulang, sementara Haris tetap tinggal di rumah sakit.
Seperti hari-hari sebelumnya, rumah dalam keadaan sepi saat ia pulang ke rumah. Dea melirik waspada pada kamar orangtuanya yang telah tertutup rapat.
"Papa udah pulang?" tanya Dea pada Bi Titin.
"Udah, Non," jawab Bi Titin sembari berjalan bersama dengannya.
"Udah makan juga?" Sebenci apa pun, di dalam hati Dea, masih tersimpan rasa peduli pada pria itu.
"Baru aja selesai makan, Non."
Dea menoleh pada Naomi. "Dek, mandi dulu sana! Abis itu, kamu makan."
"Kakak nggak makan?" tanya Naomi.
"Makan, tapi abis mandi."
Naomi mengangguk. Mereka berpisah di ujung tangga, Dea menaiki anak tangga lalu berjalan ke kamarnya. Saat ia akan membuka pintu, terdengar suara berisik di kamar papanya. Tak mau bertatap muka, Dea buru-buru masuk kamar.
Entahlah, apa yang ingin dilakukan pria itu? Mungkin dia keluar kamar hanya ingin mengambil segelas air di dapur? Ah, untuk apa dipikirkan? Lebih baik ia mengambil handuk dan membersihkan badannya yang sudah lengket dengan air hangat.
Makan malamnya kali ini berlangsung dengan tenang, Naomi dan Dea melahap makanan yang disediakan oleh Bi Titin, meski Dea masih bersikap waspada kalau-kalau papanya muncul. Papa sama pengecutnya dengan Dea, yang tak mau saling bertemu. Tapi tak selamanya berlangsung begitu. Siapa yang mau terus-terusan dirundung oleh masalah?
Mata Dea tak dapat terpejam, walaupun lampu di kamarnya telah padam. Ia baru saja memutuskan untuk pulang akhir pekan ini. Suara pintu terbuka terdengar, telinga menegak. Apa suara itu berasal dari kamar papa?
Dea memilih mengabaikan dan memejamkan matanya erat-erat. Tak lama kemudian, ia mendengar suara pintunya diketuk 3 kali, disertai oleh seruan lirih.
"Kak. Kak Dea, ini Papa. Papa mau ngomong. Bisa, nggak? Tolong buka pintunya dulu, Nak."
Papa? Dea terbangun, lalu berjinjit menuju ke arah pintu, agar tidak terdengar kalau ia sebenarnya sedang terjaga. Itu sungguhan suara papanya? Dea mendekati telinganya ke pintu, ingin meyakinkannya sekali lagi.
"Dea, buka pintunya, Nak. Papa mau ngomong," suara bass itu kembali berkata lirih di balik pintu.
Ia mengigit bibir bawahnya, rasa ragu menderanya. Entah kenapa, ia merasa takut untuk bertemu dengan pria itu. Apa dia akan berbuat sesuatu padanya, mengingat pria itu pernah berbuat kasar pada Haris waktu itu?
"Dea, Papa mengerti kalau kamu marah, tapi tolong kamu dengarkan penjelasan Papa dulu. Papa mau masalah yang kemarin diselesaikan secara baik-baik, Nak." Terdengar suara memelas, yang membuat Dea luluh dan mau membukakan pintu kamar.
Papa tersenyum lega melihat Dea mau mendengarkannya, meski ekspresi dingin Dea cukup mengiris hatinya.[]
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments
🏵️🌟Meeya🌟🏵️
bagus cerita nya
2021-08-06
0