Maybe, Yes!
16 September 2016.
Megizal Steven, seorang cowok yang selalu membuat Maru tersenyum bahagia hanya dengan melihatnya saja. Hubungannya dengan Maru memang berawal dari hubungan pertemanan yang mendarah daging menjadi persahabatan. Kata orang memang benar, hubungan persahabatan antara cowok dan cewek itu tidak akan bertahan lama, karena salah satunya akan ada yang jatuh cinta. Beruntungnya, mereka berdua sama-sama saling jatuh cinta. Dan mulailah perjalanan baru antara Maru dan Megi yang berstatus pacaran.
Awalnya, hubungan yang sudah lama terjalin ini tidak akan ada putusnya. Megi sayang Maru, begitupun sebaliknya. Tetapi, akhir-akhir ini Megi bosan dengan statusnya bersama Maru. Dia ingin kembali lagi menjalin hubungan persahabatan dengan Maru bukan lagi hubungan yang sedang dijalaninya saat ini. Dulu, tanggal 16 September 2015, saat masih kelas delapan SMP, Megi menembak Maru di lapangan sekolah. Dan hari ini adalah tepat satu tahunnya mereka menjalin hubungan sebagai pacar.
"Ru, nanti pulang sekolah aku tunggu di parkiran, ya? Kita pulang bareng hari ini," ucap Megi yang sedang duduk di samping Maru. Saat ini keduanya sedang ada di kantin sekolah. "Iya. Eh, tapi tumben, kamu ngajakin aku pulang bareng. Emang mau ke mana?" tanya Maru penasaran.
Megi hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Nggak ke mana-mana. Aku cuma pengen pulang bareng aja. Kamu keberatan?"
"Nggak dong. Aku malah senang bangeeettt!"
"Ya udah, masuk kelas gih." Megi mengacak-acak rambut Maru sambil meniupinya. Ini adalah salah satu kebiasaan Megi yang sulit untuk dihilangkan. "Iyaaa Meggg! Nggak usah ngeberantakin rambut aku juga kali," ujarnya sambil beranjak berdiri.
Megi terkekeh. "Iya, love you!"
Maru membalas ucapan Megi dengan menjulurkan lidahnya. Seketika dia langsung pergi meninggalkan Megi yang masih berada di kantin.
***
"Miranda, kamu tahu nggak? Nanti pulang sekolah Megi ngajakin aku pulang bareng!!" Maru langsung bercerita kepada Miranda----teman sebangkunya. Setiap ada apapun, Maru selalu menceritakannya kepada Miranda. Karena hanya Miranda yang mampu mengerti dirinya. Sejak kelas tujuh sampai sekarang kelas sembilan, Maru masih memaksa Miranda untuk duduk sebangku dengannya. Dipikiran Maru, jika bukan dengan Miranda, dia harus bersama siapa lagi?
Temannya sekarang hanyalah Miranda seorang.
Miranda duduk di bangkunya sambil menatap Maru. "Ya terus? Nggak ada masalah, kan? Ngapain cerita ke aku kalau nggak ada masalahnya, Ru," jawab Miranda. Saat Miranda berkata seperti itu, Maru sering merasa bahwa dia hanya menjadikan Miranda teman untuk menampung semua masalahnya. Ya memang Maru banyak bercerita kepada Miranda tentang masalah. Jarang sekali Maru bercerita soal yang baik-baik saja. Akan tetapi, melihat temannya bersikap seperti itu Maru malah tertawa geli. "Jangan gitu dong, Da. Masa kamu mikir aku cuma manfaatin kamu doang. Kita kan sahabat," balas Maru sambil ikut duduk di samping Miranda.
"Iya, iya, buruan lanjutin ceritanya." Miranda ikut terkekeh. Itu yang Maru suka dari Miranda. Dia tidak bisa marah dengan Maru. Setiap ingin marah pasti ujungnya malah tertawa.
Maru merangkul Miranda. "Hari ini aku anniversary yang pertama, lho. Mungkin aja, Megi ngajakin aku pulang bareng karena dia mau ngasih aku kejutan. Iya kan?"
"Semoga aja begitu. Btw, selamat, ya, Ru."
"Iya, Miranda. Makasih," Maru senang mendengar ucapan Miranda.
Miranda berdehem. "Maru," panggilnya. Yang dipanggil menoleh. "Ya?"
"Kamu mau lanjutin sekolah di mana?"
"Belum tahu. Tapi, mungkin di SMA Galaska. Soalnya Megi juga mau ngelanjutin sekolahnya di sana. Kebetulan juga jaraknya nggak terlalu jauh dari rumah," Maru memainkan jari jemarinya. Jawaban yang dilontarkannya langsung saja lurus, tidak seperti biasanya yang harus berbelit-belit dahulu baru paham dengan apa yang harus dijawab. Apalagi jika bahan perbincangannya terdapat Megi di dalamnya, pasti otak Maru akan cepat menangkap apa yang dimaksud. Entah karena apa, tiba-tiba Maru membayangkan masa putih abu-abunya bersama Megi. Pasti akan terasa lebih indah dari sekarang. Tidak perlu menunggu waktu lama lagi untuk lulus dari SMP, karena sebentar lagi mereka akan ditempurkan segera. Buku-buku yang semulanya tidak pernah dianggap penting, kini semua itu berubah seratus delapan puluh derajat. Yang biasanya santai, sekarang berubah menjadi tegang. Saking tegangnya, siswa-siswi susah untuk bisa tertawa lebar. Hanya sebagian saja yang masih bisa tertawa lebar. Contohnya yaitu, anak yang memang dari awal tujuannya sekolah hanya sebagai status pelajar saja.
"Kalau kamu?" Maru ikut menanyakan hal yang sama juga seperti yang telah Miranda tanyakan tadi. Siapa tahu juga, Miranda akan melanjutkan SMA-nya di SMA Galaska seperti dirinya. Jadi, nanti mereka bisa bersama lagi. Tidak perlu susah-susah untuk mencari teman yang bisa diajak cerita seperti Miranda. Dia bahkan akan lebih santai menjalani masa SMA-nya jika Megi dan Miranda berada dalam satu sekolah bersama dia. "Aku..., aku kayaknya bakal keluar kota. Bahkan beda provinsi," ucap Miranda menunduk. Dia tidak enak jika harus membaritahu Maru. Tetapi, bila tidak diberi tahu dia malah semakin tidak enak.
Jawaban Miranda membuat Maru membulatkan matanya selebar mungkin. Dia memagangi telinganya. Berharap apa yang dia dengar tadi salah. "Apa? Kamu mau ngelanjutin ke mana memang?" tanyanya sekali lagi.
Tidak asyik bukan, jika setelah lulus SMP mereka berpisah dengan jarak yang cukup jauh. Jika beda sekolah, tetapi masih dalam satu kota itu tidak masalah bagi Maru. Namun, jika harus berbeda provinsi itu sangat bermasalah untuknya. Mereka akan jarang bertemu. Mungkin bisa jadi bertemu dalam beberapa tahun sekali. Selain itu, tidak memungkinkan mereka untuk saling mengabari setiap hari. Karena, beda provinsi beda juga kegiatan sekolahnya. Di sini mungkin kegiatan ekstrakulikulernya setiap hari, namun di sana bisa jadi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu.
Perbedaan jadwal itulah yang nantinya akan membuat hubungan semakin renggang. Di pikiran Maru, dia bingung dengan kehidupannya ke depan. Siapa yang akan dia repotkan jika Miranda sudah tidak ada di sampingnya? Berbagai pertanyaan muncul di benak Maru. Baginya, Miranda itu adalah orang yang bisa dia andalkan jika dia butuh sesuatu. Apa setelah Miranda pergi dari hidupnya, dia masih bisa memiliki teman sebaik Miranda? Ralat. Miranda itu sahabatnya sekaligus teman dekatnya. Ya apapun itu, intinya Miranda adalah sebagian dari hidupnya setelah Ayahnya dan Megi.
Miranda memegang kedua pipi Maru sambil menghadapkannya untuk menatap matanya. Dia tersenyum bak tidak ada apa-apa. "Nggak jauh kok, Ru. Cuma ke Lamongan aja. Kita masih bisa ketemu kalau liburan semester. Kalau kamu sibuk, aku yang bakal ngunjungi kamu. Begitupun sebaliknya, kalau aku sibuk, kamu yang ngunjungi aku. Tapi, kalau seandainya kita sama-sama sibuk, ya udah kita chatingan sesempat mungkin. Kalau masih nggak sempat, berarti kita memang nggak jodoh buat ngupas rindu."
"Aaahhh, tapi Lamongan itu jauh banget, Da. Itu Jawa Timur tahu. Kenapa nggak melanjutkan di dekat-dekat sini coba?" Maru masih mengotot. Dia masih ingin membujuk Miranda supaya membatalkan rencananya. Apa yang Miranda bilang itu tidak semuanya benar. Dia bilang tidak jauh sekali, tetapi Jakarta ke Lamongan memakan waktu berjam-jam. Kalau tidak salah memakan waktu sekitar sembilan jam dua puluh empat menit. Itu saja belum dicoba langsung, tetapi baru ditanyakan di google maps. Bayangkan saja jika perjalanannya terkendala oleh macet. Pasti akan lebih lama.
Maru memanyunkan bibirnya ke depan. Sementara Miranda merangkulnya. "Kamu kan tahu, Ru. Aku sekolah di sini ikut sama Eyang. Nggak mungkin dong kalau aku terus-terusan di sini, sementara orangtua aku ada di Lamongan. Lagipula, aku dulu ke Jakarta cuma buat latih mental aku aja. Dan sekarang, aku bakal balik lagi ke kampung aku. Hmm, aku minta maaf ya udah bikin kamu sedih," ucap Miranda tulus. Sebenarnya dia juga sudah terlanjur nyaman berada di Jakarta. Tetapi memang takdir mengharuskan Miranda untuk keluar dari zona nyaman.
"Tapi nanti kamu kuliah di sini 'kan?" tanya Maru sambil berharap bahwa Miranda akan mengatakan iya. Namun, ekspresi wajah Miranda lesu. Maru bisa menyimpulkan bahwa Miranda akan menjawabnya tidak. "Aku belum tahu, Ru. Aku bahkan belum kepikiran buat kuliah. Bisa jadi, aku melanjutkan bisnis orangtuaku," jawab Miranda dengan perasaan tidak enak hati.
Maru mengernyit. "Bisnis sepatu?"
Miranda mengangguk.
"Ya udah, nggak apa-apa. Tapi aku masih bisa berharap kalau kamu bakal melanjutkan kuliah di sini. Semangat ya sekolahnya. Jangan lupa buat ngasih aku sepatu gratis lagi," ujarnya sambil tertawa kecil. Miranda hanya membalasnya dengan senyuman paksa.
Miranda bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Maru. "Aku nggak akan lupa kok. Kamu juga semangat, ya! Kalau nggak ada aku jangan sedih. Kan masih ada Megi yang akan menemani hari-hari kamu." Miranda mencubit kedua pipi Maru. "Udah ah, jangan mellow kayak gini. Udah gede juga, masih aja mewek." Lanjutnya lagi.
Maru terkekeh. Mungkin, Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik lagi untuknya. Dan salah satu syaratnya, bisa jadi harus kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan itu, kita akan lebih menghargai sesuatu ataupun seseorang yang kita punya sekarang.
***
Bel mulai berkumandang, seantero sekolah mulai berhamburan keluar kelas. Ada yang berlari karena saking inginnya segera sampai di rumah. Ada pula yang berjalan santai karena masih memiliki urusan. Dan ada juga yang berjalan santai bersama. Namun, Maru masih duduk tenang di kelas. Dia menunggu Miranda selesai menyapu, karena tadi pagi Miranda memiliki tugas piket tetapi belum dikerjakan. Maka dari itu, dia melakukannya sepulang sekolah. Lagipula, Maru juga tidak buru-buru. Jam segini biasanya Megi masih bermain basket dengan teman-temannya.
Megi memang orang yang tidak pernah langsung pulang. Dia memilih menghabiskan waktunya sebentar di sekolah dengan bermain basket. Meskipun dia sudah berjanji akan pulang bersama dengan seseorang, Megi tidak akan langsung menghampirinya. Namun, dia malah bermain basket. Membiarkan seseorang itu menunggunya di parkiran. Seperti yang dialami Maru pada biasanya ketika dia berjanjian pulang bersama dengan Megi.
"Megi masih nggak berubah, ya, Ru? Masih suka main basket. Padahal lagi ditunggu seseorang," celutuk Miranda sambil menggeser bangku untuk dibersihkan lantainya. Maru menoleh ke belakang sambil tersenyum tipis. "Aku sih nggak masalah, Da. Asal aku nunggunya nggak sampai berjam-jam. Cuma setengah jam bagiku nggak ada apa-apanya," respon Maru.
Miranda mengangguk. "Ya tapi bukan waktu masalahnya, Ru."
"Lalu apa?"
"Perasaan," Miranda kembali menggeser bangku lainnya. Sedangkan Maru hanya mengangkat satu alisnya. Dia masih tidak paham. "Maksudnya? Aku nggak ngerti."
Miranda tertawa. "Iya, maksud aku itu perasaan kamu. Apa dia nggak mikirin perasaan kamu saat nungguin dia? Ya meskipun kamu bilang setengah jam itu nggak ada apa-apanya, tapi apa iya kamu nggak pernah merasa bosan? Nggak mungkin kalau kamu bilang nggak. Kamu nungguin dia itu nggak cuma sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Seharusnya dia pulangin kamu dulu baru dia basket. Itupun kalau dia masih mikirin perasaan kamu."
"Jadi, maksud kamu, dia nggak mikirin perasaan aku?"
"Aku nggak bilang begitu. Aku hanya mempertanyakan kenapa dia lebih memprioritaskan basket daripada kamu. Memang salah kalau aku ngomong begitu?"
Maru menggeleng. "Nggak kok. Udahlah, Da, nggak usah bahas hubungan aku sama Megi. Aku berterima kasih kamu udah mempertanyakan itu. Tapi maaf ya, aku lagi nggak pengin bahas itu. Lagian aku no problem kok ngejalaninnya." Miranda memilih menyelesaikan perdebatan ini. "Terserah kamu aja," jawabnya singkat.
"Sayang, udah kelar belum urusannya?" tanya Megi yang entah sejak kapan berada di ambang pintu. Padahal belum ada setengah jam. Apa dia sudah selesai basketnya?
Miranda menyahut. "Sana, dicariin tuh. Bentar lagi aku selesai kok. Kamu duluan aja," suruhnya kepada Maru. Dia mengangguk dan segera bangkit. "Udah, tunggu sebentar."
"Oke."
"Aku pulang dulu, ya, Da!" pamitnya kepada Miranda sambil melambaikan tangannya ke atas.
"Oke, hati-hati."
Maru melangkah keluar kelas. Sesampainya di depan kelas, tangannya langsung di genggam oleh Megi. Diperlakukan seperti itu Maru hanya diam dan tersenyum. Kini, keduanya berjalan menuju ke parkiran. "Kamu nggak basket?" tanya Maru penasaran.
Megi menggeleng.
Entah mengapa saat Megi menggeleng, Maru merasa senang. Tumben sekali Megi memperhatikan perasaannya. Ketika sampai di parkiran, Megi langsung mengambil motornya dan langsung menghampiri Maru. Dia menyuruh gadis itu naik. Perlahan, dia melajukan motornya. Mengantarkan gadis itu pulang.
Motor Megi berhenti di depan rumah berpagar. Gadis yang diboncengnya langsung turun dan berdiri di sampingnya. Mata mereka saling bertatapan.
"Aku pikir kamu mau ngajakin aku jalan," ungkap Maru jujur. Ekspetasinya memang tidak sesuai dengan realita.
"Maaf," balas Megi pendek dan terdengar pelan.
Maru tersenyum masam. "Nggak apa-apa," jawabnya. Megi langsung menghela napasnya. Dia menatap mata Maru dengan serius. "Ada yang mau aku omongin. Aku harap kamu nggak marah," ucap Megi.
"Oh, oke. Mau ngomong apa?"
"Aku mau kita putus," ujar Megi pelan namun jelas. "Dan maaf, aku nggak menerima penolakan dari kamu," tambahnya kemudian.
Detik itu juga, semuanya pergi meninggalkan Maru. Dalam satu hari dia sudah kehilangan dua orang yang sangat berharga di hidupnya.
______
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Ellaa🎭
semangat terus kak 😊
mampir juga kak ke karyaku 'Kay and Say'😘
jangan lupa mampir yaaa🥰🥰🥰🥰
2020-09-13
0
Sept September
semangat kakakkkk 🤗
2020-09-13
1
D. Shintya S
hi kak... ceritanya keren. jangan lupa baca novel aku ya... unconditional love... semoga suka...🙏🙏🙏
2020-09-13
0