BAB 2 :: PANCING EMOSI

"Game itu sebagian dari hidup gue. Mau lo suka atau nggak. Ya udah, gue nggak peduli."

-Megizal Steven-

Seperti biasa, Megi memanfaatkan waktu luangnya untuk bermain game di kamar. Tiada hari yang berharga tanpa bermain. Itulah prinsip hidupnya. Jika dia ditanya tentang cita-cita, pasti akan menjawab tergantung Tuhan mau jadiin gue apa. Megi orangnya tidak mau mempersulit sesuatu. Apapun yang ditanyakan kepadanya akan selalu dijawab sesuai kenyataan. Memang tidak berlebihan, tetapi cara pandang berpikirnya yang mudah. Hidupnya tidak pernah ada kata serius. Sekarang saja, dia memfokuskan hidupnya untuk tenang. Yaitu dengan cara bermain game. Meskipun tidak diperbolehkan orang tuanya, tetapi tetap dilakukan. Namanya juga anak cowok, jarang sekali mematuhi peraturan. Hobinya memang melanggar peraturan.

Terhitung sudah hampir 2 jam Megi duduk di depan komputer. Sejak tadi, dia tak henti-hentinya berteriak jika menang. Pasalnya, orang tua Megi sedang tidak ada di rumah sekarang. Mereka sedang berkunjung di rumah saudara di Surabaya. Jadi, hal ini sangat membebaskan Megi untuk berteriak sekencang mungkin. Lagipula, Kakaknya juga tidak akan menegurnya. Orang hobinya pun sama, yaitu main game.

"Meg, nanti beliin gue pembalut ya? Yang ukuran 35 cm tapi," ucap Kakak Megi di kamarnya. Karena letaknya yang bersebelahan, jadi mereka berdua malas untuk saling bertemu. Sukanya teriak.

"MEG, LO BUDEK, YA?!" teriak Kakaknya----Mozhadilla Ajnasafitri, sering disapa Mozha. Kuliah di UI Fakultas Kedokteran yang baru dijalaninya selama dua tahun ini. Dibilang pintar, ya memang pintar. Tetapi, kadang juga enggak. Hobi lainnya yaitu memasak. Namun, hobi yang paling ia tekuni memang bermain game. Cita-cita pertamanya menjadi dokter. Kalau cita-cita kedua adalah menyelesaikan semua game yang ada di dunia. Umurnya baru 20 tahun, dan masih lajang sampai sekarang. Sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah pacaran.

Karena teriakannya yang tidak direspon adiknya, Mozha memilih untuk mendatangi kamarnya. Tiba dia ambang pintu kamar Megi yang tidak ditutup, Mozha melemparkan sandalnya tepat di wajah Megi. "Lo nggak dengerin gue ngomong dari tadi?" tanyanya.

Megi masih terfokus pada game-nya. Dilempar apapun dan kena apapun tidak akan bisa membuat Megi berhenti bermain. "Dengar," jawabnya asal tanpa menoleh sedikitpun. Tatapannya masih kepada layar komputer. Merasa diabaikan, Mozha mulai mendekati Megi lalu menjewer telinganya. "Aw, sakit, Kak!" Megi meringis kesakitan.

Jeweran Kakaknya memang yang paling menyakitkan.

"Makanya, kalau diajak ngomong itu stop game-nya!"

"Iya, iya, udah nih." Megi langsung mematikan komputernya. "Lepasin, Kak! Lo mau bikin telinga gue lebar, hah?"

Seketika Mozha langsung melepaskan jewerannya. Dia kemudian bersedekap dada. Menatap adiknya tidak suka.

"Ngomong apa tadi?" tanya Megi tanpa rasa bersalah. Mozha semakin jengkel merasakannya. Dia menghela napasnya. "Beliin gue pembalut ukuran 35 cm."

Pembalut lagi?

Megi tak habis pikir dengan Mozha. Padahal baru seminggu yang lalu dia membelikan Kakanya pembalut, dan sekarang menyuruhnya lagi. Apa Mozha tidak memikirkan betapa malunya Megi saat membeli pembalut itu. Iya, kalau Supermarketnya sepi. Lah, kalau ramai seperti kemarin lalu.

"Perasaan baru gue beliin kemarin, deh."

"Ya lo pikir sendiri lah. Emang segitu cukup?"

"Ya lo sendiri nggak bilang mau yang mana. Bilangnya terserah melulu. Gue kan bingung," Megi mengadu. Pasalnya seminggu yang lalu, Megi tidak diberi tahu harus membeli yang mana. Pas ditanya malah bilangnya terserah. Kalaupun Mozha menyuruhnya sama, mungkin tidak bermasalah. Tetapi, setiap menyuruh Megi ukuran dan bentuknya selalu berbeda dari sebelumnya. Sebagai cowok tulen, dia bingung lah.

Mozha mendecak sebal. "Kan nanya google bisa, Meg. Kok lo makin bego, sih?"

"Lo tuh nggak tahu diri ya? Udah nyuruh, ngatain orang lagi."

"Jangan ngeselin, ya! Nanti gue bilangin Mama kalau lo main game melulu. Biarin aja, nanti uang jajannya dipotong," cetus Mozha. Dia memang pandai untuk mengancam adiknya. Apalagi semenjak dirinya masuk Fakultas Kedokteran, semua yang dia katakana selalu Mama dan Papanya percaya. Berbeda dengan Megi, apa yang dikatakannya tak pernah dipercaya.

Megi sudah pasrah jika Kakaknya ini selalu membawa ancaman uang jajan. "Ya udah, slow dong. Mana uangnya, nanti gue beliin." Megi terpaksa menyetujui.

"Nah gitu dong. Itu namanya baru adek gue yang paling----"

"Ganteng," sahut Megi memotong ucapan Mozha.

Mozha terkekeh, dia menoyor jidat Megi. "Kebanyakan makan micin, loh. Jelek aja dibilang ganteng. Awas, harapan yang nggak berbalas itu jatuhnya sakit. Aduh, Meg ... sakitnya dimana sakitnya?"

Megi hanya diam, dia tidak ingin membalas ucapan Kakaknya lagi. "Uang jajan," ucap Mozha seketika dengan tujuan supaya Megi tidak mengacanginya. Megi menepuk jidatnya pelan. Sejak kapan, Kakaknya ini tidak waras. "Sakitnya tuh di sini," tutur Megi sambil memegang jantungnya.

"Ih lo lucu tahu, Meg." Seraya Mozha mencubit kedua pipi Megi.

"Ya udah, mana uangnya? Jangan ngomong melulu. Nanti air liur lo habis stocknya," sindir Megi dengan raut wajah kesal.

Mozha memanyunkan bibirnya. "Pakai uang lo dulu. Bye!" Mozha langsung pergi begitu saja. Megi heran sendiri dengan Kakaknya. Apa-apa, Megi yang disuruh beli. Nggak sekalian barang dalam juga disuruh beli? "Untung gue orangnya ganteng. Jadi gue sabaran, nggak kayak dia kerjaannya marah-marah terus. Pantes jomlo," gerutunya setelah Mozha sudah tidak berada di kamarnya.

"Apa lo bilang, Meg?!"

Panjang umur. Baru saja di omongin udah muncul di ambang pintu lagi seperti cenayang. Dengan terpaksa, Megi menoleh. "Nggak ada, salah dengar kali."

"Ih gue tahu ya, lo lagi ngomongin gue!"

"Kalau tahu ngapain nanya, Maemunah?"

"Berarti benar, dong?"

"Menurut lo?" Megi balas bertanya.

"Durhaka lo sama gue! Ingat ya, nanti gue kutuk lo jadi pembalut!"

Seusai melontarkan kalimat itu, Mozha sudah tidak ada di ambang pintu. Mungkin saja, dia sudah pergi ke kamarnya. "Kayaknya, Kakak gue nggak bakal bertahan lama deh buat waras. Gue harus siapkan anti waras, biar virusnya nggak menular ke gue."

***

Di sisi lain, Mozha kesal sendiri dengan adiknya. Baru saja disuruh membeli pembalut sudah mengeluh. Apalagi jika semua kebutuhannya disuruh untuk membeli, apa tidak pingsan. Entah mengapa, sore ini hawanya sangat panas. Matahari terlihat sangat terik. Mozha segera menutup korden jendela supaya tidak silau. Setelah itu, dia kembali mengecek instagram-nya. Selain hobi main game dan memasak, dia juga hobi menghabiskan koutanya. Padahal di rumah sudah disediakan wifi, tetapi dia tetap kekeh untuk mengisi kouta.

"Ini apaan sih, alay banget si Olivia. Mentang-mentang pacarnya kaya, mobilnya dipakai selfie terus." Kegiatannya kali ini hanya melihat foto orang lain dan mengomentarinya seperti tadi itu. Olivia adalah teman SMA-nya dahulu. Sekarang sedang kuliah Fakultas Sastra. Sebenarnya, Olivia ingin sekali menjadi polisi, tetapi orang tuanya tidak mendukung. Karena itu, dengan terpaksa Olivia menekuni bidang sastra demi menyenangkan orang tuanya. Namun, sayang sekali dia salah pergaulan sekarang.

Mozha menggeser layar ponselnya. Matanya terbelalak lebar saat dia melihat foto Mars----salah satu teman Megi yang lahir di Norwegia. Dia memiliki hidung yang mancung bak jalan tikungan. Matanya minimalis, warnanya agak kebiruan. Tetapi tidak terlihat jelas jika itu warnanya biru, karena dia blasteran Norwegia-Indonesia. Kulitnya pun seputih salju, mulus tanpa berbulu. Mozha tak percaya jika teman Megi itu memang asli Norwegia. Yang dia percaya, Mars itu asli dari surga.

"Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan, Zha," tanyanya pada diri sendiri. Setelah melihat secara rinci akun instagram Mars, dia kembali lagi menggeser layar ponselnya.

"Mbak Mozha yuhuuu, Megi-nya ada?" tanya gadis berambut sebahu yang entah masuk sejak kapan. Mata bulat sebulat bola pingpong. Bibirnya pun tipis. Melihat gadis itu, Mozha segera berdiri dan meletakkan ponselnya di meja. "Ada di kamarnya. Lo sejak kapan masuknya? Kenapa nggak salam dulu?"

Meta menghela napas. "Meta udah ngucapin salam kok tadi. Tapi nggak ada yang jawab. Ya udah, Meta langsung masuk aja."

"Oh, ya udah sana samperin Megi."

"Duluan, Mbak."

"Oke," ucap Mozha dan kembali duduk. Meta memang sering berkunjung di rumah Megi karena mereka berada di kompleks yang sama. Hanya saja beda blok. Meta di blok D, sedangkan Megi di blok E. Selain itu, mereka sudah saling mengenal sejak SMP.

Meta sampai di depan kamar Megi, tanpa mengetuk pintu dia langsung menyelonong masuk ke dalam. Ternyata Megi masih bermain game. Dengan sengaja, Meta mencabut kabel komputer Megi. "Meg, anterin Meta dong." Ucapnya langsung.

"Kenapa lo cabut, perkedel?" emosi Megi mulai naik kembali. Tadi karena Mozha, sekarang berganti cenayangnya Mozha. Siapa lagi kalau bukan Meta.

Bukannya menjawab, Meta malah meringis. "Biar Megi nggak main game saat ada Meta. Kan Megi tahu, Meta nggak suka di kacangi," jawabnya dengan tampang memelas.

"Ta," panggil Megi.

"Iya?"

Megi tak bersuara beberapa saat, hingga akhirnya membuat Meta penasaran.

"Megi mau ngomong apa?" tanya Meta kembali.

"Lain kali, nggak usah dicabut kabelnya. Bakar aja komputernya," jelas Megi membuat Meta mengangguk paham. Lalu Meta mendekat ke Megi dan menundukkan badannya. Dia kembali berbisik di telinga Megi. "Oh, berarti Megi udah nggak sayang komputernya ya? Ya udah, lain kali Meta bakal bawa minyak bakar sama korek api. Meta janji."

Megi mengusap wajahnya. "Gue bercanda kali, Ta."

"Oh. Ya udah, anterin Meta ke salon sekarang," pinta Meta bersemangat.

"Bayarannya apa?"

"Megi maunya apa?"

"Beliin gue pembalut ukuran 35 cm," balas Megi senang. Dengan begini, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pesanan Kakaknyaa itu. Dan juga, ia tidak perlu memotong urat malunya. Sebagai gantinya, menemani Meta ke salon tidak masalah. Yang penting uangnya tidak berkurang.

"Megi menstruasi?!" tanya Meta terkejut bukan main. Dia mengelus dadanya berulang kali. Tak percaya dengan apa yang Megi katakan.

Sementara Megi menghela napas berat, susah kalau bicara dengan orang yang masih kekanak-kanakan. Dia segera bangkit dari tempat duduknya, lalu menegakkan badannya. Dia menatap Meta gemas sendiri. Tangannya sudah gatal ingin sekali membuat rambut Meta acak-acakan.

"Lo pikir gue banci?"

Meta dengan polosnya langsung menggeleng.

"Ya udah, intinya gue anterin lo. Dan lo beliin gue pembalut. Gimana?"

"Megi mau nyoba pakai pembalut, ya? Emang boleh? Setahu Meta nggak boleh. Soalnya Megi punya burung. Nanti kalau burung Megi sesak napas gimana?" ucap Meta sejujur-jujurnya. Megi merasa gemas sendiri. Ini anak antara polos dan memang tahu semuanya. Megi menghela napas lagi, kali ini terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Nggak usah nanya-nanya. Mau nggak?"

"Mau dong, ayooo!"

Meta segera menarik lengan tangan Megi. Sesampainya di ruang bawah. Mozha kembali mendongakkan kepalanya. "Eh, pasangan bebek. Pada mau ke mana, nih?" ----pasangan bebek adalah panggilan dari Mozha saat Megi dan Meta bersama. Dia memang senang jika Megi dan Meta selalu bersama. Apalagi jika sampai pacaran, Mozha akan mengadakan syukuran langsung.

"Kepo lo kayak Dora!" tukas Megi.

"Ngomongnya nggak boleh gitu. Harus yang sopan, Meg!" ujar Meta mengingatkan.

"Bawel lo. Nggak gue anterin, nih!"

"Megi jangan gitu dong. Anterin, ya, ya, ya?" rengek Meta sambil memegang erat lengan Megi seperti anak kecil.

"Anterin tuh, kasihan, anak orang lo bikin nangis." Mozha ikut angkat bicara.

Megi menatap Mozha dengan gemas. Semua perempuan yang ada di sekitarnya selalu membuatnya kesal. Kecuali, Maru. Megi segera mengedarkan pandangannya. Dia juga membuang jauh-jauh pikiran tentang mantannya itu. "Iya, Mbak Mozha. Yuk!"

"Eh, berani ya lo manggil gue Mbak!" sarkas Mozha tidak terima.

"Mau nitip apa, Mbak?"

"Banyak nanya lo. Ayoo!" teriak Megi di luar. Sementara Meta hanya meringis di ambang pintu tamu. "Iya, iya, Megi bawel ah."

"GUE NITIP MAKANAN," teriak Mozha.

"BELI SENDIRI," Megi berteriak. Sebelum Mozha membalas ucapannya lagi, Megi segera menyalakan mesin motornya dan melajukannya. Sementara Meta langsung memeluk Megi. Dia takut jika Megi memilih naik motor di banding naik mobil. Pasti dia sedang ingin mengebut. Maka dari itu, Meta segera menjaga dirinya sebelum terhempas oleh angin.

Megi menghentikan motornya di halaman Supermarket.

"Kok ke sini sih? Megi tuli, ya? Kan Meta ngajaknya ke salon," tanya Meta keheranan.

"Beliin gue pembalut dulu."

Meta turun dari motor Megi. "Ya udah, oke, Meta beliin. Tapi nanti anterin."

"Iya."

Dengan cepat, Meta berlari masuk ke Supermarket. Meta dihadapkan berbagai macam pembalut. Dia mengambil yang biasa dia pakai. Yang penting ukurannya 35 cm. Salah sendiri, menyuruh tidak memberitahu merk-nya apa. Seusai membeli pembalut yang Megi minta, Meta segera menghampiri Megi dan menyerahkan pembalutnya. "Nih, ayo anterin."

Kemudian Megi kembali melajukan motornya dengan cepat. Meta pun kembali memeluk Megi. Dia takut jatuh. Sesampainya di depan salon, Meta gemeteran karena Megi mengebut. Sebelum Megi menyuruhnya turun, Meta sudah turun dahulu. Kini dia berjalan masuk ke dalam salon.

"Ta," panggil Megi. Meta pun membalikkan badannya. "Apa, Meg?"

Megi kurang yakin jika harus bertanya. Tetapi jika tidak bertanya, dia penasaran. Sesekali Megi terkekeh sendiri.

"Kok diam, sih. Jadi nanya nggak?"

"Ehm, kok lo tahu kalau gue punya burung?"

______

Terpopuler

Comments

Najandra'moms

Najandra'moms

masih muter2 ceritanya

2020-09-14

0

Sept September

Sept September

jempollll

2020-09-13

0

Bilqis Alfarizal

Bilqis Alfarizal

binggung nama2 pemeranya hampir sama semua thor

2020-09-12

2

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 BAB 1 :: LEMBAR TERBARU
3 BAB 2 :: PANCING EMOSI
4 BAB 3 :: HUKUM TERPANGGIL
5 BAB 4 :: MELIRIK KENANGAN
6 BAB 5 :: KEMBALI BERTEMU
7 BAB 6 :: RINDU TERUSIK
8 BAB 7 :: BISIK CURIGA
9 BAB 8 :: DEKAT TAKDIR
10 BAB 9 :: TITIK PUSAT
11 BAB 10 :: BERHARAP KHAYAL
12 BAB 11 :: KENANGAN TERJEBAK
13 BAB 12 :: PESONA LAMPAU
14 BAB 13 :: FAKTA HITAM PUTIH
15 BAB 14 :: DERU MENGGEBU
16 BAB 15 :: SEKILAS AKAL
17 BAB 16 :: MANTAN BERTEMAN
18 BAB 17 :: MULUT PENGANCAM
19 BAB 18 :: GEJOLAK RASA
20 BAB 19 :: ALIR ALUR TAKDIR
21 BAB 20 :: ORIGAMI HATI
22 BAB 21 :: MENGIKIS LUKA
23 BAB 22 :: LUBANG DIRI
24 BAB 23 :: PENGHIBUR PILU
25 BAB 24 :: ULAH PERANTARA
26 BAB 25 :: TARIK NAFSU
27 BAB 26 :: TEMU KEPING
28 BAB 27 :: TIANG REDUP
29 BAB 28 :: PELUK PENUTUP
30 BAB 29 :: KISAH BERSERI
31 BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 1
32 BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 2
33 BAB 31 :: SEJALUR MUNAFIK
34 BAB 32 :: TIKUNGAN ARAH
35 BAB 33 :: SAYAP TERKEPAK
36 BAB 34 :: PANGKAS HAMPA
37 BAB 35 :: SAKSI TIRANI
38 BAB 36 :: GEMURUH BERDURI
39 BAB 37 :: TELUK BERINGKUK
40 BAB 38 :: BAYANG PETAKA
41 BAB 39 :: TIRAI LAYANG
42 BAB 40 :: SILANG BALIK
43 BAB 41 :: SERPIHAN BATU
44 BAB 42 :: ULASAN FIKSI
45 BAB 43 :: BINGKAI UKIR
46 BAB 44 :: PELUANG LARA
47 BAB 45 :: TUKAR RAGA
48 BAB 46 :: JIWA BERHARGA
49 BAB 47 :: RAHASIA KEPOMPONG
50 BAB 48 :: RELUNG SUARA
51 BAB 49 :: KUNCI AKSARA
52 EPILOG
Episodes

Updated 52 Episodes

1
PROLOG
2
BAB 1 :: LEMBAR TERBARU
3
BAB 2 :: PANCING EMOSI
4
BAB 3 :: HUKUM TERPANGGIL
5
BAB 4 :: MELIRIK KENANGAN
6
BAB 5 :: KEMBALI BERTEMU
7
BAB 6 :: RINDU TERUSIK
8
BAB 7 :: BISIK CURIGA
9
BAB 8 :: DEKAT TAKDIR
10
BAB 9 :: TITIK PUSAT
11
BAB 10 :: BERHARAP KHAYAL
12
BAB 11 :: KENANGAN TERJEBAK
13
BAB 12 :: PESONA LAMPAU
14
BAB 13 :: FAKTA HITAM PUTIH
15
BAB 14 :: DERU MENGGEBU
16
BAB 15 :: SEKILAS AKAL
17
BAB 16 :: MANTAN BERTEMAN
18
BAB 17 :: MULUT PENGANCAM
19
BAB 18 :: GEJOLAK RASA
20
BAB 19 :: ALIR ALUR TAKDIR
21
BAB 20 :: ORIGAMI HATI
22
BAB 21 :: MENGIKIS LUKA
23
BAB 22 :: LUBANG DIRI
24
BAB 23 :: PENGHIBUR PILU
25
BAB 24 :: ULAH PERANTARA
26
BAB 25 :: TARIK NAFSU
27
BAB 26 :: TEMU KEPING
28
BAB 27 :: TIANG REDUP
29
BAB 28 :: PELUK PENUTUP
30
BAB 29 :: KISAH BERSERI
31
BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 1
32
BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 2
33
BAB 31 :: SEJALUR MUNAFIK
34
BAB 32 :: TIKUNGAN ARAH
35
BAB 33 :: SAYAP TERKEPAK
36
BAB 34 :: PANGKAS HAMPA
37
BAB 35 :: SAKSI TIRANI
38
BAB 36 :: GEMURUH BERDURI
39
BAB 37 :: TELUK BERINGKUK
40
BAB 38 :: BAYANG PETAKA
41
BAB 39 :: TIRAI LAYANG
42
BAB 40 :: SILANG BALIK
43
BAB 41 :: SERPIHAN BATU
44
BAB 42 :: ULASAN FIKSI
45
BAB 43 :: BINGKAI UKIR
46
BAB 44 :: PELUANG LARA
47
BAB 45 :: TUKAR RAGA
48
BAB 46 :: JIWA BERHARGA
49
BAB 47 :: RAHASIA KEPOMPONG
50
BAB 48 :: RELUNG SUARA
51
BAB 49 :: KUNCI AKSARA
52
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!