"Mungkin cukup tahu saja, sekali belum suka jangan dipaksa untuk suka. Karena rasa itu tumbuh dengan berjalannya waktu. Bukan berjalannya perilaku."
-Marutere Althea-
6 Desember 2018
Tanggal dan tahun, dimana Maru akan melihat ayahnya menikah dengan wanita lain. Kini gadis berparas cantik dengan rambut panjang yang disanggul itu sedang menunggu mama tirinya selesai berdandan. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Kali ini dia sudah sangat pasrah. Menolak permintaan ayahnya pun tidak bisa dia lakukan. Padahal, jika dulu Maru menolak, pasti pernikahan ini tidak akan terjadi. Dan pastinya, dia tidak akan merutuki dirinya sendiri seperti sekarang ini.
Untuk menghilangkan rasa bosan karena harus menunggu, Maru memutuskan untuk menelepon temannya, yaitu Magis. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya sambungan telepon segera diangkat Magis. "Gis, gue harus gimana? Hari ini bokap gue nikah. Gue takut kalau nanti Mama tiri gue jahat kayak di film-film," ceritanya langsung.
Terdengar helaan napas diujung panggilan. "Say hello, kek. Main nerocos aja lo. Gue kan bingung jadinya."
"Ya gue kan khawatir. Ini menyangkut masa depan gue!"
"Ya udah sih. Terima aja dengan ikhlas. Yang penting itu bukan kebahagiaan lo, tapi kebahagiaan bokap lo. Selama bokap lo bahagia, lo juga harus bahagia. Jangan mikirin diri sendiri." Magis mencoba membuat Maru tenang dan menerima semuanya.
Tetapi, bukan itu yang Maru ingin dengar. "Iya, gue tahu. Tapi gue belum siap mempunyai keluarga baru bersama orang asing."
"Awalnya memang asing, tapi lama-lama juga enggak kok. Percaya deh sama gue," balas Magis. Tetapi, Maru mendengus. "Gimana gue bisa percaya sama lo? Orang lo aja suka bohongin nyokap lo."
Di ujung sana terdengar suara tawa. "Tapi kan gue bohongnya untuk kebaikan. Jadi, nggak apa-apa dong."
"Namanya bohong itu ya tetap aja nggak ba---" ucapan Maru terputus karena tiba-tiba Mbak perias menghampirinya. "Maaf, Mbak, mengganggu sebentar. Itu, pengantinnya sudah siap."
Maru membalasnya dengan anggukan. "Saya segera ke sana. Mbak bisa pergi dulu," setelah Mbak perias pergi sambil melemparkan senyuman, Maru menempelkan kembali benda pipih berwarna hitam itu ke telinga kanannya. "Lo tuh yaaa, gue lagi ngomong nih!" sarkas Magis kencang hingga membuat telinga Maru nyeri.
"Sori, Gis. Gue matiin dulu ya, nanti gue telepon lagi." Tanpa menunggu jawaban Magis, dia langsung mematikan ponselnya dan bergegas menghampiri Mama tirinya. Karena memakai kebaya, terpaksa Maru harus berjalan dengan pelan.
"Tante, ayo. Ayah sudah siap dibawah," ucap Maru diambang pintu.
"Oh, oke," jawab Mama tirinya. Kemudian mereka turun ke bawah. Saat ini, perasaan Maru sudah bercampur aduk. Tubuhnya sudah tidak sehat lagi. Rasanya, dia sangat lemas.
Maru duduk di samping Ayahnya bersama dengan Magen----calon Kakak tirinya. Sedari tadi, Magen terus memandanginya. Entah apa yang sedang Magen pikirkan dan rasakan sekarang. Tetapi, Maru tidak memedulikan itu. Pandangannya kini memandangi Ayahnya dengan sendu. Tanpa Maru sadari, Magen sudah memperhatikannya sejak Maru turun dari tangga tadi.
"Udah, Gen. Berhenti liatin adik tiri lo," ucap Magen pada diri sendiri dengan pelan supaya tidak ada yang mendengar ucapannya. Termasuk juga, Maru yang berada disebelahnya.
"Sekarang kita mulai ijab qabul-nya," ujar Pak Penghulu yang membuat Maru semakin khawatir. Detak jantungnya pun semakin cepat. Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Dengan sekuat tenanga, Maru berusaha bersikap biasa saja. Dia tidak ingin pernikahan Ayahnya gagal karena dirinya.
Kakek dari Mama tiri menjabat tangan Ayah Maru dengan erat. "Saya nikahkan engkau Muzan Suryadipura bin Manta Suryadipura dengan putri kandung saya Mestha Yuliana dengan maskawin emas 200 gram dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Mestha Yuliana binti Mario Zaenaldi dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Ayah Maru lantang tanpa hambatan.
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Pak penghulu.
Seketika, keringat bercucuran di wajah Maru. Memang Ayahnya yang menikah, tetapi dia yang belum siap dengan pernikahan ini.
"SAAHHH!!!" ucap semua orang serentak dan menggelegar.
Saat semuanya sudah berkata SAH, itu artinya Mestha sudah resmi menjadi istri baru Muzan. Mestha resmi menjadi Mama tiri Maru. Sudah bukan calon lagi, tetapi sudah resmi. Lalu, Pak penghulu tersenyum bahagia kepada pasangan yang baru saja resmi menikah. "Sekarang cium kening mempelai wanita, begitupun sebaliknya mempelai wanita mencium tangan suami," jelas Pak Penghulu yang seketika membuat Maru ingin berteriak.
Setelah selesai acara ijab qabul, Muzan dan Mestha menemui para tamu yang sudah datang. Mungkin ini adalah hari bahagia bagi mereka berdua dan juga Magen. Tetapi tidak untuk Maru. Dia langsung masuk ke kamarnya tanpa izin dahulu kepada Ayahnya.
Sampai sekarang pun, Maru masih tidak percaya jika keluarganya utuh kembali bersama orang asing.
Di dalam kamar, Maru memegang erat foto pernikahan Mama dan Ayahnya dulu. Sebenarnya foto itu sudah dibakar Ayahnya, tetapi masih ada sisanya yang tak terbakar. Maka dari itu, Maru menyimpannya.
"Lo nggak makan, Dek?" tanya Magen yang entah sejak kapan sudah berada di kamar Maru. Sementara Maru hanya menatap Magen tanpa ekspresi. "Nggak," ucapnya datar.
Magen tertawa kecil melihat raut wajah Maru yang tak berekspresi, kemudian ia mendekatinya dan memegang erat tangan Maru. Gadis itu langsung mendongak seketika. "Lepasin, nggak? Gue nggak suka dipegang sama orang asing."
Melihat tingkah Maru yang masih tak terima dengan kenyataan, Magen membalas dengan anggukan beberapa kali. "Tapi kan, gue Kakak lo bukan orang asing lagi."
Alis Maru tampak bergelombang. Dia sedikit terkejut, berani sekali Magen mengaku sebagai Kakaknya. Padahal Maru sama sekali tidak ingin mengakuinya. Tatapan mata Maru terlihat sayu dan sedikit bengkak. Magen dapat mengetahui jika Maru menangis semalam. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Semua yang dilakukan Mamanya tak bisa dia tolak.
"Tiri bukan kandung," ucap Maru menyadarkan pemahaman Magen akan statusnya.
Magen mengernyit, "segitu nggak sukanya?"
"Bisa lepasin tangannya, nggak?" Maru balas bertanya. Dia sudah merasa risih sejak tangannya dipegang oleh Magen.
Sepertinya, Magen tahu bagaiman cara untuk membuat Maru melakukan apa yang dia perintahkan. Kini dia terkekeh didalam hatinya. Berharap, semoga ini berhasil membuat Maru menghilangkan rasa sedihnya dan mau mengisi perutnya.
Secara perlahan Maru menoleh ke samping, melihat Magen yang hanya diam. Maru mengembuskan napasnya gusar. Sesekali melirik Kakak tirinys yang sedang tersenyum. Lama-lama, Magen terlihat tidak waras. Maru jadi ngeri sendiri. Baru saja Maru ingin melepas tangan Magen yang menggenggamnya erat, ternyata Magen malah menarik tangannya. "Lo harus ikut gue makan. Nggak menerima penolakan!"
Mau tidak mau, Maru tetap diseret Magen keluar kamar. Bayangkan saja, tubuh Magen yang tinggi nan jangkung tak mampu Maru kalahkan tenaganya. Dia merutuki dirinya lagi sambil berusaha menahan tarikan Magen. Melihat dirinya diseret seperti ini, Maru merasa jika dia seperti anak kecil yang dipaksa orang tuanya untuk makan. Mengenaskan sekali.
"Gue nggak mau! Jangan paksa bisa kan?" Maru membantah, tatapannya tertuju kepada Ayahnya yang sedang melemparkan senyuman ke arahnya. Pasti Ayahnya berpikir jika Maru sudah akrab dengan Magen. Astaga, itu tidak boleh terjadi.
Tiba-tiba Magen berhenti. Tak sengaja Maru menabrak tubuh Magen dari belakang. Salah sendiri, berhenti nggak bilang-bilang. Jadi ini bukan salah Maru. Sedangkan, Magen segera membalikkan tubuhnya. Menatap Maru yang melayangkan pandangannya ke arah lain. "Di bawah rame, kayaknya nggak mungkin kalau kita makan di sana." Mendengar itu, Maru menatap Magen kembali dengan malas. "Ya, terus?"
"Kita makan di luar," cetusnya langsung.
Dia kembali menarik paksa tangan Maru menuju ke garasi. "Gue belum jawab iya, lho!" tukas Maru seketika. Namun, Magen tidak menanggapinya. Maru merasa kesal sendiri. Ini orang maunya apa sih?-batin Maru tak terima mendapat perlakuan seperti ini.
Sesampainya di garasi, Magen terheran sendiri. Ada banyak mobil di sini. Dia tidak tahu mana yang mobil milik Ayahnya. Karena semua mobil yang ada hampir mirip. Yang membedakan hanyalah nomor plat. Dan Magen lupa nomornya berapa.
Magen menoleh ke arah Maru. "Apa lo liat-liat?" ucap Maru nyaring. Sementara Magen hanya diam lalu menyerahkan kunci mobil kepada Maru ."Ambil mobilnya," suruh Magen tanpa basa-basi.
"Hah?" Maru bingung sendiri. Kenapa jadi dia yang harus mengambil mobil? Kan yang mengajak keluar tadi bukan dia. Seenak jidat saja menyuruh orang.
"Nih, ambil," ulang Magen lagi.
Maru menggelengkan kepalanya.
"Lo masih bisa jalan. Ngapain nyuruh gue?"
Magen mendengus. "Gue nggak tahu yang mana mobilnya," jawabnya jujur.
"Ya udah, kalau nggak tahu nggak usah ngajak makan di luar. Gitu aja susah," Maru segera menepis tangan Magen. Tetapi, masih saja gagal. Kini giliran Maru yang mendengus. "Ayo gue anterin," ajaknya dengan beribu rasa yang memaksa. Jika tidak begini, Magen akan tetap memegang erat tangannya.
"Nah, gitu dong." Ujarnya bersemangat.
"Ini juga karena terpaksa."
Maru menunjuk mobil yang ada di depannya.
"Jujur banget lo," Magen membukakan pintu untuk Maru. Mungkin bagi kebanyakan perempuan jika diperlakukan seperti ini akan senang. Tetapi, berbanding terbalik dengan Maru. Jika bukan karena ingin tangannya dilepas, dia juga tidak mau seperti ini. "Gue anak baik, nggak kayak lo sukanya maksa," Maru mencibir.
"Memaksa demi kebaikan itu dapat pahala," tegas Magen lagi.
Maru memiringkan kepalanya. Takut salah mendengar. "Dan menurut lo, yang lo lakukan ke gue ini baik?" tanya Maru memastikan. Yang ditanya malah mengedikkan bahunya. "Tergantung," jawabnya seraya menutup pintu mobil.
"Dasar aneh," gumamnya pelan.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua tak bersuara. Hening tingkat dewa. Baik Magen maupun Maru tidak memiliki naluri untuk membuka percakapan. Sama sekali tidak ingin menghilangkan keheningan.
Sampai akhirnya, Maru membuka mulut. Tetapi sudah disambar pertanyaan dari Magen dahulu. "Mau makan apa, Dek?"
"Terserah lo. Yang penting nggak makan hati," balasnya sengit.
Magen terkekeh. Tingkah Maru sangat lucu. "Alaah, bilang aja yang penting berdua, gitu."
Maru memutar bola mata jengah. "Itu mah maunya elo."
***
Sore yang cerah, tidak sehati dengan perasaan Maru saat ini. Hatinya sedang tidak karuan. Matanya berkaca-kaca. Gadis itu tidak sanggup jika harus meninggalkan rumah lamanya yang tersimpan banyak sekali kenangan bersama Mama kandungnya. Langkahnya lunglai tak bersemangat. Padahal dia hanya berjalan menuju ke mobil yang hanya beberapa langkah darinya. Pandangannya tak bisa jauh dari rumah lamanya. Gadis itu memiliki rambut panjang dan bergelombang. Hidung pesek dan bibir semerah delima, disempurnakan oleh kulitnya yang seputih awan. Senyumannya sangat manis, tetapi sayang saat ini dia sedang bersedih.
Ayah, Mama tiri, dan Kakak tirinya sudah lebih dulu masuk ke mobil. Kini Maru sedang ditunggu untuk segera masuk. "Ayo, Nak. Cepat. Ayah nggak punya banyak waktu."
Maru menoleh. "Iya, sebentar." Tanpa berpikir lagi, dia segera masuk dengan hati yang gundah. Bahkan dia tidak menyangka, jika hari ini dia resmi memiliki keluarga baru tanpa Mama kandungnya.
"Maru," panggil Ayah yang sedang duduk dibagian depan, sementara Maru berada dibelakang bersama Mama tirinya.
"Iya, Yah. Kenapa?"
Ayah Maru----Muzan Suryadipura----menoleh ke belakang. "Nanti Ayah langsung berangkat ke Bandung, jadi Ayah nggak bisa bantuin kamu beres-beres rumah. Nggak apa-apa kan, Nak?"---Ayah Maru adalah seorang wartawan. Pekerjaan itu yang mengharuskannya untuk berkeliling dunia mencari berita terbaru. Karena itu, Muzan jarang sekali berada di rumah. Hal ini juga dijadikan alasan untuk menikah lagi, supaya Maru ada yang menjaga selama dia pergi.
Dengan kecewa, Maru mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Ayah hati-hati ya."
Mendengar jawaban Maru yang mengiakannya, Muzan lega. "Pasti, Nak. Oh iya, kamu jangan nakal ya sama Mama Mestha dan Magen."
"I-iya, Yah," balas Maru pasrah. Sudah pindah rumah, Ayahnya juga akan pergi. Kecewa yang Maru dapat hari ini sangat banyak. Mestha merangkul Maru seketika. "Tenang saja, Mas. Maru aman kok sama aku. Iya kan, Sayang?"
Maru hanya berdehem.
Saat dari seluruh orang menginginkan keluarganya utuh, tetapi tidak untuk Maru. Baginya lebih baik tak utuh daripada utuh dengan orang asing. Ini juga, karena pengaruh dari menonton sinetron di televisi. Banyak sekali Mama tiri yang tidak baik. Apalagi Maru belum sepenuhnya mengenal Mestha. Dia bahkan tidak tahu akan sikap luar dan dalamnya. Karena itu, pernikahan Ayahnya kali ini sangat membuat Maru cemas.
Sesampainya di rumah baru, Muzan tidak ikut turun walaupun hanya sekedar menengok saja. Dia langsung berpamitan dengan Maru. "Ayah berangkat dulu ya, Nak."
"Iya. Ayah hati-hati. Cepat pulang ya?"
"Itu pasti," selanjutnya Muzan mengalihkan pandangannya ke arah Mestha. "Jaga anak-anak, Tha."
Mestha pun mengangguk. "Kamu nggak perlu khawatir. Maru pasti aman kok. Kan sekarang udah ada Magen yang bisa jagain dia 24 jam. Jadi kamu tenang saja. I love you, hati-hati, Mas."
"Love you too."
"Hati-hati, Yah," ucap Magen. "Nggak usah mikirin adik. Ada aku di sini," tambahnya.
Muzan tersenyum. "Ayah percaya sama kamu, Gen. jaga diri kalian baik-baik. Secepatnya Ayah pulang. Daahh," mobil Muzan mulai melaju. Maru hanya bisa melambaikan tangan.
"Ayo, Ru. Masuk," ajak Mestha sambil merangkulnya.
_______
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Widi Wahyuni
Nama tokohnya berawalan M semua..😀
2020-09-14
1
Sept September
like
2020-09-13
1