16 September 2016.
Megizal Steven, seorang cowok yang selalu membuat Maru tersenyum bahagia hanya dengan melihatnya saja. Hubungannya dengan Maru memang berawal dari hubungan pertemanan yang mendarah daging menjadi persahabatan. Kata orang memang benar, hubungan persahabatan antara cowok dan cewek itu tidak akan bertahan lama, karena salah satunya akan ada yang jatuh cinta. Beruntungnya, mereka berdua sama-sama saling jatuh cinta. Dan mulailah perjalanan baru antara Maru dan Megi yang berstatus pacaran.
Awalnya, hubungan yang sudah lama terjalin ini tidak akan ada putusnya. Megi sayang Maru, begitupun sebaliknya. Tetapi, akhir-akhir ini Megi bosan dengan statusnya bersama Maru. Dia ingin kembali lagi menjalin hubungan persahabatan dengan Maru bukan lagi hubungan yang sedang dijalaninya saat ini. Dulu, tanggal 16 September 2015, saat masih kelas delapan SMP, Megi menembak Maru di lapangan sekolah. Dan hari ini adalah tepat satu tahunnya mereka menjalin hubungan sebagai pacar.
"Ru, nanti pulang sekolah aku tunggu di parkiran, ya? Kita pulang bareng hari ini," ucap Megi yang sedang duduk di samping Maru. Saat ini keduanya sedang ada di kantin sekolah. "Iya. Eh, tapi tumben, kamu ngajakin aku pulang bareng. Emang mau ke mana?" tanya Maru penasaran.
Megi hanya menjawabnya dengan gelengan kepala. "Nggak ke mana-mana. Aku cuma pengen pulang bareng aja. Kamu keberatan?"
"Nggak dong. Aku malah senang bangeeettt!"
"Ya udah, masuk kelas gih." Megi mengacak-acak rambut Maru sambil meniupinya. Ini adalah salah satu kebiasaan Megi yang sulit untuk dihilangkan. "Iyaaa Meggg! Nggak usah ngeberantakin rambut aku juga kali," ujarnya sambil beranjak berdiri.
Megi terkekeh. "Iya, love you!"
Maru membalas ucapan Megi dengan menjulurkan lidahnya. Seketika dia langsung pergi meninggalkan Megi yang masih berada di kantin.
***
"Miranda, kamu tahu nggak? Nanti pulang sekolah Megi ngajakin aku pulang bareng!!" Maru langsung bercerita kepada Miranda----teman sebangkunya. Setiap ada apapun, Maru selalu menceritakannya kepada Miranda. Karena hanya Miranda yang mampu mengerti dirinya. Sejak kelas tujuh sampai sekarang kelas sembilan, Maru masih memaksa Miranda untuk duduk sebangku dengannya. Dipikiran Maru, jika bukan dengan Miranda, dia harus bersama siapa lagi?
Temannya sekarang hanyalah Miranda seorang.
Miranda duduk di bangkunya sambil menatap Maru. "Ya terus? Nggak ada masalah, kan? Ngapain cerita ke aku kalau nggak ada masalahnya, Ru," jawab Miranda. Saat Miranda berkata seperti itu, Maru sering merasa bahwa dia hanya menjadikan Miranda teman untuk menampung semua masalahnya. Ya memang Maru banyak bercerita kepada Miranda tentang masalah. Jarang sekali Maru bercerita soal yang baik-baik saja. Akan tetapi, melihat temannya bersikap seperti itu Maru malah tertawa geli. "Jangan gitu dong, Da. Masa kamu mikir aku cuma manfaatin kamu doang. Kita kan sahabat," balas Maru sambil ikut duduk di samping Miranda.
"Iya, iya, buruan lanjutin ceritanya." Miranda ikut terkekeh. Itu yang Maru suka dari Miranda. Dia tidak bisa marah dengan Maru. Setiap ingin marah pasti ujungnya malah tertawa.
Maru merangkul Miranda. "Hari ini aku anniversary yang pertama, lho. Mungkin aja, Megi ngajakin aku pulang bareng karena dia mau ngasih aku kejutan. Iya kan?"
"Semoga aja begitu. Btw, selamat, ya, Ru."
"Iya, Miranda. Makasih," Maru senang mendengar ucapan Miranda.
Miranda berdehem. "Maru," panggilnya. Yang dipanggil menoleh. "Ya?"
"Kamu mau lanjutin sekolah di mana?"
"Belum tahu. Tapi, mungkin di SMA Galaska. Soalnya Megi juga mau ngelanjutin sekolahnya di sana. Kebetulan juga jaraknya nggak terlalu jauh dari rumah," Maru memainkan jari jemarinya. Jawaban yang dilontarkannya langsung saja lurus, tidak seperti biasanya yang harus berbelit-belit dahulu baru paham dengan apa yang harus dijawab. Apalagi jika bahan perbincangannya terdapat Megi di dalamnya, pasti otak Maru akan cepat menangkap apa yang dimaksud. Entah karena apa, tiba-tiba Maru membayangkan masa putih abu-abunya bersama Megi. Pasti akan terasa lebih indah dari sekarang. Tidak perlu menunggu waktu lama lagi untuk lulus dari SMP, karena sebentar lagi mereka akan ditempurkan segera. Buku-buku yang semulanya tidak pernah dianggap penting, kini semua itu berubah seratus delapan puluh derajat. Yang biasanya santai, sekarang berubah menjadi tegang. Saking tegangnya, siswa-siswi susah untuk bisa tertawa lebar. Hanya sebagian saja yang masih bisa tertawa lebar. Contohnya yaitu, anak yang memang dari awal tujuannya sekolah hanya sebagai status pelajar saja.
"Kalau kamu?" Maru ikut menanyakan hal yang sama juga seperti yang telah Miranda tanyakan tadi. Siapa tahu juga, Miranda akan melanjutkan SMA-nya di SMA Galaska seperti dirinya. Jadi, nanti mereka bisa bersama lagi. Tidak perlu susah-susah untuk mencari teman yang bisa diajak cerita seperti Miranda. Dia bahkan akan lebih santai menjalani masa SMA-nya jika Megi dan Miranda berada dalam satu sekolah bersama dia. "Aku..., aku kayaknya bakal keluar kota. Bahkan beda provinsi," ucap Miranda menunduk. Dia tidak enak jika harus membaritahu Maru. Tetapi, bila tidak diberi tahu dia malah semakin tidak enak.
Jawaban Miranda membuat Maru membulatkan matanya selebar mungkin. Dia memagangi telinganya. Berharap apa yang dia dengar tadi salah. "Apa? Kamu mau ngelanjutin ke mana memang?" tanyanya sekali lagi.
Tidak asyik bukan, jika setelah lulus SMP mereka berpisah dengan jarak yang cukup jauh. Jika beda sekolah, tetapi masih dalam satu kota itu tidak masalah bagi Maru. Namun, jika harus berbeda provinsi itu sangat bermasalah untuknya. Mereka akan jarang bertemu. Mungkin bisa jadi bertemu dalam beberapa tahun sekali. Selain itu, tidak memungkinkan mereka untuk saling mengabari setiap hari. Karena, beda provinsi beda juga kegiatan sekolahnya. Di sini mungkin kegiatan ekstrakulikulernya setiap hari, namun di sana bisa jadi hanya dilakukan pada hari-hari tertentu.
Perbedaan jadwal itulah yang nantinya akan membuat hubungan semakin renggang. Di pikiran Maru, dia bingung dengan kehidupannya ke depan. Siapa yang akan dia repotkan jika Miranda sudah tidak ada di sampingnya? Berbagai pertanyaan muncul di benak Maru. Baginya, Miranda itu adalah orang yang bisa dia andalkan jika dia butuh sesuatu. Apa setelah Miranda pergi dari hidupnya, dia masih bisa memiliki teman sebaik Miranda? Ralat. Miranda itu sahabatnya sekaligus teman dekatnya. Ya apapun itu, intinya Miranda adalah sebagian dari hidupnya setelah Ayahnya dan Megi.
Miranda memegang kedua pipi Maru sambil menghadapkannya untuk menatap matanya. Dia tersenyum bak tidak ada apa-apa. "Nggak jauh kok, Ru. Cuma ke Lamongan aja. Kita masih bisa ketemu kalau liburan semester. Kalau kamu sibuk, aku yang bakal ngunjungi kamu. Begitupun sebaliknya, kalau aku sibuk, kamu yang ngunjungi aku. Tapi, kalau seandainya kita sama-sama sibuk, ya udah kita chatingan sesempat mungkin. Kalau masih nggak sempat, berarti kita memang nggak jodoh buat ngupas rindu."
"Aaahhh, tapi Lamongan itu jauh banget, Da. Itu Jawa Timur tahu. Kenapa nggak melanjutkan di dekat-dekat sini coba?" Maru masih mengotot. Dia masih ingin membujuk Miranda supaya membatalkan rencananya. Apa yang Miranda bilang itu tidak semuanya benar. Dia bilang tidak jauh sekali, tetapi Jakarta ke Lamongan memakan waktu berjam-jam. Kalau tidak salah memakan waktu sekitar sembilan jam dua puluh empat menit. Itu saja belum dicoba langsung, tetapi baru ditanyakan di google maps. Bayangkan saja jika perjalanannya terkendala oleh macet. Pasti akan lebih lama.
Maru memanyunkan bibirnya ke depan. Sementara Miranda merangkulnya. "Kamu kan tahu, Ru. Aku sekolah di sini ikut sama Eyang. Nggak mungkin dong kalau aku terus-terusan di sini, sementara orangtua aku ada di Lamongan. Lagipula, aku dulu ke Jakarta cuma buat latih mental aku aja. Dan sekarang, aku bakal balik lagi ke kampung aku. Hmm, aku minta maaf ya udah bikin kamu sedih," ucap Miranda tulus. Sebenarnya dia juga sudah terlanjur nyaman berada di Jakarta. Tetapi memang takdir mengharuskan Miranda untuk keluar dari zona nyaman.
"Tapi nanti kamu kuliah di sini 'kan?" tanya Maru sambil berharap bahwa Miranda akan mengatakan iya. Namun, ekspresi wajah Miranda lesu. Maru bisa menyimpulkan bahwa Miranda akan menjawabnya tidak. "Aku belum tahu, Ru. Aku bahkan belum kepikiran buat kuliah. Bisa jadi, aku melanjutkan bisnis orangtuaku," jawab Miranda dengan perasaan tidak enak hati.
Maru mengernyit. "Bisnis sepatu?"
Miranda mengangguk.
"Ya udah, nggak apa-apa. Tapi aku masih bisa berharap kalau kamu bakal melanjutkan kuliah di sini. Semangat ya sekolahnya. Jangan lupa buat ngasih aku sepatu gratis lagi," ujarnya sambil tertawa kecil. Miranda hanya membalasnya dengan senyuman paksa.
Miranda bangkit dari duduknya dan berdiri di depan Maru. "Aku nggak akan lupa kok. Kamu juga semangat, ya! Kalau nggak ada aku jangan sedih. Kan masih ada Megi yang akan menemani hari-hari kamu." Miranda mencubit kedua pipi Maru. "Udah ah, jangan mellow kayak gini. Udah gede juga, masih aja mewek." Lanjutnya lagi.
Maru terkekeh. Mungkin, Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik lagi untuknya. Dan salah satu syaratnya, bisa jadi harus kehilangan sesuatu yang berharga. Dengan itu, kita akan lebih menghargai sesuatu ataupun seseorang yang kita punya sekarang.
***
Bel mulai berkumandang, seantero sekolah mulai berhamburan keluar kelas. Ada yang berlari karena saking inginnya segera sampai di rumah. Ada pula yang berjalan santai karena masih memiliki urusan. Dan ada juga yang berjalan santai bersama. Namun, Maru masih duduk tenang di kelas. Dia menunggu Miranda selesai menyapu, karena tadi pagi Miranda memiliki tugas piket tetapi belum dikerjakan. Maka dari itu, dia melakukannya sepulang sekolah. Lagipula, Maru juga tidak buru-buru. Jam segini biasanya Megi masih bermain basket dengan teman-temannya.
Megi memang orang yang tidak pernah langsung pulang. Dia memilih menghabiskan waktunya sebentar di sekolah dengan bermain basket. Meskipun dia sudah berjanji akan pulang bersama dengan seseorang, Megi tidak akan langsung menghampirinya. Namun, dia malah bermain basket. Membiarkan seseorang itu menunggunya di parkiran. Seperti yang dialami Maru pada biasanya ketika dia berjanjian pulang bersama dengan Megi.
"Megi masih nggak berubah, ya, Ru? Masih suka main basket. Padahal lagi ditunggu seseorang," celutuk Miranda sambil menggeser bangku untuk dibersihkan lantainya. Maru menoleh ke belakang sambil tersenyum tipis. "Aku sih nggak masalah, Da. Asal aku nunggunya nggak sampai berjam-jam. Cuma setengah jam bagiku nggak ada apa-apanya," respon Maru.
Miranda mengangguk. "Ya tapi bukan waktu masalahnya, Ru."
"Lalu apa?"
"Perasaan," Miranda kembali menggeser bangku lainnya. Sedangkan Maru hanya mengangkat satu alisnya. Dia masih tidak paham. "Maksudnya? Aku nggak ngerti."
Miranda tertawa. "Iya, maksud aku itu perasaan kamu. Apa dia nggak mikirin perasaan kamu saat nungguin dia? Ya meskipun kamu bilang setengah jam itu nggak ada apa-apanya, tapi apa iya kamu nggak pernah merasa bosan? Nggak mungkin kalau kamu bilang nggak. Kamu nungguin dia itu nggak cuma sekali dua kali. Tapi berkali-kali. Seharusnya dia pulangin kamu dulu baru dia basket. Itupun kalau dia masih mikirin perasaan kamu."
"Jadi, maksud kamu, dia nggak mikirin perasaan aku?"
"Aku nggak bilang begitu. Aku hanya mempertanyakan kenapa dia lebih memprioritaskan basket daripada kamu. Memang salah kalau aku ngomong begitu?"
Maru menggeleng. "Nggak kok. Udahlah, Da, nggak usah bahas hubungan aku sama Megi. Aku berterima kasih kamu udah mempertanyakan itu. Tapi maaf ya, aku lagi nggak pengin bahas itu. Lagian aku no problem kok ngejalaninnya." Miranda memilih menyelesaikan perdebatan ini. "Terserah kamu aja," jawabnya singkat.
"Sayang, udah kelar belum urusannya?" tanya Megi yang entah sejak kapan berada di ambang pintu. Padahal belum ada setengah jam. Apa dia sudah selesai basketnya?
Miranda menyahut. "Sana, dicariin tuh. Bentar lagi aku selesai kok. Kamu duluan aja," suruhnya kepada Maru. Dia mengangguk dan segera bangkit. "Udah, tunggu sebentar."
"Oke."
"Aku pulang dulu, ya, Da!" pamitnya kepada Miranda sambil melambaikan tangannya ke atas.
"Oke, hati-hati."
Maru melangkah keluar kelas. Sesampainya di depan kelas, tangannya langsung di genggam oleh Megi. Diperlakukan seperti itu Maru hanya diam dan tersenyum. Kini, keduanya berjalan menuju ke parkiran. "Kamu nggak basket?" tanya Maru penasaran.
Megi menggeleng.
Entah mengapa saat Megi menggeleng, Maru merasa senang. Tumben sekali Megi memperhatikan perasaannya. Ketika sampai di parkiran, Megi langsung mengambil motornya dan langsung menghampiri Maru. Dia menyuruh gadis itu naik. Perlahan, dia melajukan motornya. Mengantarkan gadis itu pulang.
Motor Megi berhenti di depan rumah berpagar. Gadis yang diboncengnya langsung turun dan berdiri di sampingnya. Mata mereka saling bertatapan.
"Aku pikir kamu mau ngajakin aku jalan," ungkap Maru jujur. Ekspetasinya memang tidak sesuai dengan realita.
"Maaf," balas Megi pendek dan terdengar pelan.
Maru tersenyum masam. "Nggak apa-apa," jawabnya. Megi langsung menghela napasnya. Dia menatap mata Maru dengan serius. "Ada yang mau aku omongin. Aku harap kamu nggak marah," ucap Megi.
"Oh, oke. Mau ngomong apa?"
"Aku mau kita putus," ujar Megi pelan namun jelas. "Dan maaf, aku nggak menerima penolakan dari kamu," tambahnya kemudian.
Detik itu juga, semuanya pergi meninggalkan Maru. Dalam satu hari dia sudah kehilangan dua orang yang sangat berharga di hidupnya.
______
"Mungkin cukup tahu saja, sekali belum suka jangan dipaksa untuk suka. Karena rasa itu tumbuh dengan berjalannya waktu. Bukan berjalannya perilaku."
-Marutere Althea-
6 Desember 2018
Tanggal dan tahun, dimana Maru akan melihat ayahnya menikah dengan wanita lain. Kini gadis berparas cantik dengan rambut panjang yang disanggul itu sedang menunggu mama tirinya selesai berdandan. Tidak ada yang bisa dilakukannya lagi. Kali ini dia sudah sangat pasrah. Menolak permintaan ayahnya pun tidak bisa dia lakukan. Padahal, jika dulu Maru menolak, pasti pernikahan ini tidak akan terjadi. Dan pastinya, dia tidak akan merutuki dirinya sendiri seperti sekarang ini.
Untuk menghilangkan rasa bosan karena harus menunggu, Maru memutuskan untuk menelepon temannya, yaitu Magis. Tidak perlu menunggu lama, akhirnya sambungan telepon segera diangkat Magis. "Gis, gue harus gimana? Hari ini bokap gue nikah. Gue takut kalau nanti Mama tiri gue jahat kayak di film-film," ceritanya langsung.
Terdengar helaan napas diujung panggilan. "Say hello, kek. Main nerocos aja lo. Gue kan bingung jadinya."
"Ya gue kan khawatir. Ini menyangkut masa depan gue!"
"Ya udah sih. Terima aja dengan ikhlas. Yang penting itu bukan kebahagiaan lo, tapi kebahagiaan bokap lo. Selama bokap lo bahagia, lo juga harus bahagia. Jangan mikirin diri sendiri." Magis mencoba membuat Maru tenang dan menerima semuanya.
Tetapi, bukan itu yang Maru ingin dengar. "Iya, gue tahu. Tapi gue belum siap mempunyai keluarga baru bersama orang asing."
"Awalnya memang asing, tapi lama-lama juga enggak kok. Percaya deh sama gue," balas Magis. Tetapi, Maru mendengus. "Gimana gue bisa percaya sama lo? Orang lo aja suka bohongin nyokap lo."
Di ujung sana terdengar suara tawa. "Tapi kan gue bohongnya untuk kebaikan. Jadi, nggak apa-apa dong."
"Namanya bohong itu ya tetap aja nggak ba---" ucapan Maru terputus karena tiba-tiba Mbak perias menghampirinya. "Maaf, Mbak, mengganggu sebentar. Itu, pengantinnya sudah siap."
Maru membalasnya dengan anggukan. "Saya segera ke sana. Mbak bisa pergi dulu," setelah Mbak perias pergi sambil melemparkan senyuman, Maru menempelkan kembali benda pipih berwarna hitam itu ke telinga kanannya. "Lo tuh yaaa, gue lagi ngomong nih!" sarkas Magis kencang hingga membuat telinga Maru nyeri.
"Sori, Gis. Gue matiin dulu ya, nanti gue telepon lagi." Tanpa menunggu jawaban Magis, dia langsung mematikan ponselnya dan bergegas menghampiri Mama tirinya. Karena memakai kebaya, terpaksa Maru harus berjalan dengan pelan.
"Tante, ayo. Ayah sudah siap dibawah," ucap Maru diambang pintu.
"Oh, oke," jawab Mama tirinya. Kemudian mereka turun ke bawah. Saat ini, perasaan Maru sudah bercampur aduk. Tubuhnya sudah tidak sehat lagi. Rasanya, dia sangat lemas.
Maru duduk di samping Ayahnya bersama dengan Magen----calon Kakak tirinya. Sedari tadi, Magen terus memandanginya. Entah apa yang sedang Magen pikirkan dan rasakan sekarang. Tetapi, Maru tidak memedulikan itu. Pandangannya kini memandangi Ayahnya dengan sendu. Tanpa Maru sadari, Magen sudah memperhatikannya sejak Maru turun dari tangga tadi.
"Udah, Gen. Berhenti liatin adik tiri lo," ucap Magen pada diri sendiri dengan pelan supaya tidak ada yang mendengar ucapannya. Termasuk juga, Maru yang berada disebelahnya.
"Sekarang kita mulai ijab qabul-nya," ujar Pak Penghulu yang membuat Maru semakin khawatir. Detak jantungnya pun semakin cepat. Tubuhnya tiba-tiba gemetar. Dengan sekuat tenanga, Maru berusaha bersikap biasa saja. Dia tidak ingin pernikahan Ayahnya gagal karena dirinya.
Kakek dari Mama tiri menjabat tangan Ayah Maru dengan erat. "Saya nikahkan engkau Muzan Suryadipura bin Manta Suryadipura dengan putri kandung saya Mestha Yuliana dengan maskawin emas 200 gram dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Mestha Yuliana binti Mario Zaenaldi dengan maskawin tersebut dibayar tunai!" ucap Ayah Maru lantang tanpa hambatan.
"Bagaimana para saksi? Sah?" tanya Pak penghulu.
Seketika, keringat bercucuran di wajah Maru. Memang Ayahnya yang menikah, tetapi dia yang belum siap dengan pernikahan ini.
"SAAHHH!!!" ucap semua orang serentak dan menggelegar.
Saat semuanya sudah berkata SAH, itu artinya Mestha sudah resmi menjadi istri baru Muzan. Mestha resmi menjadi Mama tiri Maru. Sudah bukan calon lagi, tetapi sudah resmi. Lalu, Pak penghulu tersenyum bahagia kepada pasangan yang baru saja resmi menikah. "Sekarang cium kening mempelai wanita, begitupun sebaliknya mempelai wanita mencium tangan suami," jelas Pak Penghulu yang seketika membuat Maru ingin berteriak.
Setelah selesai acara ijab qabul, Muzan dan Mestha menemui para tamu yang sudah datang. Mungkin ini adalah hari bahagia bagi mereka berdua dan juga Magen. Tetapi tidak untuk Maru. Dia langsung masuk ke kamarnya tanpa izin dahulu kepada Ayahnya.
Sampai sekarang pun, Maru masih tidak percaya jika keluarganya utuh kembali bersama orang asing.
Di dalam kamar, Maru memegang erat foto pernikahan Mama dan Ayahnya dulu. Sebenarnya foto itu sudah dibakar Ayahnya, tetapi masih ada sisanya yang tak terbakar. Maka dari itu, Maru menyimpannya.
"Lo nggak makan, Dek?" tanya Magen yang entah sejak kapan sudah berada di kamar Maru. Sementara Maru hanya menatap Magen tanpa ekspresi. "Nggak," ucapnya datar.
Magen tertawa kecil melihat raut wajah Maru yang tak berekspresi, kemudian ia mendekatinya dan memegang erat tangan Maru. Gadis itu langsung mendongak seketika. "Lepasin, nggak? Gue nggak suka dipegang sama orang asing."
Melihat tingkah Maru yang masih tak terima dengan kenyataan, Magen membalas dengan anggukan beberapa kali. "Tapi kan, gue Kakak lo bukan orang asing lagi."
Alis Maru tampak bergelombang. Dia sedikit terkejut, berani sekali Magen mengaku sebagai Kakaknya. Padahal Maru sama sekali tidak ingin mengakuinya. Tatapan mata Maru terlihat sayu dan sedikit bengkak. Magen dapat mengetahui jika Maru menangis semalam. Namun, dia tidak bisa melakukan apa-apa. Semua yang dilakukan Mamanya tak bisa dia tolak.
"Tiri bukan kandung," ucap Maru menyadarkan pemahaman Magen akan statusnya.
Magen mengernyit, "segitu nggak sukanya?"
"Bisa lepasin tangannya, nggak?" Maru balas bertanya. Dia sudah merasa risih sejak tangannya dipegang oleh Magen.
Sepertinya, Magen tahu bagaiman cara untuk membuat Maru melakukan apa yang dia perintahkan. Kini dia terkekeh didalam hatinya. Berharap, semoga ini berhasil membuat Maru menghilangkan rasa sedihnya dan mau mengisi perutnya.
Secara perlahan Maru menoleh ke samping, melihat Magen yang hanya diam. Maru mengembuskan napasnya gusar. Sesekali melirik Kakak tirinys yang sedang tersenyum. Lama-lama, Magen terlihat tidak waras. Maru jadi ngeri sendiri. Baru saja Maru ingin melepas tangan Magen yang menggenggamnya erat, ternyata Magen malah menarik tangannya. "Lo harus ikut gue makan. Nggak menerima penolakan!"
Mau tidak mau, Maru tetap diseret Magen keluar kamar. Bayangkan saja, tubuh Magen yang tinggi nan jangkung tak mampu Maru kalahkan tenaganya. Dia merutuki dirinya lagi sambil berusaha menahan tarikan Magen. Melihat dirinya diseret seperti ini, Maru merasa jika dia seperti anak kecil yang dipaksa orang tuanya untuk makan. Mengenaskan sekali.
"Gue nggak mau! Jangan paksa bisa kan?" Maru membantah, tatapannya tertuju kepada Ayahnya yang sedang melemparkan senyuman ke arahnya. Pasti Ayahnya berpikir jika Maru sudah akrab dengan Magen. Astaga, itu tidak boleh terjadi.
Tiba-tiba Magen berhenti. Tak sengaja Maru menabrak tubuh Magen dari belakang. Salah sendiri, berhenti nggak bilang-bilang. Jadi ini bukan salah Maru. Sedangkan, Magen segera membalikkan tubuhnya. Menatap Maru yang melayangkan pandangannya ke arah lain. "Di bawah rame, kayaknya nggak mungkin kalau kita makan di sana." Mendengar itu, Maru menatap Magen kembali dengan malas. "Ya, terus?"
"Kita makan di luar," cetusnya langsung.
Dia kembali menarik paksa tangan Maru menuju ke garasi. "Gue belum jawab iya, lho!" tukas Maru seketika. Namun, Magen tidak menanggapinya. Maru merasa kesal sendiri. Ini orang maunya apa sih?-batin Maru tak terima mendapat perlakuan seperti ini.
Sesampainya di garasi, Magen terheran sendiri. Ada banyak mobil di sini. Dia tidak tahu mana yang mobil milik Ayahnya. Karena semua mobil yang ada hampir mirip. Yang membedakan hanyalah nomor plat. Dan Magen lupa nomornya berapa.
Magen menoleh ke arah Maru. "Apa lo liat-liat?" ucap Maru nyaring. Sementara Magen hanya diam lalu menyerahkan kunci mobil kepada Maru ."Ambil mobilnya," suruh Magen tanpa basa-basi.
"Hah?" Maru bingung sendiri. Kenapa jadi dia yang harus mengambil mobil? Kan yang mengajak keluar tadi bukan dia. Seenak jidat saja menyuruh orang.
"Nih, ambil," ulang Magen lagi.
Maru menggelengkan kepalanya.
"Lo masih bisa jalan. Ngapain nyuruh gue?"
Magen mendengus. "Gue nggak tahu yang mana mobilnya," jawabnya jujur.
"Ya udah, kalau nggak tahu nggak usah ngajak makan di luar. Gitu aja susah," Maru segera menepis tangan Magen. Tetapi, masih saja gagal. Kini giliran Maru yang mendengus. "Ayo gue anterin," ajaknya dengan beribu rasa yang memaksa. Jika tidak begini, Magen akan tetap memegang erat tangannya.
"Nah, gitu dong." Ujarnya bersemangat.
"Ini juga karena terpaksa."
Maru menunjuk mobil yang ada di depannya.
"Jujur banget lo," Magen membukakan pintu untuk Maru. Mungkin bagi kebanyakan perempuan jika diperlakukan seperti ini akan senang. Tetapi, berbanding terbalik dengan Maru. Jika bukan karena ingin tangannya dilepas, dia juga tidak mau seperti ini. "Gue anak baik, nggak kayak lo sukanya maksa," Maru mencibir.
"Memaksa demi kebaikan itu dapat pahala," tegas Magen lagi.
Maru memiringkan kepalanya. Takut salah mendengar. "Dan menurut lo, yang lo lakukan ke gue ini baik?" tanya Maru memastikan. Yang ditanya malah mengedikkan bahunya. "Tergantung," jawabnya seraya menutup pintu mobil.
"Dasar aneh," gumamnya pelan.
Sepanjang perjalanan, mereka berdua tak bersuara. Hening tingkat dewa. Baik Magen maupun Maru tidak memiliki naluri untuk membuka percakapan. Sama sekali tidak ingin menghilangkan keheningan.
Sampai akhirnya, Maru membuka mulut. Tetapi sudah disambar pertanyaan dari Magen dahulu. "Mau makan apa, Dek?"
"Terserah lo. Yang penting nggak makan hati," balasnya sengit.
Magen terkekeh. Tingkah Maru sangat lucu. "Alaah, bilang aja yang penting berdua, gitu."
Maru memutar bola mata jengah. "Itu mah maunya elo."
***
Sore yang cerah, tidak sehati dengan perasaan Maru saat ini. Hatinya sedang tidak karuan. Matanya berkaca-kaca. Gadis itu tidak sanggup jika harus meninggalkan rumah lamanya yang tersimpan banyak sekali kenangan bersama Mama kandungnya. Langkahnya lunglai tak bersemangat. Padahal dia hanya berjalan menuju ke mobil yang hanya beberapa langkah darinya. Pandangannya tak bisa jauh dari rumah lamanya. Gadis itu memiliki rambut panjang dan bergelombang. Hidung pesek dan bibir semerah delima, disempurnakan oleh kulitnya yang seputih awan. Senyumannya sangat manis, tetapi sayang saat ini dia sedang bersedih.
Ayah, Mama tiri, dan Kakak tirinya sudah lebih dulu masuk ke mobil. Kini Maru sedang ditunggu untuk segera masuk. "Ayo, Nak. Cepat. Ayah nggak punya banyak waktu."
Maru menoleh. "Iya, sebentar." Tanpa berpikir lagi, dia segera masuk dengan hati yang gundah. Bahkan dia tidak menyangka, jika hari ini dia resmi memiliki keluarga baru tanpa Mama kandungnya.
"Maru," panggil Ayah yang sedang duduk dibagian depan, sementara Maru berada dibelakang bersama Mama tirinya.
"Iya, Yah. Kenapa?"
Ayah Maru----Muzan Suryadipura----menoleh ke belakang. "Nanti Ayah langsung berangkat ke Bandung, jadi Ayah nggak bisa bantuin kamu beres-beres rumah. Nggak apa-apa kan, Nak?"---Ayah Maru adalah seorang wartawan. Pekerjaan itu yang mengharuskannya untuk berkeliling dunia mencari berita terbaru. Karena itu, Muzan jarang sekali berada di rumah. Hal ini juga dijadikan alasan untuk menikah lagi, supaya Maru ada yang menjaga selama dia pergi.
Dengan kecewa, Maru mengangguk. "Iya, nggak apa-apa. Ayah hati-hati ya."
Mendengar jawaban Maru yang mengiakannya, Muzan lega. "Pasti, Nak. Oh iya, kamu jangan nakal ya sama Mama Mestha dan Magen."
"I-iya, Yah," balas Maru pasrah. Sudah pindah rumah, Ayahnya juga akan pergi. Kecewa yang Maru dapat hari ini sangat banyak. Mestha merangkul Maru seketika. "Tenang saja, Mas. Maru aman kok sama aku. Iya kan, Sayang?"
Maru hanya berdehem.
Saat dari seluruh orang menginginkan keluarganya utuh, tetapi tidak untuk Maru. Baginya lebih baik tak utuh daripada utuh dengan orang asing. Ini juga, karena pengaruh dari menonton sinetron di televisi. Banyak sekali Mama tiri yang tidak baik. Apalagi Maru belum sepenuhnya mengenal Mestha. Dia bahkan tidak tahu akan sikap luar dan dalamnya. Karena itu, pernikahan Ayahnya kali ini sangat membuat Maru cemas.
Sesampainya di rumah baru, Muzan tidak ikut turun walaupun hanya sekedar menengok saja. Dia langsung berpamitan dengan Maru. "Ayah berangkat dulu ya, Nak."
"Iya. Ayah hati-hati. Cepat pulang ya?"
"Itu pasti," selanjutnya Muzan mengalihkan pandangannya ke arah Mestha. "Jaga anak-anak, Tha."
Mestha pun mengangguk. "Kamu nggak perlu khawatir. Maru pasti aman kok. Kan sekarang udah ada Magen yang bisa jagain dia 24 jam. Jadi kamu tenang saja. I love you, hati-hati, Mas."
"Love you too."
"Hati-hati, Yah," ucap Magen. "Nggak usah mikirin adik. Ada aku di sini," tambahnya.
Muzan tersenyum. "Ayah percaya sama kamu, Gen. jaga diri kalian baik-baik. Secepatnya Ayah pulang. Daahh," mobil Muzan mulai melaju. Maru hanya bisa melambaikan tangan.
"Ayo, Ru. Masuk," ajak Mestha sambil merangkulnya.
_______
"Game itu sebagian dari hidup gue. Mau lo suka atau nggak. Ya udah, gue nggak peduli."
-Megizal Steven-
Seperti biasa, Megi memanfaatkan waktu luangnya untuk bermain game di kamar. Tiada hari yang berharga tanpa bermain. Itulah prinsip hidupnya. Jika dia ditanya tentang cita-cita, pasti akan menjawab tergantung Tuhan mau jadiin gue apa. Megi orangnya tidak mau mempersulit sesuatu. Apapun yang ditanyakan kepadanya akan selalu dijawab sesuai kenyataan. Memang tidak berlebihan, tetapi cara pandang berpikirnya yang mudah. Hidupnya tidak pernah ada kata serius. Sekarang saja, dia memfokuskan hidupnya untuk tenang. Yaitu dengan cara bermain game. Meskipun tidak diperbolehkan orang tuanya, tetapi tetap dilakukan. Namanya juga anak cowok, jarang sekali mematuhi peraturan. Hobinya memang melanggar peraturan.
Terhitung sudah hampir 2 jam Megi duduk di depan komputer. Sejak tadi, dia tak henti-hentinya berteriak jika menang. Pasalnya, orang tua Megi sedang tidak ada di rumah sekarang. Mereka sedang berkunjung di rumah saudara di Surabaya. Jadi, hal ini sangat membebaskan Megi untuk berteriak sekencang mungkin. Lagipula, Kakaknya juga tidak akan menegurnya. Orang hobinya pun sama, yaitu main game.
"Meg, nanti beliin gue pembalut ya? Yang ukuran 35 cm tapi," ucap Kakak Megi di kamarnya. Karena letaknya yang bersebelahan, jadi mereka berdua malas untuk saling bertemu. Sukanya teriak.
"MEG, LO BUDEK, YA?!" teriak Kakaknya----Mozhadilla Ajnasafitri, sering disapa Mozha. Kuliah di UI Fakultas Kedokteran yang baru dijalaninya selama dua tahun ini. Dibilang pintar, ya memang pintar. Tetapi, kadang juga enggak. Hobi lainnya yaitu memasak. Namun, hobi yang paling ia tekuni memang bermain game. Cita-cita pertamanya menjadi dokter. Kalau cita-cita kedua adalah menyelesaikan semua game yang ada di dunia. Umurnya baru 20 tahun, dan masih lajang sampai sekarang. Sejak kecil sampai sekarang, dia tidak pernah pacaran.
Karena teriakannya yang tidak direspon adiknya, Mozha memilih untuk mendatangi kamarnya. Tiba dia ambang pintu kamar Megi yang tidak ditutup, Mozha melemparkan sandalnya tepat di wajah Megi. "Lo nggak dengerin gue ngomong dari tadi?" tanyanya.
Megi masih terfokus pada game-nya. Dilempar apapun dan kena apapun tidak akan bisa membuat Megi berhenti bermain. "Dengar," jawabnya asal tanpa menoleh sedikitpun. Tatapannya masih kepada layar komputer. Merasa diabaikan, Mozha mulai mendekati Megi lalu menjewer telinganya. "Aw, sakit, Kak!" Megi meringis kesakitan.
Jeweran Kakaknya memang yang paling menyakitkan.
"Makanya, kalau diajak ngomong itu stop game-nya!"
"Iya, iya, udah nih." Megi langsung mematikan komputernya. "Lepasin, Kak! Lo mau bikin telinga gue lebar, hah?"
Seketika Mozha langsung melepaskan jewerannya. Dia kemudian bersedekap dada. Menatap adiknya tidak suka.
"Ngomong apa tadi?" tanya Megi tanpa rasa bersalah. Mozha semakin jengkel merasakannya. Dia menghela napasnya. "Beliin gue pembalut ukuran 35 cm."
Pembalut lagi?
Megi tak habis pikir dengan Mozha. Padahal baru seminggu yang lalu dia membelikan Kakanya pembalut, dan sekarang menyuruhnya lagi. Apa Mozha tidak memikirkan betapa malunya Megi saat membeli pembalut itu. Iya, kalau Supermarketnya sepi. Lah, kalau ramai seperti kemarin lalu.
"Perasaan baru gue beliin kemarin, deh."
"Ya lo pikir sendiri lah. Emang segitu cukup?"
"Ya lo sendiri nggak bilang mau yang mana. Bilangnya terserah melulu. Gue kan bingung," Megi mengadu. Pasalnya seminggu yang lalu, Megi tidak diberi tahu harus membeli yang mana. Pas ditanya malah bilangnya terserah. Kalaupun Mozha menyuruhnya sama, mungkin tidak bermasalah. Tetapi, setiap menyuruh Megi ukuran dan bentuknya selalu berbeda dari sebelumnya. Sebagai cowok tulen, dia bingung lah.
Mozha mendecak sebal. "Kan nanya google bisa, Meg. Kok lo makin bego, sih?"
"Lo tuh nggak tahu diri ya? Udah nyuruh, ngatain orang lagi."
"Jangan ngeselin, ya! Nanti gue bilangin Mama kalau lo main game melulu. Biarin aja, nanti uang jajannya dipotong," cetus Mozha. Dia memang pandai untuk mengancam adiknya. Apalagi semenjak dirinya masuk Fakultas Kedokteran, semua yang dia katakana selalu Mama dan Papanya percaya. Berbeda dengan Megi, apa yang dikatakannya tak pernah dipercaya.
Megi sudah pasrah jika Kakaknya ini selalu membawa ancaman uang jajan. "Ya udah, slow dong. Mana uangnya, nanti gue beliin." Megi terpaksa menyetujui.
"Nah gitu dong. Itu namanya baru adek gue yang paling----"
"Ganteng," sahut Megi memotong ucapan Mozha.
Mozha terkekeh, dia menoyor jidat Megi. "Kebanyakan makan micin, loh. Jelek aja dibilang ganteng. Awas, harapan yang nggak berbalas itu jatuhnya sakit. Aduh, Meg ... sakitnya dimana sakitnya?"
Megi hanya diam, dia tidak ingin membalas ucapan Kakaknya lagi. "Uang jajan," ucap Mozha seketika dengan tujuan supaya Megi tidak mengacanginya. Megi menepuk jidatnya pelan. Sejak kapan, Kakaknya ini tidak waras. "Sakitnya tuh di sini," tutur Megi sambil memegang jantungnya.
"Ih lo lucu tahu, Meg." Seraya Mozha mencubit kedua pipi Megi.
"Ya udah, mana uangnya? Jangan ngomong melulu. Nanti air liur lo habis stocknya," sindir Megi dengan raut wajah kesal.
Mozha memanyunkan bibirnya. "Pakai uang lo dulu. Bye!" Mozha langsung pergi begitu saja. Megi heran sendiri dengan Kakaknya. Apa-apa, Megi yang disuruh beli. Nggak sekalian barang dalam juga disuruh beli? "Untung gue orangnya ganteng. Jadi gue sabaran, nggak kayak dia kerjaannya marah-marah terus. Pantes jomlo," gerutunya setelah Mozha sudah tidak berada di kamarnya.
"Apa lo bilang, Meg?!"
Panjang umur. Baru saja di omongin udah muncul di ambang pintu lagi seperti cenayang. Dengan terpaksa, Megi menoleh. "Nggak ada, salah dengar kali."
"Ih gue tahu ya, lo lagi ngomongin gue!"
"Kalau tahu ngapain nanya, Maemunah?"
"Berarti benar, dong?"
"Menurut lo?" Megi balas bertanya.
"Durhaka lo sama gue! Ingat ya, nanti gue kutuk lo jadi pembalut!"
Seusai melontarkan kalimat itu, Mozha sudah tidak ada di ambang pintu. Mungkin saja, dia sudah pergi ke kamarnya. "Kayaknya, Kakak gue nggak bakal bertahan lama deh buat waras. Gue harus siapkan anti waras, biar virusnya nggak menular ke gue."
***
Di sisi lain, Mozha kesal sendiri dengan adiknya. Baru saja disuruh membeli pembalut sudah mengeluh. Apalagi jika semua kebutuhannya disuruh untuk membeli, apa tidak pingsan. Entah mengapa, sore ini hawanya sangat panas. Matahari terlihat sangat terik. Mozha segera menutup korden jendela supaya tidak silau. Setelah itu, dia kembali mengecek instagram-nya. Selain hobi main game dan memasak, dia juga hobi menghabiskan koutanya. Padahal di rumah sudah disediakan wifi, tetapi dia tetap kekeh untuk mengisi kouta.
"Ini apaan sih, alay banget si Olivia. Mentang-mentang pacarnya kaya, mobilnya dipakai selfie terus." Kegiatannya kali ini hanya melihat foto orang lain dan mengomentarinya seperti tadi itu. Olivia adalah teman SMA-nya dahulu. Sekarang sedang kuliah Fakultas Sastra. Sebenarnya, Olivia ingin sekali menjadi polisi, tetapi orang tuanya tidak mendukung. Karena itu, dengan terpaksa Olivia menekuni bidang sastra demi menyenangkan orang tuanya. Namun, sayang sekali dia salah pergaulan sekarang.
Mozha menggeser layar ponselnya. Matanya terbelalak lebar saat dia melihat foto Mars----salah satu teman Megi yang lahir di Norwegia. Dia memiliki hidung yang mancung bak jalan tikungan. Matanya minimalis, warnanya agak kebiruan. Tetapi tidak terlihat jelas jika itu warnanya biru, karena dia blasteran Norwegia-Indonesia. Kulitnya pun seputih salju, mulus tanpa berbulu. Mozha tak percaya jika teman Megi itu memang asli Norwegia. Yang dia percaya, Mars itu asli dari surga.
"Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan, Zha," tanyanya pada diri sendiri. Setelah melihat secara rinci akun instagram Mars, dia kembali lagi menggeser layar ponselnya.
"Mbak Mozha yuhuuu, Megi-nya ada?" tanya gadis berambut sebahu yang entah masuk sejak kapan. Mata bulat sebulat bola pingpong. Bibirnya pun tipis. Melihat gadis itu, Mozha segera berdiri dan meletakkan ponselnya di meja. "Ada di kamarnya. Lo sejak kapan masuknya? Kenapa nggak salam dulu?"
Meta menghela napas. "Meta udah ngucapin salam kok tadi. Tapi nggak ada yang jawab. Ya udah, Meta langsung masuk aja."
"Oh, ya udah sana samperin Megi."
"Duluan, Mbak."
"Oke," ucap Mozha dan kembali duduk. Meta memang sering berkunjung di rumah Megi karena mereka berada di kompleks yang sama. Hanya saja beda blok. Meta di blok D, sedangkan Megi di blok E. Selain itu, mereka sudah saling mengenal sejak SMP.
Meta sampai di depan kamar Megi, tanpa mengetuk pintu dia langsung menyelonong masuk ke dalam. Ternyata Megi masih bermain game. Dengan sengaja, Meta mencabut kabel komputer Megi. "Meg, anterin Meta dong." Ucapnya langsung.
"Kenapa lo cabut, perkedel?" emosi Megi mulai naik kembali. Tadi karena Mozha, sekarang berganti cenayangnya Mozha. Siapa lagi kalau bukan Meta.
Bukannya menjawab, Meta malah meringis. "Biar Megi nggak main game saat ada Meta. Kan Megi tahu, Meta nggak suka di kacangi," jawabnya dengan tampang memelas.
"Ta," panggil Megi.
"Iya?"
Megi tak bersuara beberapa saat, hingga akhirnya membuat Meta penasaran.
"Megi mau ngomong apa?" tanya Meta kembali.
"Lain kali, nggak usah dicabut kabelnya. Bakar aja komputernya," jelas Megi membuat Meta mengangguk paham. Lalu Meta mendekat ke Megi dan menundukkan badannya. Dia kembali berbisik di telinga Megi. "Oh, berarti Megi udah nggak sayang komputernya ya? Ya udah, lain kali Meta bakal bawa minyak bakar sama korek api. Meta janji."
Megi mengusap wajahnya. "Gue bercanda kali, Ta."
"Oh. Ya udah, anterin Meta ke salon sekarang," pinta Meta bersemangat.
"Bayarannya apa?"
"Megi maunya apa?"
"Beliin gue pembalut ukuran 35 cm," balas Megi senang. Dengan begini, dia tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli pesanan Kakaknyaa itu. Dan juga, ia tidak perlu memotong urat malunya. Sebagai gantinya, menemani Meta ke salon tidak masalah. Yang penting uangnya tidak berkurang.
"Megi menstruasi?!" tanya Meta terkejut bukan main. Dia mengelus dadanya berulang kali. Tak percaya dengan apa yang Megi katakan.
Sementara Megi menghela napas berat, susah kalau bicara dengan orang yang masih kekanak-kanakan. Dia segera bangkit dari tempat duduknya, lalu menegakkan badannya. Dia menatap Meta gemas sendiri. Tangannya sudah gatal ingin sekali membuat rambut Meta acak-acakan.
"Lo pikir gue banci?"
Meta dengan polosnya langsung menggeleng.
"Ya udah, intinya gue anterin lo. Dan lo beliin gue pembalut. Gimana?"
"Megi mau nyoba pakai pembalut, ya? Emang boleh? Setahu Meta nggak boleh. Soalnya Megi punya burung. Nanti kalau burung Megi sesak napas gimana?" ucap Meta sejujur-jujurnya. Megi merasa gemas sendiri. Ini anak antara polos dan memang tahu semuanya. Megi menghela napas lagi, kali ini terdengar lebih berat dari sebelumnya. "Nggak usah nanya-nanya. Mau nggak?"
"Mau dong, ayooo!"
Meta segera menarik lengan tangan Megi. Sesampainya di ruang bawah. Mozha kembali mendongakkan kepalanya. "Eh, pasangan bebek. Pada mau ke mana, nih?" ----pasangan bebek adalah panggilan dari Mozha saat Megi dan Meta bersama. Dia memang senang jika Megi dan Meta selalu bersama. Apalagi jika sampai pacaran, Mozha akan mengadakan syukuran langsung.
"Kepo lo kayak Dora!" tukas Megi.
"Ngomongnya nggak boleh gitu. Harus yang sopan, Meg!" ujar Meta mengingatkan.
"Bawel lo. Nggak gue anterin, nih!"
"Megi jangan gitu dong. Anterin, ya, ya, ya?" rengek Meta sambil memegang erat lengan Megi seperti anak kecil.
"Anterin tuh, kasihan, anak orang lo bikin nangis." Mozha ikut angkat bicara.
Megi menatap Mozha dengan gemas. Semua perempuan yang ada di sekitarnya selalu membuatnya kesal. Kecuali, Maru. Megi segera mengedarkan pandangannya. Dia juga membuang jauh-jauh pikiran tentang mantannya itu. "Iya, Mbak Mozha. Yuk!"
"Eh, berani ya lo manggil gue Mbak!" sarkas Mozha tidak terima.
"Mau nitip apa, Mbak?"
"Banyak nanya lo. Ayoo!" teriak Megi di luar. Sementara Meta hanya meringis di ambang pintu tamu. "Iya, iya, Megi bawel ah."
"GUE NITIP MAKANAN," teriak Mozha.
"BELI SENDIRI," Megi berteriak. Sebelum Mozha membalas ucapannya lagi, Megi segera menyalakan mesin motornya dan melajukannya. Sementara Meta langsung memeluk Megi. Dia takut jika Megi memilih naik motor di banding naik mobil. Pasti dia sedang ingin mengebut. Maka dari itu, Meta segera menjaga dirinya sebelum terhempas oleh angin.
Megi menghentikan motornya di halaman Supermarket.
"Kok ke sini sih? Megi tuli, ya? Kan Meta ngajaknya ke salon," tanya Meta keheranan.
"Beliin gue pembalut dulu."
Meta turun dari motor Megi. "Ya udah, oke, Meta beliin. Tapi nanti anterin."
"Iya."
Dengan cepat, Meta berlari masuk ke Supermarket. Meta dihadapkan berbagai macam pembalut. Dia mengambil yang biasa dia pakai. Yang penting ukurannya 35 cm. Salah sendiri, menyuruh tidak memberitahu merk-nya apa. Seusai membeli pembalut yang Megi minta, Meta segera menghampiri Megi dan menyerahkan pembalutnya. "Nih, ayo anterin."
Kemudian Megi kembali melajukan motornya dengan cepat. Meta pun kembali memeluk Megi. Dia takut jatuh. Sesampainya di depan salon, Meta gemeteran karena Megi mengebut. Sebelum Megi menyuruhnya turun, Meta sudah turun dahulu. Kini dia berjalan masuk ke dalam salon.
"Ta," panggil Megi. Meta pun membalikkan badannya. "Apa, Meg?"
Megi kurang yakin jika harus bertanya. Tetapi jika tidak bertanya, dia penasaran. Sesekali Megi terkekeh sendiri.
"Kok diam, sih. Jadi nanya nggak?"
"Ehm, kok lo tahu kalau gue punya burung?"
______
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!