BAB 3 :: HUKUM TERPANGGIL

"Entah mengapa aku banyak mengadu atas ketidakadilanmu padaku. Semua itu ku lakukan supaya kamu kembali mengingatku. Tetapi apa yang kamu balas padaku? Kamu bahkan merasa biasa saja." - Marutere Althea.

Pagi ini, Maru terpaksa harus sarapan dengan Magen. Sejak subuh tadi, Mama tirinya pergi entah ke mana. Apalagi tadi malam Ayahnya sudah memberitahu Magen mengenai lokasi sekolah Maru. Hari ini juga, Magen akan pindah di sekolah Maru. Sekaligus mengantar jemput Maru. Sebenarnya, kesepakatan awalnya tidak begitu. Tetapi karena letak sekolah yang dekat dengan rumah adalah sekolah Maru. Jadi mau tidak mau yang harus pindah memang Magen. Andai jika nanti Maru yang disuruh pindah, Maru tetap tidak akan mau.

Gadis itu memoles rotinya dengan selai nanas. Sementara Magen sibuk memainkan ponselnya. "Lo kalau nggak sarapan, gue tinggal nih," ucap Maru memperingatkan Magen.

Yang diingatkan hanya terkekeh. "Emang lo bisa nyetir mobil?" tanya Magen. Ini bukan ke bertanya, tetapi lebih ke menyindir.

"Bisa lah," jawabnya bangga.

"Tumben pinter."

"Tumben bodoh."

Magen meletakkan kembali ponselnya ke meja. Dia mencoba memahami keadaan. Magen memutar bola matanya dan tertawa kecil memperhatikan balasan sikap Maru.

"Ngapain lo ngeliatin gue? Suka?" tanya Maru mengintrogasi. Pasalnya sedari tadi, Magen tak henti untuk tidak menatapnya.

"Kepedean lo!" jawab Magen spontan yang membuat Maru mengernyitkan satu alisnya. Magen berdecak, mengambil tasnya di sofa lalu keluar rumah tanpa memberitahu Maru. Melihat itu, Maru keheranan sendiri. Pagi ini Magen sangat aneh. Itu hanya perasaan Maru saja, ataukah..., Magen memang aneh orangnya?

Jarum jam menunjukkan pukul 06.40 WIB, Maru melahap habis rotinya dan langsung menyusul Magen. Pantas saja Magen meninggalkannya, orang sudah mau jam tujuh. Menyebalkan memang. Maru berjalan sambil menggerutu. Saat sampai di depan, terlihat jelas bahwa Magen sudah berada di dalam mobil.

"Cepat masuk, Dek." Magen menoleh ke belakang, menyuruh Maru untuk segera masuk. Sebaliknya, Maru malah mendengus. Dia langsung masuk ke mobil bagian belakang. Seketika Magen kembali menoleh ke arah Maru. "Bisa pindah depan, nggak? Gue bukan sopir."

"Banyak maunya ya lo?"

"Lo nggak pindah kita nggak jalan," balas Magen sambil tersenyum jahil. Sebaliknya, Maru hanya bisa menghela napasnya, kali ini terdengar lebih berat. Maru segera keluar mobil dan pindah ke bagian depan. Selanjutnya dia menatap Magen penuh emosi. "Puas?"

"Sangat puas. Kita berangkat sekarang?"

Maru berdehem, membuat Magen langsung melajukan mobilnya.

Saat tiba di sekolah, Maru langsung turun di depan gerbang SMA Galaska. "Sori ya. Gue nggak bisa ikut lo ke dalam. Gue ada janji sama pacar gue. Masalah kelas, lo nanti tanya aja sama Pak kebon," ucap Maru sambil menatap Magen.

Magen mengernyit. Sejak kapan Maru punya pacar? "Lo ... punya pacar?"

"Lo pikir gue nggak laku?" tanyanya balik.

"Ya nggak begitu. Ya udah lah, gue masuk dulu. Nanti pulang sekolah gue tunggu di parkiran. Kita pulang bareng, Dek."

"Iya."

Magen hanya menjawab dengan senyuman. Lalu dia menutup jendela mobilnya dan bergegas melajukannya. Saat Magen sudah tidak terlihat, Maru langsung duduk di bangku yang ada di samping gerbang sekolah. Banyak siswa-siswi yang berkeliaran di depannya. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang Maru kenal. Hari ini adalah hari Senin, pantas saja semua murid heboh sendiri. Pasalnya, sebelum upacara dimulai akan diadakan tertib dahulu. Bapak Ibu BK akan berkeliling untuk mengecek kelengkapan para muridnya. Tak segan-segan jika ada yang melanggar, hukumannya pasti akan selalu keras. Tergantung mereka maunya dapat hukuman apa.

Membersihkan seluruh toilet dalam jangka waktu 3 bulan.

Menggantikan tugas sekertaris sekolah selama 2 bulan.

Menyumbangkan 10 buku untuk dipajang di perpustakaan sekolah.

Membersihkan musholla selama 4 bulan.

Menyumbangkan 20 pack buku tulis.

Bayangkan saja, daftar lima hukuman itu diberikan kepada siswa-siswi yang tidak menaati peraturan. Semuanya dibebaskan untuk memilih yang mana saja. Sampai-sampai, guru BK menyiapkan buku khusus untuk mencatat muridnya yang melanggar peraturan. Beserta dengan hukumannya juga. Jika tidak segera dikerjakan, maka guru BK akan terus menagihnya. Ya, hampir mirip dengan terror istilahnya.

"Ini Mate kok nggak datang-datang, sih?" Maru berjalan ke kanan dan ke kiri. Kini dia sedang mondar mandir tidak jelas.

Setelah lima menit berlalu, Mate muncul bersama Meta naik motor. Melihat Maru sedang menunggu Mate, dengan sengaja Meta mempererat pelukannya. Dia memang hobi sekali membuat Maru cemburu. Apalagi pagi-pagi begini, pasti Meta lebih bersemangat untuk membuat Maru merasa panas.

"Sengaja tuh pasti," gerutu Maru saat melihat Meta mempererat pelukannya. Setelah Mate dan Meta berlalu, Maru segera menarik napas dalam-dalam. Setidaknya, perasaannya sudah tidak risau lagi. Sambil menunggu Mate datang menghampirinya, Maru duduk kembali.

Sementara Mate mendesis pelan. Setelah memarkirkan motornya, dia langsung turun dan berjalan meninggalkan Meta di parkiran. Saat Meta memeluknya dari belakang seperti tadi, rasanya dia risih. "MATE, TUNGGUIN META!!" teriak Meta di atas motor Mate.

Kebiasaan Mate untuk meninggalkan, membiarkan, dan mengacangi Meta memang sudah membuat Meta merasa jengkel. Tetapi kembali lagi kepada perasaan, ada berjuta bahkan lebih rasa cintanya kepada Mate. Mau semenjengkelkannya Mate, tetapi Meta tidak bisa marah. Bayangkan saja jika yang mebuat Meta jengkel adalah orang lain---selain Mate---pasti Meta sudah mengamuk habis-habisan.

"IH KOK DIKACANGI LAGI SIH?!" Meta berteriak lebih kencang. Namun, sikap Mate tidak berubah. Dia tetap diam dan berjalan untuk menghampiri Maru.

Meta berdecak pinggang. "Kenapa sih, Mate harus nembak Maru dulu? Kenapa nggak Meta aja yang ditembak? Kan Meta yang udah berjuang," lirihnya. "Meta nggak boleh nyerah. Suatu saat nanti, Mate bakal mutusin Maru demi Meta. Meta yakin itu. Ayo Meta, semangat!! Sebelum janur kuning melengkung, harga gorengan Mbak Muna nggak akan turun."

Di sisi lain, Mate mulai mendekat ke Maru yang sedang duduk anteng di samping gerbang. "Ayo, masuk," ajaknya sambil mengulurkan tangan kepada Maru.

Dengan senang, Maru membalas uluran tangan Mate dan berdiri. Dia menatap Mate dengan penuh senyuman.

Maru menoleh kepada Mate sambil melangkah menuju kelas. "Kok tumben, hari ini kamu berangkat siang?"

Rutinitas pacaran mereka memang aneh. Setiap berangkat sekolah langsung bertemu dan mengobrol panjang. Setelah itu, makan di kantin bersama. Dan selanjutnya..., terserah mau melakukan apa. Karena bagi mereka, urusan mereka hanya sampai jam istirahat berakhir. Selebihnya, sudah tidak ada urusan lagi.

"Tadi Meta pup dulu," jawab Mate seadanya. Memang kenyataannya begitu. Tadi sebelum berangkat sekolah, Meta mendadak kebelet pup. Akhirnya, Mate harus menunggu Meta selesai pup.

Maru hanya ber-oh-ria.

"Kamu kapan jemput aku sekolah, Matt?"

Mate mengedikkan kedua bahunya tanpa menoleh. Mate memang begitu, jika topik pembicaraannya tidak sepenting rumus Fisika, maka dia enggan untuk menoleh. Apalagi hanya sekedar menatap saja. Dia lebih memilih memperhatikan keadaan disekitarnya daripada harus memperhatikan satu orang.

"Kita udah satu setengah tahun lho, pacaran. Tapi kamu nggak pernah ngajak aku kencan. Boro-boro kencan, antar jemput aja nggak pernah," jujurnya.

"Ya terus?"

Ya terus nabrak, Mate!

"Kamu nggak ada niat gitu, buat antar jemput aku?"

"Aku bukan ojek," jawabnya datar.

Maru mendengus. Harus berapa kali dia menyadarkan Mate untuk lebih perhatian kepadanya? Selama satu setengah tahun ini, Maru tidak pernah diajak Mate kencan. Sekalipun tidak pernah. Membalas pesan dari Maru pun juga jarang, lama pula. Diantar pulang atau dijemput sekolah saja boro-boro. Padahal, Maru mengharapkan salah satu dari semua yang dia inginkan terwujud.

"Terus, ngapain kamu antar jemput Meta? Katanya bukan ojek."

"Disuruh Mama."

"Kalau aku yang nyuruh, mau nggak?"

"Nyuruh apa?"

Astaga Mate, peka sedikit dong!

"Nggak jadi," ujar Maru asal karena sudah bingung harus menjawab apa. Sementara Mate hanya mengangguk, "oh."

"Cuma oh doang?"

"Iya."

Sabarkanlah hati Maru, ya Tuhan. Ketika mereka berdua sudah sampai di kelas Mate----XI IPA 1----Maru berhenti sejenak. Dia berharap jika Mate akan mengucapkan sesuatu kepadanya.

"Aku masuk dulu," katanya pelan lantas masuk ke dalam tanpa mengucapkan kata lain untuk Maru. Sejenak Maru melongo.

Tak ingin berlama-lama, Maru segera beranjak pergi dari depan kelas Mate.

Keningnya berkerut saat dia melihat Megi dihukum hormat kepada bendera merah putih. Sendirian pula. Apalagi yang sudah Megi perbuat kali ini? Maru berhenti melangkah. Dia melihat Megi di lantai dua. Entah mengapa, Maru malah ingin tertawa melihat Megi dihukum seperti itu. Takut Megi memergokinya yang sedang memperhatikannya, Maru bergegas pergi menuju ke kelas.

Ternyata, Magis dan Morin sudah datang lebih awal. Mereka adalah sahabat Maru sejak masuk SMA. Maru pun langsung menghampiri mereka. "Kok pada nggak upacara, sih?" tanyanya sambil meletakkan tasnya di atas bangku. Telapak tangannya tak sengaja memagang meja miliknya, eh, tunggu..., kok licin?

"Meja gue kenapa bau gorengan, ya?" tanyanya lagi.

Kedua temannya malah tertawa. Bukannya menjawab tetapi malah meledeknya.

Magis memberikan beberapa tisu kepada Maru. "Nih, elap pakai tisu. Nanti gue ceritain sedetail-detailnya," setelah mengucapkan itu Magis melanjutkan kembali tawanya yang berhenti karena memberi Maru tisu.

"Btw, mantan lo makin ganteng aja, deh. Gue makin suka," celutuk Magis, sengaja.

Maru menatap Magis tajam. "Maksud lo?"

"Ya itu, selain ganteng, mantan lo juga baik."

Maru masih tidak mengerti kenapa Magis memuji mantannya, "itu mah menurut lo aja kaleee. Gue-nya enggak!"

"Yakin bilang enggak? Apa jangan-jangan, di mulut lo bilang enggak, eh di hati bilang iya. Gue nggak tahu ya isi hati lo," tambahnya lagi.

Maru mendesis kesal, berniat untuk melemparkan buku Matematika milik Morin kepada Magis. Namun, niat itu terurungkan. Dia memilih untuk bersabar daripada nanti Magis malah membalasnya. Apalagi jika sudah tentang Megi, pasti Magis tidak akan segan-segan untuk berteriak supaya seantero kelas mendengar apa yang ia katakan.

"Gue selalu yakin kok," jawab Maru singkat.

Namun, Magis masih tidak menyerah. Dia mulai berdiri dari tempat duduknya dan mendekati Maru. Rasanya kalau tidak dekat itu tidak baik. Nanti ada kesalahpahaman. Maka dari itu, Magis akan melontarkan pertanyaan sekali lagi untuk menguji seberapa besar ingatannya tentang mantannya itu.

Sedetik kemudian, Magis menggebrakkan meja yang berada di depannya.

"Eh, tapi kenapa ya? Mantan lo itu ganteng dan baik hati, tapi masih aja jomlo. Jangan-jangan dia---"

"Jangan-jangan apa? Nggak usah aneh-aneh lo, ya!" Belum selesai Magis berucap, Maru sudah lebih dulu menyahutnya.

Magis terkekeh dan menepuk bahu Maru pelan. Nanti kalau tidak pelan, dia pasti akan mengamuk padanya. "Nggak aneh-aneh kok gue. Mau dilanjutin nggak tadi?" tawarnya sambil mengedipkan mata.

"Terserah lo."

Jawaban yang diberikan tidak pasti. Jadi, Magis langsung merangkul Maru dan mulai berbisik. "Jangan-jangan dia punya niat buat balikan sama lo."

"Sok tahu deh!"

"I'm seriously, baby."

"Nggak mungkin, Gis. Gue sama dia udah lama putus. Nggak mungkin dia masih punya rasa sama gue. Ngaco lo ah!"

"Tap---"

"Kalian nggak nyalin tugas Ekonomi?" potong Morin yang sejak tadi hanya diam tanpa ikut menimbrung. "Oh iyaaa, gue lupa. Untung lo ingetin, Mor," ucap Magis gembira. Sontak saja dia meloncati bangku Maru. Dengan cepat dia mulai menyalin jawaban Morin. Temannya yang satu ini memang sangat baik. Suka mengingatkan disaat dia dan Maru belum mengerjakan tugas. Ralat, bukan mengerjakan tetapi menyalin.

"Gue nanti aja deh. Lagi males," balas Maru tidak bersemangat.

Morin duduk di atas meja. "Mau gue ceritain nggak, kenapa kita nggak upacara dan kenapa Megi dihukum?"

Tidak ada pilihan lain, jika yang bercerita Magis pasti lama selesainya. Akhirnya Maru pun mengangguk. "Boleh, deh."

"Eciyee masih kepo nih sama mantan?" sahut Magis. Seketika Maru langsung menoyor jidatnya. "Aw, sakiittt, buseet!" keluh Magis dengan meringis memunculkan deretan giginya yang putih.

"Makanya, punya mulut dijaga," omel Maru kemudian.

Setelah puas menikmati pemandangan adu mulut antara Maru dan Magis, Morin pun menarik napasnya dalam-dalam lalu mengembuskannya pelan. Dia memang tidak suka basa-basi, maka dari itu jika Magis dan Maru beradu mulut dia akan memilih untuk diam. Kalau mereka bukan sahabatnya, pasti sudah di lempari sepatu satu-satu. Ketahuilah, Morin itu tidak suka dengan keributan. Jika ada yang berisik dia akan mengeluh.

"Jadi cerita, nggak? Kalau nggak, biar gue aja yang cerita," tawar Magis yang masih sibuk menyalin jawaban. Kalau masalah bercerita, dia tidak akan bisa diam saja.

Morin mengangguk. "Iya. Jadi begini, hari ini Megi berangkat pagi---"

"Sengaja tuh," sahut Magis.

"MAGIS!!" teriak keduanya bersamaan. "Iya," balasnya tanpa rasa bersalah. Magis memang suka memotong ucapan orang. "Dia ngambil semua gorengan Mbak Muna, terus ditaruh di seluruh meja kelas 11. Khususnya anak IPS. Makanya, dia dihukum. Dan guru-guru tadi ada rapat dadakan, jadi ya gitu. Upacara ditiadakan," jelas Morin tenang.

"Berarti, bau gorengan tadi...," ucap Maru menggantung. "Iya, gara-gara Megi tuh. Mantan kesayangan lo," celutuk Magis.

"MAGIS!!"

"i-iyaaa gue diam nih."

_______

Terpopuler

Comments

Fatmawati

Fatmawati

tor cerita y bagus cuman bingung baca y M semua nama y

2020-12-20

0

Ayannawidara

Ayannawidara

namanya hurf M semua.. judul novel ny.. kompleks M gtt.. 🤭😣

2020-09-14

0

lihat semua
Episodes
1 PROLOG
2 BAB 1 :: LEMBAR TERBARU
3 BAB 2 :: PANCING EMOSI
4 BAB 3 :: HUKUM TERPANGGIL
5 BAB 4 :: MELIRIK KENANGAN
6 BAB 5 :: KEMBALI BERTEMU
7 BAB 6 :: RINDU TERUSIK
8 BAB 7 :: BISIK CURIGA
9 BAB 8 :: DEKAT TAKDIR
10 BAB 9 :: TITIK PUSAT
11 BAB 10 :: BERHARAP KHAYAL
12 BAB 11 :: KENANGAN TERJEBAK
13 BAB 12 :: PESONA LAMPAU
14 BAB 13 :: FAKTA HITAM PUTIH
15 BAB 14 :: DERU MENGGEBU
16 BAB 15 :: SEKILAS AKAL
17 BAB 16 :: MANTAN BERTEMAN
18 BAB 17 :: MULUT PENGANCAM
19 BAB 18 :: GEJOLAK RASA
20 BAB 19 :: ALIR ALUR TAKDIR
21 BAB 20 :: ORIGAMI HATI
22 BAB 21 :: MENGIKIS LUKA
23 BAB 22 :: LUBANG DIRI
24 BAB 23 :: PENGHIBUR PILU
25 BAB 24 :: ULAH PERANTARA
26 BAB 25 :: TARIK NAFSU
27 BAB 26 :: TEMU KEPING
28 BAB 27 :: TIANG REDUP
29 BAB 28 :: PELUK PENUTUP
30 BAB 29 :: KISAH BERSERI
31 BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 1
32 BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 2
33 BAB 31 :: SEJALUR MUNAFIK
34 BAB 32 :: TIKUNGAN ARAH
35 BAB 33 :: SAYAP TERKEPAK
36 BAB 34 :: PANGKAS HAMPA
37 BAB 35 :: SAKSI TIRANI
38 BAB 36 :: GEMURUH BERDURI
39 BAB 37 :: TELUK BERINGKUK
40 BAB 38 :: BAYANG PETAKA
41 BAB 39 :: TIRAI LAYANG
42 BAB 40 :: SILANG BALIK
43 BAB 41 :: SERPIHAN BATU
44 BAB 42 :: ULASAN FIKSI
45 BAB 43 :: BINGKAI UKIR
46 BAB 44 :: PELUANG LARA
47 BAB 45 :: TUKAR RAGA
48 BAB 46 :: JIWA BERHARGA
49 BAB 47 :: RAHASIA KEPOMPONG
50 BAB 48 :: RELUNG SUARA
51 BAB 49 :: KUNCI AKSARA
52 EPILOG
Episodes

Updated 52 Episodes

1
PROLOG
2
BAB 1 :: LEMBAR TERBARU
3
BAB 2 :: PANCING EMOSI
4
BAB 3 :: HUKUM TERPANGGIL
5
BAB 4 :: MELIRIK KENANGAN
6
BAB 5 :: KEMBALI BERTEMU
7
BAB 6 :: RINDU TERUSIK
8
BAB 7 :: BISIK CURIGA
9
BAB 8 :: DEKAT TAKDIR
10
BAB 9 :: TITIK PUSAT
11
BAB 10 :: BERHARAP KHAYAL
12
BAB 11 :: KENANGAN TERJEBAK
13
BAB 12 :: PESONA LAMPAU
14
BAB 13 :: FAKTA HITAM PUTIH
15
BAB 14 :: DERU MENGGEBU
16
BAB 15 :: SEKILAS AKAL
17
BAB 16 :: MANTAN BERTEMAN
18
BAB 17 :: MULUT PENGANCAM
19
BAB 18 :: GEJOLAK RASA
20
BAB 19 :: ALIR ALUR TAKDIR
21
BAB 20 :: ORIGAMI HATI
22
BAB 21 :: MENGIKIS LUKA
23
BAB 22 :: LUBANG DIRI
24
BAB 23 :: PENGHIBUR PILU
25
BAB 24 :: ULAH PERANTARA
26
BAB 25 :: TARIK NAFSU
27
BAB 26 :: TEMU KEPING
28
BAB 27 :: TIANG REDUP
29
BAB 28 :: PELUK PENUTUP
30
BAB 29 :: KISAH BERSERI
31
BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 1
32
BAB 30 :: TIPUAN TRAUMA 2
33
BAB 31 :: SEJALUR MUNAFIK
34
BAB 32 :: TIKUNGAN ARAH
35
BAB 33 :: SAYAP TERKEPAK
36
BAB 34 :: PANGKAS HAMPA
37
BAB 35 :: SAKSI TIRANI
38
BAB 36 :: GEMURUH BERDURI
39
BAB 37 :: TELUK BERINGKUK
40
BAB 38 :: BAYANG PETAKA
41
BAB 39 :: TIRAI LAYANG
42
BAB 40 :: SILANG BALIK
43
BAB 41 :: SERPIHAN BATU
44
BAB 42 :: ULASAN FIKSI
45
BAB 43 :: BINGKAI UKIR
46
BAB 44 :: PELUANG LARA
47
BAB 45 :: TUKAR RAGA
48
BAB 46 :: JIWA BERHARGA
49
BAB 47 :: RAHASIA KEPOMPONG
50
BAB 48 :: RELUNG SUARA
51
BAB 49 :: KUNCI AKSARA
52
EPILOG

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!