(Not) Beautiful Marriage
Nikah muda, mendadak, dan tidak adanya pesta pernikahan.
Arin membenci gagasan itu. Karena itulah yang ia alami sekarang. Arin tidak pernah bermimpi akan menikah dengan pesta pernikahan yang mewah dan meriah. Tapi ia juga tidak pernah bermimpi menikah muda dan mendadak seperti ini. Karena mendadak sudah pasti tidak resepsi yang digelar.
Satu minggu yang lalu ia dikabari akan segera menikah dan tentu saja itu pilihan orang tuanya, siapa lagi. Ia masih tidak habis pikir kenapa mendadak seperti itu. Tapi saat ia bertanya, orang tuanya mengatakan kalau itu semua tidak mendadak, hanya saja memang mereka tidak merencanakan adanya resepsi besar dan hanya keluarga besar yang akan hadir. Arin tidak puas akan jawaban orang tuanya. Menurutnya jika memang tidak mendadak mengapa ia tidak diberi tahu jauh sebelumnya. Surprise, kata orang tuanya.
Arin berdecak kesal. Hari ini adalah hari itu. Hari dimana ia akan dipersunting sesosok makhluk asing. Begitu Arin menyebutnya. Arin kesal. Sangat kesal. Saking kesalnya sejak saat ia diberi tahu akan menikah, ia sama sekali tidak menanyakan apa pun mengenai calon suaminya. Jadi ia tidak tahu sama sekali model, bentuk, dan rupa calon suaminya.
Tanpa sadar Arin meneteskan air matanya tepat saat pintu kamarnya terbuka. Ibunya masuk dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.
"Loh kok nangis sih, hm?" Dewi, Ibu Arim, duduk di samping Arin.
"Ibuu.." Arin merengek manja seraya memeluk sang ibu.
Dewi melepaskan pelukan mereka. Dihapusnya air mata Arin dengan perlahan pelan. "Jangan nangis, ih! Tambah jelek kamu kalau menangis." Arin memberengut tak suka mendengarnya. "Manjamu itu harusnya dikurangi! Sudah mau jadi istri orang kok masih manja."
"Bu, makhluk itu tampangnya bagaimana?" Dewi mendelik padanya. "Jangan-jangan jelek lagi. Iyakan jelek?"
Dewi tersenyum menggoda. "Dia ganteng kok. Sebelas dua belas lah sama ayahmu." Ibu terkikik mengenyesaikan ucapannya.
Arin mencibir. Ia sangat tahu kalau ibunya itu memang sangat mencintai ayahnya apa pun dan bagaimana pun keadaan sanga ayah. "Arin dijodohin ya?"
Dewi menatapnya heran. "Nggak kok. Siapa yang bilang?"
Arin menggeleng, wajahnya kembali muram.
"Dia sendiri yang datang kesini. Minta kamu buat jadi istrinya. Kalau dilihat dari tampangnya dia baik kok."
"Arin kenal?"
"Dia bilang kenal kamu." Dewi kembali mengelap wajah Arin pelan menggunakan tisu untuk menghilangkan bekas air mata Arin. "Ibu kok kangen nabok kamu ya?"
"Dih.."
"Hahaha... sudah, ibu tinggal ya? Di luar ada Risda dia ingin menemani kamu di sini tapi dia ingin lihat langsung akad nikahnya. Jadi kamu di sini sendirian ya sayang?" Sebelum keluar ibu sempat mencium kening Arin sayang.
Arin menatap pintu yang sudah tertutup. Ia diam berusaha mencerna ucapan sang ibu. Penjelasan ibunya dirasa kurang memuaskan. Masih banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan. Beberapa saat ia melamun sampai tidak mendengar suara akad nikah di ruang tamu rumahnya yang memakai pengeras suara. Ia bahkan tidak mendengar saat pintu kamarnya dibuka dan ada yang memasuki kamarnya.
"Kok melamun sih, pengantin?"
Arin mendongak, ada Risda dihadapannya. Risda ini sahabatnya yang baru, mereka bertemu sejak awal masuk perkuliahan. Kenapa yang baru? Karena yang ia anggap sahabat sejak SMA sudah melupakannya. Sudahlah jangan bahas itu. Arin tidak suka. Itu pengalaman pahit baginya.
"Akadnya udah selesai. Ayo keluar!" Risda menuntun
Arin agar segera berdiri sambil merapikan riasan Arin yang sedikit berantakan karena air mata. "Suami lo ganteng banget," pekiknya girang seraya mengedipkann mata menggoda Arin.
Arin memutar bola matanya malas. Kebiasaan dari Risda, selalu memekik jika melihat cowok yang bening sedikit. Arin menurut saat Risda menuntunnya keluar membawanya ke tempat akad nikah dilangsungkan. Ia diam saja seakan tidak bersemangat. Hei memang ia tidak bersemangat sedikit pun kan. Lagi pula siapa yang akan bersemangat dinikahi pria yang tidak kenalnya dan tidak ia ketahui sama sekali.
Sampai diruang tamu langkahnya terhenti. Dan waktu pun terasa ikut berhenti. Pandangannya lurus kedepan.
Matanya membulat, sedetik kemudian ia bisa merasakan tubuhnya yang seperti membeku, lalu bergetar samar. Lidahnya bahkan terasa kelu. Dan
jantungnya berdetak kencang seakan meronta ingin dilepaskan.
Di sana, berdiri sosok yang yang pernah membuatnya merasa bahagia dan sakit hati, pria yang pernah membuat hari-harinya terasa menyenangkan. Namun beberapa minggu yang lalu, untuk pertama kalinya ia
merasakan yang namanya sakit hati karena penghianatan. Disana Ryan -mantan pacarnya-- berdiri dengan senyum mengembang seakan tak sabar menunggu sang pengantin.
Arin menggelengkan kepalanya pelan. Mungkin saja ia salah lihat karena terlalu memikirkan Ryan akhir-akhir ini. Tapi sosok Ryan yang dilihatnya tidak juga pudar.
Arin tidak tahu, haruskah ia bahagia karena ia tidak akan kehilangan Ryan? Karena pada kenyataannya yang ada dihadapannya saat ini adalah Ryan, yang menjadi suaminya. Tapi entah mengapa ia merasa ada yang sakit di hatinya. Tidak mungkin jika itu karena Ryan pernah menyakitinya dengan selingkuh dibelakangnya karena ia merasa sudah memaafkan Ryan dan menganggap itu angin lalu. Jika seperti itu, apa yang menyebabkan hatinya sakit?
Langkah Arin bergetar dengan sangat kentara saat Risda menuntunnya kembali untuk lebih dekat dengan Ryan. Butuh waktu lama untuk membuat mereka berhadapan karena lambatnya jalan Arin, bahkan mungkin jika dibandingkan dengan siput, Arin kalah cepat. Kesal karena Arin jalan terlalu lama, Risda melepaskan Arin begitu saja. Sehingga Arin berhenti tepat dihadapan Ryan. Sorot mata Arin tak terbaca. Sedang sorot mata Ryan memancarnya kebahagiaan yang nyata. Sungguh ekspresi yang bertolak belakang.
"Aku suamimu, bukan Ryan."
"Eh..?" Bisikan itu membuat Arin seketika menoleh
pada pria yang berdiri disampingnya. Terlihat bahwa pria itu lebih tinggi beberapa senti dari Ryan, dan … lebih tampan.
Ryan yang juga mendengar bisikan itu terkekeh dan membuat Arin kembali menatapnya bingung.
Apa maksudnya ini? Batin Arin berteriak. Ia terkejut.
Lebih terkejut dari sebelumnya. Ia linglung sampai membuatnya mundur beberapa langkah kecil bahkan nyaris jatuh tapi ditarik mendekat oleh pria yang mengaku suaminya itu. Arin bergidik ngeri dalam hati melihat tatapan tajam milik pria itu.
Jadi bukan Ryan yang menjadi suaminya? Tapi pria dengan tatapan tajam yang kini merangkulnya itu? Oh astaga…
Tiba-tiba rasa sakit yang dirasakannya tadi mendadak hilang dan digantikan dengan rasa lega. Loh kok lega? Batin Arin memprotes. Ada yang
salah mungkin ini dihatinya.
***
Arin menjaga tubuhnya dengan baik dari jamahan laki-laki, termasuk Ryan. Meski sudah menjadi sepasang kekasih, tidak sekali pun Ryan menyentuh Arin. Bahkan hanya sekedar berpegangan tangan. Ryan seakan mengajaganya dengan tidak menyentuh gadis itu. Dibalik rasa penasarannya terhadap Ryan yang hanya memegang tangannya saja tidak, Arin merasa bersyukur karena ia tidak perlu repot-repot menolak halus jika Ryan akan menyentuhnya.
Setelah insiden hampir jatuh dan berakhir dengan sebuah rangkulan dipinggang, membuat Arin risih dan terlihat tidak nyaman. Itu wajar bukan mengingat kedekatan tubuh seperti itu dengan lawan jenis adalah kali pertama. Mungkin tidak untuk pria itu, tapi iya bagi Arin.
Arin merasakan kecanggungan yang luar biasa. Setelah bertukar cincin dan mendatangani beberapa berkas, rasanya ingin sekali Arin membawa pergi dirinya jauh-jauh dari sana. Tapi itu tidak mungkin disaat ibunya selalu melotot padanya tak kala ia tertangkap basah telah menjauhkan tubuhnya beberapa langkah dari suaminya. Hal itu membuatnya mau tak mau kembali ke sisi suaminya
dan tersenyum bahagia—yang malah terlihat aneh— layaknya pasangan yang menikah karena cinta.
Setelah pengurusan berkas selesai, dilanjutkan dengan sesi foto. Perlahan Arin percaya jika pernikahannya memang tidak diadakan mendadak, karena pakaian yang dipakai keluarganya semua nyaris sama, warna sama dan hanya modelnya yang berbeda.
Beberapa pose yang mereka lakukan membuat tubuh Arin menegang. Ia tidak menyukai posisi mereka yang terlihat intim, karena hal itu dapat merusak kinerja jantungnya. Arin sampai mengumpati jantungnya yang terus berdetak kencang.
Setelah sesi berfoto usai akhirnya pasangan suami istri itu diperbolehkan berganti pakaian dan beristirahat dikamar Arin yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Arin bukan berasal dari keluarga kaya tapi termasuk mampu, rumahnya tidak terlalu besar maka dari itu kamar Arin pun tidak besar tapi cukup jika dihuni oleh dua orang.
Saat beberapa langkah lagi sampai didepan kamarnya, Arin berjalan cepat memasuki kamarnya lebih dulu dan mengunci pintunya. Satu hal yang sempat Arin syukuri sekarang ini adalah dandanannya tak seperti pengantin kebanyakan yang menggunakan berbagai macam aksesoris dikepala. Karenanya ia tidak perlu siapapun untuk membantunya.
Beberapa menit kemudian Arin keluar dari kamar. Sedikit terkejut karena laki-laki yang telah mengambil alih tanggung jawab ayahnya itu berdiri bersandar disamping pintu. Arin melirik kesekitaran luar kamarnya, kembali ia bersyukur karena sepertinya tidak ada yang melihat bahwa ia telah membuat laki-laki itu menunggu diluar kamar. Arin melenggang ke arah dapur tanpa mempersilahkan laki-laki itu masuk ke kamarnya guna mengganti pakaian atau untuk istirahat.
“Ah, masa bodoh dengan makhluk itu. Muka kok nggak ada ekspresi-ekspresinya. Datar dan dingin kayak tembok. Walau ganteng tapi kalau nggak dipakai buat senyum ya buat apa?” gerutunya sepanjang jalan ke kamar mandi.
Menjelang sore rumah Arin sudah tak seramai saat pagi karena tidak ada resepsi, hanya acara makan-makan siang tadi seusai akad nikah dilaksanakan. Banyak keluarga Arin yang sudah pulang. Namun ada beberapa keluarga inti
seperti tante dan para sepupu Arin yang tinggal. Beberapa teman sekolah yang dimintanya untuk datang juga sudah pulang, termasuk risda sendiri.
Arin bertanya-tanya, mana keluarga laki-laki itu? Karena sepanjang ia mengamati orang-orang yang berada disekitar rumahnya, ia tak merasa melihat
orang-orang asing disana kecuali laki-laki itu.
"Ck, itu makhluk nggak punya keluarga apa ya? Kok nggak ada yang kelihatan." Gerutunya,
saat ini ia tengah duduk dibawah pohon mangga bersama para sepupu kecilnya dan beberapa anak tetangga.
Matanya kembali menjelajah dan mendapati Ryan sedang berjalan ke samping rumahnya. Ah, Arin lupa akan kehadiran laki-laki itu yang juga mengusik rasa penasarannya. Arin bangkit dan mengejar Ryan dengan setengah berlari.
"Kak Iyan!" Arin berteriak memanggil Ryan.
Ryan berhenti, 'kak Iyan' itu adalah panggilan sayang Arin untuknya. Hanya Arin yang memanggilnya dengan sebutan Iyan. Ryan tak dapat menahan senyumnya, ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Arin berada lima langkah didepannya. Ia memberi isyarat pada Arin agar mendekat dengan tangannya.
Namun baru dua langkah Arin berhenti. Ia menggerutu pelan melihat laki-laki berwajah tembok sedang duduk santai digazebo tak jauh dari
tempat mereka berdiri. Tatapannya tajamnya tak lepas dari mereka berdua.
Arin hanya menampilkan cengiran khasnya lalu berlari meninggalkan Ryan tanpa berucap apa-apa.
Ryan mengernyit bingung. Tak ingin ambil pusing ia meneruskan langkahnya yang terhenti karena Arin. Berjalan menuju gazebo, menghampiri seorang pria yang memang sedang menunggunya.
Dilain sisi, tampak Arin tengah memperhatikan dua pria dewasa itu dari jauh. Meski begitu ia masih bisa melihat raut wajah keduanya. Wajah mereka berdua menampilkan berbagai macam ekspresi. Sesekali salah satunya terlihat kesal tapi sikap ramah dan bersahabat lebih mendominasi. Mereka terlihat begitu akrab dengan tawa yang kadang keluar dari bibir mereka.
"Satunya mantan pacar, satunya lagi suami. Hei harusnya kedekatan mereka itu bukan hal baik. Nggak seharusnya mereka dengan santai haha
hihi sama-sama." Gerutu Arin tak terima dengan kedekatan mereka. "Apa si makhluk nggak tahu ya kalau Ryan itu mantan gue?"
"Oh bundaaa.." Arin sampai menarik-narik rambutnya
kesal. "Ada hubungan apa mereka sebanarnya?" Arin frustasi memikirkan hubungan yang terjalin diantara mantan pacarnya dan suaminya.
Karena malas menduga-duga yang bisa membuatnya semakin kesal, Arin memilih bertanya pada Ibunya. Mencari tahu tentang suami walau hanya sekedar nama. Nama? Astaga ia bahkan baru sadar kalau ia belum mengetahui nama pria itu.
Arin menghampiri ibunya yang sedang mengelap piring dan sendok. "Bu, itu si makhluk namanya siapa sih?"
"Makhluk?" Dewi menatap Arin bingung. "Siapa yang kamu maksud?"
"Itu yang tadi ngucapin ijab kabul," jawabnya santai sambil ikut mengelap piring.
Takk…
Bukannya mendapat jawaban, Arin malah mendapat pukulan dikening menggunakan sendok makan yang dipegang ibunya untuk dikeringkan. Arin mengusap keningnya sambil mengerucutkan bibir.
"Nggak sopan banget kamu jadi istri. Masa suami sendiri dibilangkan makhluk."
"Makanya namanya siapa?" Tanya Arin sekali lagi
dengan kesal.
"Ya Allah.. masa nama suami sendiri nggak tau." Dewi
hanya bisa mengelus dadanya prihatin.
"Dih, kok nyalahin Arin sih. Arin, kan nggak kenal. Terus ibu juga ngga ngasih info apa-apa tentang dia." Balasnya tak terima disalahkan.
"Kan kamu bisa lihat dibuku nikahmu tadi saat tanda
tangani berkas-berkas."
Arin diam. Ia tidak berpikir bisa mengetahui hal paling mendasar bagi seseorang yang baru kenal dari buku tipis itu. Nama. Kenapa ia tidak kepikiran.
"Namanya Kenzi."
"Kenzi? Kok terdengar kayak nama perempuan."
Dewi hendak memukul kening Arin lagi tapi tidak berhasil karena dengan cepat Arin menghindar.
"Kelurganya mana? Arin ngga ngeliat ada orang asing
tadi."
"Keluarganya nggak ada yang datang, hanya a.."
"Ih ibu kok mau sih nikahin aku sama dia. Dia kesini
nggak ada keluarganya. Kalau dia bohong gimana? Kalau dia ada niat jahat sama Arin terus Arin dijual gimana? Ih Ibu gimana sih. Kalau di—ih Ibu sakit."
Arin menatap Ibunya kesal karena kembali ia dipukul pakai sendok dan ia tidak sempat menghindar.
"Kalau bicara itu jangan asal. Ayahmu itu sudah
kenal baik sama mereka. Kenzi juga beberapa kali sudah pernah kesini," jelas Dewi.
Arin menaikkan sebelah alisnya seperti kurang yakin. Ia masih bertanya-tanya akan keberadaan Ryan. Ia tadi sempat melihat interaksi Ryan dengan beberapa keluarganya yang seperti sudah sering bertemu.
"Kalau laki-laki yang satunya itu siapa, Bu?" Arin berpura-pura tidak mengenal Ryan.
Ibunya terlihat berpikir lalu sedetik kemudian tersenyum, mengerti siapa yang dimaksud ankanya. "Oh, Ryan. Ryan itu ya adiknya Kenzi yang..."
"WHAT?" Arin tak mampu menutupi keterkejutannya. Sejauh yang ada diotaknya tak sekalipun ia berpikir bahwa mereka itu adik kakak.
Ryan adiknya Kenzi.
Itu berarti.....
Tidaaaaakkkkk.....
***
kalo suka cerita ini jangan lupa like dan masukin favorit ya 😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sehat
2023-03-07
0
Fitriyani Puji
ini novel 2th lalu y kenapa aku baru tau hhhhhhhh
2022-11-27
0
Fitriyani Puji
thor kaya nya critanya menarik aku baru ngintip dikit hhhhh ,karna ngak tahan rasa penasaran 😍😍😍😍😍
2022-11-27
0