2

Selepas magrib Arin lebih memilih tinggal di dalam kamarnya. Saat dipanggil untuk makan malam ia menolak dengan alasan tidak lapar. Padahal ia hanya malas melihat dua manusia yang sejak tadi terus mengganggu pikirannya.

Dari pada pusing, Arin memilih untuk tidur. Batin dan fisiknya terasa lelah. Ia berencana akan bangun sampai besok siang. Namun baru beberapa menit, seseorang mengetuk-ketuk pintu kamarnya.

"Nggak dikunci," teriaknya parau. Beberapa detik, ia merasa tenang karena ketukan itu lagi mengganggunya, tapi tak lama kembali terdengar.

Dengan sedikit kesal Arin bangun. "Dibilangin nggak dikunci, nggak dikun... -ceklek- ...ci." Wajahnya berubah datar, merasa malu sendiri.

Arin berbalik saat melihat Kenzi yang berada di balik pintu. Ia sudah yakin kalau pria itu pasti akan tidur dikamarnya.

"Ryan akan pulang."

Ucapan Kenzi membuat Arin yang akan naik lagi ke tempat tidur seketika menoleh. "Ryan?"

"Iya."

"Pulang aja, ngapain kasih tau aku?"

"Adikku ingin berpamitan dengan kakak iparnya." Arin menatap wajah Kenzi yang datar datar saja.

Arin menghela nafasnya pelan. Kenapa ngga bilang 'adikku ingin berpamitan dengan mantan pacar yang telah di..' huft astagfirullah.

Arin mengikuti Kenzi di belakangnya. Ia memperagakan cara jalan Kenzi serta lebar langkah pria itu. Saat Kenzi berhenti ia tak sadar membuatnya menubruk punggung tegap suaminya.

Arin mengelus dahinya, kepalanya mendongak melihat Kenzi yang memberikan kode dengan gerakan kepala. Arin segera memiringkan kepalanya agar bisa melihat Ryan yang tengah tersenyum saat melihatnya. Arin membalas dengan cengiran jenaka. Entah mengapa ia tak merasa benci, kesal, atau marah pada Ryan.

"Hay Adik Ipar!" sapa Arin dengan senyuman yang dibuat buat sampai matanya terlihat sipit. Dalam hati ia merasa senang jika bisa bersikap seperti biasa lagi kepada Ryan.

"Hay juga mantan pacar!" balas Ryan santai.

Mata Arin membulat, ia segera melihat wajah Kenzi yang mungkin saja menampilkan ekspresi berbeda sejak terakhir kali dilihatnya. Tapi ternyata tetap sama.

Arin melangkah mendekati Ryan tapi baru satu langkah bajunya sudah ditarik oleh Kenzi.

"Mau kemana?"

"Mau meluk Kak Iyan sebagai salam perpisahan," jawab Arin sambil kembali melangkah maju.

"Tidak ada." Kenzi menatap tajam Arin sambil menarik Arin mundur. Lalu beralih pada Ryan yang terkekeh. "Pulang sana! Sudah malam. Hati-hati di jalan." Ia merangkul Arin dan membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Ke dalam kamar lebih tepatnya. Meninggalkan Ryan yang masih terkekeh melihat pasangan pengantin baru itu.

"Selamat menempuh hidup baru, Arin, kak Ken," ucapnya sambil berlalu dari sana.

***

Di dalam kamar, Kenzi langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dan menutup mata. Rasanya ingin Arin menimpuk wajah Kenzi dengan bantal. Tapi ia jadi tidak tega saat melihat gurat lelah di wajah datar Kenzi.

Arin berusaha tidak peduli. Ditanamkan keyakinan pada hatinya kalau Kenzi tidak akan menyentuh tubuhnya. Setidaknya untuk malam ini. Ia ikut berbaring di sisi kanan Kenzi dengan menyisakan jarak sekitar satu jengkal. Saat akan menutup mata, ia teringat ucapan Ryan yang seperti menggodanya.

Seulas senyum menghias wajanya. "Aihh mantan pacar," gumam Arin gemas.

Tiba-tiba hawa di sekitarnya terasa panas. Lalu terdengar desisan Kenzi yang menyuruhnya tidur.

Seolah tersihir oleh ucapan Kenzi, Arin langsung tertidur nyenyak. Antara sadar dan tidak, ia merasa ada yang mengelus kepalanya lalu dilanjutkan dengan kecupan di kepalanya. Mungkin itu adalah awal dari mimpi indahnya.

....

Arin membuka matanya tepat saat pintu kamarnya tertutup. Arin sudah terbangun dari beberapa menit lalu karena ponsel Kenzi yang berbunyi, hanya saja ia pura-pura tertidur saat mengetahui Kenzi juga terbangun. Dan sekarang Kenzi keluar untuk menerima telpon itu.

Siapa yang menelpon pria itu tengah malam begini? Dan lagi pula kenapa hanya untuk mengangkat telpon saja harus keluar? Kecurigaan Arin menjadi. Arin yakin ada yang disembunyikan Kenzi baik darinya maupun dari keluarganya. Dan mungkin seseorang yang menelpon itu adalah kekasih dari suaminya.

"Ck, dasar makhluk." Arin merentangkan tangannya. Diubahnya posisi tubuh menjadi tengkurap dan bergeser ke tengah ranjang bermaksud tidak membiarkan Kenzi kembali tidur di ranjangnya.

Tiba-tiba ada yang hinggap di tangan kanannya dan tak lama ia merasa seperti ditusuk jarum. Ia menjerit kesakitan sambil mengibaskan tangan. Ia tidak sadar kalau jeritannya sangat keras sampai membuat semua orang terbangun.

"Ibuuuu... sakit.."

Arin terus merengek dan menangis. Ia menekan-nekan sekitaran tangannya yang disengat lebah, berharap sakitnya meredah.

Untuk usia dua puluh tahun, sikapnya itu sangatlah kekanak-kanakan tapi inilah Arin. Jika sedang ada di rumah orang tuanya. Manja.

Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Arin. Kenzi masuk dengan wajah panik tapi Arin tidak menyadari itu.

"Dari mana aja sih?" Tanya Arin sengit. Jika saja Kenzi tidak keluar dan tetap berada diranjang sudah pasti bukan dia yang akan tersengat. "Gara-gara kamu nih,"

Kenzi mendekati Arin. "Tangan kamu kenapa?"

Arin menunjuk lebah yang sudah mati karena ia bunuh. Padahal tak dibunuh pun lebah itu akan mati.

Kenzi menarik tangan kanan Arin pelan. Ia menyalakan aplikasi senter diponselnya dan menyorotkannya pada tangan Arin. Ada titik hitam disana, ditangan Arin yang terdapat lebam dan mulai membengkak.

"Tunggu sebentar!" Kenzi berdiri dan melepaskan tangan Arin. "Jangan ditekan terus nanti racunnya makin nyebar!" Lanjutnya ketika melihat Arin akan menekan lagi tangannya. Lalu keluar kamar.

Tak beberapa lama, Kenzi kembali masuk dengan mangkuk kecil ditangannya berisi es batu. Pria itu kembali menarik tangan Arin dan menyalahkan aplikasi senter. Lalu menyuruh Arin memegang ponselnya dan menyorotnya ditempat yang ia tunjuk.

Kenzi mencoba mencabut sengatan menggunakan pinset. Arin akan merengek lagi tapi Kenzi menegurnya. Setelah tercabut ia menyiram tangan Arin dengan air yang memang sudah ada dikamar itu. Lalu ia meletakkan es batu yang dibawanya tadi diatas handuk kecil dan menempelkannya pada tangan Arin yang bengkak.

"Pegang sebentar!" Ucapnya lalu keluar lagi.

Saat Kenzi masuk, Arin sudah tertidur dengan posisi yang sama saat ia tinggal. Pria itu menatap wajah polos Arin yang sedikit berantakan karena bekas keringat.

"Bangun sayang!" Bisik Kenzi pelan ditelinganya. Dan lagi-lagi seperti mantra sihir, Arin langsung membuka matanya. "Minum ini dulu!" Kenzi menyerahkan sebutir obat padanya.

Pandangan Arin menelisik. "Apa nih? Racun, ya?"

Kenzi menganguk. "Iya. Cepat minum!"

Mata Arin membulat. "Kalau mau bunuh aku jangan terus terang dong!"

"Apa kamu berpikir aku sebodoh itu?"

"Mungkin," gumam Arin sembari meletakkan obat itu kedalam mulutnya lalu meminum air yang juga pemberian Kenzi. "Dari mana kamu tadi?"

"Ambilin kamu obat," Ken berdiri dan menyimpan gelas diatas meja kecil tak jauh dari tempat tidur.

Arin berdecak. "Sebelum aku teriak."

"Kata Faris lebaymu dikurangi."

"Issh.. kak Aris tuh yang lebay, ngatain orang lebay. Ada cicak disampingnya aja udah teriak-teriak."

"Itu kamu." Jawab Ken sambil memposisikan dirinya untuk kembali tidur.

Arin mendelik. "Ih sapa bilang." Protesnya tapi Ken hanya bergumam kecil. "Eh jawab dulu pertanyaanku tadi." Arin menggoyang-goyangkan tubuh Kenzi.

Ken kembali membuka matanya. "Dari depan, Ryan telpon."

"Dih seriusan? Ngga percaya. Pasti cewek lo 'kan? Ngaku deh." Arin menatap Ken garang.

"Kamu cemburu?"

"Ha ha ha," Arin tertawa hambar. "Lucu."

Ken mengambil ponselnya, membuka aplikasi whatsapp lalu mengarahkan layarnya pada Arin. Disana memang nama Ryan terpampang paling atas.

Arin mengerucutkan bibirnya. Dirampasnya ponsel Kenzi, menyentuh layarnya cepat lalu menempelkan pada telinganya.

Kening Kenzi berkerut. "Mau ngapain?"

"Masti'in," jawabnya sambil fokus mendengar suara sebrang sana. Cukup lama Arin menunggu hingga deringan terakhir tak kunjung diangkat. Arin tak menyerah ia melakukannya kembali. Kali ini panggilannya diangkat pada deringan keempat.

"Apaan lagi sih, kak? Ngantuk nih." Jawab suara serak disebrang sana.

Arin sudah hapal dengan suara itu. "Kak Iyan, tidur?" Tanyanya tak enak hati.

"Eh, Arin?"

"Iya. Kak Iyan sudah tidur ya? Maaf ya ganggu."

"Iya, ngga papa. Ada apa emang?"

"Dia nggak percaya kalo yang nelpon tadi itu kamu." Kenzi ikut menimpali karena sedikitnya ia bisa mendengar suara Ryan.

"Eh? Kamu keganggu ya, Rin? Maaf ya? Kakak ada perlu penting tadi dan ngga bisa ditunda." Ryan terdengar merasa tidak enak. "Sekarang lanjutkan tidurnya gih. Atau lanjut enak-enaknya?" Godanya.

"Eh?" Arin tidak mengerti kalimat terakhir Ryan.

"Bye..bye kakak ipar. Hoamm.." Tak menunggu balasan Ryan langsung mematikan sambungannya.

Arin menghela nafasnya pelan. Ia sudah salah sangka, setidaknya untuk hal yang satu ini. Bisa jadi kedepannya apa yang ada dipikirannya benar adanya. Pikirnya. Tapi untuk malam ini Arin tidak ingin memikirkan itu, sekarang ia lebih penasaran apa yang menjadi urusan Ryan sampai tidak bisa ditunda.

"Urusan apa sih kak Iyan nelpon kamu?" Tanya Arin. Ia menolehkan kepalanya kesamping melihat Kenzi yang sudah tertidur disampingnya. Kesal, Arin menimpuk wajah Kenzi dengan bantal guling. Dikira Ken akan terbangun tapi ternyata tidak. Arin semakin kesal jadinya. Lagi ia memukul wajah Ken sampai tiga kali tapi tetap saja Ken tidak terganggu.

"Tidur apa mati sih?" Gerutunya sambil ikut berbaring. Tak lama kemudian ia pun tertidur. Lagi, Arin bermimpi ada yang mencium kening. Ia senang sampai membuat bibir ikut melengkung keatas.

***

Pagi harinya Arin terbangun dengan senyum mengembang. Ia sendiri bingung mengapa ia merasa senang padahal kalau dipikir-pikir tidak ada kejadian sebelum tidur atau dimimpinya yang bisa membuatnya merasa senang. Setidaknya itu yang ia ingat.

Arin keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Dibiarkannya tempat tidur berantakan. Jangankan tempat tidur yang tersembunyi, rambutnya saja yang berantakan tidak ia rapikan atau sekedar mengikatnya menjadi satu.

Di meja makan semua orang sudah berkumpul dan sedang menikmati sarapannya. Ia mendudukan dirinya di kursi kosong satu-satunya di samping Kenzi. Semua mata tertuju padanya dengan pandangan terkejut.

"Hehe.. Pagi!" Cengirnya sambil menyendok nasi goreng kepiringnya. Ia tidak mencuci wajahnya apalagi menggosok gigi lebih dulu.

"Heh cewek jorok! Cuci muka dulu sana! Gosok gigi juga." Ucap ibu Arin sarkastik tapi Arin seolah tidak mendengar. "ARIN!" teriaknya berang sampai membuat semua orang yang ada disana terkejut.

Arin menatap ibunya malas. Hilang sudah perasaan senangnya tadi. "Dih biasanya juga ibu nggak pernah protes." Protesnya membuat ibunya mendelik padanya.

"Kamu nggak malu apa? Ken saja sudah bangun dari tadi dan sudah mandi, lah kamu, ilermu saja masih nempel dipipi."

"Eih Arin nggak pernah ngiler," elaknya. Ia tidak bohong karena memang selama ini Arin tidak pernah ileran kalau tidur. Arin menoleh menatap Ken yang juga sedang memperhatikannya.

"Arin!"

Arin berdiri, meninggalkan meja makan dengan kesal. Jika sudah ayahnya bicara dengan nada mengerikan seperti itu ia tidak akan berani membantah. Yang semakin membuatnya kesal adalah ayahnya kerap kali mengeluarkan nada mengerikan seperti itu jika menyangkut dirinya. Ayah Arin memang tidak pernah bersikap manis pada Arin, berbanding terbalik kepada kedua kakak lelakinya. Sampai terkadang Arin merasa bahwa ia adalah anak tiri.

Tak sampai dua menit kembali dengan wajah lembab habis terkena air. Tak banyak bicara Arin langsung duduk dan melahap nasi goreng yang sudah diambilnya tadi.

***

Arin berjalan menuju kamarnya setelah diberi tahu kalau mereka kembali siang nanti seusai sholat dzuhur. Sebenarnya ia ingin kembali hari minggu tapi ibunya melarang karena ia harus ikut Ken akan kembali siang nanti membuat Arin mendengus tak suka.

Arin hendak mendorong pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat ketika mendengar suara Ken.

"Jangan gunakan akalmu yang pendek!"

"Kamu pemimpinnya, kenapa malah kamu yang bodoh?"

"Sudah aku bilang aku tidak mau. Jangan menemui atau menghubungi aku lagi kalau hanya memaksaku melakukan itu."

Lalu setelahnya tak ada lagi suara Ken yang terdengar. Arin pun memberanikan diri untuk masuk. Ia membanting dirinya diranjang membuat Ken yang tidak sadar akan kedatangnya jadi terkejut. Tapi Arin tidak perduli. Ia mengambil ponselnya dan terdapat tiga panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Arin mencoba menghubungi balik tapi tak ada jawaban.

Masa bodoh, Arin menutup matanya. Ia tiba-tiba kepikiran tentang pembicaraan Ken tadi. Siapa yang menelpon dan apa yang dibicarakan. Sungguh Arin penasaran. Sangat penasaran tentang pria yang saat ini satu ruangan dengannya.

Tadi saat dimeja makan Ken terlihat akrab dengan ayahnya. Bukan hanya dengan ayahnya tapi dengan semua orang yang ada disana. Bahkan sesekali mereka bercanda. Hanya Arin saja yang tidak bicara atau pun ikut tertawa. Melihat itu Arin malah semakin terlihat seperti anak tiri yang penting.

"Huwaaahh kasian!" Arin menjerit kecil. Ia mengejek dirinya sendiri.

"Prepare! Jam 1 kita berangkat."

Arin membuka matanya, Ken berada tepat duduk disampingnya sambil memainkan ponselnya. "Masih jam sepuluh juga. Ntaran." Jawab Arin acuh.

"Kayak bisa cepat saja." Celetuk Ken seakan tahu kebiasaan Arin.

"Berisik." Geram Arin. Tapi ia bangun juga dan bersiap-siap.

Butuh waktu dua jam untuk Arin menyiapkan barang-barang yang perlu dibawanya. Padahal yang akan dibawanya tak begitu banyak tapi membutuhkan waktu cukup lama. Ia bahkan belum mandi.

Baru ia akan berbaring lagi ketika suara Ken menginterupsinya. Menyuruhnya untuk segera mandi. Arin mengerutu tapi tetap mendengarkan Ken. Ia menggerutu bukan karena Ken yang seakan memerintahnya tapi karena ia seakan begitu patuh terhadap ucapan Ken.

Pukul satu lewat sepuluh, Arin dan Ken sudah siap untuk berangkat. Ibunya bercuap-cuap, menasehatinya tentang kodrat seorang istri. Arin mendengarkan antusias. Tapi akting. Ia ingin cepat-cepat pergi, bosan dengan sikap orang tuanya yang seakan membanggakan Ken.

"Dengar ya, Rin, istri harus bisa masak buat suaminya." Arin hanya mengangguk. "Katanya mau berubah umur sembilan belas, ini udah dua puluh masih gini-gini aja."

"Eh udah berubah kok, Bu." Protes Arin.

"Apanya yang berubah?"

"Ya setidaknya Arin udah suka mandi dua kali sehari." Ibunya mendelik mendengar pembelaannya. "Dan lagi ya Arin udah bisa masak ... nasi, air, mie instan, buat kopi instan." Ujarnya bangga.

Ibu Arin mendadak terlihat lemas mendengar ucapan anaknya. Apa yang dibanggakan dengan itu semua? Astaga Arin malu-maluin.

"Udah sana!" Ibu mengibaskan tangannya. "Kalian pergi sekarang. Jangan lupa pesan Ibu, Arin." Setelah itu meninggalkan mereka.

Arin menatap ibunya heran. Ia tidak sadar kalau ayahnya berdiri didepannya. Arin tersentak ketika tubuhnya dipeluk oleh ayahnya. "Selamat menempuh hidup baru sayang." Ayahnya mengacak-acak rambutnya. Arin terperangah. "Jaga putri ayah baik-baik, Ken. Jangan rusak kepercayaan ayah padamu."

Ken yang berada dibelakang Arin mengangguk. "Iya, ayah."

"Hati-hati di jalan." Pesan ayahnya sebelum masuk kedalam rumah.

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus ceria

2023-03-07

0

Fitriyani Puji

Fitriyani Puji

ini bagemana thor kakak mntan pacar yang jadi misua nya hehe pikiran ku jadi blibet deh

2022-11-27

0

Sarimah

Sarimah

kok ryan gak ada rasa bersalah" nya sih

2022-01-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!