5

"Mau langsung pulang?"

Arin menoleh pada Risda disampingnya. "Iya, tapi males. Duduk dulu aja ya?"

"Oke," setuju Risda. Mereka berjalan beriringan keluar kelas lalu duduk didepan tukang somay. Risda memesan untuk mereka berdua.

"Gimana mas Ken?" Tanya Risda setelah kembali dari memesan somay.

"Masih hidup." Balas Arin acuh.

Risda sontak memukul lengan Arin. "Seriusan kali." Risda tersenyum pada mas-mas tukang somay sambil bergumam terima kasih. "Dia gimana sama lo?"

Arin mengendikkan bahunya. "Biasa aja sih. Ngga gimana gimana." Ia memakan satu somaynya. "Kemarin-kemarin lo diam aja, sekarang kok baru nanya?"

"Ya ngga apa apa sih. Cuma penasaran aja. Hehe."

"Menurut lo bener ngga sih kalo kak Iyan adeknya kak Ken? Mereka ngga mirip itu."

"Iya sih. Tapi kali aja satu ikut nyokap satu itu bokap."

Arin menghela nafas. "Entah ya." Ia melanjutkan makan somaynya. "Oh iya, Rama apa kabar?"

Pertanyaan Arin hampir saja membuat gadis berlesung pipi di sebelahnya tersedak. "Ngapain lo nanyain dia ke gue?"

Arin terkekeh. "Biasa aja kali mukanya, ngga usah cemberut gitu. Gue panasaran deh sama tu anak, seriusan."

Risda tak menanggapi ucapan Arin. Matanya fokus melihat tiga anak laki-laki yang baru turun dari lantai atas digedung fakultasnya. Merasa tak mendapat respon, Arin menoleh pada sahabatnya itu. Ia mengikuti arah pandang Risda yang sedang menatap tiga--ralat satu orang tak jauh dari hadapan mereka.

"RAMA!" Teriaka Arin lantang membuat ketiga laki-laki itu berhenti. Arin sedikit berlari menghampiri mereka, mengabaikan tatapan memohon Risda padanya.

"Hay.." sapa Arin pada ketiga laki-laki itu. "Rama 'kan? Gue Arin temannya Risda." Arin menyodorkan tangannya.

Beberapa detik kemudian uluran tangan Arin tak kunjung mendapat sambutan. Saat ia akan menurunkan tangannya, tangan lain menyambutnya.

"Ramdan."

"Reza."

Arin tersenyum. "Hay Ramdan, Reza." Arin terkekeh pelan. "Rama jangan sombong-sombong dong."

"Cih, Agresif sekali." Ucap Rama dindin. Anak laki-laki itu menatap tajam Risda yang baru saja menghampiri mereka.

"Hei.. siapa yang lo katain agresif?" Arin bertanya dengan kekehan diakhirnya.

"Hai Rama!" Sapa Risda. "Lama ngga ketemu." Rama hanya berdehem pelan membalas sapaan Risda.

"Rama kok dingin sih? Gue cuma mau kenalan doang kali, ngga maksud apa apa." Rama menatap Arin penuh selidik. "Seriusan. Lagian gue juga udah nikah."

"Udah nikah?" Sahut Reza dan Ramdan bersamaan membuat Arin terkekeh, sedang Rama dan Risda hanya diam. Reza dan Ramdan menatap Risda meminta kepastian. Risda hanya menganguk.

"Ekspresinya kok gitu? Kalian ngga naruh minat sama gue kan?" Arin kembali terkekeh. Keduanya kompak menggeleng sambil tertawa pelan, merasa lucu dengan pertanyaan Arin.

"Rin," bisik Risda pelan.

"Gue cuma bercanda." Balas Arin juga berbisik. "Kalian sibuk ngga? Kalo ngga kita bisa ngobrol sambil ma--"

"Kita pulang!" Suara berat itu membuat Arin membalikkan badannya. Ia terkejut mendapati Kenzi berada sangat dekat dengannya. Wajah pria itu terlihat marah.

Salah tingkah, Arin hanya memperlihatkan cengirannya yang lebih persis seperti meringis. Tiba-tiba matanya berbinar tak kala sebuah ide muncul dikepalanya. Ia menoleh menatap Rama dengan tatapan memohon. "Rama mau ya anterin Risda sampe rumahnya dengan selamat?"

Risda melotot gusar pada Arin. Gadis itu menarik baju Arin tapi Arin mengabaikannya. Sedang Rama hanya menampilkan tatapan datar.

"Ayo dong, Ram. Mau ya? Harus mau! Reza sama Ramdham bakal jadi saski lo anterin Risda pulang. Awas ya kalo lo ngga anterin dia." Ancam Arin.

"Bodo," jawab Rama Acuh. Ia berbalik menjauh.

"Laki-laki pencundang adalah laki-laki yang tega membiarkan seorang perempuan pulang sendirian." Dingin dan tajamnya suara Kenzi berhasil membuat langkah Rama terhenti.

Rama berbalik menatap Kenzi tajam. Wajah memerah antara marah dan malu. "Ayo!" Ucapnya tak kalah dingin. Tapi Risda tak kunjung bergerak meski Arin sudah mendorongnya pelan. "Mau pulang ngga?" Suara Rama penuh tekanan. Akhirnya Risda mau pergi bersama Rama.

Setelah kepergian Risda dan Rama, Kenzi juga pamit pada Reza dan Ramdan untuk pulang. Ia menggandeng Arin menjauh dari sana.

Tiba di dalam mobil.

"Jangan terlalu ikut campur urusan orang." Nasehat Kenzi pada Arin sambil menjalankan mobilnya.

"Aku cuma mau bantu kok." Arin membela diri.

"Aku tahu kamu tidak berniat jahat. Tapi kalo kamu salah ambil langkah hubungan mereka malah akan semakin merenggang."

Arin menunduk. Ia tidak berpikir sampai kesana. "Iya, maaf."

"Minta maaf sama Risda."

"Iya, maaf."

"Jangan diulangi!"

"Iya,.."

"Maaf," cibir Kenzi pada akhirnya membuat Arin menyengir lucu.

***

Arin begitu sibuk dengan buku-buku dan kertas-kertas cakaran didepannya. Sudah hampir dua jam ia berkutat dengan satu soal yang sama. Berkali-kali ia menggerutu karena tidak kunjung menemukan titik terang yang akan berujung pada jawaban yang benar. Berkali-kali ia mencoba tapi selalu mendapat jalan buntu.

Lelah, ia mengambik kertas baru. Ia menuliskan perasaan kesalnya dikertas itu. Lambat laun curhatan tentang soal-soal matematika yang ia kerjaan beralih menjadi curhatan tentang cinta. Entah mengapa bisa beralih terhadap cinta.

"Huh, cinta." Arin menghempaskan badannya kebelakang. Ia menutup matanya, berusaha merilekskan perasaannya.

"Cinta, tidak seharusnya cinta itu berpaling."

Arin terjengit bangun mendengar suara itu. Kenzi sudah duduk ditepi ranjang.

"Kamu belajar atau nulis surat cinta?" Tanya Kenzi. Ia menggelengkan kepalanya melihat buku-buku dan kertas berserakan diatas ranjang, dan lagi remasan-remasan kertas yang berhamburan dilantai.

"Kak Ken ngapain kesini?" Arin balik bertanya.

"Mau tidurlah. Inikan juga kamarku."

"Ya 'kan ini baru jam setengah sembilan. Biasanya juga jam sepuluh baru masuk."

"Sudah selesai tugasnya?" Arin mengikuti arah pandang Kenzi yang menatapi coretan-coretannya diatas kertas.

"Susah ah. Capek. Nyontek aja besok sama yang lain." Arin mulai menyusun kertas-kertasnya.

"Berapa IPK-mu semester lalu?" Tanya Kenzi sambil memperhatikan salah satu hasil kerja Arin dikertas.

"Lumayan sih, berapa ya.. erm.. 1,83."

"Hah?" Kenzi tak mampu menyembunyikan keterkejutannya. "1,83?" Ulang Kenzi dan Arin mengangguk yakin. "Serius?" Kenzi masih tak yakin.

"Serius lah. Itu IPK tertinggi dari empat semester loh." Kenzi bisa mendengar ada sedikit nada bangga pada ucapan Arin.

"Asgataa.. bodoh sekali." Gerutu Kenzi. "Sekarang belajar lagi! Nanti aku ajarin kalo ngga ngerti." Kenzi membuka kembali buku-buku yang sudah disusun

Arin.

Dalam hati Arin terkikik geli melihat raut wajah Kenzi. Jangan harap bisa mendengar ucapan jujur Arin yang bersangkutan dengan IPK-nya. Tak perduli nilai IPK-nya tinggi atau rendah, ia akan tetap menyembunyikannya bahkan dari orang tuanya sekali pun.

Ada alasan dibalik itu. Ia tak ingin orang lain tahu kebenarannya. Ia tak ingin orang lain tahu tentang perkembangan akademiknya. Ia pernah berada diatas lalu tak beberapa lama ia berada dibawah. Ia tahu bagaimana orang lain berkomentar tentangnya maka dari itu ia tak ingin merasaan lagi hal itu, berada diatas lalu berada dibawah.

"Ini harusnya jangan pakai rumus yang ini." Kenzi menunjuk satu rumus diatas kertas cakaran Arin.

"Pakai yang mana lagi?" Protes Arin. "Tidak ada yang cocok selain ini." Belanya.

"Kamu melamun?" Kenzi memukul kepala Arin dengan pensil ditangannya. "Aku bilang yang ini, rumus pembantu, bukan rumus utama."

"Oh," gumam Arin kesal. Ia menarik kertas itu dan mencoba mengerjakan ulang.

Perlu waktu hampir dua jam lamanya untuk membuat Arin mengerti dan mengerjakan tugas-tugasnya sendiri. Awalnya, satu jam pertama, ia ingin berhenti dengan alasan lelah tapi Kenzi melarangnya untuk istirahat.

Malam-malam berikutnya, mereka melakukan hal yang sama. Arin terus belajar dengan digurui oleh kenzi. Kenzi membuat Arin lebih rajin dari sebelumnya. Bukan hanya pada satu mata kuliah tapi semua mata kuliah Kenzi mengajariannya.

Hari terasa berlalu begitu cepat bagi mereka berdua. Satu persatu mata kuliah Arin pun sudah diujiankan. Tidak ada lagi suara Kenzi yang kesal dengan Arin dan tidak ada lagi suara Arin yang merengek agar melanjutkan belajarnya lain kali.

Sekarang malam mereka kembali terasa sunyi. Kenzi kembali menghabiskan malamnya sebelum tidur di ruang kerjanya. Sementara Arin lebih banyak menonton drama korea di laptopnya didalam kamar.

"Kok lapar ya?"

"Hah?" Kenzi yang baru saja keluar dari kamar mandi menyahut.

Arin tidak menjawab kebingungan Kenzi dan malah mengukur lingkar tangannya. "Tambah gemuk ya?" Katanya sambil memegang kedua pipinya. Lalu ia

turun dari tempat tidur dan menghampiri meja riasnya. Ia bercermin sambil menggerakkan kepalanya kekiri dan kekanan, memperhatikan bentuk pipinya yang semakin besar dirasa. "Tuh kan, gemukan. Makan terus sih." Gerutuhnya.

Ia berjalan lagi menuju ranjang dan membaringkan tubuhnya. "Jangan makan lagi!" Katanya pada diri sendiri lalu menarik selimut melewati wajahnya.

Kenzi tersenyum geli melihat tingkat Arin. Gadis itu menggerutukan berat badannya yang bertambah dan napsu makannya yang meningkat. Kenzi mendekati Arin di ranjang. Menyibakan selimut lalu tidur disebelah gadis itu dan memeluknya tiba-tiba. Kenzi bisa merasakan tubuh Arin yang menegang tapi gadis itu berusaha mengabaikan Kenzi karena ia sedang berusaha untuk tidur lalu melupakan

rasa laparnya.

"Mungkin kamu hamil makanya kamu ingin makan terus." Kata Kenzi santai sambil mengelus perut Arin.

"Apa?" Arin terjengit bangun. Ia menatap ngeri Kenzi. "Hamil gigimu!" Ia mendorong-dorong Kenzi agar menjauh. "Jauh-jauh sana!"

Kenzi terkekeh melihat wajah panik Arin. "Ayo pergi makan diluar!"

"Ngga ah. Aku mau ngantuk mau tidur." Arin kembali menutup wajahnya dengan selimut.

"Ngga mau? Padahal aku mau ajak kamu pergi di Karesto." Kata Kenzi. Ia bangkit dari tempat tidur.

Arin mengintip dari balik selimutnya. Ia melihat Kenzi yang masuk kedalam walk in closet lalu keluar dengan pakaian rapi.

Karesto adalah cafe favoritnya dan sudah lama ia tidak kesana. Suasana dan makanannya membuat Arin menyukai cafe itu.

"Kak Ken!" Arin menghentikan gerakan Kenzi yang akan membuka pintu. "Ikut ya?"

Ucapan Arin membuat Kenzi melebarkan senyumnya. Ia tahu Arin tidak akan menolak. Ini akan jadi makan malam pertama mereka diluar dan mungkin akan jadi kencan pertama mereka karena Kenzi merencanakan beberapa hal sebelum mereka pulang. Dan lagi pula malam ini adalah sabtu malam.

***

"Mau pesan apa?" Tanya Kenzi begitu mereka duduk disalah satu kursi di cafe itu.

"Semuanya?" Ucap Arin tanpa melihat buku menu.

Kenzi terkekeh pelan. "Tidak takut gemuk?" Godanya.

Arin menelan ludahnya. Bayangan memiliki tubuh berlemak dan bergelambir membuatnya ngeri. "Air putih saja kalau begitu." Katanya sambil membuang muka.

Beberapa menit kemudian pesanan mereka datang. Ralat, pesan Kenzi karena Arin tak memesan apa-apa.

Melihat makanan yang tersaji diatas meja membuat Arin tergugu. "I..itu?"

"Kenapa?"

"Buat aku ya?" Pinta Arin penuh harap. Tanpa menunggu persetujuan Kenzi, ia menggeser makanan berbahan dasar kepiting itu kedepannya.

Lagi-lagi Kenzi hanya terkekeh melihat tingkat Arin. Kenzi tahu kalau Arin sangat menyukai olahan kepiting diresto ini. Meskipun tidak ada yang Arin tidak sukai di sana tapi olahan kepiting itu lah yang paling disukainya. Karena harganya yang terkalu mahal untuk anak kosan, makanya ia hanya dapat menikmatinya beberapa kali dulu.

Untung Kenzi tidak hanya memesan satu tapi beberapa, jadi ia tidak harus menunggu lagi untuk makan. Mereka makan dalam diam, menikmati hidangan masing-masing. Satu hal yang tidak disadari oleh Arin bahwa Kenzi terus memperhatikannya.

"Mau pesan apa lagi?" Tanya Kenzi begitu melihat Arin telah selesai dengan makanannya.

Arin tampak berpikir sejenak. "Red.. ice cream."

"Ice cream?" Kenzi tampak berpikir. "Oke," lalu ia memanggil pelayan untuk membereskan meja dan memesan ice cream.

Tidak ada yang spesial setelah itu. Keduanya sibuk sendiri meski kadang saling lirik satu sama lain. Hanya lirikan, tidak kata-kata yang terucap. Sampai ice cream mereka datang pun keduanya masih diam.

"Ehm.." Kenzi lebih dulu memecah kesunyian diantara mereka. "Habis ini mau ke mana?"

"Pulang?"

"Pulang?" Ulang Kenzi.

"Ya mau kemana lagi?" Arin berhenti sejenak, memakan ice cream-nya. "..ah kita kepasar malam."

Kenzi menatap Arin tak yakin. "Serius?"

Arin menganguk yakin. Ia melihat jam diponselnya. "Masih ada waktu, ayo!" Ucapnya dengan senyum lebar.

***

"Belum mau pulang?"

Arin menoleh kearah Kenzi disampingnya lalu menggeleng pelan dengan senyum tipis.

Tadi mereka memang sempat pergi kepasar malam tapi tak lama, karena akan segera tutup. Mereka hanya sempat naik bianglala beberapa putaran. Jalan-jalan sebentar menikmati keramaian dengan gula kapas di tangan.

Sekarang mereka tengah duduk diatas rumput di sebuah taman. Tak perduli hanya ada mereka berdua disana dibawah sinar bulan yang hanya separuh. Tak perduli dengan angin malam yang terasa dingin di kulit, karena Arin menyukai saat ini.

"Ini keinginanku dari dulu." Gumam Arin.

"Apa?"

"Seperti sekarang." Kenzi menoleh, menatap Arin bingung. "Duduk diatas rumput sambil memandangi langit sampai malam berdua kayak orang pacaran." Arin menghela nafasnya pelan. "Waktu sama kak Iyan, aku sempat mikir kalo aku bisa ngajak dia kesini malam-malam. Tapi aku sadar kalo itu ngga bisa aku lakukan."

"Kenapa?"

"Dia laki-laki dan aku perempuan. Aku ngga mungkin keluar bareng cowok malam-malam kayak gini. Kamu tahu, banyak setan yang gemar menggoda." Arin terkekeh di akhir kalimatnya.

"Tapi aku juga laki-laki. Dan kita hanya berdua disini, tengah malam."

Ucapan Kenzi membuat Arin terkekeh pelan, lalu menoleh pada Kenzi dan tersenyum tipis. "Status kita bukan pacaran ya. Jadi aku ngga takut."

Kenzi balas menatap Arin. "Apa itu kode?" Godanya yang dibalas gelengan kepala oleh Arin. "Kenapa kamu ingin ada moment seperti ini?"

"Karena aku suka? Hal seperti ini terasa manis."

"Kamu suka yang romantis?"

"Apa pun itu yang penting tulus. Sikap manis tapi ngga tulus, buat apa?"

Kenzi tersenyum mendengar jawaban Arin. Laki-laki itu menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Arin lalu menarik tubuh Arin agar bersandar padanya. Kenzi bersyukur karena Arin tidak menolak.

Beberapa saat mereka kembali terdiam sampai Arin mengajak pulang karena sudah larut. Gadis itu mulai percaya pada Kenzi. Dan ia harap ia tidak salah untuk percaya pada Kenzi. Mungkin malam ini awal dari hubungan baik mereka. Meskipun Arin belum bisa memberikan raganya, setidaknya ia mulai dengan memberikan raganya.

***

terima kasih buat temen temen yang like dan vote, seneng banget rasanya. Jadi buat aku tambah semangat 😘😘

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus berkarya

2023-03-07

0

Fitriyani Puji

Fitriyani Puji

nikah paksa tapi manis ngk kaku suka deh

2022-11-28

0

Erlinda

Erlinda

kok aq merasa cerita ini ga ada chemystri nya ya .hambar gitu

2022-06-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!