Nikah muda, mendadak, dan tidak adanya pesta pernikahan.
Arin membenci gagasan itu. Karena itulah yang ia alami sekarang. Arin tidak pernah bermimpi akan menikah dengan pesta pernikahan yang mewah dan meriah. Tapi ia juga tidak pernah bermimpi menikah muda dan mendadak seperti ini. Karena mendadak sudah pasti tidak resepsi yang digelar.
Satu minggu yang lalu ia dikabari akan segera menikah dan tentu saja itu pilihan orang tuanya, siapa lagi. Ia masih tidak habis pikir kenapa mendadak seperti itu. Tapi saat ia bertanya, orang tuanya mengatakan kalau itu semua tidak mendadak, hanya saja memang mereka tidak merencanakan adanya resepsi besar dan hanya keluarga besar yang akan hadir. Arin tidak puas akan jawaban orang tuanya. Menurutnya jika memang tidak mendadak mengapa ia tidak diberi tahu jauh sebelumnya. Surprise, kata orang tuanya.
Arin berdecak kesal. Hari ini adalah hari itu. Hari dimana ia akan dipersunting sesosok makhluk asing. Begitu Arin menyebutnya. Arin kesal. Sangat kesal. Saking kesalnya sejak saat ia diberi tahu akan menikah, ia sama sekali tidak menanyakan apa pun mengenai calon suaminya. Jadi ia tidak tahu sama sekali model, bentuk, dan rupa calon suaminya.
Tanpa sadar Arin meneteskan air matanya tepat saat pintu kamarnya terbuka. Ibunya masuk dengan senyum yang tidak pernah pudar dari wajahnya.
"Loh kok nangis sih, hm?" Dewi, Ibu Arim, duduk di samping Arin.
"Ibuu.." Arin merengek manja seraya memeluk sang ibu.
Dewi melepaskan pelukan mereka. Dihapusnya air mata Arin dengan perlahan pelan. "Jangan nangis, ih! Tambah jelek kamu kalau menangis." Arin memberengut tak suka mendengarnya. "Manjamu itu harusnya dikurangi! Sudah mau jadi istri orang kok masih manja."
"Bu, makhluk itu tampangnya bagaimana?" Dewi mendelik padanya. "Jangan-jangan jelek lagi. Iyakan jelek?"
Dewi tersenyum menggoda. "Dia ganteng kok. Sebelas dua belas lah sama ayahmu." Ibu terkikik mengenyesaikan ucapannya.
Arin mencibir. Ia sangat tahu kalau ibunya itu memang sangat mencintai ayahnya apa pun dan bagaimana pun keadaan sanga ayah. "Arin dijodohin ya?"
Dewi menatapnya heran. "Nggak kok. Siapa yang bilang?"
Arin menggeleng, wajahnya kembali muram.
"Dia sendiri yang datang kesini. Minta kamu buat jadi istrinya. Kalau dilihat dari tampangnya dia baik kok."
"Arin kenal?"
"Dia bilang kenal kamu." Dewi kembali mengelap wajah Arin pelan menggunakan tisu untuk menghilangkan bekas air mata Arin. "Ibu kok kangen nabok kamu ya?"
"Dih.."
"Hahaha... sudah, ibu tinggal ya? Di luar ada Risda dia ingin menemani kamu di sini tapi dia ingin lihat langsung akad nikahnya. Jadi kamu di sini sendirian ya sayang?" Sebelum keluar ibu sempat mencium kening Arin sayang.
Arin menatap pintu yang sudah tertutup. Ia diam berusaha mencerna ucapan sang ibu. Penjelasan ibunya dirasa kurang memuaskan. Masih banyak sebenarnya yang ingin ia tanyakan. Beberapa saat ia melamun sampai tidak mendengar suara akad nikah di ruang tamu rumahnya yang memakai pengeras suara. Ia bahkan tidak mendengar saat pintu kamarnya dibuka dan ada yang memasuki kamarnya.
"Kok melamun sih, pengantin?"
Arin mendongak, ada Risda dihadapannya. Risda ini sahabatnya yang baru, mereka bertemu sejak awal masuk perkuliahan. Kenapa yang baru? Karena yang ia anggap sahabat sejak SMA sudah melupakannya. Sudahlah jangan bahas itu. Arin tidak suka. Itu pengalaman pahit baginya.
"Akadnya udah selesai. Ayo keluar!" Risda menuntun
Arin agar segera berdiri sambil merapikan riasan Arin yang sedikit berantakan karena air mata. "Suami lo ganteng banget," pekiknya girang seraya mengedipkann mata menggoda Arin.
Arin memutar bola matanya malas. Kebiasaan dari Risda, selalu memekik jika melihat cowok yang bening sedikit. Arin menurut saat Risda menuntunnya keluar membawanya ke tempat akad nikah dilangsungkan. Ia diam saja seakan tidak bersemangat. Hei memang ia tidak bersemangat sedikit pun kan. Lagi pula siapa yang akan bersemangat dinikahi pria yang tidak kenalnya dan tidak ia ketahui sama sekali.
Sampai diruang tamu langkahnya terhenti. Dan waktu pun terasa ikut berhenti. Pandangannya lurus kedepan.
Matanya membulat, sedetik kemudian ia bisa merasakan tubuhnya yang seperti membeku, lalu bergetar samar. Lidahnya bahkan terasa kelu. Dan
jantungnya berdetak kencang seakan meronta ingin dilepaskan.
Di sana, berdiri sosok yang yang pernah membuatnya merasa bahagia dan sakit hati, pria yang pernah membuat hari-harinya terasa menyenangkan. Namun beberapa minggu yang lalu, untuk pertama kalinya ia
merasakan yang namanya sakit hati karena penghianatan. Disana Ryan -mantan pacarnya-- berdiri dengan senyum mengembang seakan tak sabar menunggu sang pengantin.
Arin menggelengkan kepalanya pelan. Mungkin saja ia salah lihat karena terlalu memikirkan Ryan akhir-akhir ini. Tapi sosok Ryan yang dilihatnya tidak juga pudar.
Arin tidak tahu, haruskah ia bahagia karena ia tidak akan kehilangan Ryan? Karena pada kenyataannya yang ada dihadapannya saat ini adalah Ryan, yang menjadi suaminya. Tapi entah mengapa ia merasa ada yang sakit di hatinya. Tidak mungkin jika itu karena Ryan pernah menyakitinya dengan selingkuh dibelakangnya karena ia merasa sudah memaafkan Ryan dan menganggap itu angin lalu. Jika seperti itu, apa yang menyebabkan hatinya sakit?
Langkah Arin bergetar dengan sangat kentara saat Risda menuntunnya kembali untuk lebih dekat dengan Ryan. Butuh waktu lama untuk membuat mereka berhadapan karena lambatnya jalan Arin, bahkan mungkin jika dibandingkan dengan siput, Arin kalah cepat. Kesal karena Arin jalan terlalu lama, Risda melepaskan Arin begitu saja. Sehingga Arin berhenti tepat dihadapan Ryan. Sorot mata Arin tak terbaca. Sedang sorot mata Ryan memancarnya kebahagiaan yang nyata. Sungguh ekspresi yang bertolak belakang.
"Aku suamimu, bukan Ryan."
"Eh..?" Bisikan itu membuat Arin seketika menoleh
pada pria yang berdiri disampingnya. Terlihat bahwa pria itu lebih tinggi beberapa senti dari Ryan, dan … lebih tampan.
Ryan yang juga mendengar bisikan itu terkekeh dan membuat Arin kembali menatapnya bingung.
Apa maksudnya ini? Batin Arin berteriak. Ia terkejut.
Lebih terkejut dari sebelumnya. Ia linglung sampai membuatnya mundur beberapa langkah kecil bahkan nyaris jatuh tapi ditarik mendekat oleh pria yang mengaku suaminya itu. Arin bergidik ngeri dalam hati melihat tatapan tajam milik pria itu.
Jadi bukan Ryan yang menjadi suaminya? Tapi pria dengan tatapan tajam yang kini merangkulnya itu? Oh astaga…
Tiba-tiba rasa sakit yang dirasakannya tadi mendadak hilang dan digantikan dengan rasa lega. Loh kok lega? Batin Arin memprotes. Ada yang
salah mungkin ini dihatinya.
***
Arin menjaga tubuhnya dengan baik dari jamahan laki-laki, termasuk Ryan. Meski sudah menjadi sepasang kekasih, tidak sekali pun Ryan menyentuh Arin. Bahkan hanya sekedar berpegangan tangan. Ryan seakan mengajaganya dengan tidak menyentuh gadis itu. Dibalik rasa penasarannya terhadap Ryan yang hanya memegang tangannya saja tidak, Arin merasa bersyukur karena ia tidak perlu repot-repot menolak halus jika Ryan akan menyentuhnya.
Setelah insiden hampir jatuh dan berakhir dengan sebuah rangkulan dipinggang, membuat Arin risih dan terlihat tidak nyaman. Itu wajar bukan mengingat kedekatan tubuh seperti itu dengan lawan jenis adalah kali pertama. Mungkin tidak untuk pria itu, tapi iya bagi Arin.
Arin merasakan kecanggungan yang luar biasa. Setelah bertukar cincin dan mendatangani beberapa berkas, rasanya ingin sekali Arin membawa pergi dirinya jauh-jauh dari sana. Tapi itu tidak mungkin disaat ibunya selalu melotot padanya tak kala ia tertangkap basah telah menjauhkan tubuhnya beberapa langkah dari suaminya. Hal itu membuatnya mau tak mau kembali ke sisi suaminya
dan tersenyum bahagia—yang malah terlihat aneh— layaknya pasangan yang menikah karena cinta.
Setelah pengurusan berkas selesai, dilanjutkan dengan sesi foto. Perlahan Arin percaya jika pernikahannya memang tidak diadakan mendadak, karena pakaian yang dipakai keluarganya semua nyaris sama, warna sama dan hanya modelnya yang berbeda.
Beberapa pose yang mereka lakukan membuat tubuh Arin menegang. Ia tidak menyukai posisi mereka yang terlihat intim, karena hal itu dapat merusak kinerja jantungnya. Arin sampai mengumpati jantungnya yang terus berdetak kencang.
Setelah sesi berfoto usai akhirnya pasangan suami istri itu diperbolehkan berganti pakaian dan beristirahat dikamar Arin yang telah disulap menjadi kamar pengantin. Arin bukan berasal dari keluarga kaya tapi termasuk mampu, rumahnya tidak terlalu besar maka dari itu kamar Arin pun tidak besar tapi cukup jika dihuni oleh dua orang.
Saat beberapa langkah lagi sampai didepan kamarnya, Arin berjalan cepat memasuki kamarnya lebih dulu dan mengunci pintunya. Satu hal yang sempat Arin syukuri sekarang ini adalah dandanannya tak seperti pengantin kebanyakan yang menggunakan berbagai macam aksesoris dikepala. Karenanya ia tidak perlu siapapun untuk membantunya.
Beberapa menit kemudian Arin keluar dari kamar. Sedikit terkejut karena laki-laki yang telah mengambil alih tanggung jawab ayahnya itu berdiri bersandar disamping pintu. Arin melirik kesekitaran luar kamarnya, kembali ia bersyukur karena sepertinya tidak ada yang melihat bahwa ia telah membuat laki-laki itu menunggu diluar kamar. Arin melenggang ke arah dapur tanpa mempersilahkan laki-laki itu masuk ke kamarnya guna mengganti pakaian atau untuk istirahat.
“Ah, masa bodoh dengan makhluk itu. Muka kok nggak ada ekspresi-ekspresinya. Datar dan dingin kayak tembok. Walau ganteng tapi kalau nggak dipakai buat senyum ya buat apa?” gerutunya sepanjang jalan ke kamar mandi.
Menjelang sore rumah Arin sudah tak seramai saat pagi karena tidak ada resepsi, hanya acara makan-makan siang tadi seusai akad nikah dilaksanakan. Banyak keluarga Arin yang sudah pulang. Namun ada beberapa keluarga inti
seperti tante dan para sepupu Arin yang tinggal. Beberapa teman sekolah yang dimintanya untuk datang juga sudah pulang, termasuk risda sendiri.
Arin bertanya-tanya, mana keluarga laki-laki itu? Karena sepanjang ia mengamati orang-orang yang berada disekitar rumahnya, ia tak merasa melihat
orang-orang asing disana kecuali laki-laki itu.
"Ck, itu makhluk nggak punya keluarga apa ya? Kok nggak ada yang kelihatan." Gerutunya,
saat ini ia tengah duduk dibawah pohon mangga bersama para sepupu kecilnya dan beberapa anak tetangga.
Matanya kembali menjelajah dan mendapati Ryan sedang berjalan ke samping rumahnya. Ah, Arin lupa akan kehadiran laki-laki itu yang juga mengusik rasa penasarannya. Arin bangkit dan mengejar Ryan dengan setengah berlari.
"Kak Iyan!" Arin berteriak memanggil Ryan.
Ryan berhenti, 'kak Iyan' itu adalah panggilan sayang Arin untuknya. Hanya Arin yang memanggilnya dengan sebutan Iyan. Ryan tak dapat menahan senyumnya, ia membalikkan tubuhnya dan mendapati Arin berada lima langkah didepannya. Ia memberi isyarat pada Arin agar mendekat dengan tangannya.
Namun baru dua langkah Arin berhenti. Ia menggerutu pelan melihat laki-laki berwajah tembok sedang duduk santai digazebo tak jauh dari
tempat mereka berdiri. Tatapannya tajamnya tak lepas dari mereka berdua.
Arin hanya menampilkan cengiran khasnya lalu berlari meninggalkan Ryan tanpa berucap apa-apa.
Ryan mengernyit bingung. Tak ingin ambil pusing ia meneruskan langkahnya yang terhenti karena Arin. Berjalan menuju gazebo, menghampiri seorang pria yang memang sedang menunggunya.
Dilain sisi, tampak Arin tengah memperhatikan dua pria dewasa itu dari jauh. Meski begitu ia masih bisa melihat raut wajah keduanya. Wajah mereka berdua menampilkan berbagai macam ekspresi. Sesekali salah satunya terlihat kesal tapi sikap ramah dan bersahabat lebih mendominasi. Mereka terlihat begitu akrab dengan tawa yang kadang keluar dari bibir mereka.
"Satunya mantan pacar, satunya lagi suami. Hei harusnya kedekatan mereka itu bukan hal baik. Nggak seharusnya mereka dengan santai haha
hihi sama-sama." Gerutu Arin tak terima dengan kedekatan mereka. "Apa si makhluk nggak tahu ya kalau Ryan itu mantan gue?"
"Oh bundaaa.." Arin sampai menarik-narik rambutnya
kesal. "Ada hubungan apa mereka sebanarnya?" Arin frustasi memikirkan hubungan yang terjalin diantara mantan pacarnya dan suaminya.
Karena malas menduga-duga yang bisa membuatnya semakin kesal, Arin memilih bertanya pada Ibunya. Mencari tahu tentang suami walau hanya sekedar nama. Nama? Astaga ia bahkan baru sadar kalau ia belum mengetahui nama pria itu.
Arin menghampiri ibunya yang sedang mengelap piring dan sendok. "Bu, itu si makhluk namanya siapa sih?"
"Makhluk?" Dewi menatap Arin bingung. "Siapa yang kamu maksud?"
"Itu yang tadi ngucapin ijab kabul," jawabnya santai sambil ikut mengelap piring.
Takk…
Bukannya mendapat jawaban, Arin malah mendapat pukulan dikening menggunakan sendok makan yang dipegang ibunya untuk dikeringkan. Arin mengusap keningnya sambil mengerucutkan bibir.
"Nggak sopan banget kamu jadi istri. Masa suami sendiri dibilangkan makhluk."
"Makanya namanya siapa?" Tanya Arin sekali lagi
dengan kesal.
"Ya Allah.. masa nama suami sendiri nggak tau." Dewi
hanya bisa mengelus dadanya prihatin.
"Dih, kok nyalahin Arin sih. Arin, kan nggak kenal. Terus ibu juga ngga ngasih info apa-apa tentang dia." Balasnya tak terima disalahkan.
"Kan kamu bisa lihat dibuku nikahmu tadi saat tanda
tangani berkas-berkas."
Arin diam. Ia tidak berpikir bisa mengetahui hal paling mendasar bagi seseorang yang baru kenal dari buku tipis itu. Nama. Kenapa ia tidak kepikiran.
"Namanya Kenzi."
"Kenzi? Kok terdengar kayak nama perempuan."
Dewi hendak memukul kening Arin lagi tapi tidak berhasil karena dengan cepat Arin menghindar.
"Kelurganya mana? Arin ngga ngeliat ada orang asing
tadi."
"Keluarganya nggak ada yang datang, hanya a.."
"Ih ibu kok mau sih nikahin aku sama dia. Dia kesini
nggak ada keluarganya. Kalau dia bohong gimana? Kalau dia ada niat jahat sama Arin terus Arin dijual gimana? Ih Ibu gimana sih. Kalau di—ih Ibu sakit."
Arin menatap Ibunya kesal karena kembali ia dipukul pakai sendok dan ia tidak sempat menghindar.
"Kalau bicara itu jangan asal. Ayahmu itu sudah
kenal baik sama mereka. Kenzi juga beberapa kali sudah pernah kesini," jelas Dewi.
Arin menaikkan sebelah alisnya seperti kurang yakin. Ia masih bertanya-tanya akan keberadaan Ryan. Ia tadi sempat melihat interaksi Ryan dengan beberapa keluarganya yang seperti sudah sering bertemu.
"Kalau laki-laki yang satunya itu siapa, Bu?" Arin berpura-pura tidak mengenal Ryan.
Ibunya terlihat berpikir lalu sedetik kemudian tersenyum, mengerti siapa yang dimaksud ankanya. "Oh, Ryan. Ryan itu ya adiknya Kenzi yang..."
"WHAT?" Arin tak mampu menutupi keterkejutannya. Sejauh yang ada diotaknya tak sekalipun ia berpikir bahwa mereka itu adik kakak.
Ryan adiknya Kenzi.
Itu berarti.....
Tidaaaaakkkkk.....
***
kalo suka cerita ini jangan lupa like dan masukin favorit ya 😘
Selepas magrib Arin lebih memilih tinggal di dalam kamarnya. Saat dipanggil untuk makan malam ia menolak dengan alasan tidak lapar. Padahal ia hanya malas melihat dua manusia yang sejak tadi terus mengganggu pikirannya.
Dari pada pusing, Arin memilih untuk tidur. Batin dan fisiknya terasa lelah. Ia berencana akan bangun sampai besok siang. Namun baru beberapa menit, seseorang mengetuk-ketuk pintu kamarnya.
"Nggak dikunci," teriaknya parau. Beberapa detik, ia merasa tenang karena ketukan itu lagi mengganggunya, tapi tak lama kembali terdengar.
Dengan sedikit kesal Arin bangun. "Dibilangin nggak dikunci, nggak dikun... -ceklek- ...ci." Wajahnya berubah datar, merasa malu sendiri.
Arin berbalik saat melihat Kenzi yang berada di balik pintu. Ia sudah yakin kalau pria itu pasti akan tidur dikamarnya.
"Ryan akan pulang."
Ucapan Kenzi membuat Arin yang akan naik lagi ke tempat tidur seketika menoleh. "Ryan?"
"Iya."
"Pulang aja, ngapain kasih tau aku?"
"Adikku ingin berpamitan dengan kakak iparnya." Arin menatap wajah Kenzi yang datar datar saja.
Arin menghela nafasnya pelan. Kenapa ngga bilang 'adikku ingin berpamitan dengan mantan pacar yang telah di..' huft astagfirullah.
Arin mengikuti Kenzi di belakangnya. Ia memperagakan cara jalan Kenzi serta lebar langkah pria itu. Saat Kenzi berhenti ia tak sadar membuatnya menubruk punggung tegap suaminya.
Arin mengelus dahinya, kepalanya mendongak melihat Kenzi yang memberikan kode dengan gerakan kepala. Arin segera memiringkan kepalanya agar bisa melihat Ryan yang tengah tersenyum saat melihatnya. Arin membalas dengan cengiran jenaka. Entah mengapa ia tak merasa benci, kesal, atau marah pada Ryan.
"Hay Adik Ipar!" sapa Arin dengan senyuman yang dibuat buat sampai matanya terlihat sipit. Dalam hati ia merasa senang jika bisa bersikap seperti biasa lagi kepada Ryan.
"Hay juga mantan pacar!" balas Ryan santai.
Mata Arin membulat, ia segera melihat wajah Kenzi yang mungkin saja menampilkan ekspresi berbeda sejak terakhir kali dilihatnya. Tapi ternyata tetap sama.
Arin melangkah mendekati Ryan tapi baru satu langkah bajunya sudah ditarik oleh Kenzi.
"Mau kemana?"
"Mau meluk Kak Iyan sebagai salam perpisahan," jawab Arin sambil kembali melangkah maju.
"Tidak ada." Kenzi menatap tajam Arin sambil menarik Arin mundur. Lalu beralih pada Ryan yang terkekeh. "Pulang sana! Sudah malam. Hati-hati di jalan." Ia merangkul Arin dan membawa gadis itu masuk ke dalam rumah. Ke dalam kamar lebih tepatnya. Meninggalkan Ryan yang masih terkekeh melihat pasangan pengantin baru itu.
"Selamat menempuh hidup baru, Arin, kak Ken," ucapnya sambil berlalu dari sana.
***
Di dalam kamar, Kenzi langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dan menutup mata. Rasanya ingin Arin menimpuk wajah Kenzi dengan bantal. Tapi ia jadi tidak tega saat melihat gurat lelah di wajah datar Kenzi.
Arin berusaha tidak peduli. Ditanamkan keyakinan pada hatinya kalau Kenzi tidak akan menyentuh tubuhnya. Setidaknya untuk malam ini. Ia ikut berbaring di sisi kanan Kenzi dengan menyisakan jarak sekitar satu jengkal. Saat akan menutup mata, ia teringat ucapan Ryan yang seperti menggodanya.
Seulas senyum menghias wajanya. "Aihh mantan pacar," gumam Arin gemas.
Tiba-tiba hawa di sekitarnya terasa panas. Lalu terdengar desisan Kenzi yang menyuruhnya tidur.
Seolah tersihir oleh ucapan Kenzi, Arin langsung tertidur nyenyak. Antara sadar dan tidak, ia merasa ada yang mengelus kepalanya lalu dilanjutkan dengan kecupan di kepalanya. Mungkin itu adalah awal dari mimpi indahnya.
....
Arin membuka matanya tepat saat pintu kamarnya tertutup. Arin sudah terbangun dari beberapa menit lalu karena ponsel Kenzi yang berbunyi, hanya saja ia pura-pura tertidur saat mengetahui Kenzi juga terbangun. Dan sekarang Kenzi keluar untuk menerima telpon itu.
Siapa yang menelpon pria itu tengah malam begini? Dan lagi pula kenapa hanya untuk mengangkat telpon saja harus keluar? Kecurigaan Arin menjadi. Arin yakin ada yang disembunyikan Kenzi baik darinya maupun dari keluarganya. Dan mungkin seseorang yang menelpon itu adalah kekasih dari suaminya.
"Ck, dasar makhluk." Arin merentangkan tangannya. Diubahnya posisi tubuh menjadi tengkurap dan bergeser ke tengah ranjang bermaksud tidak membiarkan Kenzi kembali tidur di ranjangnya.
Tiba-tiba ada yang hinggap di tangan kanannya dan tak lama ia merasa seperti ditusuk jarum. Ia menjerit kesakitan sambil mengibaskan tangan. Ia tidak sadar kalau jeritannya sangat keras sampai membuat semua orang terbangun.
"Ibuuuu... sakit.."
Arin terus merengek dan menangis. Ia menekan-nekan sekitaran tangannya yang disengat lebah, berharap sakitnya meredah.
Untuk usia dua puluh tahun, sikapnya itu sangatlah kekanak-kanakan tapi inilah Arin. Jika sedang ada di rumah orang tuanya. Manja.
Suara pintu terbuka mengalihkan pandangan Arin. Kenzi masuk dengan wajah panik tapi Arin tidak menyadari itu.
"Dari mana aja sih?" Tanya Arin sengit. Jika saja Kenzi tidak keluar dan tetap berada diranjang sudah pasti bukan dia yang akan tersengat. "Gara-gara kamu nih,"
Kenzi mendekati Arin. "Tangan kamu kenapa?"
Arin menunjuk lebah yang sudah mati karena ia bunuh. Padahal tak dibunuh pun lebah itu akan mati.
Kenzi menarik tangan kanan Arin pelan. Ia menyalakan aplikasi senter diponselnya dan menyorotkannya pada tangan Arin. Ada titik hitam disana, ditangan Arin yang terdapat lebam dan mulai membengkak.
"Tunggu sebentar!" Kenzi berdiri dan melepaskan tangan Arin. "Jangan ditekan terus nanti racunnya makin nyebar!" Lanjutnya ketika melihat Arin akan menekan lagi tangannya. Lalu keluar kamar.
Tak beberapa lama, Kenzi kembali masuk dengan mangkuk kecil ditangannya berisi es batu. Pria itu kembali menarik tangan Arin dan menyalahkan aplikasi senter. Lalu menyuruh Arin memegang ponselnya dan menyorotnya ditempat yang ia tunjuk.
Kenzi mencoba mencabut sengatan menggunakan pinset. Arin akan merengek lagi tapi Kenzi menegurnya. Setelah tercabut ia menyiram tangan Arin dengan air yang memang sudah ada dikamar itu. Lalu ia meletakkan es batu yang dibawanya tadi diatas handuk kecil dan menempelkannya pada tangan Arin yang bengkak.
"Pegang sebentar!" Ucapnya lalu keluar lagi.
Saat Kenzi masuk, Arin sudah tertidur dengan posisi yang sama saat ia tinggal. Pria itu menatap wajah polos Arin yang sedikit berantakan karena bekas keringat.
"Bangun sayang!" Bisik Kenzi pelan ditelinganya. Dan lagi-lagi seperti mantra sihir, Arin langsung membuka matanya. "Minum ini dulu!" Kenzi menyerahkan sebutir obat padanya.
Pandangan Arin menelisik. "Apa nih? Racun, ya?"
Kenzi menganguk. "Iya. Cepat minum!"
Mata Arin membulat. "Kalau mau bunuh aku jangan terus terang dong!"
"Apa kamu berpikir aku sebodoh itu?"
"Mungkin," gumam Arin sembari meletakkan obat itu kedalam mulutnya lalu meminum air yang juga pemberian Kenzi. "Dari mana kamu tadi?"
"Ambilin kamu obat," Ken berdiri dan menyimpan gelas diatas meja kecil tak jauh dari tempat tidur.
Arin berdecak. "Sebelum aku teriak."
"Kata Faris lebaymu dikurangi."
"Issh.. kak Aris tuh yang lebay, ngatain orang lebay. Ada cicak disampingnya aja udah teriak-teriak."
"Itu kamu." Jawab Ken sambil memposisikan dirinya untuk kembali tidur.
Arin mendelik. "Ih sapa bilang." Protesnya tapi Ken hanya bergumam kecil. "Eh jawab dulu pertanyaanku tadi." Arin menggoyang-goyangkan tubuh Kenzi.
Ken kembali membuka matanya. "Dari depan, Ryan telpon."
"Dih seriusan? Ngga percaya. Pasti cewek lo 'kan? Ngaku deh." Arin menatap Ken garang.
"Kamu cemburu?"
"Ha ha ha," Arin tertawa hambar. "Lucu."
Ken mengambil ponselnya, membuka aplikasi whatsapp lalu mengarahkan layarnya pada Arin. Disana memang nama Ryan terpampang paling atas.
Arin mengerucutkan bibirnya. Dirampasnya ponsel Kenzi, menyentuh layarnya cepat lalu menempelkan pada telinganya.
Kening Kenzi berkerut. "Mau ngapain?"
"Masti'in," jawabnya sambil fokus mendengar suara sebrang sana. Cukup lama Arin menunggu hingga deringan terakhir tak kunjung diangkat. Arin tak menyerah ia melakukannya kembali. Kali ini panggilannya diangkat pada deringan keempat.
"Apaan lagi sih, kak? Ngantuk nih." Jawab suara serak disebrang sana.
Arin sudah hapal dengan suara itu. "Kak Iyan, tidur?" Tanyanya tak enak hati.
"Eh, Arin?"
"Iya. Kak Iyan sudah tidur ya? Maaf ya ganggu."
"Iya, ngga papa. Ada apa emang?"
"Dia nggak percaya kalo yang nelpon tadi itu kamu." Kenzi ikut menimpali karena sedikitnya ia bisa mendengar suara Ryan.
"Eh? Kamu keganggu ya, Rin? Maaf ya? Kakak ada perlu penting tadi dan ngga bisa ditunda." Ryan terdengar merasa tidak enak. "Sekarang lanjutkan tidurnya gih. Atau lanjut enak-enaknya?" Godanya.
"Eh?" Arin tidak mengerti kalimat terakhir Ryan.
"Bye..bye kakak ipar. Hoamm.." Tak menunggu balasan Ryan langsung mematikan sambungannya.
Arin menghela nafasnya pelan. Ia sudah salah sangka, setidaknya untuk hal yang satu ini. Bisa jadi kedepannya apa yang ada dipikirannya benar adanya. Pikirnya. Tapi untuk malam ini Arin tidak ingin memikirkan itu, sekarang ia lebih penasaran apa yang menjadi urusan Ryan sampai tidak bisa ditunda.
"Urusan apa sih kak Iyan nelpon kamu?" Tanya Arin. Ia menolehkan kepalanya kesamping melihat Kenzi yang sudah tertidur disampingnya. Kesal, Arin menimpuk wajah Kenzi dengan bantal guling. Dikira Ken akan terbangun tapi ternyata tidak. Arin semakin kesal jadinya. Lagi ia memukul wajah Ken sampai tiga kali tapi tetap saja Ken tidak terganggu.
"Tidur apa mati sih?" Gerutunya sambil ikut berbaring. Tak lama kemudian ia pun tertidur. Lagi, Arin bermimpi ada yang mencium kening. Ia senang sampai membuat bibir ikut melengkung keatas.
***
Pagi harinya Arin terbangun dengan senyum mengembang. Ia sendiri bingung mengapa ia merasa senang padahal kalau dipikir-pikir tidak ada kejadian sebelum tidur atau dimimpinya yang bisa membuatnya merasa senang. Setidaknya itu yang ia ingat.
Arin keluar dari kamarnya dan menuju ruang makan. Dibiarkannya tempat tidur berantakan. Jangankan tempat tidur yang tersembunyi, rambutnya saja yang berantakan tidak ia rapikan atau sekedar mengikatnya menjadi satu.
Di meja makan semua orang sudah berkumpul dan sedang menikmati sarapannya. Ia mendudukan dirinya di kursi kosong satu-satunya di samping Kenzi. Semua mata tertuju padanya dengan pandangan terkejut.
"Hehe.. Pagi!" Cengirnya sambil menyendok nasi goreng kepiringnya. Ia tidak mencuci wajahnya apalagi menggosok gigi lebih dulu.
"Heh cewek jorok! Cuci muka dulu sana! Gosok gigi juga." Ucap ibu Arin sarkastik tapi Arin seolah tidak mendengar. "ARIN!" teriaknya berang sampai membuat semua orang yang ada disana terkejut.
Arin menatap ibunya malas. Hilang sudah perasaan senangnya tadi. "Dih biasanya juga ibu nggak pernah protes." Protesnya membuat ibunya mendelik padanya.
"Kamu nggak malu apa? Ken saja sudah bangun dari tadi dan sudah mandi, lah kamu, ilermu saja masih nempel dipipi."
"Eih Arin nggak pernah ngiler," elaknya. Ia tidak bohong karena memang selama ini Arin tidak pernah ileran kalau tidur. Arin menoleh menatap Ken yang juga sedang memperhatikannya.
"Arin!"
Arin berdiri, meninggalkan meja makan dengan kesal. Jika sudah ayahnya bicara dengan nada mengerikan seperti itu ia tidak akan berani membantah. Yang semakin membuatnya kesal adalah ayahnya kerap kali mengeluarkan nada mengerikan seperti itu jika menyangkut dirinya. Ayah Arin memang tidak pernah bersikap manis pada Arin, berbanding terbalik kepada kedua kakak lelakinya. Sampai terkadang Arin merasa bahwa ia adalah anak tiri.
Tak sampai dua menit kembali dengan wajah lembab habis terkena air. Tak banyak bicara Arin langsung duduk dan melahap nasi goreng yang sudah diambilnya tadi.
***
Arin berjalan menuju kamarnya setelah diberi tahu kalau mereka kembali siang nanti seusai sholat dzuhur. Sebenarnya ia ingin kembali hari minggu tapi ibunya melarang karena ia harus ikut Ken akan kembali siang nanti membuat Arin mendengus tak suka.
Arin hendak mendorong pintu kamarnya yang tidak tertutup rapat ketika mendengar suara Ken.
"Jangan gunakan akalmu yang pendek!"
"Kamu pemimpinnya, kenapa malah kamu yang bodoh?"
"Sudah aku bilang aku tidak mau. Jangan menemui atau menghubungi aku lagi kalau hanya memaksaku melakukan itu."
Lalu setelahnya tak ada lagi suara Ken yang terdengar. Arin pun memberanikan diri untuk masuk. Ia membanting dirinya diranjang membuat Ken yang tidak sadar akan kedatangnya jadi terkejut. Tapi Arin tidak perduli. Ia mengambil ponselnya dan terdapat tiga panggilan tak terjawab dari nomor tak dikenal. Arin mencoba menghubungi balik tapi tak ada jawaban.
Masa bodoh, Arin menutup matanya. Ia tiba-tiba kepikiran tentang pembicaraan Ken tadi. Siapa yang menelpon dan apa yang dibicarakan. Sungguh Arin penasaran. Sangat penasaran tentang pria yang saat ini satu ruangan dengannya.
Tadi saat dimeja makan Ken terlihat akrab dengan ayahnya. Bukan hanya dengan ayahnya tapi dengan semua orang yang ada disana. Bahkan sesekali mereka bercanda. Hanya Arin saja yang tidak bicara atau pun ikut tertawa. Melihat itu Arin malah semakin terlihat seperti anak tiri yang penting.
"Huwaaahh kasian!" Arin menjerit kecil. Ia mengejek dirinya sendiri.
"Prepare! Jam 1 kita berangkat."
Arin membuka matanya, Ken berada tepat duduk disampingnya sambil memainkan ponselnya. "Masih jam sepuluh juga. Ntaran." Jawab Arin acuh.
"Kayak bisa cepat saja." Celetuk Ken seakan tahu kebiasaan Arin.
"Berisik." Geram Arin. Tapi ia bangun juga dan bersiap-siap.
Butuh waktu dua jam untuk Arin menyiapkan barang-barang yang perlu dibawanya. Padahal yang akan dibawanya tak begitu banyak tapi membutuhkan waktu cukup lama. Ia bahkan belum mandi.
Baru ia akan berbaring lagi ketika suara Ken menginterupsinya. Menyuruhnya untuk segera mandi. Arin mengerutu tapi tetap mendengarkan Ken. Ia menggerutu bukan karena Ken yang seakan memerintahnya tapi karena ia seakan begitu patuh terhadap ucapan Ken.
Pukul satu lewat sepuluh, Arin dan Ken sudah siap untuk berangkat. Ibunya bercuap-cuap, menasehatinya tentang kodrat seorang istri. Arin mendengarkan antusias. Tapi akting. Ia ingin cepat-cepat pergi, bosan dengan sikap orang tuanya yang seakan membanggakan Ken.
"Dengar ya, Rin, istri harus bisa masak buat suaminya." Arin hanya mengangguk. "Katanya mau berubah umur sembilan belas, ini udah dua puluh masih gini-gini aja."
"Eh udah berubah kok, Bu." Protes Arin.
"Apanya yang berubah?"
"Ya setidaknya Arin udah suka mandi dua kali sehari." Ibunya mendelik mendengar pembelaannya. "Dan lagi ya Arin udah bisa masak ... nasi, air, mie instan, buat kopi instan." Ujarnya bangga.
Ibu Arin mendadak terlihat lemas mendengar ucapan anaknya. Apa yang dibanggakan dengan itu semua? Astaga Arin malu-maluin.
"Udah sana!" Ibu mengibaskan tangannya. "Kalian pergi sekarang. Jangan lupa pesan Ibu, Arin." Setelah itu meninggalkan mereka.
Arin menatap ibunya heran. Ia tidak sadar kalau ayahnya berdiri didepannya. Arin tersentak ketika tubuhnya dipeluk oleh ayahnya. "Selamat menempuh hidup baru sayang." Ayahnya mengacak-acak rambutnya. Arin terperangah. "Jaga putri ayah baik-baik, Ken. Jangan rusak kepercayaan ayah padamu."
Ken yang berada dibelakang Arin mengangguk. "Iya, ayah."
"Hati-hati di jalan." Pesan ayahnya sebelum masuk kedalam rumah.
"Rumahmu?" Sekali lagi Arin memandangi rumah yang ada didepannya. Ia bingung dimana pintu masuknya karena yang tepat didepannya sekarang seperti halnya pintu garasi. Rolling door kalo ngga salah namanya. Pikir Arin.
"Ayo masuk!"
"Hah?"
Tiba-tiba pintu didepannya terbuka, bergerak keatas. Dalam hati Arin berdecak kagum tapi menampilkan ekspresi biasa diwajahnya. Ia tak ingin dikatakan kampungan.
"Barang-barangku?" Cegah Arin membuat Kenzi menoleh dan berbalik. Tadi sebelum kesini mereka mampir lebih dulu dikosan Arin. Lelaki itu membuka bagasi mobilnya dan mengambil barang Arin yang memang tidak banyak. Arin juga membantu membawa barangnya tidak begitu berat karena Kenzi sudah membawa barangnya sekaligus.
Arin mengikuti Kenzi naik kelantai atas. Melihat banyaknya barang yang dibawa Kenzi, Arin jadi was-was kalau saja laki-laki itu bisa saja tergelincir. Tapi laki-laki itu terlihat biasa saja, tidak terlihat kesusahan.
"Kuat ya?" Gumam Arin pelan. "Iyalah, laki-laki tenaganya mah gede." Celetuknya kemudian.
"Kamu ngomong apa?" Tau-tau Kenzi sudah ada didepannya. Perasaan Arin tadi mereka berjarak sekitar sepuluh langkah.
"Ngga ada." Gadis itu berkilah. Lalu ia melirik ruangan dibelakang Kenzi yang pintunya terbuka. "Kamar?" tanyanya melihat adanya tempat tidur.
"Iya. Kamar kita." Kenzi mengambil alih barang yang dibawa Arin dan memasuki kamar itu.
Melihat tempat tidur, mendadak Arin merasa lelah. Ia ingin tidur saat ini juga. Gadis itu membanting tubuhnya diatas ranjang seraya menutup mata.
"Ngga mandi dulu?" Tanya Kenzi. Lelaki itu sudah membuka kaosnya. Sekarang sudah hampir pukul sebelas malam. Untungnya tadi sebelum kekosan Arin mereka sudah lebih dulu mencari makan.
Arin tidak membuka matanya. "Keberatan kalo aku ngga mandi?" Beberapa detik dirasanya tak mendapat jawaban, Arin melanjutkan. "Aku ngga pernah mandi malam. Aku tidur dilantai kalo gitu." Arin bangkit, matanya menyusuri lantai kamar mencari tempat dimana kira-kira ia bisa tidur tanpa menganggu. Pilihan gadis itu jatuh pada lantai di sebelah kanan tempat tidur. Ia belum menyadari Kenzi yang bertelanjang dada.
Kenzi hanya menghela nafas pelan. Ia tidak berusaha mencegah gadis itu yang akan tidur dilantai. Padahal ia tidak mengatakan apa-apa. Laki-laki itu berjalan kekamar mandi yang ada disisi kiri kamar.
Lima belas menit kemudian Kenzi keluar dengan handuk bergantung rendah dipinggangnya. Ia melihat Arin yang sudah tertidur dilantai tanpa beralaskan apa-apa. Bahkan bantal saja gadis itu tak memakainya. Cepat Kenzi memakai pakaiannya lalu menghampiri gadis yang sudah menjelma jadi istrinya. Pelan-pelan ia memasukan tangannya kebawah leher dan lutut Arin lalu memindahkannya diatas ranjang.
Jangan kalian pikir Kenzi akan setegah itu. Buat apa ia nikahi gadis itu kalau tidak bisa menerima apa yang ada digadis itu. Termasuk kebiasaan malasnya yang terkesan jorok.
***
Arin terbangun. Ia merasa ada sesuatu yang menindih perutnya. Arin hampir saja memekik jika tak ingat kalau sekarang statusnya sudah berubah. Hanya saja dirasanya semua ini terlalu cepat. Apa lagi posisi mereka saat ini terlalu mengejutkan.
Kenzi berada sangat dekat dengan tubunya. Sebelah tangan laki-laki itu berada diatas perutnya dan kepalanya menjorok kerambut Arin yang ikatannya terlepas. Semalam Arin masih bisa merasakan tubuhnya yang seakan melayang tidak tahunya kalau ia diangkat keatas ranjang.
Ini disebut meluk ngga sih? Bisik Arin dalam hati. Seumur-umur ia belum pernah dipeluk oleh laki-laki. Jadi wajar bukan kalau sekarang ia merasa gugup. Apalagi mereka belum kenal sebelumnya.
Pelan-pelan Arin beranjak dari tempat tidur. Ia melihat ponsel Kenzi tergeletak diatas meja kecil disamping ranjang. Ia mengambil ponsel itu dan mengecek jam disana.
Hampir jam lima, ia kesiangan. Buru-buru ia masuk kedalam kamar mandi. Ia mandi dengan cepat. Saat akan memakai pakaiannnya ia bingung karena tasnya semalam tidak ada dikamar itu. Padahal jelas Arin ingat kalau tasnya ada disamping sofa semalam. Arin kembali mengedarkan pandangannya, sesekali ia melirik Kenzi yang masih tertidur. Ia takut kalau Kenzi akan melihat tubuh setengah telanjangnya.
Arin menemukan pintu lain dikamar itu. Nah itu yang Arin cari. Mungkin saja itu pintu walk in closet dan tasnya ada disana. Dan benar saja dugaannya tapi tasnya sudah kosong karena isinya sudah berpindah kesalah satu lemari kaca disana.
Arin pakai baju dengan cepat lalu menunaikan ibadah seperti seharusnya seorang muslim. Setelah itu ia kedapur untuk membuat sesuatu yang sekiranya bisa dibuat untuk sarapan. Seharusnya jika tak bangun terlambat, sebelum mandi Arin biasanya belajar lebih dulu.
Seperti inilah Arin saat diluar rumah orang tuanya atau saat tidak bersama orang
tuanya. Bohong jika pribadi Arin masih pribadinya yang dulu, gadis yang terkesan jorok dan pemalas. Hanya saja ia tak ingin memperlihatkannya pada kedua orang tua ataupun saudaranya. Alasannya klise tak ingin dikatakan aneh. Hah, kalau alasannya seperti itu bukankan dia memang aneh?
Arin mengikuti instingnya mencari dapur dan ternyata tidak salah. Tapi apa yang ia temukan didalam kulkas tidak sesuai harapannya. Hanya ada roti tawar dan beberapa macam selai.
Gadis itu mendesah pelan. Mengapa sarapannya tak jauh-jauh dari makanan sederhana itu? Arin sudah bosan jika setiap pagi perutnya selalu diisi dengan roti. Gadis itu membuat secangkir teh hangat untuknya sendiri lalu mengambil satu lembar roti tawar dan menggigitnya langsung. Kakinya berjalan menyusuri rumah Kenzi. Ia tidak tahu apakah rumah ini juga akan menjadi rumahnya. Ia bingung.
Ia memilih duduk diteras belakang yang menampilkan taman kecil dan kolam berenang. Disamping taman ada kolam ikan dengan air mancur ditengahnya. Beberapa pohon rindang berukuran sedang membuat udara pagi semakin terasa sejuk. Mungkin di sini akan menjadi tempat favoritnya dirumah ini.
"Tidak kuliah?" Suara Kenzi membuat Arin menoleh. Kenzi mendekat dan duduk di kursi di sampingnya yang dibetasi sebuah meja kecil. Kenzi belum mandi, Arin tahu itu karena baju yang dipakainya masih sama. Dan tanpa permisi lelaki itu meminum teh hangatnya.
"I..itu bekasku," kata Arin memberitahu.
Kenzi mengangkat sebelas alisnya lalu memandang cangkir teh yang masih dipegangnya. "Terus?"
"Terus... ya.." Arin gelagapan. Ia bingung harus bagaimana. Maksudnya ditempat yang sama dipinggiran cangkir itu bekas bibirnya. Ini mungkin semacam ciuman tidak langsung.
"Jangan terlalu sering makan dan minum yang terlalu manis seperti ini." pria itu menaruh kembali cangkirnya diatas meja. "Ngga baik."
Yang dikasih tahu hanya mengangguk pelan. Lalu hening. Keduanya sama-sama menikmati pagi yang masihdiselimuti embun.
"Kamu sudah mandi?" Tanya Kenzi yang tersadar kalau rambut wanitanya terlihat basah. Arin mengangguk. "Mau kekampus?"
Arin itu menoleh. "Kalo mandi pagi berarti mau kekampus ya?" Ia kembali menatap kedepan. "Jangan anggap sikapku akan sama dengan saat aku dirumah orang tuaku." Kenzi memandang tak mengerti. "Aku tidak sepemalas itu sampai tidak mandi pagi, hanya saja ada beberapa faktor sampai aku seperti itu jika di sana." Curhatnya.
"Oo.." Kenzi bergumam. "Terus semalam ngga mandi."
"Gue masih ingat ya semalem gue bilang apa." Gerutu Arin membuat Kenzi terkekeh. Pria itu bangkit lalu mengacak rambut atas Arin. Sekilas Arin terlihat terkejut. Sentuhan kecil Kenzi memberikan efek aneh pada tubuhnya.
"Kuliah?"
Arin memutar bola matanya malas. "Hari minggu elah."
Kenzi terkekeh lalu meneliti tubuh Arin. "Oke," ucapnya sambil berlalu pergi.
☆☆☆
Arin mengikuti Kenzi disamping pria itu. Matanya fokus meneliti apa saja yang ada di dalam trolli yang dibawa Kenzi. Isinya kebanyakan buah-buahan kesukaannya, terutama pisang, apel, dan pir, ketiga buah itu wajib ia beli. Setelah dirasa cukup tangannya berhenti mengambil buah-buahan.
Sekarang ia hanya mengikuti Kenzi. Dan kini mereka berada di bagian daging. Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya melihat daging yang diambil Kenzi padahal pria itu sedang tidak meminta persetujuannya. Matanya mendelik ketika menangkap Kenzi memasukan beberapa ikan kedalam keranjang mereka.
"Ini mah kebanyakan." Ucapnya tanpa suara. Diam-diam ia meletakan kembali ikan-ikan itu dan menyisakan satu. Lalu ia tersenyun evil.
Saat akan kekasir, Kenzi tiba-tiba berhenti dan beebalik pada Arin membuat gadis itu terkejut.
"Kenapa?" Tanya Arin.
"Kamu ngga beli.. mm pembalut mungkin?"
Mendengar pertanyaan pria itu, tanpa sadar Arin menghembuskan nafasnya. Matanya mengerjab polos lalu berbalik dan berlari kearah rak yang menjual kebutuhan wanita satu itu.
Tak lama kemudian Arin kembali dengan kedua tangan dibalik tubuh. Menyembunyikan
sesuatu yang dipegangnya. Arin melempar benda itu dikeranjang lalu berlari keluar meninggalkan Kenzi seorang. Membuat Kenzi ternganga. Buat apa disembunyikan kalau sekarang benda itu diserahkan pada Kenzi? Gadis itu memang aneh sepertinya. Bisik Kenzi dalam hati.
***
Sampai dirumah Arin hanya duduk dimeja bar memperhatikan Kenzi menyusun belanjaan yang tadi mereka beli. Bukan hanya duduk tapi mulutnya bekerja mengunyah apel merah di tangannya. Selama laki-laki itu tidak protes ia pikir tidak masalah.
"Kok ikannya cuma satu ya?" Kenzi berseru bingung. Dan dengan sok polos Arin hanya menaikan sebelah alisnya seakan bertanya ada apa. Kenzi hanya menggeleng. Mungkin ia lupa atau hanya perasaannya saja. Pikir Kenzi. Laki-laki itu memilih mengabaikan keganjilan yang ia rasa.
"Makan siang pake apa?"
"Nasilah," jawab Kenzi acuh.
"Yang masak siapa?" Kali ini kenzi menoleh menatap Arin sekilas tanpa menjawab. "Dih ditanya juga,"
"Aku." Kenzi mengeluarkan bahan bahan yang akan dipakainya.
"Kamu bisa masak?" Tanya Arin tak percaya.
"Bisa," Kenzi menghentikan kegiatannya lalu menatap Arin yang masih diposisi yang sama dan masih menyantap apel merahnya yang tinggal seperempat. "Kamu harus bantu."
"Oke," kata Arin semangat. "Bantu dengan doa, kan?" Arin membalas tatapan Kenzi dengan memainkan matanya lalu terkekeh. Anehnya pria itu tidak marah dan malah ikut tertawa bersamanya.
Akhirnya mereka berdua masak bersama. Bersama-sama didapur tepatnya. Arin hanya membantu Kenzi sebisanya seperti mengambilkan lada dan semacamnya. Dan selebihnya Arin hanya memperhatikan dan sesekali bertanya tentang prosesnya.
Saat ini Kenzi tengah mengajari Arin membuat udang goreng tepung. Laki-laki begitu serius mengajarkan hal itu pada Arin. Sementara Arin lebih banyak tertawa dan tidak memperhatinkan.
"Nah balutnya harus rata kayak gini." Kenzi dengan santai menepelkan tepung kewajah Arin membuat Arin terkejut.
"Iya, ngga boleh ada yang ngga kena." Arin balas menempelkan telapak tangannya yang sudah penuh dengan tepung ke wajah Kenzi sehingga wajah pria itu lebih kotor darinya.
Arin tertawa keras melihat wajah belepotan Kenzi yang terlihat lucu dimatanya. Belum lagi ekspresi yang ditampilkan Kenzi semakin mendukung wajah lucunya.
Jadilah mereka saling menepelkan tepung satu sama lain. Saling mengejar dan saling menghindar. Tertawa dan bercanda bersama melupakan kecangungan yang terjadi diantara mereka sejak dua hari kemarin.
Arin mengejar Kenzi sampai ditaman belakang. Tiba-tiba Arin tersandung sesuatu dan mengakibatkannya jatuh kedepan. Dahi dan hidungnya menabrak kursi.
"Aduuuhh... patah nih implan." Arin memegangi hidungnya yang terasa bengkok. Ia berdiri dibantu Kenzi. Pria itu lalu mendudukan Arin disalah satu kursi disana.
"Kamu ngga papa?" Tanya Kenzi cemas. Laki-laki itu memegang dagu Arin sambil meneliti wajah Arin. Bukannya menjawab Arin malah menepelkan sisa tepung di tangannya. "Udah ya? Nanti kamu jatuh lagi." Kenzi membersihkan wajah Arin dari tepung. Jika saja tepung itu tak memenuhi wajahnya pasti Kenzi sudah melihat wajah Arin yang memerah.
"Bersihin diri kamu! Terserah mau mandi lagi atau ngga." Kenzi membawa Arin berdiri. "Habis makan siang kita ke dokter."
"Buat apa?"
Kenzi mengusap hidung Arin yang memerah. "Periksa, kalo aja implan kamu patah."
"Ih apaan sih," gadis itu memberengut. "Aku tadi cuma bercanda tau."
Kenzi terkekeh. "Tau kok. Cuma periksa aja, jaga-jaga." Laki-laki tersenyum. "Sekarang mandi ya?" Bujuknya. Arin mengangguk lalu pergi kekamar mereka dan membersihkan diri.
Sementara Kenzi membereskan kekacauan yang sudah mereka buat tadi. Sesekali ia tersenyum. Dalam hati ia akan mengingat selalu moment tadi. Minus adegan dimana Arin terjatuh.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!