4

"Hahaha

kamu tenang saja Ken, hidung istrimu tidak apa-apa. Berterima kasihlah pada

dahinya, karena dahinya hidungnya tak apa-apa." Kata dokter Evan serius

tapi dibarengai dengan aksen bercanda.

Kenzi

kembali memperhatikan hidung dan dahi istrinya. Hidung itu memang hanya

terlihat merah tidak seperti dahinya yang ada memar kecil disana. "Jangan

ditekan-tekan lagi!" Kata Kenzi melarang Arin yang kembali memegang-megang

hidung membuat gadis itu mengerucutkan bibir.

Dokter

Evan tertawa melihat sepasang pengantin baru dihadapannya. Ah iya, ada yang

hampir dilupanya. "Ken, om mau protes kenapa tidak mengundang om dihari

pernikahanmu?"

"Wanita

yang kunikahi tidak menginginkan pesta." Arin mendelik mendengar ucapan

Kenzi. Kapan ia pernah bilang begitu?

Karena

ucapan Kenzi juga sebuah buku kecil melayang dikepala pria itu. "Om, aku

bukan anak kecil lagi." Desisnya pada pria paru baya didepannya. Ia

mengusap kepalanya.

Dokter

Evan melipat kedua tangannya didada. "Setidaknya mengundang om untuk

melihat kamu mengucap ijab kabul."

"Aku tidak mengundang siapa-siapa om, hanya Ryan yang ada disana."

Kata Kenzi sambil menarik kedua tangan Arin yang lagi-lagi ingin menyentuh

hidungnya. "Dibilang ngga usah pegang-pegang." Matanya mendelik pada

Arin. Sikapnya itu membuat Arin terlihat seperti anak SD.

Tiba-tiba

pintu ruangan putih itu terbuka dan seorang dokter muda masuk begitu saja. Arin

yang ikut melihat seakan terpesona karena paras tampan dokter muda itu.

"Hay..

Aku Galih Prayuda Evan, anaknya dokter Evan. Udah punya pacar belum?"

Ucapnya memperkenalkan diri pada Arin. Dan dengan polos Arin menggeleng.

Matanya masih menatap kagum Galih itu.

"Jangan

ganggu istriku Galih!" Kenzi menatap Galih Tajam. Suaranya sedingin es.

Tapi Galih mengabaikannya.

"Kapan-kapan

kita makan diluar berdua ya cantik?" Ajak Galih. Pria itu memamerkan

senyum menawannya sambil mengacak rambut atas Arin.

"Galih!"

Sentak Kenzi berdiri. Matanya masih menatap nyalang pada Galih. Ia menangkap

tangan pria seumurannya itu yang hendak menyentuh pipi istrinya membuat sang

pemilik tangan membalas tatapannya tak kalah tajam.

Arin

bisa merasakan udara sekitarnya yang terasa panas. Mata kedua pria didepannya

memancarkan aura permusuhan yang nyata. Mendadak Arin merasa bersalah pada

Kenzi. Gadis itu bukan sedang mengagumi ketampanan Galih tapi ia hanya menatap

kagum dan iri pada jas kebesaran sang dokter yang dipakai Galih. Apalagi

melihat gelar di name tag pria itu yang merupakan cita-citanya semasa

kecil dulu yang tidak kesampaian.

"Sudah-sudah,

kalian membuat Arin takut."

Arin

menarik-narik baju Kenzi. "Kak Ken, udah donk!" Pinta gadis itu.

Kenzi menghempaskan tangan Galih kasar. Lalu ia Arin agar berdiri.

"Kita

pamit, Om." Ucapnya sambil menarik Arin keluar dari ruangan itu.

Begitu

sampai dimobil raut wajah Kenzi masih dingin, bahkan saat kendaraan roda empat

itu melaju meninggalkan rumah sakit.

"Jadi

kak Galih itu dokter." Gumam Arin membuat laki-laki disampingnya menoleh

tajam.

"Kamu

kenal Galih?"

"Cuma

pernah ketemu sekali. Waktu makan sama Kak Iyan dulu, dia tiba-tiba dateng

nyamperin kita terus tanpa diperkenankan dia perkenalkan diri. Sempat juga

nawarin makan malam berdua. Tapi detik itu juga Kak Iyan ngga bilang apa-apa

langsung ngajak pergi. Mukanya jadi kayak marah gitu." Jelas Arin santai.

Gadis itu tak menyadari aura yang terasa berbeda disekitarnya. "Kalian

musuhan ya?"

"Kamu

suka dia?" Bukannya menjawab pertanyaan Arin, Kenzi malah balik bertanya

dengan aksen menuduh.

"Dih,

suka sama dia? Ngapain?" Arin bergidik ngeri. "Mending aku suka sama

kamu."

Detik

itu juga Kenzi menghentikan mobilnya tiba-tiba. "Kenapa?" Tanya Arin.

Kenzi

menggelengkan kepala. "Ngga papa," lalu kembali menjalankan mobilnya.

Untung tak ada kendaraan lain dibelakangnya sehingga tak berakibat fatal.

"Tapi matamu tadi seakan suka sama dia."

Arin

memutar tubuhnya menghadap Kenzi. Matanya menatap penuh selidik. "Kak Ken

cemburu ya?" Tanyanya percaya diri.

Laki-laki

itu mendengus. "Jawab saja!" Katanya datar.

Kali

ini Arin yang mendengus sambil kembali keposisinya semula. "Aku tuh cuma

kagum sama jasnya tau."

"Jas

dokter?" Tanya Kenzi tak percaya

"Iya,"

Arin mengangguk yakin tiga kali. "Terus dengan gelarnya dia. Uhg dokter

spesialis bedah saraf, keren. Itu cita-citaku dulu waktu kecil, tapi aku dengan

bedah jantung." Kata Arin dengan mata menerawang dan berbinar mengingat

betapa banyaknya cita-citanya waktu kecil.

Lalu tak ada pembicaraan lagi, bahkan sampai mereka berdua sudah berada

dirumah. Arin pergi kearah dapur sedang Kenzi naik dilantai dua atau mungkin

tiga diruang baca. Arin tidak tahu ada apa dengan pria itu, lebih tepatnya

tidak mau tahu. Sekarang yang ia tahu pasti, ia merasa lapar. Ia mengambil satu

buah apel dan pir lalu membawanya keruang tengah.

Seusai

magrib Arin turun dari kamar mereka dan pergi kedapur. Disana ada Kenzi yang

sedang berkutak dengan bahan masakan. Ia duduk dimeja bar sambil memperhatikan

laki-laki yang menjadi suaminya itu memasak. "Ngga sholat?" Tanyanya.

Kenzi

mendongak sebentar menatap Arin lalu kembali fokus dengan apa yang sedang ia

lakukan. Ia tak menjawab pertanyaan dari istrinya itu.

"Umat

muslim itu harus sholat loh." Celetuk Arin. Gerakan Kenzi terhenti sesaat

tapi tetap tidak menimpali ucapan Arin.

"Sudah

lapar?" Tanya Kenzi beberapa saat kemudian sebagai peralihan fokus

pembicaraan.

Arin

mengangguk tapi tak lama kemudian disusul dengan gelengannya. "Lapar ngga

lapar sih. Ada makanan ya lapar, ngga ada ya ngga lapar." Jelasnya.

Beberapa

menit kemudian masakan Kenzi pun jadi. Saat Kenzi mau membawanya ke meja makan,

Arin melarang dan menyuruh untuk makan dimeja bar saja.

"Ini

meja disini sebenarnya untuk apa sih?" Tanya Arin lalu menyuapkan nasi

kedalam mulutnya. "Dibilang meja bar juga ngga ada wine atau semacamnya

disini."

"Aku

ngga pernah minum alkohol."

"Terus

ini untuk apa? Hias?"

"Untuk

tempat duduk saat lagi ngeliatin istri masak."

Tiba-tiba

Arin tertawa sampai beberapa butir nasi keluar dari mulutnya. "Tapi dari

tadi aku yang duduk disini ngeliatin kamu masak." Arin tertawa lagi sampai

terbatuk. Kenzi hanya diam, ia menyodorkan air minum untuk Arin.

Sampai

selesai makan Kenzi tetap diam dan Arin juga ikut diam karena Kenzi tak menimpali

ucapannya. Saat Kenzi akan mencuci bekas makan mereka, lagi-lagi Arin melarang

karena ia bisa lakukan itu. Semacam bagi tugas katanya. Kenzi memasak, Arin

yang mencuci bekas perabotannya.

Kenzi

berdiri disamping Arin. Ia memperhatikan bagaimana Arin mencuci piring. Awalnya

Kenzi pikir cucian Arin tidak akan bersih tapi dugaannya salah. Arin

melakukannya dengan baik layaknya sudah biasa mencuci puring.

"Bersih

juga cucian kamu," Arin hanya tertawa mendengar ucapan Kenzi. Akhirnya ia

tahu alasannya Kenzi berdiri disampingnya. Laki-laki itu sedang mengawasi

pekerjaannya.

Arin

melangkahkan kakinya meninggalkan dapur. Arin melihat Kenzi yang menonton tv

diruang tengah. Ia ingin juga menonton tv, tapi mengingat sekarang bulan

desember dimana para mahasiswa sepertinya harus lebih rajin belajar karena akan

menghadapi ujian akhir semester. Arin sudah semester lima dan ia tidak mau lagi

mengecewakan orang tuanya seperti disemester awal dengan mendapat ipk rendah.

Setelah

tiga puluh menit belajar, Arin turun karena ingin menonton tv. Saat tiba

diruang tengah Arin tak menemukan Kenzi.

"Kemana

itu makhluk?" Gumamnya sambil menyalakan televisi.

"Makhluk

apa?"

"Weish.."

Arin terlonjak mendengar suara tiba-tiba disampingnya. Arin menoleh dan

mendapati Kenzi yang baru saja duduk. "Jangan ngagetin dong!"

"Makanya

jangan melamun." Kenzi mengambil alih remot tv yang dipegang Arin lalu

mengganti channel yang menayangkan berita. "Bagaimana hidungmu?"

"Kok

berita sih? Berita itu bikin sakit kepala, apalagi kalo tentang politik."

Protes Arin mengabaikan pertanyaan Kenzi mengenai hidungnya. Ia merebut kembali

remot itu lalu menggantinya dengan channel yang menayangkan sebuah film action.

"Hidungmu

bagaimana?" Tanya Kenzi sekali lagi tapi lagi-lagi Arin mengacuhkannya.

Kesal, Kenzi menarik tubuh Arin agar menghadapnya. Ia memegang dagu Arin

sembari meneliti wajah itu mengabaikan tatapan protes sang empunya. "Masih

sakit?" Kenzi meraba hidung Arin yang memerah.

Arin

mengangguk. "Sedikit," Wajahnya memerah dan tiba-tiba Arin merasa

canggung karena tangan Kenzi tak kunjung menjauh dari wajahnya. Karena tak

tahan lagi Arin menepis tangan Kenzi diwajahnya lalu kembali menghadap

televisi.

Wajahnya

semakin memerah takkala pemain utama difilm yang ditontonnya sedang berciuman.

"Hahaha," Arin tertawa hambar. Matanya melotot ketika dua pasang

manusia itu menjatuhnya tubuhnya keatas ranjang, saling menindih dengan tangan

yang saling meraba. Adegannya begitu cepat karena kini pakaian atas keduanya

telah tersingkap. Arin gelagapan, "Hahaha salah cari film. Kampret,"

umpatnya saat tak menemukan remot yang dicarinya.

Arin

tak sadar kalau remot yang dicarinya ada ditangan Kenzi. Reaksi Kenzi melihat

adegan difilm itu berbanding terbalik dengan Arin. Jika Arin terlihat salah

tingkah, Kenzi malah bersikap biasa seakan tontonan dilayar sudah biasa

dilihatnya.

Arin

merentak berdiri hendak melangkah menjauh tapi tangannya ditarik Kenzi

tiba-tiba hingga ia terjatuh diatas pangkuan pria itu. Mata mereka bertemu

menimbulkan desiran aneh didada Arin.

"K..kak,

Arin ngantuk mau tidur." Ucapnya gugup sambil menunduk. Jantungnya

berdetak kencang sampai terasa sakit. Ia berdiri kembali tapi karena kakinya

terasa lemas ia kembali jatuh dipangkuan Kenzi. Pria itu tersenyum aneh.

Setidaknya aneh dimana Arin.

 

***

Kenzi

tampak fokus dengan pekerjaannya. Entah saking fokusnya atau bagaimana, ia

tidak mendengar suara ketukan pintu ruangannya sehingga orang itu masuk tanpa

dipersilahkan.

Mike,

orang itu, duduk didepan meja kerja Kenzi. Mengamati Kenzi yang terlalu fokus

menurutnya. Ia sudah mengenal dan dekat dengan Kenzi sejak sekolah menengah

pertama. Jadi sedikit banyaknya ia tahu tentang Kenzi.

"Ke

mana lo empat hari kemarin?" Suaranya terdengar dingin menusuk telinga

Kenzi.

Kenzi

mengangkat kepalanya, menatap malas pria didepannya. "Liburan,"

jawabnya acuh lalu kembali memfokuskan diri pada lembar-lembar kertas

didepannya.

"Liburan

sambil ngubah status?" Tanya Mike lagi, kesal.

"Apa

kamu tidak punya pekerjaan lain?" Kenzi balik bertanya bermaksud mengusir

halus Mike.

"Well,

gue bossnya. Buat apa punya anak buah kalo masih ngerjain semuanya

sendiri." Mike tersenyum bangga membuat Kenzi mendengus. Kemudian Mike

kembali keekspresi semula saat mengingat tujuan awalnya datang keruangan Kenzi.

"Tega ya lo ngga ngundang gue?"

"Undang

apa?"

Mike

mendengus. "Ngga usah pura-pura bego. Kenapa lo ngga undang gue?"

"Undang

apa?" Tanya Kenzi sekali lagi. Ia benar-benar tidak mengerti maksud Mike.

Mike

melotot. "Nikahan lo bego."

"Oh,"

hanya itu responnya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Ini pasti pekerjaan

Ryan yang membeberkan pernikahannya yang tidak mengundang siapa pun. Lagi pula

tidak resepsi jadi tidak perlu undang mengundang orang lain, cukup keluarga

inti. "Ngga undang siapa-siapa, ngga ada resepsi juga." Lanjutnya

karena Mike hanya diam.

"Ya

elah bego." Ucapan Kenzi membuat Mike naik darah. "Seenggaknya lo

ngasih tahu perihal nikahan lo. Gue juga pengen jadi saksi nikahan lo."

"Aku

sudah pernah kasih tahu kamu kalau akan nikahin dia pas umurnya sudah dua puluh

tahun."

"***

lo." Ingin rasanya Mike meninju wajah Kenzi yang lagi berhias kacamata

itu. Kenzi memang sudah pernah memberitahunya tapi itu sudah sangat lama, saat

mereka baru lulus SMA. "Mana gue tau kalo tahun ini dia dua puluh tahun

bego." Gerutu Mike.

Kenzi

diam membiarkan Mike dengan presepsinya sendiri. Ia punya alasan sendiri sampai

tidak memberitahu orang-orang terdekatnya perihal pernikahan sederhananya.

Walaupun tanpa resepsi sebenarnya Kenzi sangat ingin mereka datang

menyaksikannya mengucap ijab kabul. Tapi ada satu hal yang membuatnya tidak

melakukan itu dan hanya dia dan tuhan yang tahu apa alasannya. Karena hal ini

juga Ryan kesal padanya dan akhirnya Ryan memberitahu beberapa orang tertentu

mengenai pernikahannya, berharap agar Kenzi mendapat amukan.

"Arin

sudah kenal Galih." Kata Kenzi setelah lama terdiam.

"Bodo,"

balas Mike acuh. Ia masih kesal.

"Aku

tahu kalau mereka sudah pernah ketemu pas sama Ryan." Kenzi tidak perduli

dengan balasan acuh Mike. "Ryan tidak pernah cerita tentang itu."

Mike

menatap wajah Kenzi yang sudah terdapat ekspresi berbeda. Balasan acuhnya tadi

sebenarnya hanya dibibir saja. "Tahu dari mana lo kalo mereka udah pernah

ketemu dan kenal?"

Kenzi

menceritakan kejadian kemarin secara singkat termasuk bagian dimana Arin

memberitahunya kalau sudah pernah bertemu Galih saat bersama Ryan.

"Aku ngga tahu kenapa Ryan ngga ngasih tau. Aku juga belum tanya, ngga

niat sih."

"Jangan

mikir macam-macam! Ryan adek lo. Kali aja dia ngga mau lo kepikiran."

Kenzi

diam. Ia tidak berpikir yang tidak-tidak tentang adiknya itu. Ia yakin Ryan

punya alasan sendiri yang pasti demi kebaikannya.

***

Kenzi

memasuki rumahnya dalam keadaan gelap. Sekarang sudah hampir jam sepuluh malam

dan ia baru pulang. Arin pasti sudah tidur, pikirnya.

Kenzi

masuk kedalam kamarnya yang juga gelap. Hanya ada cahaya dari lampu tidur.

Kenzi mendekati Arin yang sedang tertidur dengan posisi meringkuk tanpa memakai

bantal. Ditatapnya wajah Arin yang terdapat jejak air mata disana. Gadis itu

habis menangis, ditambah lagi dengan kasur yang sedikit basah. Arin menangis

karena bacaan novel. Kenzi tahu itu karena ditangan Arin terdapat sebuah novel.

Kenzi

menyimpan novel itu dirak dinding tak jauh dari posisinya, lalu memperbaiki

pisisi tidur Arin. Dipandanginya wajah yang menurutnya tidak pernah berubah

itu.

Masih

tetap sama. Cantik.

Setelah

puas memandang wajah Arin, laki-laki itu mengambil pakaian untuk tidurnya dan

untuk kerja besok lalu keluar kamar dan masuk dikamar yang berada diseberang

kamarnya.

Sudah

tiga hari sejak malam itu, Arin selalu menghindarinya. Ia sendiri bingung

kenapa Arin bersikap seperti itu. Awalnya ia mengacuhkan sikap Arin yang

terlihat gelisah bila didekatnya tapi ia tidak tega. Akhirnya demi kenyaman

Arin, laki-laki itu memilih tidur dikamar yang berbeda.

Pagi

harinya, Kenzi sedikit terkejut melihat Arin yang sudah rapi dan duduk dimeja

makan. Gadis itu terlihat gelisah sambil menatap sepiring nasi goreng

diseberangnya. Kenzi berjalan melewati Arin menuju dapur.

"Kak

Ken!" Seru Arin membuat pergerakan Kenzi yang akan membuka kulkas terhenti

sesaat.

"Apa?"

Laki-laki itu mengeluarkan roti tawar dari kulkas.

"Makan

ini ya?" Tiba-tiba Arin sudah didepan Kenzi dengan membawa piring nasi

goreng itu. Arin mengambil roti ditangan Kenzi lalu memasukkannya lagi ke dalam

kulkas. Lalu menarik tangan suaminya menuju meja makan. Tak lupa menyodorkan

tawarannya tadi.

"Apa

ini?" Tanya Kenzi memperhatikan tampilan nasi goreng itu.

"Nasi

goreng?" Kata Arin berbinar.

"Kamu

yang buat?" Tanya Kenzi sambil menyendokan nasi goreng itu ke dalam

mulutnya. Nasi goreng yang dibungkus dengan telur dadar. Penampilannya seperti

makanan restoran. Arin menganguk semangat. "Bergaya."

"Enak?"

Tanya Arin semangat, ia mengabaikan celetukan Kenzi.

"Rasa

nasi goreng." Jawab Kenzi acuh.

'Shit.'

Umpat Arin tanpa suara. "Antar ya? Mau kan?"

Kenzi

meminum air pemberian Arin. "Jadi ini sogokan?"

"Mana

ada begitu?" Protes Arin. "Mau ya? Ngga enak naik angkot."

"Tidak

ada yang suruh kamu naik angkot." Jawaban Kenzi membuat Arin mencibir.

"Aku pikir kamu tidak mau berdekatan denganku."

"Eh?

I..itu.. kemarin.."

"Ayo!"

Potong Kenzi sambil berlenggang pergi.

Dalam

perjalanan mereka hanya diam. Sesekali Arin melirik Kenzi yang memasang raut

datar.

"Dia

malas ya antar gue? Kok ngeselin sih." Gerutu Arin dalam hati. "Ekspresi

kok cuma itu itu aja. Kan ngeselin, elah."

"Kalo

ada yang ingin kamu bilang, bilang saja! Jangan curi-curi pandang seperti

itu." Kenzi menghentikan mobilnya di depan fakultas Arin. "Nanti mau

dijemput? Jam berapa?"

"Nanti

aku kasih tahu." Ucap Arin lalu keluar dari dalam mobil. Kenzi bisa

melihat Arin yang sesekali menyapa teman yang dilewatinya.

"Nanti

aku kasih tahu." Kenzi mengulang kalimat terakhir Arin lalu mendengus

sambil menjalankan mobilnya. "Memangnya punya nomorku? Dasar."

Terpopuler

Comments

fifid dwi ariani

fifid dwi ariani

trus bahagia

2023-03-07

0

Fitriyani Puji

Fitriyani Puji

kelitan nya kenzi suka arin udah lama nya

2022-11-28

0

Idan Cedan

Idan Cedan

kok,,tulisan nya g jelas deh...! pisah nya jauh2 kurang nyambung...!!!

2022-03-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!