~Apa aku boleh berkata kasar? Jika langit itu sangat egois.
Tidak bisakah ia menunda waktu petang datang,
hanya biarkan aku terus menikmati kebersamaanku, sebentar saja.
Dengan orang yang kini terpisah ruang dan waktu dengan ku.
Tidak bisakah?~
Langit tidak pernah memiliki kompromi, jika waktunya tiba maka tak ada suatu hal apa pun yang bisa membuat langit mengurungkan niatnya untuk berganti warna.
Belum lama Kinara bisa melihat warna langit masih sangat terang, awan putih masih bergerembol. Namun kali ini warnanya terlihat sedikit gelap, ada cahaya menguning di ujungnya, matahari tak lagi nampak. Hilang sempurna tertelan senja.
Saat ini Kinara masih mengelus papan berwarna putih dengan tulisan berwarna hitam, bertuliskan nama Ayahnya.
Kinara mengerti, berapa lama pun dia menangis, berapa lama pun dia menunggu, Ayahnya tidak akan pernah datang. Tidak akan pernah!
Sementara Amanda, dia masih memegang pusara ayahnya yang basah, memanggil nama Ayahnya dengan napas ter putus-putus. Amanda hanya berharap Ayahnya bisa keluar dari dalam gundukkan tanah berhias bunga warna-warni di atasnya.
Dengan gontai, tubuh yang masih bergetar dan perasaan hancur. Kinara mencoba menguatkan tumpuan kakinya, memasang kembali sandal jepit berwarna biru di kakinya. Mencoba melangkah dengan sisa kekuatan yang masih ada di tubuhnya.
Di samping Kinara selalu berdir seorang wanita dengan tubuh yang tak lagi sekuat dulu. Dulu sekali, Kinara ingat wajah wanita itu sangat cantik, begitu menawan, senyum selalu mengembang di sudut bibirnya. Rambutnya masih berwarna hitam pekat, dengan kulit putih yang halus, dan kencang. Jalannya pun sangat cepat, apa lagi ketika tubuhnya bergerak berlarian mengejar tubuh kecil Kinara dan Manda.
Tetapi saat ini, wanita itu terlihat pucat, tak bertenaga, kulitnya mengendur, dan nampak jelas keriput di wajahnya.
Rambut hitam legam itu sudah berganti warna, warna putih tumbuh subur di kepalanya.
Bibirnya tak lagi melukis senyum dan jalannya tak sekuat dulu.
Wanita itu sering duduk di sembarang tempat ketika lelah menopang tubuhnya saat berjalan jauh.
Wanita itu adalah Mirna, Ibu dari Kinara dan Amanda.
Yah,
pemandangan yang sangat kontras bukan?
Tak membutuhkan waktu lama, kini senja sudah berganti malam.
***
🍃Satu Minggu Kemudian🍃
Tok ... tok ... tok ...
Mendengar suara ketukkan pintu membuat Kinara tersadar dari lamunannya. Kinara bergerak meraih gagang pintu dan membukanya, tak lupa ia menggerak bibirya beberapa kali untuk melatih senyum yang beberapa waktu lalu menghilang dari wajahnya.
"Ya, Bu," ucap Kinara begitu pintu kamarnya terbuka.
Terlihat senyum di sudut bibir Mirna lalu dia berucap, "Kau sedang apa?"
"Eh, tidak ada, Bu. Hanya sedang santai," jawab Kinara diikuti garukan di kepalanya.
"Ada yang ingin Ibu sampaikan," kata Mirna sembari menggandeng pergelangan tangan putrinya.
Kini Mirna sudah duduk dan bersandar di punggung kursi berbahan dasar plastik yang berada tepat di samping ranjang Kinara, di depan meja dengan tumpukkan buku-buku berukuran tebal.
“Segera bereskan pakaianmu, Kinara, persiapkan semuanya dari sekarang, jangan ada yang tertinggal," ucap Mirna dengan suara datar.
Suara lirih itu terdengar seperti sedang mengusir anaknya bukan? Namun tidak sama sekali, Mirna hanya menjalankan perannya sebagai seorang Ibu, melepas anak yang bukan lagi menjadi tanggung jawabnya.
“Bu, apa Kinar bisa hidup dengan laki-laki itu?”
Kinar membuka lemari baju, mengeluarkan satu per satu pakaiannya. “Kinar, tidak mencintainya, Bu. Bisakah Kinar hidup satu atap denganya tanpa ada rasa cinta di dalamnya?” Tngan Kinara masih sibuk mengeluarkan isi lemari.
“Kamu harus mengerti balas budi Kinar, jika bukan karena kebaikkan Ayah Dika, Ayahmu mungkin sudah lama tiada.
Selama ini Ayah Dika sering membantu untuk biaya pengobatan Ayahmu. Jika kamu melakukannya bukan karena cinta, setidaknya lakukan karena balas budi." Mirna menggenggam erat tangan Kinar. Kali ini dia merasa sangat egois harus mengucapkan kalimat yang begitu kejam kepada putrinya.
Balas budi? Bisakah sebuah pernikahan dilakukan karena balas budi? batin Kinara.
Kinara tersenyum tipis, dia merasa seperti sudah menjual dirinya sendiri kepada seorang Dika Mahendra.
Namun demi amanat terakhit Ayahnya, demi bakti Kinara kepada Ayahnya, dan demi perasaan ibunya. Apa pun itu, sesakit dan seberat apa pun. Kinara akan melakukannya tanpa perasaan ragu sedikitpun.
Kinara tidak menyalahkan orang tuanya, tidak menyalahkan siapa pun, bahkan tidak menyalahkan takdir yang mamperlakukan dirinya dengan sangat kejam.
“Pilihan Ayahmu, pasti yang terbaik untukmu.” Mirna kembali mengelus tangan Kinara, tangan wanita yang memiliki permukaan kasar itu membuat hati Kinara terenyuh, dia harus kuat, tidak boleh lemah.
Kinara tersenyum lebar, dia meletakkan pakaian yang sedari tadi masih di genggamnya lalu merengkuh tubuh ibunya dan meyakinkan ibunya jika dia baik-baik saja.
“Ibu juga harus jaga diri, Kinar usahakan supaya bisa menghubungi Ibu setiap hari," ucapnya sembari mengelus lengan ibunya.
"Semoga saja, Kinar juga bisa sering-sering mengunjungi Ibu. Ibu dan Manda harus kuat, Kinar akan membantu Ibu sekuat tenaga, semampu Kinar. Jangan pernah lelah mendoakan Kinar , yah, Bu. Doa ibu segalanya bagi Kinar.”
Kinara menyeka air matanya, dia tak ingin terlihat menyedihkan di depan ibunya.
Dia tak mampu lagi membendung kesedihan yang memenuhi hatinya.
“Dari kabar yang Ibu dengar, Dika itu laki-laki yang baik, Nak." Mirna membelai lembut puncak kepala Kinara."
"Katanya dia laki-laki yang sangat bertanggung jawab dan pengertian."
Entah dari mana Mirna mendapat kabar tentang Dika.
Namun yang pasti kabar burung yang Kinar dengar justru berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Ibunya.
Apa pun itu, Kinara percaya jika ucapan seorang Ibu akan menjadi doa yang mampu menembus langit. Dia tentu berharap, kalimat yang di ucapkan Ibunya adalah kenyataan sesungguhnya.
“Iya Bu, Kinar percaya. Pilihan Ayah tidak akan pernah salah.”
Kinara menyudahi percakapan malam itu dengan tersenyum lebar.
Dia kembali disibukan dengan mengeluarkan dan memilih pakaian yang akan dibawa besok.
Kini tangannya bergerak mengambil koper berwarna merah muda dari atas lemari, tubuhnya sedikit berjinjit. Dengan usaha yang gigih, koper berwarna merah muda itu sudah terbuka di atas tempat tidurnya.
Kinara segera memasukkan dan menyusun satu per satu barang miliknya yang akan di bawa ke rumah suaminya, barang-barang yang mungkin akan dibutuhkan Kinar di rumah barunya nanti.
"Jam berapa sekarang?" gumamnya.
Kinar melirik ke arah tembok dan mendapati jarum jam sudah berada di angka 11.
"Haaah ... waktu begitu cepat berlalu, apa yang akan terjadi besok, entahlah," desisnya.
Dia menurunkan koper yang sudah berisi semua barang miliknya dari atas ranjang, meletakkan dalam posisi berdiri di samping lemari.
Tubuhnya ambruk di atas kasur berukuran kecil, sesaat kemudian Kinara sudah menutup rapat kedua matanya.
Bagaimana dengan besok pagi? Ah, biarlah Tuhan mengatur skenario-Nya, Kinara hanya perlu memainkan perannya dengan baik.
\=\=\=\=>Bersambung 💕💕
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Ratu Kalinyamat
kinara hrs kuat demi ibu dan adikmu y.. smogasuamimu bnr bnr org baek
2023-08-24
0
Viviiii
ku menangiiiiiiiiiiiiiisssssssssssss 😭😭😭😭😭
ceritanya serruuuuuuu
2021-03-14
1
Bundanya Arzada
kata" nya bikin hati terhanyut thorrr
2021-02-20
0