~Tidak ada yang lebih menyakitkan dari sebuah perpisahan selain kematian.
Kematian jauh lebih sakit dari perpisahan itu sendiri.
Jika rindu ke pada yang masih ada, sekali pun rindu itu tidak pernah terbalas. tetapi rindu itu tetap sampai.
Namun, memberikan rindu pada orang yang sudah tiada.
Bukan hanya tidak akan pernah terbalas, tetapi juga rindu itu tidak akan pernah sampai~
***
"Jadi, ibu-ibu dan bapak-bapak yang saya hormati. Perkenalkan ini adalah suami Kinar, namanya Dika, dan ini Ibunya Dika, namanya Bu Marta." Mirna menunjuk besan dan mantunya secara bergantian.
"Beliau adalah besan saya itu artinya mertua Kinara," ucapnya datar tapi ada senyum tipis di wajahnya.
"Kinar dan Dika sudah menikah kurang lebih empat jam yang lalu, Bu, Pak. Di saksikan Pak Penghulu sebagai saksi pemerintahan, dua orang saksi lainnya dari pihak keluarga Dika, dan di walikan langsung oleh Almarhum Ayah Kinar sendiri, sebelum beliau menghembuskan napas terakhirnya," jelasnya.
Mirna memperkenalkan Dika ke pada para tetangga, Dika yang sejak tadi berdiri di samping ibu Kinar hanya bisa tersenyum dan mengangguk pelan.
Itu cukup bagi Dika untuk menjawab pertanyaan orang-orang yang terus menjatuhkan tatapan mata padanya, sejak pertama kali Dika turun dari mobil, seolah bertanya 'siapa laki-laki ini?' pikirnya.
Tetangga yang hadir untuk membantu acara pemakaman ayah Kinara hanya manggut-manggut, mengerti.
Penghulu yang juga diminta secara khusus untuk hadir sebagai saksi ikut membenarkan kalimat yang diucapkan Mirna.
Bukan tanpa alasan Mirna repot-repot mengumpulkan tetangga, dan memberi pengumuman perihal pernikahan anaknya.
Mirna sadar, sebagai orang desa melihat kedekatan antara laki-laki dan perempuan yang belum menikah, merupakan suatu hal yang masih tabu dan akan menjadi bahan gunjingan orang-orang. Dan Mirna tidak ingin putri kesayangannya menjadi bahan gunjingan.
Seperti itulah kurang lebih Mirna memperkenalkan anggota baru di keluarganya, meskipun saat ini sejujurnya Mirna ingin tetap membisu, dan terus merapal do'a untuk laki-laki yang kini terbaring kaku, berkain kafan dan berwajah pucat.
Mirna sadar, dirinya harus tetap kuat. Setidaknya, harus berpura-pura untuk terlihat kuat.
Ya,h
terlihat kuat meski pada dasarnya dia tidak mampu melakukan itu.
Di sudut pintu, di kursi kayu yang sudah termakan usia duduk seorang gadis dengan wajah lusuh, lebih lusuh dari cucian kering yang belum disetrika.
Jika sebelum menampakkan kesedihan saja wajah dengan kulit putih itu sering terlihat pucat. Apa lagi dengan hari ini?
Semua garis di bagian wajah gadis itu terlihat kaku, wajahnya pucat pasi seperti mayat hidup.
Bibirnya yang tipis itu terlihat kering, seperti memberi tahu semua orang jika dia belum meneguk air barang setetes pun.
Matanya yang tidak terlalu besar, terlihat sedikit bengkak, kantung mata itu sedikit menghitam, seperti memberi tahu semua orang, dirinya belum terlelap dalam tidur barang semenit pun.
Tak nampak sisi bahagia di sorot matanya, kebanyakkan wanita akan memiliki sorot mata berbinar ketika mendapati dirinya tidak lagi lajang.
Namun, apa yang perlu dia perlihatkan sudah dia perlihatkan. Perasaan hancur, kesedihan yang mendalam, seperti ingin berteriak sekuat tenaga. Meminta keringanan, jika saja bisa.
Kematian bukan perkara yang bisa di tawar, tidak seperti ketika dirinya mendapat nilai buruk dari salah satu dosen, dia masih bisa melakukan tawar menawar. Mengajukan beberapa solusi lalu bernegosiasi.
Tidak!!
Cara kerja Tuhan itu berbeda, apa yang Mutlak bagi-Nya, tak ada satu suara pun yang bisa mengajukan bandingan.
Rambut hitam apnjang yang hanya diikat karet gelang, dengan pakaian yang sederhana, tak lupa dia melepas sepatu high heels yg mengeluarkan bunyi ‘klatak-klatak’ ketika beradu dengan lantai. Dan Kinara tidak suka itu.
Dia menggantinya dengan sandal jepit yang selalu pas dan nyaman saat dikenakan.
Jaga Image!
begitulah teman-teman Kinara sering memperingatkan. Lagi pula untuk apa, bagi Kinara apa yang membuatnya nyaman, itulah yang harus ia kenakan.
Tidak boleh ada yang mengatur cara berpakaian, cara bejalan, pokoknya tidak. Tidak ada interupsi apa pun.
Di samping Kinara, ada suara tangis yang terdengar cukup keras. Suara tangis itu datang dari adiknya, Manda.
Amanda yang masih terlalu kecil untuk merasakan betapa pahitnya kehilangan, tentu saja tidak mampu menutupi kesedihan hatinya. Apa yang harus di tumpahkan, tetap harus di tumpahkan.
Amanda menangis sejadi-jadinya, tersedu memanggil nama Ayahnya, bahkan sempat mengguncang tubuh laki-laki yang telah menemaninya selama enam belas tahun.
Kinar terus memeluk erat tubuh Amanda, mencoba menguatkan hati, mencoba menjadi pilar yang kokoh untuk adik satu-satunya.
***
Di dalam ruangan kecil, di ruang tamu yang sempit itu tubuh ayah Kinara terbaring kaku, ruang tamu yang hanya bisa menampung kurang lebih dua puluh orang saja, itupun sudah dengan keadaan kosong, kursi dan meja sudah dikeluarkan, begitu pula dengan televisi yang hanya berukuran 21 inch.
Beberapa orang sudah mengelilingi tubuh ayah Kinara yang berada di tengah, memegangnya, memutarnya, mengikat, sampai menutup bagian wajahnya.
Kinara melihat ayahnya hanya bisa diam, laki-laki yang biasanya selalu mengomentari apa pun yang dilakukan Kinara, kini membisu.
Tidak ada protes, tidak ada komentar. Dia seperti pasrah dengan apa pun yang akan dilakukan orang lain pada tubuhnya.
Kinara tidak memiliki hati yang besar, tidak memiliki kelapangan yang lebar. Mana mungkin dia bisa duduk di depan tubuh Ayahnya. Melihat sendiri ayahnya dibungkus kain kafan.
“Sabar, Kinara, janji Tuhan itu tidak bisa dimundurkan atau dimajukan. Kita sebagai manusia hanya bisa menerima dan menjalaninya dengan tulus, ikhlas. Jangan memberatkan perjalanan Ayah kalian, jangan membuat kuburnya gelap, sudah." Mirna membelai lembut puncak kepala anak tertuanya.
"Saat ini peranmu bukan lagi untuk memberi Ayahmu makanan dan minuman kesukaannya, seperti yang sering kita lakukan dulu.
Sekarang peranmu hanya satu, menjadi anak yang berbakti, yang dari do'amu itu bisa meringankan beban akhirat ayahmu." sudah berpindah membelai puncak kepala Amanda.
"Jadilah istri yang nurut sama suami, nak, penuhi permintaan terakhir ayahmu dengan baik.” Mirna menepuk punggung anak-anaknya yang sedari tadi bergetar naik turun karena terus terisak.
Napas mereka tersengal, suhu tubuhnya naik, sangat panas. Tak ada kalimat yang keluar dari mulut Kinara, bahkan dia tak mampu untuk menggerakkan kepalanya.
Kinara hanya terdiam, dengan air mata yang masih mengalir membasahi pipinya. Pandangan matanya sayu, tak ada senyum apa lagi tawa di dalamnya.
***
Hari sudah cukup gelap, sebentar lagi senja akan datang. Seperti itulah dunia, tidak akan berhenti berputar meski kehilangan salah satu penghuninya.
Dunia tetap menjalankan porsinya untuk mengemban Titah Tuhan. Langit tidak pernah tahu betapa duka yang di alami Kinara sangat menyakitkan.
Beberapa orang sudah pergi meninggalkan tempat itu, begitupun dengan Dika.
Dika terpaksa harus meninggalkan Kinara, urusan bisnis keluarga katanya.
“Bu, saya tidak bisa lama-lama di sini. Ada beberapa pekerjaan yang tidak bisa saya tinggalkan. Saya titip Kinara, ya, Bu. Satu minggu lagi, saya akan mengutus asisten pribadi untuk datang menjemput Kinara.”
Begitulah kurang lebih Dika menjelaskan. Sebelum pergi, Dika sempat menyerahkan satu kotak cantik berwarna merah hati pada Kinara.
Kinara tidak tahu apa isinya, dia hanya meletakkan kotak itu di sembarang tempat.
Entahlah, saat ini tidak ada yang bisa menarik perhatiannya, kecuali gundukkan tanah yang masih basah, dengan taburan bunga di atasnya dan sepotong kayu bertuliskan nama Ayahnya.
\=\=\=\=\=> Bersambung 💕💕
.
.
.
🌹Jangan lupa klik Like 🖒 Klik Favorit ❤ Tinggalkan Komentar 💬 Beri Rate Bintang5, Dan vote yang banyak 🤗😍
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 170 Episodes
Comments
Indah Nina Damayanti
nyimak..
2020-11-26
0
Anggra Anggra
nyimak dlu ah
2020-11-16
0
Rivaldo Akbar
sabar
2020-11-13
0