My AVN

My AVN

AVN

"Mereka menjadi bunga harap yang sempat layu dalam lamunan masa lalu. Dengan tulus merangkul jemari pelik dengan keikhalasan."

...-Arinda Darissa-...

 

💕💕💕💕

 

Kalau sebuah ruang dapat terbentuk sebuah AVN dengan tampilan cuek, datar dan keras kepala. Kenapa harus takut dan cemas dengan komentar pedas orang luar, kalau kita tidak pantas untuk dicintai?

Terbukti saat Arinda menemukan sebuah pintu kidung persahabatan dari dua sahabat, Nazira dan Vlo. Menerima apa adanya tanpa harus menuntut lebih dari ketaksanggupan Arinda sendiri.

Saling melengkapi.

Bersemuka penuh tak terduga, “eh, ko temannya Nazira toh?” Sambar salah satu siswi keperawatan, saat kebetulan mengangkat kantong sampah.

Memang hari ini mereka berbondong untuk membersihkan lingkungan smk ypkp sampai di dekat bandara sentani. Gladi bersih.

Arinda yang di tanya spontan melongo dan tertawa sangat riang.

“Yoi, kenapa kah? Oh..iyo bicara dia, dari tadi tuh..sa cari-cari dia kah, ko tahu kah dia ke mana?” Celingak-celinguk.

“Oh..tadi sa ada lihat dia jalan dengan teman sekelasku yang lain.”

Sambil mengangguk-anggukan kepala, “Arinda,” hampir lupa perkenalkan diri.

“Vlo.” Nama yang singkat tapi penuh arti.

Setelah beberapa menit gladi bersih bagian sekolah, kembali dari pinggiran dekat bandara, mereka harus berkumpul kembali ke barisan, dengan CATATAN kantong plastik lumayan besar harus terisi penuh dengan sampah dedaunan dan plastik, baru bisa baris rapi setelah itu kembali ke dalam kelas, berganti pakaian batik.

Saat sudah menemukan Nazira, gadis itu pun berlari sangat gembira. Terlepas penat sunyi walau terasa ramai di sekitar.

Tidak tahu kenapa Arinda ingin selalu berada dekat sahabatnya.

Duduk di depan kantor, sambil mendengar tentang Vlo mengenai ketakrestuan orangtua dalam membiayai sekolah dan uang jajan pun jarang di kasih.

Semakin buat gadis itu ingin lebih jauh mengenalinya sampai terbentuklah diksi AVN.

Arinda tersenyum kembali memutar memoar kali pertama mengenal sahabat yang sangat tertutup persoalan keluarga. Kalau berkumpul bersama pasti tak menampakkan kabut pekat, jelas bisa di terka lebih jauh oleh mereka berdua, hanya saja ingin di pendam seorang diri.

“Sa dapat sahabat seperti kam saja bruntung sekali,” pernah Vlo berujar seperti itu.

Saat Arinda mengeluh kenapa tidak saling berbagi kalau ada masalah dalam rumah dengan sahabat, jelas berdecak pinggang sangat kesal.

Seperti .. “Ko tra anggap kita sebagai sahabatmu begitu kah,” ketus Arinda dibalas dengan senyum desir.

Dan, hari ini menunggu sahabat yang sangat siput untuk ke sekolah. Melihat benda pipih itu, berharap segera datang dan berangkat.

Justru buat kaki Arinda berdiri dengan mendengus panjang, segera masuk ke dalam warung, “pagi, tante, Naziranya ada?”

“Eh, Rin, ada di kamarnya. Masuk..” Yulia, Mama Nazira pun membalas dengan hangat.

Tersenyum lalu melangkah panjang-panjang ke kamar sahabatnya.

“Mamayo..ko gerakan lambat sampe kek siput! Tra lama sa terlambat masuk kelas nih.” Kesal Arinda sambil membuang diri di atas kasur sahabatnya.

Dibalas cengir tak berdosa dari Nazira, sambil sibuk grasak-grusuk keranjang baju.

“Ko cari apa kah?” Terlihat Arinda sudah mulai risi lalu bangun dengan perbaiki posisi duduk.

“Sa cari kaos kakiku dulu, tra tahu di mana nih, perasaan semalam sa angkat dari jemuran baru masa trada tuh?” Tangan itu masih sibuk mencari benda yang dimaksud.

Memutar bola mata dengan jengah.

“Potem,” hanya ini yang dicetuskan Arinda.

Setelah beberapa menit menunggu dengan napas memburu, Arinda perlu mendesah dengan pelan-pelan, seperti mengukur kesabaran dia pagi ini.

Melihat sahabat masih duduk anteng, sambil menyiapkan gelas dan berjalan menuangkan lauk ke piring, “ko mau juga?” Nazira menawari.

Nai..ini su jam berapa?! Masih sante begini. Emosi Arinda dalam batin.

Menggeleng sambil tersenyum kecut, karena sudah berada di sekitar orangtua Nazira, gadis itu menjaga image. Tunggu saja, setelah sampai di sekolah bakal kena amukan tuh.

Kalau tahu seperti ini, lebih baik semalam tidak mengindahkan permintaan sahabatnya yang sangat-amat lelet. Bisa-bisa tidak ikut jam pelajaran pertama.

Sudah tahu dengan jelas kalau Nazira mengulur-ngulurkan waktu saat ada teman datang jemput ke sekolah, masih saja keuhkeuh bisa berangkat cepat.

Membuang napas kasar sambil mengeluarkan game boy daripada bosan menunggu sahabatnya sarapan lebih baik menyibukkan diri dengan game saja.

“Kek anak kecil saja masih jaman kah main barang itu?” Nazira mencibir disela-sela menyantap nasi.

Melirik tajam, “ko tempo makan sudah! Su jam berapa nih?!” Gusar Arinda.

Dibalas cengengesan dong.

Ups, Arinda melirik ke jam yang melingkari di tangan. Masih ada waktu untuk bisa sampai di kelas tanpa terlambat, tapi melihat sahabat dengan gerakan ayu-mendayu itu, buat dia mendesah sangat panjang dan mencak pelan.

Menyadari dengan perubahan ekspresi Arinda, perempuan itu segera menghabiskan susu putih yang baru saja di buatkan oleh Yulia.

Sempat di tolak karena perut penuh dengan air putih.

“Minum susu dulu! Baru berangkat sekolah.” Tegas Yulia.

Mengerucutkan bibir, Nazira menampilkan sikap manja seperti itu hanya karena ada sahabatnya jemput ke sekolah kalau tidak lebih dewasa dalam mengambil tindakan seperti ini.

Terkadang Arinda ingin mengorek kenapa menampilkan dua sifat dalam waktu berbeda?

“Ayo, Rin, berangkat.” Nazira sambil menggendong ransel yang kebetulan couple dengan gadis itu.

Mendesah dan lompat sumringah bisa ke sekolah tanpa harus telambat. Memang sih sudah menunjukkan tujuh kurang lima belas menit.

“Biar sa yang bawa saja.” Saat melihat Nazira yang ingin bawa, dengan cepat Arinda menyambar.

“Aih, nanti yang ada ko balap lagi,” Nazira mencoba menolak.

“TIDAK! Kalau ko yang bawa, bisa-bisa terlambat masuk kelas.” Arinda membalas tak mau mengalah.

Cukup bersabar menunggu dalam rumah, kali ini tidak mengindahkan permintaan sahabatnya itu.

Terbukti kan? Saat dalam perjalanan Nazira terus saja mengoceh sambil menimpuk helm dikenakan Arinda dengan tangannya.

Lagian jarak dari rumah Nazira ke sekolah lumayan dekat hanya beberapa menit sampai. Yang buat terasa jauh itu kalau kendaraan sudah mulai padat dan bisa di slap-slip cuma Arinda.

“Sampe deh,” Arinda menyengir sambil mengunci stank motor.

Menoleh ke belakang melihat ekspresi garang sahabatnya hanya membalas tertawa. Siapa suruh lambat, gumam Arinda malas tahu.

Sambil menunggu Nazira menaruh helm, kedua sahabat itu pun berjalan beriringan ke kelas masing-masing.

Kelas Nazira dekat lapangan basket sedangkan Arinda kudu masuk dulu di lorong menuju kantin.

“Sa duluan, daa..ingat, sebentar kalau pulang tempo tunggu depan kantor, kalau sa yang duluan sa nanti yang ke kelasmu sama-sama Vlo sekalian.”

Arinda mengangguk lalu mempercepat gerakan langkahnya masuk dalam kelas. Mendesah belum ada guru yang masuk.

Apa mungkin seperti itu? Jurusan Multimedia jarang di datangi guru untuk mengajar? Karena kebisingan mereka semakin buat guru-guru malas masuk?

Tapi, melihat keharmonisan family multimedia, cukup buat Arinda tersenyum dalam diam. Memerhatikan kebahagiaan yang di mana tanpa nafsi.

Terkadang ingin menyapa lebih dulu dan ngobrol ringan tanpa ada beban tidak berguna dan minder dalam ruang kecil tersemat dalam dada.

 

💕💕💕💕

Hari ini memang sangat menyebalkan.

Saat Arinda sudah bersegera ke sekolah, mendapati SMS dari sahabat menyebalkan minta jemput. Setelah datang di rumah. Masih seperti minggu yang lalu, kalau tahu seperti itu lebih baik tadi tidak balas SMS dan singgah ke rumah.

“Ko temani sa kah ke atas?!” Kata Arinda, sedikit kesal.

“Ayok, sudah.” Nazira sadar karena dirinya buat sahabat depan itu mendelik sangat kesal.

Setelah sampai di mulut pintu kelas multimedia, “we..tra belajar kah?!” Teriak Arinda, karena kebisingan dalam kelas buat gadis itu haus berteriak.

Harap-harap cemas di simpan dalam dada, “trada, Rin. Bu guru berhalangan hadir.” Mendesah syukur, ada yang menimpali dengan bersahabat, itu suara Nala.

Tersenyum ke arah teman sekelas lalu berbalik ke Nazira, “trada guru, tong turun ke bawah!” Tercetus sangat sumringah, sambil menarik lengan sahabatnya.

Begitu pun dengan kelas Nazira. Apa memang hari ini sengaja guru tidak pada masuk? Ah, tidak juga sih karena melihat sebagian jurusan ikut klyuran ada beberapa kelas saja yang belajar.

Oh, mungkin memang ada keperluan atau rapat diluar bagi guru tertentu? Kata Arinda dalam batin, penasaran.

Buat apa kepo dengan urusan mereka? Tidak belajar di jam pertama saja cukup buat Arinda sumringah lalu melangkah santai ke panggung sekolah.

“Eh, Vlo mana kah? Katanya su jalan dari tadi, sempe sekarang tra nongolkan batang hidung.” Ketus Arinda.

Tadi di SMS posisi sudah di mana kata Vlo sih lagi dalam perjalanan, tidak di rumah mengerjakan tugas menumpuk.

Kadang-kadang Arinda ingin menyuarakan protes saat sedang sekolah masih disuruh mengerjakan tugas rumah? Apa pakaian yang tertumpuk tidak bisa menunggu sepulang sekolah baru di cuci?

Tidak memiliki rasa perasaan sama sekali dengan keluarga sendiri. Buat Arinda mencak mengetahui satu sahabat memiliki persoalan rumah tidak harmonis, bengis.

Seperti broken home yang tidak pernah di ceritakan sama sekali oleh Vlo ke sahabat-sahabatnya.

“Telpon dolo, lama sampe.” Gerutu Arinda.

“Ko sudah, karna sa trada pulsa.” Nazira membalas sambil nyengir.

Mendesah, “makanya jaga warung yang rajin, supaya dapat gaji lebih.” Dicibir dong sama Arinda.

Setelah puas mencibir, menekan panggilan biasa lalu terhubung begitu cepat. Tumben.

“Ko dimana? Lama sampe, ko ke skolah kah tra nih? Kitong tunggu sampe berjamur nih.”

“Ado, sebentar lagi baru sa ke sekolah. Soalnya sa masih bastrika baju.” Terdengar keluhan dari sebrang telpon. Berdecak pinggang.

Nazira tahu setelah menuturkan kalimat tadi, “tra usah pamer gigi di sana! Potem strika, kita tunggu di atas panggung eh?!” Kesalnya, yang sudah tahu isi kepala sahabatnya itu.

“Dasar..anak jam karet! Mo jadi apa ko nanti setelah lulus, nak?” Ucap Arinda dengan mode bercanda dibalas tawa terbahak-bahak dari Vlo.

Mereka berdua duduk menunggu kedatangan Vlo. Kalau tidak langsung ditelpon mungkin sampai sekarang masih duduk tanam pantat dengan omelan tak ada henti dari mulut Arinda.

Oh benar sekali. Arinda jadi mengingat satu hal, di mana AVN terbentuk dengan tulus dan sederhana semakin merekatkan persahabatan mereka.

Masih belum menyangka ada sebuah persahabatan tanpa harus mengubah karakter seseorang atau berkemas mengetahui amarah terus terpelihara, duduk santai dan tulus sambil membelai bengis dengan terkasih.

Begitulah AVN terawat beberapa bulan tersebut.

Nama itu diciptakan dari kepala Vlo saat mereka berdua jalan ke Jayapura, kalau tidak salah ingat ketika pre-akhir tahun, Arinda ingin membelikan sang adik meriam serta cairan itu.

Dalam perjalan tercetus begitu santai seketika sumringah, “ah, benar, Rin. Bagaimana kita buat nama persahabatannya kita AVN? Bagus toh?” Kata Vlo dengan semangat.

Mengangguk. Saat itu Arinda tidak menyangka mendapati nama sebagus dan secantik itu dari sang sahabat.

Ternyata sahabat malas tahu dan jarang datang one time ke sekolah, terlihat peduli dengan persahabatan bahkan nama itu pun diberikan dengan sungguh-sungguh.

“Rin, setelah lulus ko lanjut kuliah?” Mendadak merusak mood Arinda, saat dilempari pertanyaan tersebut.

“Eh..Vlo su selesai strika baju kah? Lama sampee..” Berusaha mengalihkan topik, sambil melihat siswa-siswa bermain basket ada juga yang main bola di lapangan.

Mendesah. Begini sudah kalau membahas soal studi, Arinda pasti tidak ingin minat untuk menimpali.

Cukup lihat sahabat rajin sekolah, buat perempaun itu mendesah sangat bersyukur walau berkicau tidak pernah berprestasi walau masuk sepuluh besar, itu salah besar!

Bagi Nazira sahabat yang satu ini memiliki potensi tersembunyi walau masih belum terlihat dengan jelas. Yakin saja sih dengan potensi itu.

Suatu saat nanti bakal menemukan potensi itu tanpa dia sadari dan menunggu waktu itu melantangkan seruan indah dan manis.

Nazira tersenyum ke arah gadis itu lalu mengikuti pandangannya ke lapangan.

“Mamayo! Lama apa datang ke sekolah.” Nazira berujar kesal, saat menangkap sosok sahabatnya sudah tiba di depan mereka berdua.

“Haha...maaf-maaf, biasa orang penting jadi kesibukanku bukan hanya disekolah saja.” Menimpali dengan intonasi songong.

“Oh begitu eh, berarti kalau ko tidak lulus juga bukan hal penting jadi eh!” Lah, semakin buat Nazira berkata protes seperti ini kan.

Sedangkan Arinda tertawa melihat perdebatan mereka. Syukur deh, ko tra lanjut lempar pertanyaan tadi, pikir gadis itu dengan mendesah syukur dalam batin.

Usai memperdebatkan persoalan tidak tepat waktu atau lama sekali datang ke sekolah, mereka memutuskan untuk ke kanjang, sambil mencibir dan tertawa bersama sepanjang berjalan ke kantin.

Arinda merasa sangat bersyukur mendapati ruang bernama AVN itu dari mereka berdua. Tulus, apa adanya, merangkul ikhlas dan mengelupaskan bengis saat termangu pada masa lalu. []

.

.

.

Hallo readerss..kalau bingung dengan dialog di atas, bisa mampir ke Sepotong Nada yang Hilang karena saya sudah mencantumkan keterangan yang ada di sana.

Kalau merasa keberatan, bisa komen agar saya berikan keterangannya di sini aja.

BDW maap yak baru di revisi ehehe. Banyak kesibukan diluar imajinasi😄

Salam Sayang,

-Dinn-

Terpopuler

Comments

IF

IF

3 serangkai ini. Keren Kak👌

2022-10-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!