“Mungkin sangat mustahil dalam merangul prestasi di sekolah, apa benar dengan hobi bisa mengalirkan rupiah serta prestasi?”
💕💕💕
Mereka sudah duduk di bakso favorit, depan Sentani City Square. Tidak tahu kenapa paling hobi makan di sana, karena serba ada dengan menu makanan ingin dikonsumi mereka pun orang lain yang sedang berkunjung di sana.
Menunggu pesanan di buat, ketiga sahabat itu mengambil tempat yang nyaman, sambil bercerita ringan dan mengulang sebuah nostalgia milik Arinda.
Tertawa dan tidak menginginkan benci merasuk jiwa-jiwa milik gadis itu sendiri, karena sempat dikatai matre oleh orang tua sang mantan kekasih.
“Bisa tuh mamanya bilang ko matre, Rin.” Vlo berkata dengan wajah terheran-heran.
“Bisa toh, namanya juga curiga saat Hamaz beli pulsa trus.” Arinda menimpali dengan santai.
Tidak tahu kenapa bisa sih orangtua Hamaz mencurigai sampai mengata-ngatai jelek ke gadis itu? Kalau bisa bersitatap langsung mengumumkan semua kebaikan telah di beri ke ananda terkasih itu yang kesan diberikan tidak boleh terlalu lebih dalam mencintai seorang gadis bernama Arinda Darissa.
Seperti tidak ada cowok lain saja, emang Hamaz hanya seorang saja dalam dada gadis itu sendiri? Dih, banyak kok cowok diluar sana yang ingin terima apa adanya sosok Arinda tanpa harus menghakimi sikap yang sekedar di nilai dari cover tok.
“Kam betul nih mau lanjut kuliah?” Tercetus dari mulut Arinda, penuh dengan basa-basi dan tidak terladani dengan serius juga sih.
Mengangguk dengan penuh antusias, ralat deh gadis itu sangat menyesal mencetuskan pertanyaan tadi. Kenapa dua sahabat ingin sekali menceritakan keseruan di bangku perkuliahan, sedangkan mereka masih berstatus siswi?
Arinda juga salah, sudah jelas nyaman dan terhindar mengenai diksi paling momok dalam chapter hidup, masih saja ingin memancing kedua perempuan itu agar mendesak dia isi formulir kuliah.
Arg. Berdecak, menyesal kenapa bisa tercetus dengan santai? Tidak memikirkan konsekuensi dari sekedar bercanda jelma keseriusan yang tampak jelas di sorot dua sahabatnya.
“Ko juga lanjut kuliah, kan, Rin?” Kali ini Nazira sangat menggebu lempar pertanyaan balik ke sahabatnya itu.
Tersenyum kecut, sa mana mampu kuliah. Otak saja pas-passan seperti ini, getir Arinda dalam batin.
“Iyo..buktikan ke mereka, Rin. Yang sudah remehkan ko dengan bawa gelar sarjanamu!” Dan Vlo menambahkan lagi dengan wajah berseri-seri.
“Sa tidak bisa seperti kalian. Kam tahu sendiri baru, kalau sa otak saja dibawah rata-rata.” Gadis itu pun terkekeh, menyimpan desir mengenai keterlukai otak sendiri.
“Yah kuliah kan, tidak sama seperti sekolah, Rin. Ada kok yang IQ dibawah rata-rata tapi bisa kuliah sampe sarjana.” Walau pun diberikan sebuah motivasi berbukit-bukit, tetap saja kan tidak membuat keputusan itu teralihkan dengan sumringah seperti yang sedang di tampakkan kedua sahabatnya itu.
Hanya membalas dengan senyum kecut dan desiran-desiran menyebalkan kembali menyeruak dalam dada.
“Sa bodoh yah, tra usah urus studiku bagaimana ke depannya. Lulus sekolah saja nanti, su senang. Tinggal cari kerja saja.” Arinda menimpali dengan nada-nada penuh lirih.
Mengerti dengan sorot itu, “kasih tunjukkan juga ke Mamanya Hamaz! Kalau ko bisa sarjana!” Loh, kok Nazira sangat menggebu ke hal ini sih?
Bukan kah sudah menjadi mantan, terus ada sangkut paut apanya sih dengan cowok brengsek itu? Arinda semakin emosi di ingatkan lagi dengan sosok malaikat tanpa sayap milik Hamaz, selalu mengatai dirinya buruk.
“Sudah ah, sa malas urus kuliah. Intinya sa lulus sekolah saja cukup buat sa senang.” Arinda mulai kesal, sambil melihat pesanan sudah datang, menuangkan sambel sebanyak mungkin.
Tumben mereka berdua tidak menyuarakan protes, mengernyit pun tercipta di sebuah wajah Arinda. Ah, dari pada kepo dengan wajah bengong tidak di tanggapi mereka berdua sudah santai dan sibuk dengan racikan masing-masing, lebih baik langsung mengaduk merata dan menyantap dengan nikmat. Daripada lihat mereka berdua ngeh dan berubah pikiran, yang ada bisa terasa hambar.
“Tapi, nanti, kalau kalian sudah tra disini, masih bisa kumpul lagi seperti ini toh?” Kata Arinda dengan tiba-tiba, seperti masih belum rela melepaskan mereka berdua terbang mengejar cita.
Mereka berdua terlihat menatap satu sama lain, “kalau bisa, kita usahkan untuk kumpul. Intinya kita nikmati moment yang masih tersisa sebelum lulus.” Nazira menjawab dengan sungguh-sungguh dihiasi wajah berseri-seri.
“Oh, begitu. Hm, kalian mo ambil kuliah di mana nih?” Arinda sambil melihat mereka satu per satu, dengan mimik sedih sesamar mungkin di sembunyikan.
“Sa sih..pengennya di UNCEN saja, Rin. Kalau ko bagaimana Nai?” Vlo langsung melempari pertanyaan itu ke sahabatnya.
“Sa maunya juga begitu, kalau memang tra lolos di UNCEN sa maunya di Jogja. Tapi..tra tahu juga eh, nanti lihat-lihat sudah, kampus mana yang sa lolos.” Terdengar cengengesan dari mulut Nazira. Seperti..bahagia tak sabar menanti sebuah gelar mahasiswi.
Mendengar susunan rencana setelah lulus sekolah dari dua sahabat, hanya buat Arinda bergetir hebat. Hanya dia saja yang tidak memiliki planning sweet seperti mereka.
Baguslah, dengan seperti itu juga dia bisa melihat senyum-senyum menghiasi wajah mereka penuh haru di pindahkan sebuah kucir di kepala. Tanpa harus mengikutsertakan kaki untuk isi formulir kuliah, kan?
“Nanti..kalau kam sudah kuliah, jang berubah hanya karena sudah dapat teman baru di sana?” Arinda berkata, sangat serius dalam persahabatan mereka ini.
Bisa saja detak waktu bergeser, mengubahkan karakter kali pertama membangun AVN dan melupakan kebersamaan itu ditimbulkan sebuah egoisme tinggi. Terlebih menemukan wajah-wajah asing mampu mendukung karakteristik untuk berubah.
Hanya itu saja yang ditakutkan oleh Arinda. Dua sahabatnya akan berubah saat masuk di bangku perkuliahan, terutama Nazira yang mungkin lebih cepat berbaur dengan orang asing. Ups, tidak juga sih, sedikit malu-malu. Kalau sudah satu frekuensi dengan pertemanan, dipastikan Nazira cepat mengakrabkan diri dengan mereka.
Tercipta sebuah senyum getir sambil menikmati mie pangsit.
Menyebalkan, bukan? Saat ingin bertahan pada zona nyaman bersama sahabat, muncul sebuah egois dalam diri untuk menahan mereka tetap berada di sekitarnya.
Itu juga demi kebaikan masa depan kedua sahabatnya. Bukan lagi memungut waktu dalam hal bermain, santai dan jalan-jalan seperti biasa mereka kerjakan di semasa sekolah.
Ada waktu di mana mereka beranjak pada kedewasaan diri dan mandiri tidak bergantung lagi pada orangtua masing-masing.
“Mana mungkinlah, Rin! Masa sa sahabat sendiri, lupa sih?!” Celetuh Nazira.
Iyo ko bicara seperti itu karna belum merasakan LDR sama sahabatmu sendiri dan terbiasa dengan orang baru di sekitarmu nanti di kampus. Kesal Arinda dalam hati.
“Memang..nanti kita dapat teman baru di sana, tapi kan..teman di kampus tidak menjamin namanya sahabat, Rin.” Vlo menambahkan, menyakinkan hati gadis itu.
Masa sih? Arinda masih belum percaya dengan hal itu. Atau lebih menyenangkan saat bertemu teman di kampus?
“Iyo kah? Tapi..sa takut kam nanti datang ke sa rumah, yang biasa blak-blakkan jadi canggung.”
Merasa ada yang akan hilang, tidak tahu kenapa Arinda ingin terus menikmati hari tanpa jeda sehari pun. Seperti takkan bertemu di jangka waktu terpanjang.
🌏🌏🌏
Arinda sibuk main game di dalam kamar, tetiba disodorkan sebuah formulir saja dari sahabatnya. Jelas buat dia tidak suka dengan sambutan membosankan itu.
Jujur memang ada rasa ingin kuliah, tapi mengingat otak tidak diatas rata-rata, buat apa ingin meninggikan cita? Yang bakal mengahabiskan rupiah?
Saat orang lain ingin mendapati cita tinggi, lalu membawa sebuah gelar terbaik dengan camlaude sembari tertawa haru bergandeng dan memotret bersama kedua orang tua serta keluarga, jelas itu adalah gambaran bagi mereka yang serius mengejar cita.
Dan ada juga menginginkan hobi bukan sekedar figuran dalam kamar atau menikmati seorang diri, dengan upaya penat agar segera menemukan pretasi, masih saja tergelincir pada huruf gagal.
Diantara cita dan hobi, apa keduanya bisa di seimbangkan, tanpa harus gagal salah satunya?
Hm. Mungkin tidak bisa kalau serius dalam kedua hal tersebut dan menjadikan mengorbankan salah satu, jelas Arinda bakal berada di sebuah hobi dibanding cita sangat membosankan kalau bersitatap lagi dengan buku-buku. Terutama buku anak mahasiswa.
Yang ada dia tidak bisa fokus belajar melainkan bermalas-malasan sambil main game tanpa peduli dengan tugas kuliah.
“Nih, ko isi formulirnya yah, Rin!” Nazira berseru sangat riang.
Dengan satu alis dinaikan, “formulir? Buat apa? Sa tidak ada niat untuk kuliah.” Berusaha Arinda menolak dengan cara halus.
“Apa salahnya jika ko coba dulu, Rin?”
Nay, sampai kapan ko terus seperti ini sama sahabat sendiri? Ko seperti ngeledekin sa begitu kah, dengan porsi otak tra seberapa, please deh, tra usah mo paksa sa tentang pendidikan, gerutu Arinda dalam batin, masih belum berpaling lihat selembar kertas tersebut.
“Tidak ah, nanti uang kuliahnya siapa yang mau bayar? Mamaku pasti tra kasih izin.” Santai memberikan sebuah intonasi tapi penuh dengan penekanan.
Bersimpuh harap melalui intonasi barusan, sahabat tidak membahas kedua kali mengenai perkuliahan yang memang Arinda sendiri tidak sanggup untuk menjalani sampai kucir di pindahkan ke sebelah kiri.
“Nanti kita berdua yang ngomong sama Mamamu. Sekarang ko isi dulu itu formulirnya.” Desak Nazira.
Sungguh, ingin sekali membuncahkan sumpah serapah, tapi tidak ada kekuatan untuk memaki sahabat sendiri, dikenali lewat sosmed pun prantara mantan yang sama.
Apa sanggup merelakan kidung itu beranjak, karena egoisme tidak ingin diurusi sebuah cita dari sahabat sendiri yang sebagian itu juga penting bagi masa depan Arinda?
Tapi, sangat berharap lebih kalau tidak menginginkan sebuah diksi desakan dari sahabat mengenai pendidikan oleh mereka berdua. Masa depan tidak menjamin juga kok lewat pendidikan tinggi apalagi gelar di dapatkan menumpuk-numpuk, terutama kalau mendapati kampus yang serakah dengan kertas-kertas lalu buat mahasiswa jadi abadi di kampus.
Dih, sampai buat Arinda bergidik ngeri kalau membayangkan jadi mahasiswa abadi yang di sengajakan oleh kampus bukan mahasiswa sendiri.
“Sudah kah ah! Lagian UN masih lama, ko sudah kasih sodorkan formulir buat sa!” Arinda berkata dengan ketus.
“Rin, apa ko tidak mau dapat gelar sarjana? Mau lihat teman-temanmu yang saat ini meremehkan kemampuanmu semakin memojokkan ko?” Kenapa yak, Nazira memiliki kemampuan yang sangat menohok hati gadis itu sendiri?
Benkyo suru, diksi paling membosankan saat masih terperangkap di sekolah. Segera menyelesaikan masa-masa merepotkan lalu bergelar kerja, bisa terima gaji pertama sambil traktir orangtua atau keluarga kan, enak? Tidak perlu repot Ma, minta uang jajan lagi ke orangtua tapi giliran kita yang transfer hasil gaji itu ke mereka.
Nafsi yang tampak bermalas-malasan dan bersantai dengan sebuah gadget di mana memainkan sebuah permainan, seperti terbius. Mana mungkin bisa melanjutkan kuliah hingga wisuda?
Arinda menatap kertas itu lamat-lamat, tak ada minat untuk mengisi walaupun terisi sekedar iseng tidak serius.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:
Innamā kāna qaulal-mu`minīna iżā du'ū ilallāhi wa rasụlihī liyaḥkuma bainahum ay yaqụlụ sami'nā wa aṭa'nā, wa ulā`ika humul-mufliḥụn.
Arinda menyadari hal itu, tapi dengan lulus sekolah sudah cukup bagi porsi otak dia. Karena malas menghabiskan duit orangtua lagi kalau kuliah.
“Mungkin, kalau kam yang kuliah pasti bisa dapat prestasi. Tapi, kalau sa hobi bisa ndak eh dikasih prestasi?” Celetuh Arinda tiba-tiba.
Nazira mengernyit, “maksudmu, buat novel begitu, Rin?” Bertanya dengan serius.
Memutar bola mata dengan jengah saat melihat anggukan antusias sahabatnya, “bisa saja sih ko dapat prestasi dari tulisanmu. Tapi kan, kuliah juga perlu untuk bisa dapat ilmu tertinggal di sekolah, Rin. Sudah kah, tra usah ragu dengan kemampuan yang ko miliki. Kuliah tra sama seperti kuliah. Sa yakin..ko pasti bisa wisuda pakai toga.”
Yakin dan terus saja mengatakan hal yang ingin sekali menertawai diri Arinda sendiri, tanpa sadar mereka tidak bisa menerawang lebih teliti kalau ruas-ruas itu meletup tak ikhlas.
Bodoh. Selalu saja mengusik isi kepala gadis itu sendiri, kenapa juga sahabat belum mengerti hal tersebut? Lewat penolakan pun santai di tanggapi Arinda, tetap keuhkeuh lihat dia mengisi formulir.
“Kuliah kan keiginan kita sendiri. Kalau sa tra niat kuliah yang ada berantakan saja baemana kam dua jelaskan?” Tuntut Arinda, please kali ini saja mereka berdua paham maksud pertanyaan itu.
“Yah kan, ko bisa bangun niat itu dari sekarang. Makanya..gunanya ada sa dan Vlo, untuk semangati ko buat kuliah, Rin.” Nazira menimpali diluar nalar gadis itu.
Sontak buat Arinda memelotot tak habis pikir dengan jawaban selalu saja ada diluar perkiran dia sendiri. Ah, menghelakana napas gusar.
“Kenapa sih, ko keras kepala sekali buat ajak sa kuliah? Apa manfaatnya coba buat sa kalau sa sudah kuliah? Kalau hanya habiskan uang?” Arinda berujar sangat marah.
“Sangat..sangat bermanfaat buat masa depanmu nanti, Rin. Apalagi dunia pekerjaan nanti di 2020 terima minimal D3 dan maksimal S1. Masa iyo ko mau lamar pekerjaan dengan ijazah SMK sih?”
Arinda mendengus sangat panjang. Sangat marah, frustasi mendengar kicauan dua sahabatnya yang masih belum mengerti isi kepala dia sendiri tidak ingin lanjut studi yang jelas menghabiskan uang apalagi izin orangtua? Oh, sudah jelas tidak dapat restu.
“Tadi kan ko bilang, trada biaya buat kuliahmu. Bagaimana kalau hasil tulisanmu itu bayar uang kuliah? Kan, ko Mama nanti setuju.” Kok, Nazira sangat menggebu persoalan hobi gadis itu sih?
Belum tentu juga kan bisa terbit mayor. Masih wacana.
“Kalau memang sa dapat prestasi lewat tulisanku, senang sih. Tapi, soal kuliah sa pikir-pikir dulu, karna ko tahu sendiri toh kalau sa pengen main belum ada pikiran untuk serius belajar. Sa naik kelas dua smk waktu itu saja senang, karna dibantu juga sih sama wali kelas. Nah, kalau kuliah, siapa yang mo bantu sa kalau misal dapat nilai jelek?” Arinda mengeluh bercampur gemas.
Nazira berpikir keras, “yasudah, ko pikir-pikir saja dulu. Intinya, formulir itu sa simpan di atas printermu eh?”
Saat bertemu esok hari, melangkah ringan ke dalam kelas.
Hampir bertemu dengan pintu kelas, “Rin!” Vlo memanggil dengan seru.
Saat berbalik, “bagaimana, Rin?” Kata Vlo dengan berseri-seri.
“Apanya?” Justru Arinda melongo, tidak mengerti.
“Itu loh, formulir yang kemarin Nazira kasih?”
Deg. Kok tahu sih tentang formulir kemarin?
“Oh, ada di rumah, kenapa kah? Ko perlu kah, nanti ambil saja di rumah. Sa juga belum isi kok. Trus..” Langsung dipotong, “bukan yang sa perlukan, tapi sa tanya sudah isi kah belum? Soalnya sa kakak mau uruskan untuk nanti masuk di UNCEN.” Jleb! Mendadak tersenyum miring.
Meniup ujung jilbab dengan wajah masam, “kam nih maunya apa kah?! Sa sudah bilang ke Nay kalau masih pikir dulu, lagian sa juga belum ijin di sa mama.” Kesal Arinda, hampir menaiki suara satu oktaf.
“Duh, Rin, kalau soal itu, nanti sa dengan Nazira bantu bicara.” Sambil mengarahkan pandangan ke perempuan di sampingnya.
Mendadak Arinda langsung mempercepat langkah masuk dalam kelas. Mendesah syukur sudah didatangi family multimedia, sambil duduk dengan wajah kesal malas memerhatikan kedua sahabatnya mengeluarkan headset, menandakan malas bicara lagi dengan mereka berdua.
Mereka pun mendesah nyerah sambil berjalan keluar pintu kelas multimedia meninggalkan Arinda dengan keasikannya itu.
Melepaskan headset memerhatikan mereka sudah benar-benar pergi, mendengus kesal.
“Kalau memang ko jadi kuliah, terus ada tugas yang susah, sa usahakan bantu. Jika Nazira tidak ada di Jayapura. Tenang, Rin, masih ada sa disini buat bantu tugas kuliahmu.” Pernah, Vlo melontarka hal itu, saat makan sama-sama di kantin sekolah.
Terdiam. Cukup lama, masih mempertimbangkan mengenai kuliah atau kerja usai menerima ijazah di sekolah.
Sempat juga mencetuskan mengenai, “sa tra bisa buat animasi,” atau “sa teman su bisa desain spanduk kah di corel draw. Tapi, sa belum bisa sama sekali. Keknya sa tra bisa deh jadi komikus kalau dua hal itu saja sa selalu gagal buat.” Sambil meringis. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Tukang Kritik dan saran
paragraf ke-16-17 firman Allah nya yang bagian "Innama Kana qaulal-mu" di bagian bawahnya font-nya berubah jadi kecil & berwarna biru. Tolong di koreksi, makasih :)
2020-02-28
0