"Rupiah tak sebanding dengan persahabatan Arinda, lebih prioritaskan kidung-kidung mengiramakan simfoni manis lewat ruas AVN."
💕💕💕
Matematika, siapa yang mendapatkan pelajaran sangat mematikan dan menyiksa otak saat tidak mendapati rumus atau penyelesaian yang cocok dengan penerangan guru depan kelas. Dipastikan nyerah duluan di banding mencoba.
Dan itu terjadi pada Arinda Darissa.
Mengeluh di sahabat, tidak bisa mengerjakan sama sekali tentu rumit dipahami oleh porsi otak gadis itu sendiri.
Mencak tak jelas, sambil memerhatikan buku tersebut, “sini..biar sa kerjakan sudah! Makanya, kah, Rin, kalau dalam kelas tuh jan main HP tross..sekali-kali dengar guru jelaskan supaya ko paham sedikit.” Gerutu Nazira yang tidak protes saat mengerjakan PR sahabatnya itu.
Hanya menampilkan wajah cengir lebar. Sambil asik dengan HP.
Arinda sadar diri juga kok, kalau otak tidak diatas rata-rata yang terbentang kembali sebuah formulir kuliah dalam benak. Ah..apa kedua sahabat itu ingin menyemprot gagal saat mengetahui dia tidak bisa masuk ke sana dengan modal semangat saja?
Hidup tidak perlu di jalani dengan kepala tersesak oleh pelajaran bisa-bisa seperti professor, botak dan tidak memiliki waktu luang dalam menikmati masa muda.
Tunggu. Arinda juga ingin merasakan apa itu namanya bangku perkuliahan, apa seenak seperti dalam perfilman?
Tersenyum sangat getir. Jangan berhalusinasi dalam menjemput cita terbilang susah itu di bangku kuliah. Yang ada dosen bosan melihat wajah melulu bersitatap dengan matkul sama.
Arinda tidak ingin menjadi sebuah mahasiswa abadi di kampus. TIDAK MUNGKIN! Dalam batin, memekik sangat frustasi.
Fuh..jangan sampai memancing kesenangan itu untuk menggiring jari-jari dalam mengisi formulir yang masih terlihat kosong, terletak manis diatas printer dalam kamar.
“Bagaimana? Su kerjakan tugasku kah belum?” Arinda sambil melirik sekilas, “awas eh, kalau salah-salah lagi, bisa-bisa sa nilai dapat 30 lagi, kek bahasa inggris tuh.” Langsung menyindir masih belum ikhlas lihat nilai itu terpampang pongah menampilkan deretan angka merah.
Hua..kalau kembali memikirkan bagaimana PD bakal mendapati nilai tinggi sebanding dengan anak pintar dalam kelas multimedia, ternyata saat di koreksi oleh teman sebangku banyak sekali yang salah. Semakin buat mata Arinda sakit, melirik sekilas. Dalam hati, Nazira kurang ajar! Bisa-bisanya buat sa tugas hampir salah semua. Memekik tak habis pikir.
Walau sudah setahun lalu, masih saja terekat dalam kepala.
Terdengar tawa menggelegar milik Nazira, “makanya siapa suruh bawa tugas saat sa masih kumpulkan nyawa. Kalau waktu itu sa tidak baru bangun, mungkin ko bahasa inggris bagus eh.” Perempuan ini protes, tetap saja dicibir oleh Arinda.
Oh benar juga saat kali pertama, “mana kah yang susah? Biar sa yang kerjakan sudah, Rin.” Nazira langsung menyambar. Tapi tak lepas dari, “lain kali, berusaha sendiri eh? Masalahnya, sa tidak bisa bantu tuh kalau su ujian nasional. Karena, nanti kita kerja masing-masing. Kalau kena dari pengawas tong nyontek, kertas ujian kita tidak di terima.” Penuturan sahabatnya sangat amat mengiris hati Arinda yang masih tetap bermain dengan HP.
Yah, sangat benar. Tadi sebelum berangkat ke tempat makan, Arinda sengaja mengeluarkan buku PR Matematika depan sahabat-sahabatnya itu. Langsung di sambar ingin mengerjakan oleh Nazira tapi tak luput dari cibiran.
Kalian sadar kah tidak sih? Kalau otakku tidak sama seperti kalian, bisa sedikit motivasi kek jan cibir trus bikin insecure saja. Kesal Arinda dalam batin.
Memang sih tadi, “susah eh kalau su ketemu barang ini.” Mengeluh tidak akan mendampakkan gampang, kalau Arinda sudah berurusan dengan matematika depan sahabat sendiri terbilang pintar kalau sudah lihat rumus atau contoh latihan di modul.
“Enak eh kalau jadi anak pintar, apalagi bisa borong pringkat pertama.” Tiba-tiba mencetuskan hal mengiris otak.
Kedua sahabat melongo bersamaan melihat ke arah gadis itu.
“Tidak ada anak yang bodoh, Rin. Hanya malas.” Tertimpal sangat enteng, tak mengetahui isi kepala Arinda sedang tersedak oleh kalimat cemburu akan kepintaran Nazira.
Bergetir, sesak, sakit, terhimpit dalam dada. Hua..tercampur aduk menjadi satu dalam otak Arinda,
Bilang seperti itu karna tra seperti sa yang susah dan setengah mati serap materi, kalau di posisiku boleh baru tahu sendiri apa yang sa pendam. Kesal Arinda dalam batin.
Pernah, belajar mati-matian ingin memberikan nilai memuaskan saat UN Sekolah Menengah Pertama, setelah belajar sungguh-sungguh hampir dini hari.
“Arinda masih dapat nilai jelek tuh? Padahal tadi di kelas, keluar paling pertama kah, Tan.” Celetuh salah satu temannya.
Mendengar hal itu menusuk-nusuk semangat otak Arinda sendiri.
Ngilu.
Memang yak, sesuatu mustahil diperjuangkan mati-matian, takkan tergapai juga. Arinda bukan rakus pringkat satu atau berandai ke sana, melainkan dapat nilai bagus saja cukup mendahagakan isi otak gadis itu. Diluar dugaan, lagi mencetak gagal untuk buat Mama bangga.
Sampai hampir lulus Sekolah Menengah Kejuruan pun belum memperlihatkan prestasi yang menonjol selain menyusahkan wali kelas untuk berusaha dia naik kelas.
Sekarang? Kedua sahabat datang membentangkan sebuah formulir yang sangat jauh dari asa milik gadis itu sendiri, apa ingin menertawai atau melihat sekitarnya mengejek kalau tidak lulus di perguruan tinggi?
Walaupun resmi menjadi mahasiswi di salah satu kampus Jayapura, bisa menjadi bahan ejekan tetangga kalau tidak lulus kuliah, mengetahui isi kepala yang sangat dibawah rata-rata.
“Selesai nih, Rin. Yok..makan, sa lapar.” Kata Nazira sambil memasukkan buku PR sahabatnya dalam tas.
Kalau sudah penat saat otak sesak usai mengerjakan, pelarian hanya satu makan diluar rumah.
Lagipula sahabat sendiri tahu jelas bagaimana keras kepala Arinda ketika keterpaksaan dalam belajar, memancing amarah hanya mendesah sabar yang terpenting sudah ada kemauan kerja PR cukup buat mereka senang.
Tidak tahu kenapa kok mendadak melihat satu sorot berbeda, penuh dengan gelisah.
“Kenapa sih?” Kesal Arinda.
Melihat Nazira sedang pesan makanan, melirik sangat hati-hati semakin buat dia berdecak kesal.
“Rin..” Penuh dengan kegantungan.
“Hm?” Intonasi tak suka.
“Nanti saja deh,” loh kok di balas dengan senyum kecut?
Kalau sudah datar seperti itu, Arinda malas mengorek lebih jauh sebelum orangnya sendiri yang cerita kenapa.
🌏🌏🌏
KULIAH. Terbentang sangat serius dalam kepala Arinda. Ketika masih duduk di bangku kelas satu SMK, bagaimana membayangkan perihal mengenakan baju bebas tanpa peraturan dari sekolah juga mendapati .. Teman-teman baru menyenangkan.
“Enak kah?” Tercetus begitu saja.
Saat ini menikmati angin sepoi samping kamar, teras atas rumah. Sambil ditemani cemilan yang dibawa dari supermarket walau sempat semprot dari ibunda karena membawa kantong kresek lumayan banyak.
Hanya menimpali dengan senyum lebar tak berdosa. Cukup buat ibunda mendesah kasar.
Jangankan isi formulir masuk kuliah, kemarin saja kerjakan PR Matematika setangah mati, bagaimana nanti kalau kuliah yang tidak ada Nazira di sampingnya ketika sedang susah kerja tugas kuliah?
Mendapati diksi penegasan kemarin saja, tentu buat nafsi dalam mandiri menyelesaikan apapun.
Syukur tadi PR kemarin dibantu mereka mendapati nilai cukup memuaskan, delapan puluh. Wih, nilai yang sangat sempurna bagi otak Arinda, mungkin menurut mereka yang pintar belum puas jika tak mendapatkan nilai seratus.
Sebelum balik memang sedikit ada pergelutan tadi di sekolah.
“Kenapa kah kam nih tinggal bahas kuliah trus?!” Arinda sudah muak.
SUDAH jelas lihat sendiri kalau dia sangat tidak menyukai pelajaran angka masih saja dipaksa buat isi formulir. Lagian belum lulus juga sudah di desak seperti itu.
Yang biasa duduk bercerita sampai ketemu senja. Sekarang hanya aroma ketegangan dalam ruang AVN.
Sambil melihat pemandangan bangunan depan rumah, ada senyum getir tercipta di sana.
Masih belum ada rasa ingin lepas sahabat-sahabat kejar ilmu juga rasa ketertakutan sangat berkelebat dalam pikiran, pamit dengan semua kesibukan menjadi mahasiswi.
“Coba sa pintar atau ada semangat belajar kek Vlo.” Ngomong sendiri, sangat nyesak di ulu hati.
Vlo memang tidak terlalu pintar karena semangat belajar itu mampu menutupi keterbatasan otaknya dalam kelas. Nah, kalau gadis itu? Semangat saja tidak punya apalagi ingin menutupi kebodohannya selama ini selalu bawa gelar gagal ke rumah.
Dengan nilai dibawah rata-rata, cukup melukai ekspektasi Arinda. Yang ingin bawa pulang nilai delapan puluh dalam raport sangat sulit ketika lihat lembar terlanjur buat otak terkulai.
Lagian kenapa sih terlalu paksa kejar nilai terbaik? Jika sudah dari kecil tidak bisa menyerap ilmu dengan permanen. Selalu saja lepas dari isi kepala ketika berhasil mengingat pelajaran selepas sampai ke rumah.
Menyebalkan bukan? Sangat!
Yang menjadi keras kepala itu ketika adik paling terakhir selalu di perhatiin dengan nilai ujian atau tugasnya sepulang sekolah.
Memang Arinda akui adiknya itu pintar dan cepat tangkap ketika guru menerangkan depan kelas. Wajar saja bisa mendapati posisi peringkat pertama di sekolah.
Tetiba ada senyum pahit tercetak di sana.
Ah, hampir melupakan mengenai satu orang dalam perjalanan studi, Nazira.
Perempuan paling perhatian dan teliti sembari buka kembali isi catatan sekolah sahabatnya tak lepas dari .. “Su kerja tugasnya kah belum nih?” Atau “ada PR ndak dari sekolah? Kalau ada yang susah, sini..biar sa bantu kerja saja.”
Kalau, “tenang, su kerja kok.” Melayangkan diksi menyenangkan seperti ini, pasti ..
“Huh..dasar, kalau pelajaran kejurusan saja otakmu nyampe.” Nazira langsung mencibir.
Yang bersangkutan dengan perangkat keras dalam laboratorium Multimedia, sangat bersemangat belajar atau kerja PRnya bila sudah kesulitan pasti menanyakan ke teman cewek atau cowoknya yang merasa dekat saja.
Karena terlalu menggedekan gensi disebabkan minder dengan isi kepalanya sendiri.
Oh, benar juga.
Arinda bangkit dari duduknya, lalu menyegerakan lihat kertas-kertas itu dari isi dompet.
“Ah..bisa nih beli!” Girangnya sendiri.
Kalau tidak lihat sebuah foto di instagram, mungkin saja uang itu terpakai habis tak tersisa beli keperluannya sudah jauh-jauh hari terkumpuli.
Esok hari ..
Sudah menunggu sahabat yang kemarin meledak-ledak, tampak keraguan terproduksi bola mata berasal dari Vlo.
“Bagaimana kita mo ngobrol sama dia, kalau jalan lurus trus dipanggil pura-pura tra dengar begitu?” Vlo sudah mulai pesimis lebih awal.
“Sudah, kita langsung ke rumahnya, pasti kalau kita datang dia su tra ngambek badaki lagi tuh.” Nazira mengusulkan dengan semangat.
Masih dengan rasa ragu hinggap di isi kepala Vlo, butuh menit-menit yang terpakai berdiri dengan pemikiran berbeda dari dua orang tersebut. Melihat yang lain sudah pada belalu-lalang balik ke rumah dengan iringan canda bersama teman sekelas.
Tidak tahu kenapa Nazira ikut tersenyum, terkesan mengiri hati. Lihat sahabat satu dalam fase marah.
“Hm, ayo sudah ke sana. Tapi..ko yakin dia tra ngambek lagi?”
Nazira hanya menarik lengan perempuan yang dikenali lewat chapter memilukan dalam kelas ke parkiran.
“Ayo..naik, keburu Arinda pergi keluar.”
Vlo mengangguk kecil.
Dalam perjalanan hanya keheningan menyergapi mereka berdua. Tidak biasa sekali dalam situasi menyebalkan itu.
Beberapa menit berlalu ..
Samar-samar dengar suara dari depan rumah, tetap cuek lalu dengan cepat pasang headset dan tidur memeluk bantal guling.
Menyadari mereka sudah masuk dalam kamar, pura-pura tidak ada yang datang.
“Stop..pura-pura tra dengar kita datang su, Rin! Sa tahu ko pasti dengar di balik ko headset tuh!” Nazira mencibir.
Lalu detak sangat nakal terus berpacu sangat kilat, berusaha mengontrolnya dan berbalik melempar boneka ke wajah sahabatnya.
Terjadilah perang boneka dalam kamar. Tawa itu kembali menghiasi AVN.
Mendesah syukur dong, duduk pelihara pelik mereka dengan tulus mengelus-ngelus hingga mengelupas bengis dalam nafsi.
Arinda bruntung tuhan mengirimkan kado terindah lewat persahabatan terjalin beberapa tahun ini dengan mereka berdua, walau mengenali Vlo belum lama cukup mendahagakan jiwa. Saling melengkapi satu sama lain.
Mereka mengusulkan buat makan diluar sebelum senja menutup tawa menyenangkan itu, ketika Nazira sudah ditelpon orangtuanya.
Sebelum ke lokasi, “baemana? Ko ortu tra marah kah, kalau pulang sampai sore begini?” Vlo membisik sangat pelan.
Arinda bisa menyadari dari raut cemas sahabatnya yang baru-baru ini kenali itu, pasti bisik ijin ortunya Nazira, pikir gadis itu dengan santai.
“Trada yah, santai saja. Tadi sa mama tra marah, apalagi bapakku.” Nazira menginfokan dengan tenang.
Terbukti kan? Ketika perempuan itu menimpali sangat tenang mereka pun bisa bergegas ke tempat makan.
Kurang tahu kenapa dengan mereka hari ini, tumben tra larang sa makan sambel banyak? Gumam Aridna penasaran, melirik diam-diam ke arah mereka sibuk meracik makanannya sendiri-sendiri.
Detik-detik sudah terlewati beberapa jam yang lalu. Kini .. Mereka balik antar Nazira ke rumah lebih dulu karena nanti kena semprot tidak bisa keluar lagi.
Sudah pulang sangat terlambat sekali.
“Eh?” Melongo dong, tidak ada respon sangar sama sekali dari orangtua Nazira.
Dengan ayunan ringan masuk kamar.
Berbincang sedikt lalu pamit pulang.
“Rin..” Vlo memanggil.
“Hmm?”
“Eng..Bisa pinjam ko uang kah?” Lirih Vlo, ada jeda di sana, “buat..keperluan ujian nasional nanti. Soalnya, sa ekonomi lagi susah. Su lima hari ini sa tra dapat jatah uang jajan.” Imbuhan sangat tulus dan serius.
Mendengar tidak mendapati jatah uang jajan sekolah, cukup mengiris hati Arinda. Karena hidupnya masih mendesah detak syukur masih diberikan fasilitas jauh lebih baik dibanding sahabat satunya ini.
Menolong sahabat dalam hal rupiah sangat bagus dalam membangun kidung dalam persahabatan mereka tetap awet, bukan juga karena uang bisa bahagia melainkan tulus dan cinta yang tak bisa terbelikan oleh rupiah.
“Oh, ok. Besok sudah eh? Biar sekalian sa jemput ko!”
Sebagai alasan saja, supaya besok tidak ngaret terus tuh anak. Dan, Vlo sadar kalau sudah penat seharian jalan butuh rehat agar besok lebih segar ke sekolah.
Terdengar kekehan kecil, di mana mendapati dentum syukur dari perempuan itu. Arinda ikut tersenyum sambil mengendarai motornya sampai depan rumah Vlo.
“INGAT! Besok jan telat! Yasudah sa pulang dulu.” Arinda berkata dengan ketus penuh penegasan dibalas kekehan saja dari sahabatnya.
Mengingat keperluan harus dipenuhi, bukan untuk sekarang juga kan? Tersenyum samar, ada yang lebih penting antara uang atau persahabatan? Yah jauh lebih memprioritaskan ruang dalam menerbangkan kidung bersimfoni manis. []
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments