"Mereka menjadi bunga harap yang sempat layu dalam lamunan masa lalu. Dengan tulus merangkul jemari pelik dengan keikhalasan."
...-Arinda Darissa-...
💕💕💕💕
Kalau sebuah ruang dapat terbentuk sebuah AVN dengan tampilan cuek, datar dan keras kepala. Kenapa harus takut dan cemas dengan komentar pedas orang luar, kalau kita tidak pantas untuk dicintai?
Terbukti saat Arinda menemukan sebuah pintu kidung persahabatan dari dua sahabat, Nazira dan Vlo. Menerima apa adanya tanpa harus menuntut lebih dari ketaksanggupan Arinda sendiri.
Saling melengkapi.
Bersemuka penuh tak terduga, “eh, ko temannya Nazira toh?” Sambar salah satu siswi keperawatan, saat kebetulan mengangkat kantong sampah.
Memang hari ini mereka berbondong untuk membersihkan lingkungan smk ypkp sampai di dekat bandara sentani. Gladi bersih.
Arinda yang di tanya spontan melongo dan tertawa sangat riang.
“Yoi, kenapa kah? Oh..iyo bicara dia, dari tadi tuh..sa cari-cari dia kah, ko tahu kah dia ke mana?” Celingak-celinguk.
“Oh..tadi sa ada lihat dia jalan dengan teman sekelasku yang lain.”
Sambil mengangguk-anggukan kepala, “Arinda,” hampir lupa perkenalkan diri.
“Vlo.” Nama yang singkat tapi penuh arti.
Setelah beberapa menit gladi bersih bagian sekolah, kembali dari pinggiran dekat bandara, mereka harus berkumpul kembali ke barisan, dengan CATATAN kantong plastik lumayan besar harus terisi penuh dengan sampah dedaunan dan plastik, baru bisa baris rapi setelah itu kembali ke dalam kelas, berganti pakaian batik.
Saat sudah menemukan Nazira, gadis itu pun berlari sangat gembira. Terlepas penat sunyi walau terasa ramai di sekitar.
Tidak tahu kenapa Arinda ingin selalu berada dekat sahabatnya.
Duduk di depan kantor, sambil mendengar tentang Vlo mengenai ketakrestuan orangtua dalam membiayai sekolah dan uang jajan pun jarang di kasih.
Semakin buat gadis itu ingin lebih jauh mengenalinya sampai terbentuklah diksi AVN.
Arinda tersenyum kembali memutar memoar kali pertama mengenal sahabat yang sangat tertutup persoalan keluarga. Kalau berkumpul bersama pasti tak menampakkan kabut pekat, jelas bisa di terka lebih jauh oleh mereka berdua, hanya saja ingin di pendam seorang diri.
“Sa dapat sahabat seperti kam saja bruntung sekali,” pernah Vlo berujar seperti itu.
Saat Arinda mengeluh kenapa tidak saling berbagi kalau ada masalah dalam rumah dengan sahabat, jelas berdecak pinggang sangat kesal.
Seperti .. “Ko tra anggap kita sebagai sahabatmu begitu kah,” ketus Arinda dibalas dengan senyum desir.
Dan, hari ini menunggu sahabat yang sangat siput untuk ke sekolah. Melihat benda pipih itu, berharap segera datang dan berangkat.
Justru buat kaki Arinda berdiri dengan mendengus panjang, segera masuk ke dalam warung, “pagi, tante, Naziranya ada?”
“Eh, Rin, ada di kamarnya. Masuk..” Yulia, Mama Nazira pun membalas dengan hangat.
Tersenyum lalu melangkah panjang-panjang ke kamar sahabatnya.
“Mamayo..ko gerakan lambat sampe kek siput! Tra lama sa terlambat masuk kelas nih.” Kesal Arinda sambil membuang diri di atas kasur sahabatnya.
Dibalas cengir tak berdosa dari Nazira, sambil sibuk grasak-grusuk keranjang baju.
“Ko cari apa kah?” Terlihat Arinda sudah mulai risi lalu bangun dengan perbaiki posisi duduk.
“Sa cari kaos kakiku dulu, tra tahu di mana nih, perasaan semalam sa angkat dari jemuran baru masa trada tuh?” Tangan itu masih sibuk mencari benda yang dimaksud.
Memutar bola mata dengan jengah.
“Potem,” hanya ini yang dicetuskan Arinda.
Setelah beberapa menit menunggu dengan napas memburu, Arinda perlu mendesah dengan pelan-pelan, seperti mengukur kesabaran dia pagi ini.
Melihat sahabat masih duduk anteng, sambil menyiapkan gelas dan berjalan menuangkan lauk ke piring, “ko mau juga?” Nazira menawari.
Nai..ini su jam berapa?! Masih sante begini. Emosi Arinda dalam batin.
Menggeleng sambil tersenyum kecut, karena sudah berada di sekitar orangtua Nazira, gadis itu menjaga image. Tunggu saja, setelah sampai di sekolah bakal kena amukan tuh.
Kalau tahu seperti ini, lebih baik semalam tidak mengindahkan permintaan sahabatnya yang sangat-amat lelet. Bisa-bisa tidak ikut jam pelajaran pertama.
Sudah tahu dengan jelas kalau Nazira mengulur-ngulurkan waktu saat ada teman datang jemput ke sekolah, masih saja keuhkeuh bisa berangkat cepat.
Membuang napas kasar sambil mengeluarkan game boy daripada bosan menunggu sahabatnya sarapan lebih baik menyibukkan diri dengan game saja.
“Kek anak kecil saja masih jaman kah main barang itu?” Nazira mencibir disela-sela menyantap nasi.
Melirik tajam, “ko tempo makan sudah! Su jam berapa nih?!” Gusar Arinda.
Dibalas cengengesan dong.
Ups, Arinda melirik ke jam yang melingkari di tangan. Masih ada waktu untuk bisa sampai di kelas tanpa terlambat, tapi melihat sahabat dengan gerakan ayu-mendayu itu, buat dia mendesah sangat panjang dan mencak pelan.
Menyadari dengan perubahan ekspresi Arinda, perempuan itu segera menghabiskan susu putih yang baru saja di buatkan oleh Yulia.
Sempat di tolak karena perut penuh dengan air putih.
“Minum susu dulu! Baru berangkat sekolah.” Tegas Yulia.
Mengerucutkan bibir, Nazira menampilkan sikap manja seperti itu hanya karena ada sahabatnya jemput ke sekolah kalau tidak lebih dewasa dalam mengambil tindakan seperti ini.
Terkadang Arinda ingin mengorek kenapa menampilkan dua sifat dalam waktu berbeda?
“Ayo, Rin, berangkat.” Nazira sambil menggendong ransel yang kebetulan couple dengan gadis itu.
Mendesah dan lompat sumringah bisa ke sekolah tanpa harus telambat. Memang sih sudah menunjukkan tujuh kurang lima belas menit.
“Biar sa yang bawa saja.” Saat melihat Nazira yang ingin bawa, dengan cepat Arinda menyambar.
“Aih, nanti yang ada ko balap lagi,” Nazira mencoba menolak.
“TIDAK! Kalau ko yang bawa, bisa-bisa terlambat masuk kelas.” Arinda membalas tak mau mengalah.
Cukup bersabar menunggu dalam rumah, kali ini tidak mengindahkan permintaan sahabatnya itu.
Terbukti kan? Saat dalam perjalanan Nazira terus saja mengoceh sambil menimpuk helm dikenakan Arinda dengan tangannya.
Lagian jarak dari rumah Nazira ke sekolah lumayan dekat hanya beberapa menit sampai. Yang buat terasa jauh itu kalau kendaraan sudah mulai padat dan bisa di slap-slip cuma Arinda.
“Sampe deh,” Arinda menyengir sambil mengunci stank motor.
Menoleh ke belakang melihat ekspresi garang sahabatnya hanya membalas tertawa. Siapa suruh lambat, gumam Arinda malas tahu.
Sambil menunggu Nazira menaruh helm, kedua sahabat itu pun berjalan beriringan ke kelas masing-masing.
Kelas Nazira dekat lapangan basket sedangkan Arinda kudu masuk dulu di lorong menuju kantin.
“Sa duluan, daa..ingat, sebentar kalau pulang tempo tunggu depan kantor, kalau sa yang duluan sa nanti yang ke kelasmu sama-sama Vlo sekalian.”
Arinda mengangguk lalu mempercepat gerakan langkahnya masuk dalam kelas. Mendesah belum ada guru yang masuk.
Apa mungkin seperti itu? Jurusan Multimedia jarang di datangi guru untuk mengajar? Karena kebisingan mereka semakin buat guru-guru malas masuk?
Tapi, melihat keharmonisan family multimedia, cukup buat Arinda tersenyum dalam diam. Memerhatikan kebahagiaan yang di mana tanpa nafsi.
Terkadang ingin menyapa lebih dulu dan ngobrol ringan tanpa ada beban tidak berguna dan minder dalam ruang kecil tersemat dalam dada.
💕💕💕💕
Hari ini memang sangat menyebalkan.
Saat Arinda sudah bersegera ke sekolah, mendapati SMS dari sahabat menyebalkan minta jemput. Setelah datang di rumah. Masih seperti minggu yang lalu, kalau tahu seperti itu lebih baik tadi tidak balas SMS dan singgah ke rumah.
“Ko temani sa kah ke atas?!” Kata Arinda, sedikit kesal.
“Ayok, sudah.” Nazira sadar karena dirinya buat sahabat depan itu mendelik sangat kesal.
Setelah sampai di mulut pintu kelas multimedia, “we..tra belajar kah?!” Teriak Arinda, karena kebisingan dalam kelas buat gadis itu haus berteriak.
Harap-harap cemas di simpan dalam dada, “trada, Rin. Bu guru berhalangan hadir.” Mendesah syukur, ada yang menimpali dengan bersahabat, itu suara Nala.
Tersenyum ke arah teman sekelas lalu berbalik ke Nazira, “trada guru, tong turun ke bawah!” Tercetus sangat sumringah, sambil menarik lengan sahabatnya.
Begitu pun dengan kelas Nazira. Apa memang hari ini sengaja guru tidak pada masuk? Ah, tidak juga sih karena melihat sebagian jurusan ikut klyuran ada beberapa kelas saja yang belajar.
Oh, mungkin memang ada keperluan atau rapat diluar bagi guru tertentu? Kata Arinda dalam batin, penasaran.
Buat apa kepo dengan urusan mereka? Tidak belajar di jam pertama saja cukup buat Arinda sumringah lalu melangkah santai ke panggung sekolah.
“Eh, Vlo mana kah? Katanya su jalan dari tadi, sempe sekarang tra nongolkan batang hidung.” Ketus Arinda.
Tadi di SMS posisi sudah di mana kata Vlo sih lagi dalam perjalanan, tidak di rumah mengerjakan tugas menumpuk.
Kadang-kadang Arinda ingin menyuarakan protes saat sedang sekolah masih disuruh mengerjakan tugas rumah? Apa pakaian yang tertumpuk tidak bisa menunggu sepulang sekolah baru di cuci?
Tidak memiliki rasa perasaan sama sekali dengan keluarga sendiri. Buat Arinda mencak mengetahui satu sahabat memiliki persoalan rumah tidak harmonis, bengis.
Seperti broken home yang tidak pernah di ceritakan sama sekali oleh Vlo ke sahabat-sahabatnya.
“Telpon dolo, lama sampe.” Gerutu Arinda.
“Ko sudah, karna sa trada pulsa.” Nazira membalas sambil nyengir.
Mendesah, “makanya jaga warung yang rajin, supaya dapat gaji lebih.” Dicibir dong sama Arinda.
Setelah puas mencibir, menekan panggilan biasa lalu terhubung begitu cepat. Tumben.
“Ko dimana? Lama sampe, ko ke skolah kah tra nih? Kitong tunggu sampe berjamur nih.”
“Ado, sebentar lagi baru sa ke sekolah. Soalnya sa masih bastrika baju.” Terdengar keluhan dari sebrang telpon. Berdecak pinggang.
Nazira tahu setelah menuturkan kalimat tadi, “tra usah pamer gigi di sana! Potem strika, kita tunggu di atas panggung eh?!” Kesalnya, yang sudah tahu isi kepala sahabatnya itu.
“Dasar..anak jam karet! Mo jadi apa ko nanti setelah lulus, nak?” Ucap Arinda dengan mode bercanda dibalas tawa terbahak-bahak dari Vlo.
Mereka berdua duduk menunggu kedatangan Vlo. Kalau tidak langsung ditelpon mungkin sampai sekarang masih duduk tanam pantat dengan omelan tak ada henti dari mulut Arinda.
Oh benar sekali. Arinda jadi mengingat satu hal, di mana AVN terbentuk dengan tulus dan sederhana semakin merekatkan persahabatan mereka.
Masih belum menyangka ada sebuah persahabatan tanpa harus mengubah karakter seseorang atau berkemas mengetahui amarah terus terpelihara, duduk santai dan tulus sambil membelai bengis dengan terkasih.
Begitulah AVN terawat beberapa bulan tersebut.
Nama itu diciptakan dari kepala Vlo saat mereka berdua jalan ke Jayapura, kalau tidak salah ingat ketika pre-akhir tahun, Arinda ingin membelikan sang adik meriam serta cairan itu.
Dalam perjalan tercetus begitu santai seketika sumringah, “ah, benar, Rin. Bagaimana kita buat nama persahabatannya kita AVN? Bagus toh?” Kata Vlo dengan semangat.
Mengangguk. Saat itu Arinda tidak menyangka mendapati nama sebagus dan secantik itu dari sang sahabat.
Ternyata sahabat malas tahu dan jarang datang one time ke sekolah, terlihat peduli dengan persahabatan bahkan nama itu pun diberikan dengan sungguh-sungguh.
“Rin, setelah lulus ko lanjut kuliah?” Mendadak merusak mood Arinda, saat dilempari pertanyaan tersebut.
“Eh..Vlo su selesai strika baju kah? Lama sampee..” Berusaha mengalihkan topik, sambil melihat siswa-siswa bermain basket ada juga yang main bola di lapangan.
Mendesah. Begini sudah kalau membahas soal studi, Arinda pasti tidak ingin minat untuk menimpali.
Cukup lihat sahabat rajin sekolah, buat perempaun itu mendesah sangat bersyukur walau berkicau tidak pernah berprestasi walau masuk sepuluh besar, itu salah besar!
Bagi Nazira sahabat yang satu ini memiliki potensi tersembunyi walau masih belum terlihat dengan jelas. Yakin saja sih dengan potensi itu.
Suatu saat nanti bakal menemukan potensi itu tanpa dia sadari dan menunggu waktu itu melantangkan seruan indah dan manis.
Nazira tersenyum ke arah gadis itu lalu mengikuti pandangannya ke lapangan.
“Mamayo! Lama apa datang ke sekolah.” Nazira berujar kesal, saat menangkap sosok sahabatnya sudah tiba di depan mereka berdua.
“Haha...maaf-maaf, biasa orang penting jadi kesibukanku bukan hanya disekolah saja.” Menimpali dengan intonasi songong.
“Oh begitu eh, berarti kalau ko tidak lulus juga bukan hal penting jadi eh!” Lah, semakin buat Nazira berkata protes seperti ini kan.
Sedangkan Arinda tertawa melihat perdebatan mereka. Syukur deh, ko tra lanjut lempar pertanyaan tadi, pikir gadis itu dengan mendesah syukur dalam batin.
Usai memperdebatkan persoalan tidak tepat waktu atau lama sekali datang ke sekolah, mereka memutuskan untuk ke kanjang, sambil mencibir dan tertawa bersama sepanjang berjalan ke kantin.
Arinda merasa sangat bersyukur mendapati ruang bernama AVN itu dari mereka berdua. Tulus, apa adanya, merangkul ikhlas dan mengelupaskan bengis saat termangu pada masa lalu. []
.
.
.
Hallo readerss..kalau bingung dengan dialog di atas, bisa mampir ke Sepotong Nada yang Hilang karena saya sudah mencantumkan keterangan yang ada di sana.
Kalau merasa keberatan, bisa komen agar saya berikan keterangannya di sini aja.
BDW maap yak baru di revisi ehehe. Banyak kesibukan diluar imajinasi😄
Salam Sayang,
♡
-Dinn-
“Mungkin sangat mustahil dalam merangul prestasi di sekolah, apa benar dengan hobi bisa mengalirkan rupiah serta prestasi?”
💕💕💕
Mereka sudah duduk di bakso favorit, depan Sentani City Square. Tidak tahu kenapa paling hobi makan di sana, karena serba ada dengan menu makanan ingin dikonsumi mereka pun orang lain yang sedang berkunjung di sana.
Menunggu pesanan di buat, ketiga sahabat itu mengambil tempat yang nyaman, sambil bercerita ringan dan mengulang sebuah nostalgia milik Arinda.
Tertawa dan tidak menginginkan benci merasuk jiwa-jiwa milik gadis itu sendiri, karena sempat dikatai matre oleh orang tua sang mantan kekasih.
“Bisa tuh mamanya bilang ko matre, Rin.” Vlo berkata dengan wajah terheran-heran.
“Bisa toh, namanya juga curiga saat Hamaz beli pulsa trus.” Arinda menimpali dengan santai.
Tidak tahu kenapa bisa sih orangtua Hamaz mencurigai sampai mengata-ngatai jelek ke gadis itu? Kalau bisa bersitatap langsung mengumumkan semua kebaikan telah di beri ke ananda terkasih itu yang kesan diberikan tidak boleh terlalu lebih dalam mencintai seorang gadis bernama Arinda Darissa.
Seperti tidak ada cowok lain saja, emang Hamaz hanya seorang saja dalam dada gadis itu sendiri? Dih, banyak kok cowok diluar sana yang ingin terima apa adanya sosok Arinda tanpa harus menghakimi sikap yang sekedar di nilai dari cover tok.
“Kam betul nih mau lanjut kuliah?” Tercetus dari mulut Arinda, penuh dengan basa-basi dan tidak terladani dengan serius juga sih.
Mengangguk dengan penuh antusias, ralat deh gadis itu sangat menyesal mencetuskan pertanyaan tadi. Kenapa dua sahabat ingin sekali menceritakan keseruan di bangku perkuliahan, sedangkan mereka masih berstatus siswi?
Arinda juga salah, sudah jelas nyaman dan terhindar mengenai diksi paling momok dalam chapter hidup, masih saja ingin memancing kedua perempuan itu agar mendesak dia isi formulir kuliah.
Arg. Berdecak, menyesal kenapa bisa tercetus dengan santai? Tidak memikirkan konsekuensi dari sekedar bercanda jelma keseriusan yang tampak jelas di sorot dua sahabatnya.
“Ko juga lanjut kuliah, kan, Rin?” Kali ini Nazira sangat menggebu lempar pertanyaan balik ke sahabatnya itu.
Tersenyum kecut, sa mana mampu kuliah. Otak saja pas-passan seperti ini, getir Arinda dalam batin.
“Iyo..buktikan ke mereka, Rin. Yang sudah remehkan ko dengan bawa gelar sarjanamu!” Dan Vlo menambahkan lagi dengan wajah berseri-seri.
“Sa tidak bisa seperti kalian. Kam tahu sendiri baru, kalau sa otak saja dibawah rata-rata.” Gadis itu pun terkekeh, menyimpan desir mengenai keterlukai otak sendiri.
“Yah kuliah kan, tidak sama seperti sekolah, Rin. Ada kok yang IQ dibawah rata-rata tapi bisa kuliah sampe sarjana.” Walau pun diberikan sebuah motivasi berbukit-bukit, tetap saja kan tidak membuat keputusan itu teralihkan dengan sumringah seperti yang sedang di tampakkan kedua sahabatnya itu.
Hanya membalas dengan senyum kecut dan desiran-desiran menyebalkan kembali menyeruak dalam dada.
“Sa bodoh yah, tra usah urus studiku bagaimana ke depannya. Lulus sekolah saja nanti, su senang. Tinggal cari kerja saja.” Arinda menimpali dengan nada-nada penuh lirih.
Mengerti dengan sorot itu, “kasih tunjukkan juga ke Mamanya Hamaz! Kalau ko bisa sarjana!” Loh, kok Nazira sangat menggebu ke hal ini sih?
Bukan kah sudah menjadi mantan, terus ada sangkut paut apanya sih dengan cowok brengsek itu? Arinda semakin emosi di ingatkan lagi dengan sosok malaikat tanpa sayap milik Hamaz, selalu mengatai dirinya buruk.
“Sudah ah, sa malas urus kuliah. Intinya sa lulus sekolah saja cukup buat sa senang.” Arinda mulai kesal, sambil melihat pesanan sudah datang, menuangkan sambel sebanyak mungkin.
Tumben mereka berdua tidak menyuarakan protes, mengernyit pun tercipta di sebuah wajah Arinda. Ah, dari pada kepo dengan wajah bengong tidak di tanggapi mereka berdua sudah santai dan sibuk dengan racikan masing-masing, lebih baik langsung mengaduk merata dan menyantap dengan nikmat. Daripada lihat mereka berdua ngeh dan berubah pikiran, yang ada bisa terasa hambar.
“Tapi, nanti, kalau kalian sudah tra disini, masih bisa kumpul lagi seperti ini toh?” Kata Arinda dengan tiba-tiba, seperti masih belum rela melepaskan mereka berdua terbang mengejar cita.
Mereka berdua terlihat menatap satu sama lain, “kalau bisa, kita usahkan untuk kumpul. Intinya kita nikmati moment yang masih tersisa sebelum lulus.” Nazira menjawab dengan sungguh-sungguh dihiasi wajah berseri-seri.
“Oh, begitu. Hm, kalian mo ambil kuliah di mana nih?” Arinda sambil melihat mereka satu per satu, dengan mimik sedih sesamar mungkin di sembunyikan.
“Sa sih..pengennya di UNCEN saja, Rin. Kalau ko bagaimana Nai?” Vlo langsung melempari pertanyaan itu ke sahabatnya.
“Sa maunya juga begitu, kalau memang tra lolos di UNCEN sa maunya di Jogja. Tapi..tra tahu juga eh, nanti lihat-lihat sudah, kampus mana yang sa lolos.” Terdengar cengengesan dari mulut Nazira. Seperti..bahagia tak sabar menanti sebuah gelar mahasiswi.
Mendengar susunan rencana setelah lulus sekolah dari dua sahabat, hanya buat Arinda bergetir hebat. Hanya dia saja yang tidak memiliki planning sweet seperti mereka.
Baguslah, dengan seperti itu juga dia bisa melihat senyum-senyum menghiasi wajah mereka penuh haru di pindahkan sebuah kucir di kepala. Tanpa harus mengikutsertakan kaki untuk isi formulir kuliah, kan?
“Nanti..kalau kam sudah kuliah, jang berubah hanya karena sudah dapat teman baru di sana?” Arinda berkata, sangat serius dalam persahabatan mereka ini.
Bisa saja detak waktu bergeser, mengubahkan karakter kali pertama membangun AVN dan melupakan kebersamaan itu ditimbulkan sebuah egoisme tinggi. Terlebih menemukan wajah-wajah asing mampu mendukung karakteristik untuk berubah.
Hanya itu saja yang ditakutkan oleh Arinda. Dua sahabatnya akan berubah saat masuk di bangku perkuliahan, terutama Nazira yang mungkin lebih cepat berbaur dengan orang asing. Ups, tidak juga sih, sedikit malu-malu. Kalau sudah satu frekuensi dengan pertemanan, dipastikan Nazira cepat mengakrabkan diri dengan mereka.
Tercipta sebuah senyum getir sambil menikmati mie pangsit.
Menyebalkan, bukan? Saat ingin bertahan pada zona nyaman bersama sahabat, muncul sebuah egois dalam diri untuk menahan mereka tetap berada di sekitarnya.
Itu juga demi kebaikan masa depan kedua sahabatnya. Bukan lagi memungut waktu dalam hal bermain, santai dan jalan-jalan seperti biasa mereka kerjakan di semasa sekolah.
Ada waktu di mana mereka beranjak pada kedewasaan diri dan mandiri tidak bergantung lagi pada orangtua masing-masing.
“Mana mungkinlah, Rin! Masa sa sahabat sendiri, lupa sih?!” Celetuh Nazira.
Iyo ko bicara seperti itu karna belum merasakan LDR sama sahabatmu sendiri dan terbiasa dengan orang baru di sekitarmu nanti di kampus. Kesal Arinda dalam hati.
“Memang..nanti kita dapat teman baru di sana, tapi kan..teman di kampus tidak menjamin namanya sahabat, Rin.” Vlo menambahkan, menyakinkan hati gadis itu.
Masa sih? Arinda masih belum percaya dengan hal itu. Atau lebih menyenangkan saat bertemu teman di kampus?
“Iyo kah? Tapi..sa takut kam nanti datang ke sa rumah, yang biasa blak-blakkan jadi canggung.”
Merasa ada yang akan hilang, tidak tahu kenapa Arinda ingin terus menikmati hari tanpa jeda sehari pun. Seperti takkan bertemu di jangka waktu terpanjang.
🌏🌏🌏
Arinda sibuk main game di dalam kamar, tetiba disodorkan sebuah formulir saja dari sahabatnya. Jelas buat dia tidak suka dengan sambutan membosankan itu.
Jujur memang ada rasa ingin kuliah, tapi mengingat otak tidak diatas rata-rata, buat apa ingin meninggikan cita? Yang bakal mengahabiskan rupiah?
Saat orang lain ingin mendapati cita tinggi, lalu membawa sebuah gelar terbaik dengan camlaude sembari tertawa haru bergandeng dan memotret bersama kedua orang tua serta keluarga, jelas itu adalah gambaran bagi mereka yang serius mengejar cita.
Dan ada juga menginginkan hobi bukan sekedar figuran dalam kamar atau menikmati seorang diri, dengan upaya penat agar segera menemukan pretasi, masih saja tergelincir pada huruf gagal.
Diantara cita dan hobi, apa keduanya bisa di seimbangkan, tanpa harus gagal salah satunya?
Hm. Mungkin tidak bisa kalau serius dalam kedua hal tersebut dan menjadikan mengorbankan salah satu, jelas Arinda bakal berada di sebuah hobi dibanding cita sangat membosankan kalau bersitatap lagi dengan buku-buku. Terutama buku anak mahasiswa.
Yang ada dia tidak bisa fokus belajar melainkan bermalas-malasan sambil main game tanpa peduli dengan tugas kuliah.
“Nih, ko isi formulirnya yah, Rin!” Nazira berseru sangat riang.
Dengan satu alis dinaikan, “formulir? Buat apa? Sa tidak ada niat untuk kuliah.” Berusaha Arinda menolak dengan cara halus.
“Apa salahnya jika ko coba dulu, Rin?”
Nay, sampai kapan ko terus seperti ini sama sahabat sendiri? Ko seperti ngeledekin sa begitu kah, dengan porsi otak tra seberapa, please deh, tra usah mo paksa sa tentang pendidikan, gerutu Arinda dalam batin, masih belum berpaling lihat selembar kertas tersebut.
“Tidak ah, nanti uang kuliahnya siapa yang mau bayar? Mamaku pasti tra kasih izin.” Santai memberikan sebuah intonasi tapi penuh dengan penekanan.
Bersimpuh harap melalui intonasi barusan, sahabat tidak membahas kedua kali mengenai perkuliahan yang memang Arinda sendiri tidak sanggup untuk menjalani sampai kucir di pindahkan ke sebelah kiri.
“Nanti kita berdua yang ngomong sama Mamamu. Sekarang ko isi dulu itu formulirnya.” Desak Nazira.
Sungguh, ingin sekali membuncahkan sumpah serapah, tapi tidak ada kekuatan untuk memaki sahabat sendiri, dikenali lewat sosmed pun prantara mantan yang sama.
Apa sanggup merelakan kidung itu beranjak, karena egoisme tidak ingin diurusi sebuah cita dari sahabat sendiri yang sebagian itu juga penting bagi masa depan Arinda?
Tapi, sangat berharap lebih kalau tidak menginginkan sebuah diksi desakan dari sahabat mengenai pendidikan oleh mereka berdua. Masa depan tidak menjamin juga kok lewat pendidikan tinggi apalagi gelar di dapatkan menumpuk-numpuk, terutama kalau mendapati kampus yang serakah dengan kertas-kertas lalu buat mahasiswa jadi abadi di kampus.
Dih, sampai buat Arinda bergidik ngeri kalau membayangkan jadi mahasiswa abadi yang di sengajakan oleh kampus bukan mahasiswa sendiri.
“Sudah kah ah! Lagian UN masih lama, ko sudah kasih sodorkan formulir buat sa!” Arinda berkata dengan ketus.
“Rin, apa ko tidak mau dapat gelar sarjana? Mau lihat teman-temanmu yang saat ini meremehkan kemampuanmu semakin memojokkan ko?” Kenapa yak, Nazira memiliki kemampuan yang sangat menohok hati gadis itu sendiri?
Benkyo suru, diksi paling membosankan saat masih terperangkap di sekolah. Segera menyelesaikan masa-masa merepotkan lalu bergelar kerja, bisa terima gaji pertama sambil traktir orangtua atau keluarga kan, enak? Tidak perlu repot Ma, minta uang jajan lagi ke orangtua tapi giliran kita yang transfer hasil gaji itu ke mereka.
Nafsi yang tampak bermalas-malasan dan bersantai dengan sebuah gadget di mana memainkan sebuah permainan, seperti terbius. Mana mungkin bisa melanjutkan kuliah hingga wisuda?
Arinda menatap kertas itu lamat-lamat, tak ada minat untuk mengisi walaupun terisi sekedar iseng tidak serius.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap Muslim” (HR. Ibnu Majah no. 224, dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dishahihkan Al Albani dalam Shahiih al-Jaami’ish Shaghiir no. 3913)
Menuntut ilmu itu wajib bagi Muslim maupun Muslimah. Ketika sudah turun perintah Allah yang mewajibkan suatu hal, sebagai muslim yang harus kita lakukan adalah sami’na wa atha’na, kami dengar dan kami taat. Sesuai dengan firman Allah Ta ‘ala:
Innamā kāna qaulal-mu`minīna iżā du'ū ilallāhi wa rasụlihī liyaḥkuma bainahum ay yaqụlụ sami'nā wa aṭa'nā, wa ulā`ika humul-mufliḥụn.
Arinda menyadari hal itu, tapi dengan lulus sekolah sudah cukup bagi porsi otak dia. Karena malas menghabiskan duit orangtua lagi kalau kuliah.
“Mungkin, kalau kam yang kuliah pasti bisa dapat prestasi. Tapi, kalau sa hobi bisa ndak eh dikasih prestasi?” Celetuh Arinda tiba-tiba.
Nazira mengernyit, “maksudmu, buat novel begitu, Rin?” Bertanya dengan serius.
Memutar bola mata dengan jengah saat melihat anggukan antusias sahabatnya, “bisa saja sih ko dapat prestasi dari tulisanmu. Tapi kan, kuliah juga perlu untuk bisa dapat ilmu tertinggal di sekolah, Rin. Sudah kah, tra usah ragu dengan kemampuan yang ko miliki. Kuliah tra sama seperti kuliah. Sa yakin..ko pasti bisa wisuda pakai toga.”
Yakin dan terus saja mengatakan hal yang ingin sekali menertawai diri Arinda sendiri, tanpa sadar mereka tidak bisa menerawang lebih teliti kalau ruas-ruas itu meletup tak ikhlas.
Bodoh. Selalu saja mengusik isi kepala gadis itu sendiri, kenapa juga sahabat belum mengerti hal tersebut? Lewat penolakan pun santai di tanggapi Arinda, tetap keuhkeuh lihat dia mengisi formulir.
“Kuliah kan keiginan kita sendiri. Kalau sa tra niat kuliah yang ada berantakan saja baemana kam dua jelaskan?” Tuntut Arinda, please kali ini saja mereka berdua paham maksud pertanyaan itu.
“Yah kan, ko bisa bangun niat itu dari sekarang. Makanya..gunanya ada sa dan Vlo, untuk semangati ko buat kuliah, Rin.” Nazira menimpali diluar nalar gadis itu.
Sontak buat Arinda memelotot tak habis pikir dengan jawaban selalu saja ada diluar perkiran dia sendiri. Ah, menghelakana napas gusar.
“Kenapa sih, ko keras kepala sekali buat ajak sa kuliah? Apa manfaatnya coba buat sa kalau sa sudah kuliah? Kalau hanya habiskan uang?” Arinda berujar sangat marah.
“Sangat..sangat bermanfaat buat masa depanmu nanti, Rin. Apalagi dunia pekerjaan nanti di 2020 terima minimal D3 dan maksimal S1. Masa iyo ko mau lamar pekerjaan dengan ijazah SMK sih?”
Arinda mendengus sangat panjang. Sangat marah, frustasi mendengar kicauan dua sahabatnya yang masih belum mengerti isi kepala dia sendiri tidak ingin lanjut studi yang jelas menghabiskan uang apalagi izin orangtua? Oh, sudah jelas tidak dapat restu.
“Tadi kan ko bilang, trada biaya buat kuliahmu. Bagaimana kalau hasil tulisanmu itu bayar uang kuliah? Kan, ko Mama nanti setuju.” Kok, Nazira sangat menggebu persoalan hobi gadis itu sih?
Belum tentu juga kan bisa terbit mayor. Masih wacana.
“Kalau memang sa dapat prestasi lewat tulisanku, senang sih. Tapi, soal kuliah sa pikir-pikir dulu, karna ko tahu sendiri toh kalau sa pengen main belum ada pikiran untuk serius belajar. Sa naik kelas dua smk waktu itu saja senang, karna dibantu juga sih sama wali kelas. Nah, kalau kuliah, siapa yang mo bantu sa kalau misal dapat nilai jelek?” Arinda mengeluh bercampur gemas.
Nazira berpikir keras, “yasudah, ko pikir-pikir saja dulu. Intinya, formulir itu sa simpan di atas printermu eh?”
Saat bertemu esok hari, melangkah ringan ke dalam kelas.
Hampir bertemu dengan pintu kelas, “Rin!” Vlo memanggil dengan seru.
Saat berbalik, “bagaimana, Rin?” Kata Vlo dengan berseri-seri.
“Apanya?” Justru Arinda melongo, tidak mengerti.
“Itu loh, formulir yang kemarin Nazira kasih?”
Deg. Kok tahu sih tentang formulir kemarin?
“Oh, ada di rumah, kenapa kah? Ko perlu kah, nanti ambil saja di rumah. Sa juga belum isi kok. Trus..” Langsung dipotong, “bukan yang sa perlukan, tapi sa tanya sudah isi kah belum? Soalnya sa kakak mau uruskan untuk nanti masuk di UNCEN.” Jleb! Mendadak tersenyum miring.
Meniup ujung jilbab dengan wajah masam, “kam nih maunya apa kah?! Sa sudah bilang ke Nay kalau masih pikir dulu, lagian sa juga belum ijin di sa mama.” Kesal Arinda, hampir menaiki suara satu oktaf.
“Duh, Rin, kalau soal itu, nanti sa dengan Nazira bantu bicara.” Sambil mengarahkan pandangan ke perempuan di sampingnya.
Mendadak Arinda langsung mempercepat langkah masuk dalam kelas. Mendesah syukur sudah didatangi family multimedia, sambil duduk dengan wajah kesal malas memerhatikan kedua sahabatnya mengeluarkan headset, menandakan malas bicara lagi dengan mereka berdua.
Mereka pun mendesah nyerah sambil berjalan keluar pintu kelas multimedia meninggalkan Arinda dengan keasikannya itu.
Melepaskan headset memerhatikan mereka sudah benar-benar pergi, mendengus kesal.
“Kalau memang ko jadi kuliah, terus ada tugas yang susah, sa usahakan bantu. Jika Nazira tidak ada di Jayapura. Tenang, Rin, masih ada sa disini buat bantu tugas kuliahmu.” Pernah, Vlo melontarka hal itu, saat makan sama-sama di kantin sekolah.
Terdiam. Cukup lama, masih mempertimbangkan mengenai kuliah atau kerja usai menerima ijazah di sekolah.
Sempat juga mencetuskan mengenai, “sa tra bisa buat animasi,” atau “sa teman su bisa desain spanduk kah di corel draw. Tapi, sa belum bisa sama sekali. Keknya sa tra bisa deh jadi komikus kalau dua hal itu saja sa selalu gagal buat.” Sambil meringis. []
"Rupiah tak sebanding dengan persahabatan Arinda, lebih prioritaskan kidung-kidung mengiramakan simfoni manis lewat ruas AVN."
💕💕💕
Matematika, siapa yang mendapatkan pelajaran sangat mematikan dan menyiksa otak saat tidak mendapati rumus atau penyelesaian yang cocok dengan penerangan guru depan kelas. Dipastikan nyerah duluan di banding mencoba.
Dan itu terjadi pada Arinda Darissa.
Mengeluh di sahabat, tidak bisa mengerjakan sama sekali tentu rumit dipahami oleh porsi otak gadis itu sendiri.
Mencak tak jelas, sambil memerhatikan buku tersebut, “sini..biar sa kerjakan sudah! Makanya, kah, Rin, kalau dalam kelas tuh jan main HP tross..sekali-kali dengar guru jelaskan supaya ko paham sedikit.” Gerutu Nazira yang tidak protes saat mengerjakan PR sahabatnya itu.
Hanya menampilkan wajah cengir lebar. Sambil asik dengan HP.
Arinda sadar diri juga kok, kalau otak tidak diatas rata-rata yang terbentang kembali sebuah formulir kuliah dalam benak. Ah..apa kedua sahabat itu ingin menyemprot gagal saat mengetahui dia tidak bisa masuk ke sana dengan modal semangat saja?
Hidup tidak perlu di jalani dengan kepala tersesak oleh pelajaran bisa-bisa seperti professor, botak dan tidak memiliki waktu luang dalam menikmati masa muda.
Tunggu. Arinda juga ingin merasakan apa itu namanya bangku perkuliahan, apa seenak seperti dalam perfilman?
Tersenyum sangat getir. Jangan berhalusinasi dalam menjemput cita terbilang susah itu di bangku kuliah. Yang ada dosen bosan melihat wajah melulu bersitatap dengan matkul sama.
Arinda tidak ingin menjadi sebuah mahasiswa abadi di kampus. TIDAK MUNGKIN! Dalam batin, memekik sangat frustasi.
Fuh..jangan sampai memancing kesenangan itu untuk menggiring jari-jari dalam mengisi formulir yang masih terlihat kosong, terletak manis diatas printer dalam kamar.
“Bagaimana? Su kerjakan tugasku kah belum?” Arinda sambil melirik sekilas, “awas eh, kalau salah-salah lagi, bisa-bisa sa nilai dapat 30 lagi, kek bahasa inggris tuh.” Langsung menyindir masih belum ikhlas lihat nilai itu terpampang pongah menampilkan deretan angka merah.
Hua..kalau kembali memikirkan bagaimana PD bakal mendapati nilai tinggi sebanding dengan anak pintar dalam kelas multimedia, ternyata saat di koreksi oleh teman sebangku banyak sekali yang salah. Semakin buat mata Arinda sakit, melirik sekilas. Dalam hati, Nazira kurang ajar! Bisa-bisanya buat sa tugas hampir salah semua. Memekik tak habis pikir.
Walau sudah setahun lalu, masih saja terekat dalam kepala.
Terdengar tawa menggelegar milik Nazira, “makanya siapa suruh bawa tugas saat sa masih kumpulkan nyawa. Kalau waktu itu sa tidak baru bangun, mungkin ko bahasa inggris bagus eh.” Perempuan ini protes, tetap saja dicibir oleh Arinda.
Oh benar juga saat kali pertama, “mana kah yang susah? Biar sa yang kerjakan sudah, Rin.” Nazira langsung menyambar. Tapi tak lepas dari, “lain kali, berusaha sendiri eh? Masalahnya, sa tidak bisa bantu tuh kalau su ujian nasional. Karena, nanti kita kerja masing-masing. Kalau kena dari pengawas tong nyontek, kertas ujian kita tidak di terima.” Penuturan sahabatnya sangat amat mengiris hati Arinda yang masih tetap bermain dengan HP.
Yah, sangat benar. Tadi sebelum berangkat ke tempat makan, Arinda sengaja mengeluarkan buku PR Matematika depan sahabat-sahabatnya itu. Langsung di sambar ingin mengerjakan oleh Nazira tapi tak luput dari cibiran.
Kalian sadar kah tidak sih? Kalau otakku tidak sama seperti kalian, bisa sedikit motivasi kek jan cibir trus bikin insecure saja. Kesal Arinda dalam batin.
Memang sih tadi, “susah eh kalau su ketemu barang ini.” Mengeluh tidak akan mendampakkan gampang, kalau Arinda sudah berurusan dengan matematika depan sahabat sendiri terbilang pintar kalau sudah lihat rumus atau contoh latihan di modul.
“Enak eh kalau jadi anak pintar, apalagi bisa borong pringkat pertama.” Tiba-tiba mencetuskan hal mengiris otak.
Kedua sahabat melongo bersamaan melihat ke arah gadis itu.
“Tidak ada anak yang bodoh, Rin. Hanya malas.” Tertimpal sangat enteng, tak mengetahui isi kepala Arinda sedang tersedak oleh kalimat cemburu akan kepintaran Nazira.
Bergetir, sesak, sakit, terhimpit dalam dada. Hua..tercampur aduk menjadi satu dalam otak Arinda,
Bilang seperti itu karna tra seperti sa yang susah dan setengah mati serap materi, kalau di posisiku boleh baru tahu sendiri apa yang sa pendam. Kesal Arinda dalam batin.
Pernah, belajar mati-matian ingin memberikan nilai memuaskan saat UN Sekolah Menengah Pertama, setelah belajar sungguh-sungguh hampir dini hari.
“Arinda masih dapat nilai jelek tuh? Padahal tadi di kelas, keluar paling pertama kah, Tan.” Celetuh salah satu temannya.
Mendengar hal itu menusuk-nusuk semangat otak Arinda sendiri.
Ngilu.
Memang yak, sesuatu mustahil diperjuangkan mati-matian, takkan tergapai juga. Arinda bukan rakus pringkat satu atau berandai ke sana, melainkan dapat nilai bagus saja cukup mendahagakan isi otak gadis itu. Diluar dugaan, lagi mencetak gagal untuk buat Mama bangga.
Sampai hampir lulus Sekolah Menengah Kejuruan pun belum memperlihatkan prestasi yang menonjol selain menyusahkan wali kelas untuk berusaha dia naik kelas.
Sekarang? Kedua sahabat datang membentangkan sebuah formulir yang sangat jauh dari asa milik gadis itu sendiri, apa ingin menertawai atau melihat sekitarnya mengejek kalau tidak lulus di perguruan tinggi?
Walaupun resmi menjadi mahasiswi di salah satu kampus Jayapura, bisa menjadi bahan ejekan tetangga kalau tidak lulus kuliah, mengetahui isi kepala yang sangat dibawah rata-rata.
“Selesai nih, Rin. Yok..makan, sa lapar.” Kata Nazira sambil memasukkan buku PR sahabatnya dalam tas.
Kalau sudah penat saat otak sesak usai mengerjakan, pelarian hanya satu makan diluar rumah.
Lagipula sahabat sendiri tahu jelas bagaimana keras kepala Arinda ketika keterpaksaan dalam belajar, memancing amarah hanya mendesah sabar yang terpenting sudah ada kemauan kerja PR cukup buat mereka senang.
Tidak tahu kenapa kok mendadak melihat satu sorot berbeda, penuh dengan gelisah.
“Kenapa sih?” Kesal Arinda.
Melihat Nazira sedang pesan makanan, melirik sangat hati-hati semakin buat dia berdecak kesal.
“Rin..” Penuh dengan kegantungan.
“Hm?” Intonasi tak suka.
“Nanti saja deh,” loh kok di balas dengan senyum kecut?
Kalau sudah datar seperti itu, Arinda malas mengorek lebih jauh sebelum orangnya sendiri yang cerita kenapa.
🌏🌏🌏
KULIAH. Terbentang sangat serius dalam kepala Arinda. Ketika masih duduk di bangku kelas satu SMK, bagaimana membayangkan perihal mengenakan baju bebas tanpa peraturan dari sekolah juga mendapati .. Teman-teman baru menyenangkan.
“Enak kah?” Tercetus begitu saja.
Saat ini menikmati angin sepoi samping kamar, teras atas rumah. Sambil ditemani cemilan yang dibawa dari supermarket walau sempat semprot dari ibunda karena membawa kantong kresek lumayan banyak.
Hanya menimpali dengan senyum lebar tak berdosa. Cukup buat ibunda mendesah kasar.
Jangankan isi formulir masuk kuliah, kemarin saja kerjakan PR Matematika setangah mati, bagaimana nanti kalau kuliah yang tidak ada Nazira di sampingnya ketika sedang susah kerja tugas kuliah?
Mendapati diksi penegasan kemarin saja, tentu buat nafsi dalam mandiri menyelesaikan apapun.
Syukur tadi PR kemarin dibantu mereka mendapati nilai cukup memuaskan, delapan puluh. Wih, nilai yang sangat sempurna bagi otak Arinda, mungkin menurut mereka yang pintar belum puas jika tak mendapatkan nilai seratus.
Sebelum balik memang sedikit ada pergelutan tadi di sekolah.
“Kenapa kah kam nih tinggal bahas kuliah trus?!” Arinda sudah muak.
SUDAH jelas lihat sendiri kalau dia sangat tidak menyukai pelajaran angka masih saja dipaksa buat isi formulir. Lagian belum lulus juga sudah di desak seperti itu.
Yang biasa duduk bercerita sampai ketemu senja. Sekarang hanya aroma ketegangan dalam ruang AVN.
Sambil melihat pemandangan bangunan depan rumah, ada senyum getir tercipta di sana.
Masih belum ada rasa ingin lepas sahabat-sahabat kejar ilmu juga rasa ketertakutan sangat berkelebat dalam pikiran, pamit dengan semua kesibukan menjadi mahasiswi.
“Coba sa pintar atau ada semangat belajar kek Vlo.” Ngomong sendiri, sangat nyesak di ulu hati.
Vlo memang tidak terlalu pintar karena semangat belajar itu mampu menutupi keterbatasan otaknya dalam kelas. Nah, kalau gadis itu? Semangat saja tidak punya apalagi ingin menutupi kebodohannya selama ini selalu bawa gelar gagal ke rumah.
Dengan nilai dibawah rata-rata, cukup melukai ekspektasi Arinda. Yang ingin bawa pulang nilai delapan puluh dalam raport sangat sulit ketika lihat lembar terlanjur buat otak terkulai.
Lagian kenapa sih terlalu paksa kejar nilai terbaik? Jika sudah dari kecil tidak bisa menyerap ilmu dengan permanen. Selalu saja lepas dari isi kepala ketika berhasil mengingat pelajaran selepas sampai ke rumah.
Menyebalkan bukan? Sangat!
Yang menjadi keras kepala itu ketika adik paling terakhir selalu di perhatiin dengan nilai ujian atau tugasnya sepulang sekolah.
Memang Arinda akui adiknya itu pintar dan cepat tangkap ketika guru menerangkan depan kelas. Wajar saja bisa mendapati posisi peringkat pertama di sekolah.
Tetiba ada senyum pahit tercetak di sana.
Ah, hampir melupakan mengenai satu orang dalam perjalanan studi, Nazira.
Perempuan paling perhatian dan teliti sembari buka kembali isi catatan sekolah sahabatnya tak lepas dari .. “Su kerja tugasnya kah belum nih?” Atau “ada PR ndak dari sekolah? Kalau ada yang susah, sini..biar sa bantu kerja saja.”
Kalau, “tenang, su kerja kok.” Melayangkan diksi menyenangkan seperti ini, pasti ..
“Huh..dasar, kalau pelajaran kejurusan saja otakmu nyampe.” Nazira langsung mencibir.
Yang bersangkutan dengan perangkat keras dalam laboratorium Multimedia, sangat bersemangat belajar atau kerja PRnya bila sudah kesulitan pasti menanyakan ke teman cewek atau cowoknya yang merasa dekat saja.
Karena terlalu menggedekan gensi disebabkan minder dengan isi kepalanya sendiri.
Oh, benar juga.
Arinda bangkit dari duduknya, lalu menyegerakan lihat kertas-kertas itu dari isi dompet.
“Ah..bisa nih beli!” Girangnya sendiri.
Kalau tidak lihat sebuah foto di instagram, mungkin saja uang itu terpakai habis tak tersisa beli keperluannya sudah jauh-jauh hari terkumpuli.
Esok hari ..
Sudah menunggu sahabat yang kemarin meledak-ledak, tampak keraguan terproduksi bola mata berasal dari Vlo.
“Bagaimana kita mo ngobrol sama dia, kalau jalan lurus trus dipanggil pura-pura tra dengar begitu?” Vlo sudah mulai pesimis lebih awal.
“Sudah, kita langsung ke rumahnya, pasti kalau kita datang dia su tra ngambek badaki lagi tuh.” Nazira mengusulkan dengan semangat.
Masih dengan rasa ragu hinggap di isi kepala Vlo, butuh menit-menit yang terpakai berdiri dengan pemikiran berbeda dari dua orang tersebut. Melihat yang lain sudah pada belalu-lalang balik ke rumah dengan iringan canda bersama teman sekelas.
Tidak tahu kenapa Nazira ikut tersenyum, terkesan mengiri hati. Lihat sahabat satu dalam fase marah.
“Hm, ayo sudah ke sana. Tapi..ko yakin dia tra ngambek lagi?”
Nazira hanya menarik lengan perempuan yang dikenali lewat chapter memilukan dalam kelas ke parkiran.
“Ayo..naik, keburu Arinda pergi keluar.”
Vlo mengangguk kecil.
Dalam perjalanan hanya keheningan menyergapi mereka berdua. Tidak biasa sekali dalam situasi menyebalkan itu.
Beberapa menit berlalu ..
Samar-samar dengar suara dari depan rumah, tetap cuek lalu dengan cepat pasang headset dan tidur memeluk bantal guling.
Menyadari mereka sudah masuk dalam kamar, pura-pura tidak ada yang datang.
“Stop..pura-pura tra dengar kita datang su, Rin! Sa tahu ko pasti dengar di balik ko headset tuh!” Nazira mencibir.
Lalu detak sangat nakal terus berpacu sangat kilat, berusaha mengontrolnya dan berbalik melempar boneka ke wajah sahabatnya.
Terjadilah perang boneka dalam kamar. Tawa itu kembali menghiasi AVN.
Mendesah syukur dong, duduk pelihara pelik mereka dengan tulus mengelus-ngelus hingga mengelupas bengis dalam nafsi.
Arinda bruntung tuhan mengirimkan kado terindah lewat persahabatan terjalin beberapa tahun ini dengan mereka berdua, walau mengenali Vlo belum lama cukup mendahagakan jiwa. Saling melengkapi satu sama lain.
Mereka mengusulkan buat makan diluar sebelum senja menutup tawa menyenangkan itu, ketika Nazira sudah ditelpon orangtuanya.
Sebelum ke lokasi, “baemana? Ko ortu tra marah kah, kalau pulang sampai sore begini?” Vlo membisik sangat pelan.
Arinda bisa menyadari dari raut cemas sahabatnya yang baru-baru ini kenali itu, pasti bisik ijin ortunya Nazira, pikir gadis itu dengan santai.
“Trada yah, santai saja. Tadi sa mama tra marah, apalagi bapakku.” Nazira menginfokan dengan tenang.
Terbukti kan? Ketika perempuan itu menimpali sangat tenang mereka pun bisa bergegas ke tempat makan.
Kurang tahu kenapa dengan mereka hari ini, tumben tra larang sa makan sambel banyak? Gumam Aridna penasaran, melirik diam-diam ke arah mereka sibuk meracik makanannya sendiri-sendiri.
Detik-detik sudah terlewati beberapa jam yang lalu. Kini .. Mereka balik antar Nazira ke rumah lebih dulu karena nanti kena semprot tidak bisa keluar lagi.
Sudah pulang sangat terlambat sekali.
“Eh?” Melongo dong, tidak ada respon sangar sama sekali dari orangtua Nazira.
Dengan ayunan ringan masuk kamar.
Berbincang sedikt lalu pamit pulang.
“Rin..” Vlo memanggil.
“Hmm?”
“Eng..Bisa pinjam ko uang kah?” Lirih Vlo, ada jeda di sana, “buat..keperluan ujian nasional nanti. Soalnya, sa ekonomi lagi susah. Su lima hari ini sa tra dapat jatah uang jajan.” Imbuhan sangat tulus dan serius.
Mendengar tidak mendapati jatah uang jajan sekolah, cukup mengiris hati Arinda. Karena hidupnya masih mendesah detak syukur masih diberikan fasilitas jauh lebih baik dibanding sahabat satunya ini.
Menolong sahabat dalam hal rupiah sangat bagus dalam membangun kidung dalam persahabatan mereka tetap awet, bukan juga karena uang bisa bahagia melainkan tulus dan cinta yang tak bisa terbelikan oleh rupiah.
“Oh, ok. Besok sudah eh? Biar sekalian sa jemput ko!”
Sebagai alasan saja, supaya besok tidak ngaret terus tuh anak. Dan, Vlo sadar kalau sudah penat seharian jalan butuh rehat agar besok lebih segar ke sekolah.
Terdengar kekehan kecil, di mana mendapati dentum syukur dari perempuan itu. Arinda ikut tersenyum sambil mengendarai motornya sampai depan rumah Vlo.
“INGAT! Besok jan telat! Yasudah sa pulang dulu.” Arinda berkata dengan ketus penuh penegasan dibalas kekehan saja dari sahabatnya.
Mengingat keperluan harus dipenuhi, bukan untuk sekarang juga kan? Tersenyum samar, ada yang lebih penting antara uang atau persahabatan? Yah jauh lebih memprioritaskan ruang dalam menerbangkan kidung bersimfoni manis. []
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!