Pembantuku Calon Istriku
Sore tadi, sebuah buket bunga berisi sepuluh tangkai mawar kuning Tania terima dari penjaga apartemennya. Bukan dari Martha, tapi Eddie yang menitipkan pada Martha karena Tania sedang tidak berada di rumah. Sejak Tania menginjakkan kakinya memasuki gerbang Ox University untuk menempuh pendidikan doktoralnya di bidang Kesehatan Masyarakat, Eddie adalah pria yang secara terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Tania.
Tania mendapat beasiswa dari kampus tempatnya mengajar untuk menempuh S3 di negara asal David Beckham ini. Selain tercatat sebagai mahasiswa di Ox, Tania juga tercatat sebagai dokter spesialis Orthopedi di RSUP Dr. Sardjito dan salah satu dosen pengajar di UGM. Kiprahnya sebagai dosen dan tenaga medis nyaris sempurna, tanpa cacat.
Tania terlahir dari keluarga ningrat dan berada. Entah bagaimana silsilahnya, Tania tidak mau pusing untuk merunut darah ningrat yang mengalir di tubuhnya. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi silsilah, namun tidak menjadikannya yang utama, itulah prinsip yang dianut Tania.
Namun begitu, dalam hal mencari pendamping hidup harus melalui beberapa tahap seleksi dari Eyang dan Mamanya. Seperti Trias Jodoh (Bibit, Bobot dan Bebet) begitu Tania menyebutnya. Itulah mengapa Tania tidak merespon perasaan Eddie padanya. Apa jadinya bila sampai Eyang tahu bahwa Tania, cucu kesayangannya, berkencan dengan pria bule? Pastinya akan lebih dari sekedar terkejut.
Seperti yang terjadi saat ini, Tania sedang berbincang dengan keluarganya melalui video call.
“Hai, semua. Tumben ngumpul semua, Ma.”
“Iya. Ini lagi persiapan untuk upacara tedak sinten (turun tanah) putra kedua Paman Haryo. Kamu sedang luang, Nduk?” tanya Mama. Walau jaman sudah modern dan Tania adalah wanita karir, namun panggilan Mama tidak pernah berubah untuknya.
“Wah, senangnya. Tania kangen kumpul-kumpul bareng semua. Bulan depan Tania pulang, Ma. Sugeng siang, Eyang Putri.” Tania menyapa nenek tercinta dengan sopan.
“Cah ayu, cucuku Tania. Selamat ya, sudah berhasil menyelesaikan kuliah lebih cepat dari target. Eyang bangga sama kamu.”
“Inggih, Eyang. Bulan depan Tania sudah bisa kembali ke Jogja lagi. Tania kangen…”
“Walah-walah, sudah jangan sedih. Walau sudah dewasa tetap saja masih kekanakan. Nanti setelah kamu kembali, Eyang Putri akan menjodohkan kamu dengan cucu teman Eyang. Sudah waktunya kamu berumahtangga, Cah ayu.”
Tania hanya diam, tidak menjawab. Pada dasarnya Tania paham bahwa yang keluarganya lakukan adalah bentuk rasa sayang mereka padanya. Namun, Tania tidak sepakat dengan budaya perjodohan yang masih dilestarikan dalam keluarganya.
“Tan, kenapa diam?” Andra, kakak sulungnya membuyarkan lamunannya.
“Eh, Mas. Mana yang lainnya?” Tania tidak menyadari bahwa lawan bicaranya sudah berganti.
“Sudah mulai upacaranya, ini aku yang diminta ngobrol denganmu.” Hening sejenak. “Tan, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Eyang. Yang penting kamu pulang dulu dengan selamat.” Ucap Mas Andra sambil tersenyum memaklumi.
“Iya Mas. Makasih. Tania mau ke kampus dulu, mengurus berkas-berkas untuk persiapan wisuda.” Sambungan terputus setelah Andra dan Tania saling mengucap salam.
Hhhh…aku sangat ingin pulang karena kangen. Tapi kepulanganku akan disambut dengan acara perjodohan, Tania mendesah.
FYI, Tania Prageswari Wijaya adalah dokter spesialis muda dan cantik. Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, dia sudah menyandang gelar Ph.D di belakang namanya. Karir dan pendidikan yang cemerlang bukan merupakan keberhasilan utama yang patut dibanggakan di kalangan keluarganya, melainkan membangun rumah tangga. Namun bisa dikatakan, Tania gagal dalam urusan itu.
Gagal bukan karena Tania tidak pernah jatuh cinta atau tidak ada pria yang jatuh cinta padanya. Tapi lebih kepada gagal meyakinkan keluarganya terutama Eyang dan Mamanya untuk merestui hubungannya dengan kekasihnya. Serumit itu urusan memperoleh restu, bahkan lebih rumit ketimbang melakukan operasi menyambung tulang patah menurut Tania.
Singkatnya, Tania berhak menentukan masa depan karirnya namun tidak urusan pendamping hidup.
****
“Tania, would you marry me?” Eddie menatap Tania dengan penuh harap.
Tania tidak memungkiri bahwa Tania menyukai Eddie. Pribadinya yang cerdas, hangat dan humoris membuat Tania nyaman saat bersamanya. Bahkan keluarga besar Eddie berharap Tania menetap di sini dan menerima lamaran Eddie. Namun kehidupan Tania tidak sepenuhnya miliknya sendiri. Bersikap egois bukanlah hal yang bisa Tania lakukan dengan mudah.
“Eddie, i’m so sorry. I can’t.” Dengan berat hati Tania menolak lamaran Eddie. Bagi Tania pribadi, dalam sebuah hubungan pernikahan, yang terutama adalah rasa nyaman dan saling mengerti, bukan cinta. Karena menurutnya, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Seperti pepatah Jawa ‘Tresna Jalaran Saka Kulina’ (Cinta Tumbuh Karena Biasa).
“Why? There is someone?”
“No, Eddie. I just can say ‘sorry’ to you.” Tania tidak bisa mengatakan kalimat lain selain meminta maaf pada Eddie. Tak ingin memperumit keadaan, Tania lebih memilih memendam perasaannya pada Eddie ketimbang menentang Mama dan Eyangnya.
Kalimat itu menjadi ucapan perpisahan antara Tania dan Eddie saat malam itu Eddie berkunjung ke apartemennya. Sejak malam itu hingga hari ini, tepat satu bulan setelahnya, Eddie tidak pernah lagi menghubungi Tania.
Sekali lagi Tania menoleh ke belakang, berharap Eddie berlari ke arahnya sekedar untuk mengucapkan perpisahan secara wajar dan mengantar kepergiannya. Namun semua itu hanya tinggal harapan yang tidak terwujud. Hingga pesawat yang Tania tumpangi lepas landas, Eddie tak pernah muncul.
****
Setelah menempuh perjalanan udara selama 20 jam lebih, Tania menginjakkan kakinya kembali ke tanah yang sangat dia rindukan, Jogjakarta, Indonesia. Sosok tinggi tegap dengan rambut ikal dan kulit putih, berdiri menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka lebar. Tania berlari menghambur ke dalam pelukan Andra dengan semangat.
“Wow…makin cantik aja adikku ini.” Sambut Andra sembari memeluk adiknya hangat.
“Kangen aku, Mas.”
“Lebay kamu. Baru setahun aja udah seperti berpisah puluhan tahun.” Andra dan Tania belum pernah berpisah lebih dari hitungan minggu. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, jadi dapat dipastikan di mana ada Andra di situ ada Tania. Bahkan saat memasuki bangku perkuliahan, mereka memilih mendaftar di kampus yang sama agar sering bertemu.
“Kita khan gak pernah jauhan, Mas.” Tania bergelayut manja di lengan kakaknya yang kokoh.
“Iya. Sampai-sampai Eyang bilang kita ini kembar siam. Hehehe…” Andra terkekeh mengingat istilah yang sering Eyang katakan.
“Ayo kita mampir dulu ke Yu Djum (nama warung gudeg terkenal di Jogja), sudah 365 malam aku memimpikannya,” Tania menarik lengan Andra untuk bergegas membawa kopernya.
“Ya ampun, bukannya langsung pulang, malah mampir makan gudeg. Kamu ya,” protes Andra.
“Ada yang mau aku ceritakan, Mas. Aku lagi galau ini.”
“Halah, paling-paling tentang perjodohan. Biar tau rasa kamu, gimana repotnya menghadapi Eyang dan Mama. Aku sih udah pernah.”
“Aku juga sudah pernah. Bambang. Tapi kamu beruntung, calon istrimu minggat dengan pacarnya. Nah aku?” raut muka Tania berubah sedih.
“Sudah. Kita meluncur dulu, keburu ambyar di sini ceritanya.” Mereka bergegas ke arah parkiran dan melajukan mobilnya menuju warung favorit mereka.
Sesampainya di tempat yang dituju, Tania segera memesan dua porsi gudeg beserta es dawet dan memilih tempat duduk di pojok ruangan.
“Kenapa, Tan? Kamu patah hati?”
“Boro-boro, Mas. Belum sempat menjalin hubungan aku tuh.”
“Lha terus, kenapa ekspresimu seperti orang patah hati?”
“Jadi gini, aku kenal seorang pria saat kuliah kemarin. Temanku satu kelas, dia dokter anak. Orangnya sabar, mungkin karena dia dokter anak ya. Pokoknya aku nyaman sama dia, namanya Edward Horrison.”
“Weleh, wong londo?” kepala Andra manggut-manggut mendengarkan cerita adiknya.
“Iya, dia asli London. Tapi dia sopan dan paham adat ketimuran,” Tania menarik napas dalam.
“Lalu?”
“Dia melamarku, Mas.”
“Kamu terima?!”
“Denger dulu ceritaku. Jangan keburu dipotong-potong seperti tomat.”
“Iya-iya, lanjutkan.”
“Sehari sebelum dia melamarku, aku video call itu. Eyang bilang sudah menemukan jodoh yang tepat buatku. Cucu dari teman masa kecilnya dulu. Aku males duluan mau berjuang.”
“Nah…itu jeleknya kamu dari dulu. Kalah sebelum perang. Gak punya darah pejuang.”
“Mas tau sendiri bagaimana kompaknya Mama dan Eyang kalau menyangkut perjodohan. Aku lebih memilih tidak berjuang ketimbang lelah berjuang padahal tau bakalan kalah.”
“Iya sih, kamu khan rasional banget orangnya. Terus, gimana sekarang?”
“Ya gak gimana-gimana. Sudah tak tutup cerita tentang Eddie bersamaan dengan mendaratnya pesawatku tadi.”
“Ealah…ceritanya sudah tamat bahkan sebelum dimulai. Yo wes, rasah sedih. Yang sudah terjadi jangan disesali. Kamu sudah membuat keputusan yang tepat untuk menjaga stabilitas kedamaian keluarga kita. Hehehe…”
“Iya. Gak seperti kamu, yang bikin ulah aneh-aneh sampai Eyang jantungan.”
“Ayo kita makan dulu. Setelah keluar dari sini, Mas harap kamu menutup cerita ini dengan tuntas. Ya?” Tania mengangguk setuju. Segera saja dia menyendok satu suapan besar nasi gudeg ke dalam mulutnya.
****
Hai, Smart Readers.
Ketemu lagi dengan Author ya. Ini novel kedua Author dengan latar cerita yang berbeda dengan novel pertama. Semoga Smart Readers suka dan terhibur.
Jangan lupa tinggalkan jejak Like dan Vote nya ya.
Thankyou.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
Becky D'lafonte
mampir baca ini, sepertinya seru
2023-05-05
0
Anggur Kolesom
maap thor... negara londo yg biasa orang jawa sebut kan bukan london melainkan belanda. hanya koreksi aja tor.
2022-12-15
1
Reiva Momi
mampir thor
2022-10-04
1