“Belum datang juga mereka, Nik?” tanya Eyang pada putrinya. Mama Tania dan Andra terlahir dengan nama Hastuti Indra Atmaja, namun Eyang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘menik’. Eyang hanya akan memanggil namanya bila sedang marah,
“Belum, Bu. Mungkin mampir dulu ke Yu Djum.”
“Walah, gimana tho, harusnya pulang dulu ke rumah, kasih salam, baru nanti balik keluar lagi.” Eyang mulai ceramahnya.
“Injih, Bu.”
“Ibu mau nunggu di teras saja.” Tanpa menunggu jawaban dari putrinya, Eyang berjalan ke depan menuju teras. Eyang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kesopanan selama hidupnya. Di saat wanita lain seusianya sudah mulai menanggalkan kebaya dan konde, menggantinya dengan pakaian modern yang lebih praktis, Eyang masih setia dan bangga menggunakannya lengkap dengan tusuk konde emasnya.
Beberapa saat kemudian mobil VW kuning model lama kesayangan Eyang memasuki halaman rumah yang luas. Nampak di dalamnya Tania dan Andra duduk bersebelahan sembari membicarakan sesuatu. Eyang segera beranjak dari kursinya dan berjalan lebih ke depan.
“Eyang…!” sapa Tania seraya berlari menghampiri Eyang.
“Kamu ini, bukannya langsung pulang malah mampir-mampir dulu. Apa begitu dulu Eyang mengajari kamu, Jeng?” omelan Eyang menyambut pelukan Tania. Eyang lebih sering memanggil Tania dengan sebutan ‘Ajeng’ kependekan dari Diajeng, ketimbang nama aslinya.
“Maafkan Tania, Eyang. Setahun berpisah dengan Yu Djum membuat Tania kehilangan gairah hidup,” jawabnya asal.
PUK… “Hush! Jangan bicara sembarangan. Pamali.” Eyang menepuk punggung Tania sebagai tanda peringatan.
“Becanda, Eyang. Yuk kita masuk dulu, kasian kaki Eyang, nanti pegel berdiri lama.”
Mereka bertiga berjalan beriringan memasuki rumah besar bergaya modern klasik keraton Jogja. Mama yang tadinya berniat menyusul ke depan setelah mendengar suara Tania, mengurungkan niatnya memilih tetap berdiri di tempatnya seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Ma…bagaimana kabarnya? Mama sehat?” sapa Tania menghambur ke pelukan hangat mamanya.
“Sehat dan luar biasa merindukanmu, Nduk.”
“Papa mana? Kok sejak tadi Tania gak lihat Papa?”
“Papa sedang main golf dengan Paman Haryo. Kamu pasti lelah, sana istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan ngobrolnya saat makan malam.”
Tania bersyukur Mama menyuruhnya untuk segera istirahat, karena diliriknya Eyang menunjukkan ekspresi sangat antusias untuk membahas sesuatu.
“Iya, Tania mau hilangkan jetlag dulu dengan berbaring. Supaya nanti malam lebih seger.” Tanpa menunggu lebih lama lagi, Tania menarik kopernya menuju kamarnya diiringi cengiran kuda dari Andra.
****
Menjelang makan malam, Tania turun ke dapur menggunakan jumpsuit warna marun dengan rambut dikuncir polos ke belakang, tampilan sederhana kesukaannya. Seperti yang biasanya dia lakukan bila sedang berada di rumah, Tania membantu Mbak Sri menyiapkan makan malam.
“Eh, Mbak Tania. Mbak Sri kangen berat lho. Bagaimana kabarnya, Mbak?” Mbak Sri menghentikan sejenak aktivitasnya menggoreng ayam krispi favorit Tania.
“Kabarnya luar biasa baik, Mbak Sri. Gimana kabarnya Teguh? Kata Mama sudah masuk SMP ya?” Teguh adalah putra semata wayang Mbak Sri yang tinggal dengan neneknya di daerah Temanggung.
“Iya, sudah SMP sekarang. Kemarin lusa baru saja kembali ke Temanggung, nginap di sini selama liburan. Bantu-bantu ayahnya ngurus kebun, Mbak.”
Tania manggut-manggut mendengar penjelasan mbak Sri sembari menyiapkan piring dan gelas untuk makan malam.
“Jeng…! Sini sebentar.” Eyang memanggil Tania dari ruang tengah.
Tania segera bergegas menghampiri Eyang, di rungan tengah semua anggota keluarga telah berkumpul, Mama, Papa, Mas Andra, Paman Haryo, Tante Nindi dan bayi laki-laki bernama Tangguh.
“Ya, Eyang.”
“Sini, duduk sini,” Eyang menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta Tania duduk.
“Wah, semua kumpul nih. Tania jadi tersanjung,” Tania duduk di samping Eyang dan mengambil bantal sofa untuk pegangan. Tania punya kebiasaan memainkan ujung bantalan sofa saat menghadapi situasi yang menurutnya tidak nyaman, seperti saat ini.
“Nduk, ada yang mau kami sampaikan. Ini berkaitan dengan maksud baik Eyang untuk menjodohkanmu dengan Marvel, cucu teman baiknya.”
Hening. Karena tidak ada yang berkomentar, Papa melanjutkan kalimatnya.
“Minggu depan keluarga Marvel akan datang ke sini melamarmu.” Papa nampak ragu mengatakannya, Papa tahu betul pandangan Tania tentang perjodohan.
“Jeng, Eyang harap kali ini jangan menolak lagi.” Eyang menegaskan keinginannya.
Sebelum Tania memutuskan untuk meraih gelar doktoralnya, Eyang pernah menjodohkannya dengan anak teman Papanya, Bambang Harnyoto, seorang pengusaha batik dari Surakarta. Saat itu Tania dengan tegas menolaknya karena dari pertemuan pertama, Bambang sudah menegaskan bahwa nanti setelah menikah, dia tidak akan mengijinkan Tania berkarir. Cukup mengurus dirinya dan anak-anak, menjadi ibu rumah tangga sejati.
Dengan alasan itu, Tania memiliki kesempatan untuk meminta perjodohan dibatalkan. Di jaman sekarang ini, mana ada wanita cerdas dan mandiri yang bersedia meninggalkan masa depannya hanya untuk mengurus anak dan suami. Beruntung alasannya diterima oleh Eyang dan Mama, sehingga perjodohan dibatalkan.
Kali ini otak Tania berpikir keras untuk kedua kalinya. Mencari celah dan alasan untuk kembali menghindari perjodohan. Usianya baru 28 tahun, menurutnya masih wajar dan normal bila belum berkeluarga.
“Jeng? Kok diam saja?” Eyang menepuk paha Tania membuyarkan lamunannya.
“Eh, iya. Tania denger kok, Eyang.”
“Lha terus gimana?”
“Apa yang gimana, Eyang?”
“Ya pendapatmu. Apa kamu setuju?” tatapan Eyang lurus menusuk ke hati.
Apa boleh Tania tidak setuju? Tania ingin menentukan pasangan hidup Tania sendiri, Eyang. Sayangnya kalimat itu hanya Tania yang dapat mendengar.
“Lhah, malah bengong lagi.”
“Bu, sebaiknya biarkan Tania mencerna dulu keadaan sekarang ini. Mungkin masih ada hal-hal yang harus dia selesaikan,” Paman Haryo membaca gelagat ketidaksetujuan Tania.
“Lha wong ini kalimat, bukan makanan, ya tidak bisa dicerna, Le.”
“Eyang, ada yang perlu Tania sampaikan sebelum menjawab pertanyaan tadi. Tania butuh waktu untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kampus dan kerjaan Tania. Minggu depan deh, Tania jawab. Ya?” Tania mencoba mengajukan penawaran.
“Ya tidak bisa, Jeng. Minggu depan itu keluarga Jelita datang ke sini. Eyang tidak bisa membatalkan, sudah terlanjur mengiyakan.” Eyang bersikukuh pada keputusannya.
“Masalah ngajar dan kerjaan di RS, Pamanmu sudah tak suruh membereskan. Kamu terima beres,” Eyang kembali menambahkan.
Tania melirik sekilas pada Pamannya yang mengangguk membenarkan perkataan Eyang. Paman Haryo adalah dekan di kampus tempat Tania mengajar dan kepala Instalasi Bedah Sentral di RS tempat Tania bekerja.
Merasa tertekan dan menemui jalan buntu untuk menunda pertemuan keluarga, Tania menjadi tersulut emosinya.
“Eyang, bisa tidak Tania menentukan calon suami Tania sendiri seperti Tania memilih menjadi dokter dan dosen?” Tania memberanikan diri masuk ke sarang harimau.
“Boleh. Tania boleh menentukan sendiri semua hal, kecuali calon suami.” Eyang dengan tegas menjawab pertanyaan Tania.
“Eyang hanya minta, Tania bersedia menemui keluarga Marvel minggu depan. Tidak lebih.” Eyang sudah menyebut nama Tania dua kali, itu artinya Eyang sedang tidak ingin dibantah.
Namun Tania masih ingin berusaha merubah keputusan Eyang, “Sebelumnya Eyang juga bilang gitu, tentang Bambang dan Ayu calon istri Mas Andra. Tapi kami semua di sini tau bahwa itu gak akan selesai hanya dengan bertemu dan berkenalan, Eyang.”
Mimik wanita paruh baya itu berubah suram mendengar perkataan cucu kesayangannya. Papa yang melihat akan ada perang dunia segera menengahi.
“Tania, maksud Eyang baik. Kami semua di sini sayang kamu, tidak ingin kamu telat mendapat jodoh.” Papa berkata sembari mengedipkan mata pada putrinya agar berdamai dengan keadaan.
“Tapi Pa…”
“Tidak ada tapi, lusa keluarga Marvel akan datang kemari. Siap tidak siap. Mau tidak mau. Kamu harus temui. Titik.” Eyang melengos membuang muka ke sisi lain.
“Lho, tadi kata Eyang minggu depan, kok sekarang jadi lusa?!” Suara Tania naik satu oktaf.
“Eyang percepat. Karena kamu ngeyel terus.” Setelah berkata demikian, Eyang berdiri dan berlalu meninggalkan sofa menuju meja makan.
“Eyang, ini keterlaluan!” Tania tidak mampu lagi menahan emosinya. Dia kecewa dan berlari menuju kamarnya. Baru kali ini Tania merasa Eyang sangat keterlaluan mengatur hidupnya.
“Tania, tunggu dulu!” Andra menegur adiknya agar tidak bersikap frontal menghadapi Eyang. Namun Tania tidak menggubris panggilan kakaknya.
Melihat Tania menunjukkan perlawanan, Eyang yang sudah duduk manis melipat kedua tangannya di meja makan mulai mengomel, “Bocah kok dituturi angel temen. Mana ada nenek yang keterlaluan terhadap cucunya.”
Semua yang ada di ruang tengah hanya bisa saling pandang dan menggelengkan kepala.
****
Hai, Smart Readers.
Maafkan keterlambatan update episode kedua. Ada banyak kejadian di dunia nyata yang menghambat Author untuk menulis kelanjutan cerita tentang Tania. Untuk selanjutnya novel ini akan upload setiap hari.
jangan lupa tinggalkan Like, Vote dn Rate setiap selesai membaca 1 eps ya. Love You full.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 134 Episodes
Comments
mei
menarik..cuma ada yg g ngerti,karna bhs jawa😅 walau sikit tp jd g lengkap ngertinya#maunya diks artinya dlm kurung thor..maaf ya cuma kasi saran karna kan g smuanya ngerti bhs jawa🙂
2022-08-29
0
Neu🌹TiaraKusumah🌺
VW KODOK hehehehhee
2022-06-09
1
widiidiiii
eh halah mbak Sri nya orang Temanggung, Temanggungnya mana yoo.... jangan² mbak Sri tetanggaku 🤭😀
2021-12-18
1