Sore tadi, sebuah buket bunga berisi sepuluh tangkai mawar kuning Tania terima dari penjaga apartemennya. Bukan dari Martha, tapi Eddie yang menitipkan pada Martha karena Tania sedang tidak berada di rumah. Sejak Tania menginjakkan kakinya memasuki gerbang Ox University untuk menempuh pendidikan doktoralnya di bidang Kesehatan Masyarakat, Eddie adalah pria yang secara terang-terangan menyatakan ketertarikannya pada Tania.
Tania mendapat beasiswa dari kampus tempatnya mengajar untuk menempuh S3 di negara asal David Beckham ini. Selain tercatat sebagai mahasiswa di Ox, Tania juga tercatat sebagai dokter spesialis Orthopedi di RSUP Dr. Sardjito dan salah satu dosen pengajar di UGM. Kiprahnya sebagai dosen dan tenaga medis nyaris sempurna, tanpa cacat.
Tania terlahir dari keluarga ningrat dan berada. Entah bagaimana silsilahnya, Tania tidak mau pusing untuk merunut darah ningrat yang mengalir di tubuhnya. Tetap menghormati dan menjunjung tinggi silsilah, namun tidak menjadikannya yang utama, itulah prinsip yang dianut Tania.
Namun begitu, dalam hal mencari pendamping hidup harus melalui beberapa tahap seleksi dari Eyang dan Mamanya. Seperti Trias Jodoh (Bibit, Bobot dan Bebet) begitu Tania menyebutnya. Itulah mengapa Tania tidak merespon perasaan Eddie padanya. Apa jadinya bila sampai Eyang tahu bahwa Tania, cucu kesayangannya, berkencan dengan pria bule? Pastinya akan lebih dari sekedar terkejut.
Seperti yang terjadi saat ini, Tania sedang berbincang dengan keluarganya melalui video call.
“Hai, semua. Tumben ngumpul semua, Ma.”
“Iya. Ini lagi persiapan untuk upacara tedak sinten (turun tanah) putra kedua Paman Haryo. Kamu sedang luang, Nduk?” tanya Mama. Walau jaman sudah modern dan Tania adalah wanita karir, namun panggilan Mama tidak pernah berubah untuknya.
“Wah, senangnya. Tania kangen kumpul-kumpul bareng semua. Bulan depan Tania pulang, Ma. Sugeng siang, Eyang Putri.” Tania menyapa nenek tercinta dengan sopan.
“Cah ayu, cucuku Tania. Selamat ya, sudah berhasil menyelesaikan kuliah lebih cepat dari target. Eyang bangga sama kamu.”
“Inggih, Eyang. Bulan depan Tania sudah bisa kembali ke Jogja lagi. Tania kangen…”
“Walah-walah, sudah jangan sedih. Walau sudah dewasa tetap saja masih kekanakan. Nanti setelah kamu kembali, Eyang Putri akan menjodohkan kamu dengan cucu teman Eyang. Sudah waktunya kamu berumahtangga, Cah ayu.”
Tania hanya diam, tidak menjawab. Pada dasarnya Tania paham bahwa yang keluarganya lakukan adalah bentuk rasa sayang mereka padanya. Namun, Tania tidak sepakat dengan budaya perjodohan yang masih dilestarikan dalam keluarganya.
“Tan, kenapa diam?” Andra, kakak sulungnya membuyarkan lamunannya.
“Eh, Mas. Mana yang lainnya?” Tania tidak menyadari bahwa lawan bicaranya sudah berganti.
“Sudah mulai upacaranya, ini aku yang diminta ngobrol denganmu.” Hening sejenak. “Tan, jangan terlalu dipikirkan kata-kata Eyang. Yang penting kamu pulang dulu dengan selamat.” Ucap Mas Andra sambil tersenyum memaklumi.
“Iya Mas. Makasih. Tania mau ke kampus dulu, mengurus berkas-berkas untuk persiapan wisuda.” Sambungan terputus setelah Andra dan Tania saling mengucap salam.
Hhhh…aku sangat ingin pulang karena kangen. Tapi kepulanganku akan disambut dengan acara perjodohan, Tania mendesah.
FYI, Tania Prageswari Wijaya adalah dokter spesialis muda dan cantik. Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, dia sudah menyandang gelar Ph.D di belakang namanya. Karir dan pendidikan yang cemerlang bukan merupakan keberhasilan utama yang patut dibanggakan di kalangan keluarganya, melainkan membangun rumah tangga. Namun bisa dikatakan, Tania gagal dalam urusan itu.
Gagal bukan karena Tania tidak pernah jatuh cinta atau tidak ada pria yang jatuh cinta padanya. Tapi lebih kepada gagal meyakinkan keluarganya terutama Eyang dan Mamanya untuk merestui hubungannya dengan kekasihnya. Serumit itu urusan memperoleh restu, bahkan lebih rumit ketimbang melakukan operasi menyambung tulang patah menurut Tania.
Singkatnya, Tania berhak menentukan masa depan karirnya namun tidak urusan pendamping hidup.
****
“Tania, would you marry me?” Eddie menatap Tania dengan penuh harap.
Tania tidak memungkiri bahwa Tania menyukai Eddie. Pribadinya yang cerdas, hangat dan humoris membuat Tania nyaman saat bersamanya. Bahkan keluarga besar Eddie berharap Tania menetap di sini dan menerima lamaran Eddie. Namun kehidupan Tania tidak sepenuhnya miliknya sendiri. Bersikap egois bukanlah hal yang bisa Tania lakukan dengan mudah.
“Eddie, i’m so sorry. I can’t.” Dengan berat hati Tania menolak lamaran Eddie. Bagi Tania pribadi, dalam sebuah hubungan pernikahan, yang terutama adalah rasa nyaman dan saling mengerti, bukan cinta. Karena menurutnya, cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Seperti pepatah Jawa ‘Tresna Jalaran Saka Kulina’ (Cinta Tumbuh Karena Biasa).
“Why? There is someone?”
“No, Eddie. I just can say ‘sorry’ to you.” Tania tidak bisa mengatakan kalimat lain selain meminta maaf pada Eddie. Tak ingin memperumit keadaan, Tania lebih memilih memendam perasaannya pada Eddie ketimbang menentang Mama dan Eyangnya.
Kalimat itu menjadi ucapan perpisahan antara Tania dan Eddie saat malam itu Eddie berkunjung ke apartemennya. Sejak malam itu hingga hari ini, tepat satu bulan setelahnya, Eddie tidak pernah lagi menghubungi Tania.
Sekali lagi Tania menoleh ke belakang, berharap Eddie berlari ke arahnya sekedar untuk mengucapkan perpisahan secara wajar dan mengantar kepergiannya. Namun semua itu hanya tinggal harapan yang tidak terwujud. Hingga pesawat yang Tania tumpangi lepas landas, Eddie tak pernah muncul.
****
Setelah menempuh perjalanan udara selama 20 jam lebih, Tania menginjakkan kakinya kembali ke tanah yang sangat dia rindukan, Jogjakarta, Indonesia. Sosok tinggi tegap dengan rambut ikal dan kulit putih, berdiri menyambut kedatangannya dengan tangan terbuka lebar. Tania berlari menghambur ke dalam pelukan Andra dengan semangat.
“Wow…makin cantik aja adikku ini.” Sambut Andra sembari memeluk adiknya hangat.
“Kangen aku, Mas.”
“Lebay kamu. Baru setahun aja udah seperti berpisah puluhan tahun.” Andra dan Tania belum pernah berpisah lebih dari hitungan minggu. Usia mereka hanya terpaut dua tahun, jadi dapat dipastikan di mana ada Andra di situ ada Tania. Bahkan saat memasuki bangku perkuliahan, mereka memilih mendaftar di kampus yang sama agar sering bertemu.
“Kita khan gak pernah jauhan, Mas.” Tania bergelayut manja di lengan kakaknya yang kokoh.
“Iya. Sampai-sampai Eyang bilang kita ini kembar siam. Hehehe…” Andra terkekeh mengingat istilah yang sering Eyang katakan.
“Ayo kita mampir dulu ke Yu Djum (nama warung gudeg terkenal di Jogja), sudah 365 malam aku memimpikannya,” Tania menarik lengan Andra untuk bergegas membawa kopernya.
“Ya ampun, bukannya langsung pulang, malah mampir makan gudeg. Kamu ya,” protes Andra.
“Ada yang mau aku ceritakan, Mas. Aku lagi galau ini.”
“Halah, paling-paling tentang perjodohan. Biar tau rasa kamu, gimana repotnya menghadapi Eyang dan Mama. Aku sih udah pernah.”
“Aku juga sudah pernah. Bambang. Tapi kamu beruntung, calon istrimu minggat dengan pacarnya. Nah aku?” raut muka Tania berubah sedih.
“Sudah. Kita meluncur dulu, keburu ambyar di sini ceritanya.” Mereka bergegas ke arah parkiran dan melajukan mobilnya menuju warung favorit mereka.
Sesampainya di tempat yang dituju, Tania segera memesan dua porsi gudeg beserta es dawet dan memilih tempat duduk di pojok ruangan.
“Kenapa, Tan? Kamu patah hati?”
“Boro-boro, Mas. Belum sempat menjalin hubungan aku tuh.”
“Lha terus, kenapa ekspresimu seperti orang patah hati?”
“Jadi gini, aku kenal seorang pria saat kuliah kemarin. Temanku satu kelas, dia dokter anak. Orangnya sabar, mungkin karena dia dokter anak ya. Pokoknya aku nyaman sama dia, namanya Edward Horrison.”
“Weleh, wong londo?” kepala Andra manggut-manggut mendengarkan cerita adiknya.
“Iya, dia asli London. Tapi dia sopan dan paham adat ketimuran,” Tania menarik napas dalam.
“Lalu?”
“Dia melamarku, Mas.”
“Kamu terima?!”
“Denger dulu ceritaku. Jangan keburu dipotong-potong seperti tomat.”
“Iya-iya, lanjutkan.”
“Sehari sebelum dia melamarku, aku video call itu. Eyang bilang sudah menemukan jodoh yang tepat buatku. Cucu dari teman masa kecilnya dulu. Aku males duluan mau berjuang.”
“Nah…itu jeleknya kamu dari dulu. Kalah sebelum perang. Gak punya darah pejuang.”
“Mas tau sendiri bagaimana kompaknya Mama dan Eyang kalau menyangkut perjodohan. Aku lebih memilih tidak berjuang ketimbang lelah berjuang padahal tau bakalan kalah.”
“Iya sih, kamu khan rasional banget orangnya. Terus, gimana sekarang?”
“Ya gak gimana-gimana. Sudah tak tutup cerita tentang Eddie bersamaan dengan mendaratnya pesawatku tadi.”
“Ealah…ceritanya sudah tamat bahkan sebelum dimulai. Yo wes, rasah sedih. Yang sudah terjadi jangan disesali. Kamu sudah membuat keputusan yang tepat untuk menjaga stabilitas kedamaian keluarga kita. Hehehe…”
“Iya. Gak seperti kamu, yang bikin ulah aneh-aneh sampai Eyang jantungan.”
“Ayo kita makan dulu. Setelah keluar dari sini, Mas harap kamu menutup cerita ini dengan tuntas. Ya?” Tania mengangguk setuju. Segera saja dia menyendok satu suapan besar nasi gudeg ke dalam mulutnya.
****
Hai, Smart Readers.
Ketemu lagi dengan Author ya. Ini novel kedua Author dengan latar cerita yang berbeda dengan novel pertama. Semoga Smart Readers suka dan terhibur.
Jangan lupa tinggalkan jejak Like dan Vote nya ya.
Thankyou.
“Belum datang juga mereka, Nik?” tanya Eyang pada putrinya. Mama Tania dan Andra terlahir dengan nama Hastuti Indra Atmaja, namun Eyang selalu memanggilnya dengan sebutan ‘menik’. Eyang hanya akan memanggil namanya bila sedang marah,
“Belum, Bu. Mungkin mampir dulu ke Yu Djum.”
“Walah, gimana tho, harusnya pulang dulu ke rumah, kasih salam, baru nanti balik keluar lagi.” Eyang mulai ceramahnya.
“Injih, Bu.”
“Ibu mau nunggu di teras saja.” Tanpa menunggu jawaban dari putrinya, Eyang berjalan ke depan menuju teras. Eyang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya dan kesopanan selama hidupnya. Di saat wanita lain seusianya sudah mulai menanggalkan kebaya dan konde, menggantinya dengan pakaian modern yang lebih praktis, Eyang masih setia dan bangga menggunakannya lengkap dengan tusuk konde emasnya.
Beberapa saat kemudian mobil VW kuning model lama kesayangan Eyang memasuki halaman rumah yang luas. Nampak di dalamnya Tania dan Andra duduk bersebelahan sembari membicarakan sesuatu. Eyang segera beranjak dari kursinya dan berjalan lebih ke depan.
“Eyang…!” sapa Tania seraya berlari menghampiri Eyang.
“Kamu ini, bukannya langsung pulang malah mampir-mampir dulu. Apa begitu dulu Eyang mengajari kamu, Jeng?” omelan Eyang menyambut pelukan Tania. Eyang lebih sering memanggil Tania dengan sebutan ‘Ajeng’ kependekan dari Diajeng, ketimbang nama aslinya.
“Maafkan Tania, Eyang. Setahun berpisah dengan Yu Djum membuat Tania kehilangan gairah hidup,” jawabnya asal.
PUK… “Hush! Jangan bicara sembarangan. Pamali.” Eyang menepuk punggung Tania sebagai tanda peringatan.
“Becanda, Eyang. Yuk kita masuk dulu, kasian kaki Eyang, nanti pegel berdiri lama.”
Mereka bertiga berjalan beriringan memasuki rumah besar bergaya modern klasik keraton Jogja. Mama yang tadinya berniat menyusul ke depan setelah mendengar suara Tania, mengurungkan niatnya memilih tetap berdiri di tempatnya seraya merentangkan kedua tangannya lebar-lebar.
“Ma…bagaimana kabarnya? Mama sehat?” sapa Tania menghambur ke pelukan hangat mamanya.
“Sehat dan luar biasa merindukanmu, Nduk.”
“Papa mana? Kok sejak tadi Tania gak lihat Papa?”
“Papa sedang main golf dengan Paman Haryo. Kamu pasti lelah, sana istirahat dulu. Nanti kita lanjutkan ngobrolnya saat makan malam.”
Tania bersyukur Mama menyuruhnya untuk segera istirahat, karena diliriknya Eyang menunjukkan ekspresi sangat antusias untuk membahas sesuatu.
“Iya, Tania mau hilangkan jetlag dulu dengan berbaring. Supaya nanti malam lebih seger.” Tanpa menunggu lebih lama lagi, Tania menarik kopernya menuju kamarnya diiringi cengiran kuda dari Andra.
****
Menjelang makan malam, Tania turun ke dapur menggunakan jumpsuit warna marun dengan rambut dikuncir polos ke belakang, tampilan sederhana kesukaannya. Seperti yang biasanya dia lakukan bila sedang berada di rumah, Tania membantu Mbak Sri menyiapkan makan malam.
“Eh, Mbak Tania. Mbak Sri kangen berat lho. Bagaimana kabarnya, Mbak?” Mbak Sri menghentikan sejenak aktivitasnya menggoreng ayam krispi favorit Tania.
“Kabarnya luar biasa baik, Mbak Sri. Gimana kabarnya Teguh? Kata Mama sudah masuk SMP ya?” Teguh adalah putra semata wayang Mbak Sri yang tinggal dengan neneknya di daerah Temanggung.
“Iya, sudah SMP sekarang. Kemarin lusa baru saja kembali ke Temanggung, nginap di sini selama liburan. Bantu-bantu ayahnya ngurus kebun, Mbak.”
Tania manggut-manggut mendengar penjelasan mbak Sri sembari menyiapkan piring dan gelas untuk makan malam.
“Jeng…! Sini sebentar.” Eyang memanggil Tania dari ruang tengah.
Tania segera bergegas menghampiri Eyang, di rungan tengah semua anggota keluarga telah berkumpul, Mama, Papa, Mas Andra, Paman Haryo, Tante Nindi dan bayi laki-laki bernama Tangguh.
“Ya, Eyang.”
“Sini, duduk sini,” Eyang menepuk sofa kosong di sebelahnya, meminta Tania duduk.
“Wah, semua kumpul nih. Tania jadi tersanjung,” Tania duduk di samping Eyang dan mengambil bantal sofa untuk pegangan. Tania punya kebiasaan memainkan ujung bantalan sofa saat menghadapi situasi yang menurutnya tidak nyaman, seperti saat ini.
“Nduk, ada yang mau kami sampaikan. Ini berkaitan dengan maksud baik Eyang untuk menjodohkanmu dengan Marvel, cucu teman baiknya.”
Hening. Karena tidak ada yang berkomentar, Papa melanjutkan kalimatnya.
“Minggu depan keluarga Marvel akan datang ke sini melamarmu.” Papa nampak ragu mengatakannya, Papa tahu betul pandangan Tania tentang perjodohan.
“Jeng, Eyang harap kali ini jangan menolak lagi.” Eyang menegaskan keinginannya.
Sebelum Tania memutuskan untuk meraih gelar doktoralnya, Eyang pernah menjodohkannya dengan anak teman Papanya, Bambang Harnyoto, seorang pengusaha batik dari Surakarta. Saat itu Tania dengan tegas menolaknya karena dari pertemuan pertama, Bambang sudah menegaskan bahwa nanti setelah menikah, dia tidak akan mengijinkan Tania berkarir. Cukup mengurus dirinya dan anak-anak, menjadi ibu rumah tangga sejati.
Dengan alasan itu, Tania memiliki kesempatan untuk meminta perjodohan dibatalkan. Di jaman sekarang ini, mana ada wanita cerdas dan mandiri yang bersedia meninggalkan masa depannya hanya untuk mengurus anak dan suami. Beruntung alasannya diterima oleh Eyang dan Mama, sehingga perjodohan dibatalkan.
Kali ini otak Tania berpikir keras untuk kedua kalinya. Mencari celah dan alasan untuk kembali menghindari perjodohan. Usianya baru 28 tahun, menurutnya masih wajar dan normal bila belum berkeluarga.
“Jeng? Kok diam saja?” Eyang menepuk paha Tania membuyarkan lamunannya.
“Eh, iya. Tania denger kok, Eyang.”
“Lha terus gimana?”
“Apa yang gimana, Eyang?”
“Ya pendapatmu. Apa kamu setuju?” tatapan Eyang lurus menusuk ke hati.
Apa boleh Tania tidak setuju? Tania ingin menentukan pasangan hidup Tania sendiri, Eyang. Sayangnya kalimat itu hanya Tania yang dapat mendengar.
“Lhah, malah bengong lagi.”
“Bu, sebaiknya biarkan Tania mencerna dulu keadaan sekarang ini. Mungkin masih ada hal-hal yang harus dia selesaikan,” Paman Haryo membaca gelagat ketidaksetujuan Tania.
“Lha wong ini kalimat, bukan makanan, ya tidak bisa dicerna, Le.”
“Eyang, ada yang perlu Tania sampaikan sebelum menjawab pertanyaan tadi. Tania butuh waktu untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan kampus dan kerjaan Tania. Minggu depan deh, Tania jawab. Ya?” Tania mencoba mengajukan penawaran.
“Ya tidak bisa, Jeng. Minggu depan itu keluarga Jelita datang ke sini. Eyang tidak bisa membatalkan, sudah terlanjur mengiyakan.” Eyang bersikukuh pada keputusannya.
“Masalah ngajar dan kerjaan di RS, Pamanmu sudah tak suruh membereskan. Kamu terima beres,” Eyang kembali menambahkan.
Tania melirik sekilas pada Pamannya yang mengangguk membenarkan perkataan Eyang. Paman Haryo adalah dekan di kampus tempat Tania mengajar dan kepala Instalasi Bedah Sentral di RS tempat Tania bekerja.
Merasa tertekan dan menemui jalan buntu untuk menunda pertemuan keluarga, Tania menjadi tersulut emosinya.
“Eyang, bisa tidak Tania menentukan calon suami Tania sendiri seperti Tania memilih menjadi dokter dan dosen?” Tania memberanikan diri masuk ke sarang harimau.
“Boleh. Tania boleh menentukan sendiri semua hal, kecuali calon suami.” Eyang dengan tegas menjawab pertanyaan Tania.
“Eyang hanya minta, Tania bersedia menemui keluarga Marvel minggu depan. Tidak lebih.” Eyang sudah menyebut nama Tania dua kali, itu artinya Eyang sedang tidak ingin dibantah.
Namun Tania masih ingin berusaha merubah keputusan Eyang, “Sebelumnya Eyang juga bilang gitu, tentang Bambang dan Ayu calon istri Mas Andra. Tapi kami semua di sini tau bahwa itu gak akan selesai hanya dengan bertemu dan berkenalan, Eyang.”
Mimik wanita paruh baya itu berubah suram mendengar perkataan cucu kesayangannya. Papa yang melihat akan ada perang dunia segera menengahi.
“Tania, maksud Eyang baik. Kami semua di sini sayang kamu, tidak ingin kamu telat mendapat jodoh.” Papa berkata sembari mengedipkan mata pada putrinya agar berdamai dengan keadaan.
“Tapi Pa…”
“Tidak ada tapi, lusa keluarga Marvel akan datang kemari. Siap tidak siap. Mau tidak mau. Kamu harus temui. Titik.” Eyang melengos membuang muka ke sisi lain.
“Lho, tadi kata Eyang minggu depan, kok sekarang jadi lusa?!” Suara Tania naik satu oktaf.
“Eyang percepat. Karena kamu ngeyel terus.” Setelah berkata demikian, Eyang berdiri dan berlalu meninggalkan sofa menuju meja makan.
“Eyang, ini keterlaluan!” Tania tidak mampu lagi menahan emosinya. Dia kecewa dan berlari menuju kamarnya. Baru kali ini Tania merasa Eyang sangat keterlaluan mengatur hidupnya.
“Tania, tunggu dulu!” Andra menegur adiknya agar tidak bersikap frontal menghadapi Eyang. Namun Tania tidak menggubris panggilan kakaknya.
Melihat Tania menunjukkan perlawanan, Eyang yang sudah duduk manis melipat kedua tangannya di meja makan mulai mengomel, “Bocah kok dituturi angel temen. Mana ada nenek yang keterlaluan terhadap cucunya.”
Semua yang ada di ruang tengah hanya bisa saling pandang dan menggelengkan kepala.
****
Hai, Smart Readers.
Maafkan keterlambatan update episode kedua. Ada banyak kejadian di dunia nyata yang menghambat Author untuk menulis kelanjutan cerita tentang Tania. Untuk selanjutnya novel ini akan upload setiap hari.
jangan lupa tinggalkan Like, Vote dn Rate setiap selesai membaca 1 eps ya. Love You full.
Hari kedatangan keluarga Marvel benar-benar dipercepat. Yang sedianya datang satu minggu lagi menjadi hari ini. Sejak pagi tampak kehebohan di dalam rumah. Mama meminta Mbak Sri untuk memasak berbagai macam makanan dalam jumlah besar. Sejak pagi Pak Pono juga tak kalah sibuknya membersihkan rumah dan halaman. Kesibukan di rumahnya senada dengan pikiran Tania yang sibuk mengatur siasat.
“Tante, tolong bantu Tania dong. Kasih solusi apa kek?”
“Solusi apa? Hadapi saja, nanti akan ada cara saat sudah tau keadaannya. Kalau sekarang solusi apa? Kabur?” Tante Nindi yang bertugas membantu Tania berdandan memegang pundak Tania menguatkan.
“Boleh juga tuh,” Tania menjawab tanpa berpikir.
“Hush! Ngawur kamu. Bisa jantungan lagi Eyang kalau sampai kamu kabur seperti calon istrinya Andra.”
“Tania masih ingin bebas, Tante. Masih ingin kerja, sekolah, tanpa harus kepikiran tentang urusan rumah.”
“Belum tentu Marvel akan melarangmu bekerja seperti yang diinginkan Bambang, tho? Lihat Tante, masih bisa kerja sekaligus ngurus keluarga.”
“Itu karena Tante nikah sama Pamanku yang super pengertian.” Tania tetap tak mau kalah.
“Apa kamu sudah tau kalau Marvel bakalan tidak pengertian? Sudah ah, jangan berpikir yang aneh-aneh. Sebentar lagi mereka sampai, hadapi saja dulu. Seperti ujian tesis.” Tante Nindi mengulurkan sepasang baju yang Eyang pilihkan. Tentu saja bukan selera Tania.
Melihat baju kebaya modern dengan rok celana dari kain batik membuat Tania memiliki ide cemerlang di otaknya.
“Tante, Tania ingin sendiri sebentar. Menenangkan pikiran.” Tania mengusir tantenya secara halus.
“Oke. Tante keluar dulu. Jangan coba-coba kabur ya,” Tante Nindi mengedipkan sebelah mata pada Tania seraya tersenyum lembut.
Setelah Tante Nindi keluar kamar, Tania meletakkan baju pilihan Eyang di dalam lemari dan mengambil dress pilihannya sendiri. Dress itu berpotongan leher rendah dengan tali kecil di bahu. Dress setinggi lutut berwarna biru tua membuat aura kecantikan Tania semakin terpancar.
“Paling tidak ini bisa menggemparkan keluarga ningrat Marvel.” Gumam Tania bangga.
Sejujurnya Tania sendiri tidak tau banyak tentang keluarga Marvel selain Oma Marvel berteman dengan Eyang sejak masa muda dan mereka berdua pernah menjadi relawan tenaga kesehatan saat bencana letusan Gunung Agung tahun 1963.
“Maka ada pepatah yang mengatakan bahwa teman bisa jadi saudara dan sebaliknya. Ini salah satu bukti nyata ikatan kuat tanpa hubungan darah. Hmm…” Tania menghembuskan napasnya.
Tak berapa lama kemudian, Andra mengetuk pintu kamar Tania. Tok..tok..tok..
Kepala Andra menyembul dari balik pintu. “Tan, semua sudah menunggumu.”
Hening sejenak. Mata Andra terbelalak melihat penampilan adiknya yang luar biasa. “Wow…sepertinya akan ada gempa bumi di ruang tamu sebentar lagi.”
“Gimana penampilanku, Mas?” Tania berputar sambil membentangkan tangannya ala model papan atas.
“Fantastis buatku, tragis buat Eyang. Kamu yakin akan keluar seperti ini?”
“Kenapa? Apa memalukan?” Tania berhenti berputar dan berdiri menghadap kakaknya.
“Bukan, hanya saja sepertinya Eyang akan marah besar. Tan, jangan bilang ini salah satu siasat yang kau sebutkan semalam,” Andra menunggu jawaban Tania.
“Yup. Salah satunya. Dan masih banyak siasat yang aku rencanakan untuk menolak perjodohan ini.”
“Oke, aku paham perasaanmu sekarang. Tapi pesanku, jangan sampai ke lewat batas. Aku percaya kamu tau batasan kapan harus berhenti.”
“Oke, abangku sayang. Jangan khawatir. Ayo kita turun, saatnya pertunjukan.”
Andra mengikuti Tania yang berjalan lebih dulu di depannya sambil menggelengkan kepala.
****
Di ruang tamu telah berkumpul anggota keluarga Tania versi lengkap dan keluarga tamu. Oma Jelita yang modis dan cantik jelita seperti namanya, Om Hendri dan Tante Tiwi. Semua yang ada di sana menatap ke arah Tania yang berjalan menuju ke arah mereka.
“Walah…opo iki, Jeng?!” Eyang putri sontak terkejut dengan penampilan cucu kesayangannya dan bergegas menghampiri Tania.
“Jeng, ganti bajumu sekarang!” titah Eyang pada Tania.
Bukannya menuruti perintah Eyang, Tania malah berjalan mendekat ke arah Oma Jelita dan berputar di hadapannya. “Bagaimana penampilan Tania, Oma?”
Eyang semakin terbelalak melihat tingkah Tania. Bibirnya terbuka akan mengatakan sesuatu namun Oma Jelita lebih dulu berbicara. “Cantik, sangat cantik. Kamu cocok menjadi istri Marvel.”
Hening.
Kini giliran mata Tania yang membulat tak percaya, senyum jahil di bibirnya seketika lenyap, mimik bahagianya hilang berganti kekecewaan. Lain halnya dengan Eyang yang sedianya akan marah besar, berubah menjadi takjub dan bahagia.
“Apa kataku, aku tidak bohong kan? Tania memang cocok jadi istri cucumu.” Eyang kembali ke sofa dan duduk dengan anggun di samping sahabatnya itu. Raut kemenangan terpancar nyata di wajah ningratnya. Matanya berbinar memandang penampilan Tania yang tadi sempat membuat jantungnya hampir meledak.
“Iya, kamu memang paling tau seleraku. Sayang Marvel tidak bisa ikut hari ini, kalau dia ikut pasti minta dinikahkan sekarang. Hahahaha…” tawa bahagia Oma Jelita terdengar seperti ejekan di telinga Tania.
“Jeng, duduk sini. Jangan hanya bengong di situ.” Eyang menepuk sofa kosong di antara dia dan Oma Jelita.
Tania melangkah gontai menuju sofa yang ditunjuk Eyang. Melihat kejadian di depannya membuat Andra mau tak mau bersyukur sekaligus geli dan kasihan pada adiknya.
“Mama benar, Marvel rugi tidak ikut datang.” Om Hendri sepakat dengan pernyataan ibunya.
Percakapan selanjutnya tidak bisa didengar Tania dengan jelas. Pikirannya kacau dan kalut melebihi saat akan menghadapi ujian tesisnya. Suara orang-orang di sekitarnya seperti dengungan lebah yang berpindah sarang baginya.
“Bagaimana menurutmu, Nduk? Tania?” Pertanyaan Mama membuat Tania kembali tersadar.
“Ya?” Tania tidak paham yang ditanyakan Mamanya.
“Saking bahagianya, sampai-sampai dia hanya bisa bengong.” Nada bicara Eyang menyiratkan kebahagiaan yang tak terbendung.
“Kami semua sudah sepakat untuk menggelar pernikahanmu empat bulan lagi. Menunggu kepulangan Marvel dari mendaki Gunung Himalaya. Bagaimana menurutmu?” Mama menjelaskan hasil percakapan yang berdengung tadi pada Tania.
“Pernikahan? Empat bulan?” Tania semakin kalut. Otak cerdasnya segera berputar aktif.
“Iya. Apa terlalu lama? Perlu dipercepat sepertinya.” Gurauan Papa seperti sambaran petir di siang bolong.
“Tidak, bukan. Bukan begitu maksud Tania.”
Mendengar perkataan Tania, semua orang tertawa. “Tania punya syarat mutlak untuk menerima perjodohan ini.” Seketika ruangan menjadi hening.
“Syarat mutlak? Opo meneh iku, Jeng?”
“Syarat agar perjodohan ini dapat dilanjutkan. Bagaimana, Om? Apakah boleh?”
Semua terdiam mendengar jawaban Tania. Oma Jelita yang pertama kali membuka suara. “Apa syarat mutlak itu, Sayang? Sampaikan saja. Oma tau betul, jaman sekarang sudah tidak musimnya dijodohkan. Tapi kami menyetujui ini karena ingin silaturahmi tetap terjaga bila Oma dan Eyang sudah tiada.”
Menjaga silaturahmi? Dengan perjodohan? Huh…yang benar saja.
“Satu, Tania ingin mengenal Marvel lebih dekat tanpa dia tau Tania calon istrinya. Dua,”
“Sudah satu saja. Jangan banyak-banyak. Nanti malah ndak jadi nikah kamu.” Sergah Eyang memotong kalimat Tania.
“Sabar dulu, kita dengarkan apa yang cucumu ingin sampaikan. Kita tidak boleh jadi orangtua yang egois.” Oma Jelita menenangkan Eyang.
“Dua, pernikahan akan dilakukan empat bulan lagi sesuai rencana bila Marvel dan Tania bisa memiliki perasaan satu sama lain. Tiga, apabila nanti sampai terjadi pernikahan, Tania mau tetap bekerja seperti sekarang.” Tania diam menunggu respon dari pendengar setianya.
“Apa itu tidak keterlaluan, Nduk?” Mama khawatir dengan perkataan Tania.
“Mana yang lebih keterlaluan menurut Mama, perjodohan ini atau syarat dari Tania?”
“Baik. Kami terima syarat dari Tania.” Lagi-lagi Oma Jelita berhasil mengejutkan Tania dan lainnya. “Berarti kita harus segera meminta Marvel untuk pulang dan bertemu Tania. Jadi bagaimana cara Tania mengenal Marvel tanpa dia tau bahwa Tania calon istrinya?” Oma cantik itu bertanya dengan antusias.
“Tania akan jadi pembantu di rumah Tante Tiwi selama empat bulan hingga menjelang hari pernikahan.”
“Weleh-weleh…edan tenan bocah iki. Kamu kenapa sebenarnya? Mau bikin Eyang mati berdiri?!” Eyang putri yang sedari tadi menahan emosinya hingga lehernya menggembung seperti ikan fugu akhirnya tak tahan lagi berdiam diri.
****
Hai, Smart Readers. Jangan lupa Like, Komen, Vote dan Rate nya yaw. Trims.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!