Eternal Blue Sky
Semua orang memakai pakaian yang memukau malam ini. Gaun-gaun malam yang indah gemerlap, setelah jas yang terseterika rapi, mulut yang melontarkan kata-kata manis memuji satu sama lain dan aku menjadi salah satu bagian dari itu semua. Berdiri memamerkan senyum, menyapa siapa saja yang bisa aku ingat dan menyapa balik orang yang menyapa ku meski aku tidak kenal sekalipun. Situasi yany sama berlaku juga untuk kedua pria sebaya di dekat ku yang salah satunya merangkul ku hangat menunjukkan keharmonisan keluarga Tanubrata yang –katanya– sangat terkenal itu
Gaun pesta berwarna merah amat mencolok bermodel sabrina dengan panjang nyaris menyapu lantai, menutupi sepatu hak setinggi 9 cm yang sangat cantik —mengingat haganya yang mahal— yang juga sangat-sangat-sangat menyakitkan yang membuat ku bertanya-tanya untuk apa memakainya jika ujung-ujungnya tertutupi oleh gaun juga.
Gaun yang mirip dengan gaun yang ibu kenakan malam ini dengan model yang berbeda. Sepatu dengan model yang juga mirip dengan sepatu yang ibu kenakan, juga dengan kalung yang hampir mirip. Yang jelas satu hal yang sama persis dari dandanan ku dan ibu malam ini, sama-sama mahal tentu saja. Ayah tidak akan membiarkan aku mengenakan salah satu gaun yang aku miliki sendiri di lemari ku. Harga obralan akan langung meruntuhkan harga diri ayah —yang (katanya) sangat berharga itu—di depan para kolega nya yang terhormat. Jika tidak ayah mana mungkin akan repot-repot memberikan satu set pakaian yang aku kenakan malam ini.
Pesta ini merupakan pesta ulang tahun istri kolega ayah yang merupakan seorang penulis novel kondang, yang juga merupakan teman dekat ayah. Penulis novel, pekerjaan yang bermodalkan imajinasi dan kekuatan merangkai kata menjadi kalimat yang menarik hingga menjadi sebuah novel.
Aku suka novel, sangat menyukainya. Membaca setiap kejadian yang akan tetjadi, menebak akhir dari sebuah kisah, dan membayangkan diri ku berada di dalamnya sebagai salah satu tokohnya dan berakhir dengan bahagia. Tapi satu yang aku tidak suka dari novel. Aku membenci kisah tokoh utama yang sangat pendiam, sangat ugly, malang atau apapun itu tapi mereka selalu di ceritakan memikiki satu teman baik yang akan selalu ada menemani, men-suport dan mengerti tokoh tersebut. Jika membacanya aku hanya akan tersenyum getir dan bertanya pada Tuhan, sebagai penulis skenario hidup ku. Kenapa Tuhan tidak menciptakan satu orang saja yang akan menjadi sosok yang dekat dengan ku. Kenapa Tuhan tidak memberi ku seseorang yang mengerti dengan ku.
Bukankah itu... Sedikit, tidak adil? Tapi, ya. Mau bagaimana lagi ini adalah hidup nyata, dan bukannya kisah dalam sebuah novel. Kita tidak bisa memilih hidup seperti apa yang kita inginkan. Ingin di lahirkan sebagai cewek atau cowok, ingin mempunyai wajah yang cantik atau tampan atau justru dengan wajah pas-pasan cenderung buruk.
Otak cemerlang dalam akademik, kemampuan seni, atletik, atau kau harus berpuas diri dengan segala kemampuan, standart yang kau miliki.
Kaya atau miskin, tinggi atau pendek, hitam, atau putih serta semua hal lain yang sering kita pertanyakan dalam hidup kita masing-masing.
Termasuk aku. Aku juga tidak ingin di lahirkan menjadi seorang wanita di tengah keluarga yang menomor satukan laki-laki. Bukan aku yang ingin di lahirkan sebagai perempuan, tapi Tuhan yang menentukan. Aku juga tidak ingin memiliki wajah pas-pasan dan otak ang biasa saja yang semakin membuat di pandang sebelah mata di keluarga ku sendiri aku tidak ingin. Sungguh.
Lahir sebagai Andrea Tanubrata, anak bungsu di keluarga Tanubrata dengan tiga, orang kakak laki-laki secara otomatis akan membuat ku tidak, diperhatikan oleh semua anggota keluarga ku terutama ayah.
Sebagai seorang wanita sosok ibu tidak banyak membantu. Keinginannya untuk di lihat suaminya membuatnya ikut-ikutan mengabaikan anak perempuannya yang berarti itu adalah aku dan mencurahkan perhatiannya, sepenuhnya pada suami dan ketiga anak laki-lakinya. Sedangkan aku? Mungkin lebih cocok jika aku di sebut anak pembantu.
Kemahiran ku satu-satunya, adalah melukis. Lukisan ku sangat indah, dan tentunya juga memiliki harga yang lumayan, paling tidak untuk kebutuhan hidupku sendiri. Namun lagi-lagi di tengah keluarga yang menganggap pekerjaan sebagai dokter, arsitek, pengacara, dan, pekerjaan bergengsi lainnya lebih penting dari pada tukang gambar. Bahkan aku yakin tidak seorangpun di keluarga ku mengetahui jika aku seorang pelukis. Tidak aneh juga mengingat aku menang menyembunyikannya dari semua anggota keluarga ku. Mereka hanya tahu jika melukis adalah hobi ku dan itu adalah kegiatan yang tidak berguna.
Ya, seperti itulah hidup ku. Jika kalian tanya apa yang ku lakukan sekarang jawabannya adalah bersekolah di sekolah menengah keatas yang elit dan mahal, SMA Veastalis yang artinya aku satu sekolah dengan kedua kakak ku yang lain Farrel Tanubrata, dan Andros Tanubrata dua dari tiga anak kebanggan Tuan Ridwan Tanubrata selaku —walau benci mengakuinya— ayah kami. Dan, yap. Seratus untuk kalian yang menebak Andros dan aku adalah anak kembar.
Tapi aku harap kalian jangan salah kira jika aku masuk ke sekolah ini dengan biaya dari Tuan Ridwan Tanubrata. Dan Jangan juga kalian kira aku membiayai sendiri sekolah di sini walau tidak sepenuhnya salah. Tepatnya sebuah perubahan yang cukup besar menawari membiayai sekolah ku karena ia sangat menyukai pada karya ku. Kesempatan tidak akab, datang dua kali bukan, jadi yang kulakukan hanya menerima tawaran tersebut.
Nama Blue Sky cukup terkenal di dunia pelukis, sebagai pelukis baru dengan gaya aliran yang unik dan baru. Dan itu nama samaran ku.
Tapi sekali lagi, tidak ada yang mengetahui tentang profesiku di rumah. Mereka terlalu tidak peduli pada apa yang kulakukan dan apa yang akan terjadi padaku. Sebagai contoh nyatanya, saja jika aku tidak mendapat beasiswa ini dapat di pastikan jika tempat ku sekarang adalah di sekolah khusus putri yang berasrama serta menjanjikan sekeluarnya putri anda dari sana, putri anda akan memiliki atitude yang membanggakan, gerakan tubuh yang elegan, dan segudang kemampuan yang cocok untuk menjadikan mu calon istri idaman. Dengan kata lain, selamat kamu akan 'menikah' dengan pengusaha sukses jika ada masalah keuangan di perusahaan keluarga mu. Atau itu juga, akan terjadi jika keluarga mu sedang dalam misi memperbesar bisnisnya. Kira-kira begitulah nasib ku kedepannya jika aku masuk kedalam sekolah khusus putri itu.
Dan saat aku mendapat beasiswa mereka juga tidak mau repot-repot mencari tahu dari mana aku memperoleh beasiswa dan Tuan Ridwan Tanubrata sendiri memgucapkan 'ucapan selamat' yang 'manis' pada ku, "Beruntung ada kesalahan dalam sistem penerimaan beasiswa jadi kau bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan kakak mu. Dan ingat jangan sampai kau mempermalukan nama keluarga di sana"
See? Bukannya bangga Tuan Ridwan Tanubrata justru mengancam putrinya. Yah, miris sekali bukan? Aku tahu, tapi seperti itulah hidup ku. Dan sekadar info aku menerima beasiswa siswa bukan untuk bisa satu sekolah dengan kedua kakak ku itu, tapi demi kebebasan ku.
"Cepat kamu turun di sini!" Seru Andros. Bangunlah Cinderella setelah jam dua belas malam berdenting, dan kehidupan indah lenyap, berganti dengan peran sebagai upik abu yang tidak di sukai keluarganya.
Aku melirik datar ke arah kakak kembar ku. Siapa juga yang mau berlama-lama satu mobil dengan orang seperti mu? Aku mendengus dalam hati. Tak membuang waktu lama aku sudah turun dari mobil Andros dan berdiri menatap mobil tersebut yang sudah melaju kencang menuju sekolah yang masih sekitar 300 meter lagi dari tikungan tempat ku di turunkan. Dengan malas aku berjalan ke sekolah juga sebelum gerbang di tutup jika tidak ingin berurusan dengan guru piket yang ribetnya amit-amit.
Jangan tanya pada ku kenapa aku di turunkan di sini. Tanya saja pada kedua orang kakak ku yang tidak ingin ada orang mengetahui jika aku adalah salah satu dari keluarga Tanubrata. Yang artinya adalah adik mereka. Aku sendiri hanya bisa —berusaha— mensyukuri setiap hal kecil yang terjadi padaku. Anggap saja Tuhan memberi ku kesempatan untuk berolahraga setiap pagi agar tetap sehat mengingat pekerjaan ku setiap harinya adalah makan, tidur, dan duduk berkutat di depan kanvas dan melukis menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk diriku sendiri.
Mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana aku bisa melukis setiap harinya dan tidak ada satupun anggota keluarga ku yang tidak tahu jika aku menghasilkan uang dengan melukis. Ini semua karena kamar ku, yang berarti gudang bawah tanah a.k.a basement kediaman keluarga Tanubrata yang tidak terpakai lagi. Ruangan yang tersembunyi satu setengah meter di bawah tanah dengan setengah meter lagi terdapat jendela untuk sirkulasi udara dan masuknya cahaya matahari walau tidak akan mungkin menerangi kamar ku kecuali jika lampu di nyalakan. Di bagian samping kamar ku ada pintu tersendiri yang dapat langsung menghubungkan kamarku dengan halaman, tepat di dekat pintu samping halaman untuk keluar dari kukungan pagar tinggi rumah kekuarga Tanutbrata.
Terdengar kamar ku terisolasi sekali dari keluarga Tanubrata yang lain tapi tidak sepenuhnya benar kok, masih ada satu pintu yang menghubungkan kamar ku dan ruang makan lantai satu tempat biasa kami untuk makan malam bersama. Untuk yang satu itu aku di sertakan sebagai bentuk 'hubungan' antara aku dan keluarga ku yang lainnya. Kurang lebih seperti itu.
"Andrea!" Seruan seseorang membuat ku menoleh. Jangan harapkan cowok ganteng, atau teman sebaya yang memanggil ku. Kemungkinan paling besar yang memanggil ku adalah wanita di umur pertengahan dua puluh, rambut pendek di bawah telinga dengan model potongan pixie haircut alias guru magang, dan merupakan anak dari pemilik perusahaan yang membiayai sekolah ku di sini. Kak Hera.
"Selamat pagi Bu Hera. Ada yang bisa saya bantu?"
"Apaan sih Re? Panggil kakak nggak masalah juga kok. Lagian masih sepi sekolah, nggak bakal ada yang nyadar" Inilah Kak Hera, sangat humble dan ceria. Tapi aku tidak akan menuruti permintaan yang akan menjadi boomerang untuk diri ku sendiri. Peraturan di sekolah ini sangat ketat mengenai kedisiplinan terutama cara menghormati guru dan, seluruh staff karyawan dan ya, meski lagi-lagi itu hanya judul nya saja terutama bagi anak-anak dari kaum atas. Biasalah, the power of money.
"Tidak usah bu. Ada perlu apa ibu memanggil saya?"
"Aku mau ngasih tahu kalo dia akan mulai, bersekolah di sini mulai Senin depan dan sudah di pastikan dia akan sekelas dengan mu. Mohon bantuannya ya"
"Ah, mulai Senin depan ya," Ulang ku lamat-lamat dan mengingat sedikit banyak jadwal yang harus aku lakukan
"Iya, jadi untuk perkenalan pertama dengan dia besok Minggu kamu bisa ikut aku jemput dia ke bandara?" Tanya Kak Hera dengan mata berbinar-binar penuh harap.
Terkadang aku berpikir tingkah maupun sifat-sikap kak Hera tidak cocok dengan umurnya. Andai kata dia mengatakan umurnya sebaya dengan ku, aku yakin banyak orang akan percaya mentah-mentah.
Mengenai 'dia' yang aku bicarakan dengan Kak Hera itu adalah adik Kak Hera yang akan kembali bersekolah di sini setelah dua tahun tidak bersekolah karena kecelakaan yang membuatnya koma. Dan ini juga alasan mendasar kenapa aku memperoleh beasiswa. Untuk membantu anak mereka beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang akan asing untuk 'dia'
"Bi-" Tunggu, Minggu besok itu minggu ke-empat dalam bulan ini berarti pertemuan keluarga besar dan aku harus hadir di sana sebagai formalitas anak dari Tuan Ridwan Tanubrata. Tapi mungkin tidak masalah jika aku tidak hadir kali ini. Anak laki-laki lebih penting dari anak perempuan right? Jadi tidak akan ada yang mempermasalahkannya selama yang absen bukan salah satu dari ketiga kakak ku itu.
"Halo? Andrea?" Kak Hera melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah ku "Kamu bisa?"
"Iya aku bisa" Jawab ku cepat
"Nah bagus kalo gitu!" Seru kak Hera senang "Aku nggak sabar mau ngenalin Val ke kamu" Kak, Hera merangkul pundak ku dan kami berjalan masuk bersama ke dalam sekolah.
.........
"Cepat masuk!"
Aku kenal suara ini. Siapa lagi jika bukan Andros. Aku menuruti dan masuk ke dalam mobil sesuai perintahnya. Agak heran sebenarnya, jika berangkat sekolah Andros di haruskan ayah (tidak sopan jika aku terus memanggilnya Tuan Ridwan Tanubrata) untuk mengantar ku ke sekolah untuk mengurangi tugas supir di rumah. Tapi jika pulang sekolah ayah sudah tidak akan peduli lagi aku akan pulang dengan apapun, dengan siapapun, atau kapanpun selama tidak melewati batas.
Seperti biasa selama di dalam mobil kami hening tidak berbicara satu sama lain. Lagi pula apa yang ingin kami bicarakan? Tidak ada. Judulnya saja kami adalah saudara kandung. Tapi sejujurnya aku hampir tidak mengetahui apa-apa tentang Andros dan aku yakin sekali Andros kuga tidak tahu apa-apa tentang aku. Jika ada, penelitian yang mengatakan hubungan saudara kembar lebih dekat dari pada hubungan saudara kandung biasanya, maka aku akan menjadi orang pertama yang menertawakan teori tersebut. Nyatanya aku dan Andros yang notabene saudara kembar tidak memiliki hubungan khusus spesial apapun lainnya.
Mungkin aku bisa me-list tiga hal saja yang aku ketahui dari saudara kembar ku. Pertama sudara kembar ku berjenis kelamin laki-laki bernama Andros Tanubrata yang lebih tua 20 menit dari ku. Kedua, kami alergi pada makanan yang sama; kacang-kacangan dan yang ketiga, Andros tidak menyukai ku sebanyak aku tidak menyukainya. That's all. Tidak heran jika aku tidak akur dengan semua anggota keluarga ku jika dengan orang yang pernah berbagi tempat di rahim ibu saja tidak pernah dekat.
"Sekarang kau turun di sini"
Aku mengangkat sebelah alis ku, mobil Andros berhenti di pertokoan yang terdiri dari jajaran kafe dan toko pernak-pernik.
"Aku ada janji, jadi jika kau tidak ingin terkunci di dalam mobil, ku sarankan kau keluar dari mobil sekarang juga"
Hell, kehidupan sebagai anggota keluarga Tanubrata di mulai sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Arum Anggi Astuti
biasanya kalo udah bnyak ank cow itu pngen bgt pnya cew. ini ank cew satu2 ny kok mlah dibenci?
2021-01-12
1
Ayuastuti
cerita seru thor 🤗🤗
jangan lupa mampir di novel ku yang berjudul
"Aku Menikahi Kakak Tiriku"
2020-04-14
0
MikhaiLa
seperti aNak tiri
2020-03-23
1