Semua orang memakai pakaian yang memukau malam ini. Gaun-gaun malam yang indah gemerlap, setelah jas yang terseterika rapi, mulut yang melontarkan kata-kata manis memuji satu sama lain dan aku menjadi salah satu bagian dari itu semua. Berdiri memamerkan senyum, menyapa siapa saja yang bisa aku ingat dan menyapa balik orang yang menyapa ku meski aku tidak kenal sekalipun. Situasi yany sama berlaku juga untuk kedua pria sebaya di dekat ku yang salah satunya merangkul ku hangat menunjukkan keharmonisan keluarga Tanubrata yang –katanya– sangat terkenal itu
Gaun pesta berwarna merah amat mencolok bermodel sabrina dengan panjang nyaris menyapu lantai, menutupi sepatu hak setinggi 9 cm yang sangat cantik —mengingat haganya yang mahal— yang juga sangat-sangat-sangat menyakitkan yang membuat ku bertanya-tanya untuk apa memakainya jika ujung-ujungnya tertutupi oleh gaun juga.
Gaun yang mirip dengan gaun yang ibu kenakan malam ini dengan model yang berbeda. Sepatu dengan model yang juga mirip dengan sepatu yang ibu kenakan, juga dengan kalung yang hampir mirip. Yang jelas satu hal yang sama persis dari dandanan ku dan ibu malam ini, sama-sama mahal tentu saja. Ayah tidak akan membiarkan aku mengenakan salah satu gaun yang aku miliki sendiri di lemari ku. Harga obralan akan langung meruntuhkan harga diri ayah —yang (katanya) sangat berharga itu—di depan para kolega nya yang terhormat. Jika tidak ayah mana mungkin akan repot-repot memberikan satu set pakaian yang aku kenakan malam ini.
Pesta ini merupakan pesta ulang tahun istri kolega ayah yang merupakan seorang penulis novel kondang, yang juga merupakan teman dekat ayah. Penulis novel, pekerjaan yang bermodalkan imajinasi dan kekuatan merangkai kata menjadi kalimat yang menarik hingga menjadi sebuah novel.
Aku suka novel, sangat menyukainya. Membaca setiap kejadian yang akan tetjadi, menebak akhir dari sebuah kisah, dan membayangkan diri ku berada di dalamnya sebagai salah satu tokohnya dan berakhir dengan bahagia. Tapi satu yang aku tidak suka dari novel. Aku membenci kisah tokoh utama yang sangat pendiam, sangat ugly, malang atau apapun itu tapi mereka selalu di ceritakan memikiki satu teman baik yang akan selalu ada menemani, men-suport dan mengerti tokoh tersebut. Jika membacanya aku hanya akan tersenyum getir dan bertanya pada Tuhan, sebagai penulis skenario hidup ku. Kenapa Tuhan tidak menciptakan satu orang saja yang akan menjadi sosok yang dekat dengan ku. Kenapa Tuhan tidak memberi ku seseorang yang mengerti dengan ku.
Bukankah itu... Sedikit, tidak adil? Tapi, ya. Mau bagaimana lagi ini adalah hidup nyata, dan bukannya kisah dalam sebuah novel. Kita tidak bisa memilih hidup seperti apa yang kita inginkan. Ingin di lahirkan sebagai cewek atau cowok, ingin mempunyai wajah yang cantik atau tampan atau justru dengan wajah pas-pasan cenderung buruk.
Otak cemerlang dalam akademik, kemampuan seni, atletik, atau kau harus berpuas diri dengan segala kemampuan, standart yang kau miliki.
Kaya atau miskin, tinggi atau pendek, hitam, atau putih serta semua hal lain yang sering kita pertanyakan dalam hidup kita masing-masing.
Termasuk aku. Aku juga tidak ingin di lahirkan menjadi seorang wanita di tengah keluarga yang menomor satukan laki-laki. Bukan aku yang ingin di lahirkan sebagai perempuan, tapi Tuhan yang menentukan. Aku juga tidak ingin memiliki wajah pas-pasan dan otak ang biasa saja yang semakin membuat di pandang sebelah mata di keluarga ku sendiri aku tidak ingin. Sungguh.
Lahir sebagai Andrea Tanubrata, anak bungsu di keluarga Tanubrata dengan tiga, orang kakak laki-laki secara otomatis akan membuat ku tidak, diperhatikan oleh semua anggota keluarga ku terutama ayah.
Sebagai seorang wanita sosok ibu tidak banyak membantu. Keinginannya untuk di lihat suaminya membuatnya ikut-ikutan mengabaikan anak perempuannya yang berarti itu adalah aku dan mencurahkan perhatiannya, sepenuhnya pada suami dan ketiga anak laki-lakinya. Sedangkan aku? Mungkin lebih cocok jika aku di sebut anak pembantu.
Kemahiran ku satu-satunya, adalah melukis. Lukisan ku sangat indah, dan tentunya juga memiliki harga yang lumayan, paling tidak untuk kebutuhan hidupku sendiri. Namun lagi-lagi di tengah keluarga yang menganggap pekerjaan sebagai dokter, arsitek, pengacara, dan, pekerjaan bergengsi lainnya lebih penting dari pada tukang gambar. Bahkan aku yakin tidak seorangpun di keluarga ku mengetahui jika aku seorang pelukis. Tidak aneh juga mengingat aku menang menyembunyikannya dari semua anggota keluarga ku. Mereka hanya tahu jika melukis adalah hobi ku dan itu adalah kegiatan yang tidak berguna.
Ya, seperti itulah hidup ku. Jika kalian tanya apa yang ku lakukan sekarang jawabannya adalah bersekolah di sekolah menengah keatas yang elit dan mahal, SMA Veastalis yang artinya aku satu sekolah dengan kedua kakak ku yang lain Farrel Tanubrata, dan Andros Tanubrata dua dari tiga anak kebanggan Tuan Ridwan Tanubrata selaku —walau benci mengakuinya— ayah kami. Dan, yap. Seratus untuk kalian yang menebak Andros dan aku adalah anak kembar.
Tapi aku harap kalian jangan salah kira jika aku masuk ke sekolah ini dengan biaya dari Tuan Ridwan Tanubrata. Dan Jangan juga kalian kira aku membiayai sendiri sekolah di sini walau tidak sepenuhnya salah. Tepatnya sebuah perubahan yang cukup besar menawari membiayai sekolah ku karena ia sangat menyukai pada karya ku. Kesempatan tidak akab, datang dua kali bukan, jadi yang kulakukan hanya menerima tawaran tersebut.
Nama Blue Sky cukup terkenal di dunia pelukis, sebagai pelukis baru dengan gaya aliran yang unik dan baru. Dan itu nama samaran ku.
Tapi sekali lagi, tidak ada yang mengetahui tentang profesiku di rumah. Mereka terlalu tidak peduli pada apa yang kulakukan dan apa yang akan terjadi padaku. Sebagai contoh nyatanya, saja jika aku tidak mendapat beasiswa ini dapat di pastikan jika tempat ku sekarang adalah di sekolah khusus putri yang berasrama serta menjanjikan sekeluarnya putri anda dari sana, putri anda akan memiliki atitude yang membanggakan, gerakan tubuh yang elegan, dan segudang kemampuan yang cocok untuk menjadikan mu calon istri idaman. Dengan kata lain, selamat kamu akan 'menikah' dengan pengusaha sukses jika ada masalah keuangan di perusahaan keluarga mu. Atau itu juga, akan terjadi jika keluarga mu sedang dalam misi memperbesar bisnisnya. Kira-kira begitulah nasib ku kedepannya jika aku masuk kedalam sekolah khusus putri itu.
Dan saat aku mendapat beasiswa mereka juga tidak mau repot-repot mencari tahu dari mana aku memperoleh beasiswa dan Tuan Ridwan Tanubrata sendiri memgucapkan 'ucapan selamat' yang 'manis' pada ku, "Beruntung ada kesalahan dalam sistem penerimaan beasiswa jadi kau bisa bersekolah di sekolah yang sama dengan kakak mu. Dan ingat jangan sampai kau mempermalukan nama keluarga di sana"
See? Bukannya bangga Tuan Ridwan Tanubrata justru mengancam putrinya. Yah, miris sekali bukan? Aku tahu, tapi seperti itulah hidup ku. Dan sekadar info aku menerima beasiswa siswa bukan untuk bisa satu sekolah dengan kedua kakak ku itu, tapi demi kebebasan ku.
"Cepat kamu turun di sini!" Seru Andros. Bangunlah Cinderella setelah jam dua belas malam berdenting, dan kehidupan indah lenyap, berganti dengan peran sebagai upik abu yang tidak di sukai keluarganya.
Aku melirik datar ke arah kakak kembar ku. Siapa juga yang mau berlama-lama satu mobil dengan orang seperti mu? Aku mendengus dalam hati. Tak membuang waktu lama aku sudah turun dari mobil Andros dan berdiri menatap mobil tersebut yang sudah melaju kencang menuju sekolah yang masih sekitar 300 meter lagi dari tikungan tempat ku di turunkan. Dengan malas aku berjalan ke sekolah juga sebelum gerbang di tutup jika tidak ingin berurusan dengan guru piket yang ribetnya amit-amit.
Jangan tanya pada ku kenapa aku di turunkan di sini. Tanya saja pada kedua orang kakak ku yang tidak ingin ada orang mengetahui jika aku adalah salah satu dari keluarga Tanubrata. Yang artinya adalah adik mereka. Aku sendiri hanya bisa —berusaha— mensyukuri setiap hal kecil yang terjadi padaku. Anggap saja Tuhan memberi ku kesempatan untuk berolahraga setiap pagi agar tetap sehat mengingat pekerjaan ku setiap harinya adalah makan, tidur, dan duduk berkutat di depan kanvas dan melukis menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk diriku sendiri.
Mungkin akan muncul pertanyaan bagaimana aku bisa melukis setiap harinya dan tidak ada satupun anggota keluarga ku yang tidak tahu jika aku menghasilkan uang dengan melukis. Ini semua karena kamar ku, yang berarti gudang bawah tanah a.k.a basement kediaman keluarga Tanubrata yang tidak terpakai lagi. Ruangan yang tersembunyi satu setengah meter di bawah tanah dengan setengah meter lagi terdapat jendela untuk sirkulasi udara dan masuknya cahaya matahari walau tidak akan mungkin menerangi kamar ku kecuali jika lampu di nyalakan. Di bagian samping kamar ku ada pintu tersendiri yang dapat langsung menghubungkan kamarku dengan halaman, tepat di dekat pintu samping halaman untuk keluar dari kukungan pagar tinggi rumah kekuarga Tanutbrata.
Terdengar kamar ku terisolasi sekali dari keluarga Tanubrata yang lain tapi tidak sepenuhnya benar kok, masih ada satu pintu yang menghubungkan kamar ku dan ruang makan lantai satu tempat biasa kami untuk makan malam bersama. Untuk yang satu itu aku di sertakan sebagai bentuk 'hubungan' antara aku dan keluarga ku yang lainnya. Kurang lebih seperti itu.
"Andrea!" Seruan seseorang membuat ku menoleh. Jangan harapkan cowok ganteng, atau teman sebaya yang memanggil ku. Kemungkinan paling besar yang memanggil ku adalah wanita di umur pertengahan dua puluh, rambut pendek di bawah telinga dengan model potongan pixie haircut alias guru magang, dan merupakan anak dari pemilik perusahaan yang membiayai sekolah ku di sini. Kak Hera.
"Selamat pagi Bu Hera. Ada yang bisa saya bantu?"
"Apaan sih Re? Panggil kakak nggak masalah juga kok. Lagian masih sepi sekolah, nggak bakal ada yang nyadar" Inilah Kak Hera, sangat humble dan ceria. Tapi aku tidak akan menuruti permintaan yang akan menjadi boomerang untuk diri ku sendiri. Peraturan di sekolah ini sangat ketat mengenai kedisiplinan terutama cara menghormati guru dan, seluruh staff karyawan dan ya, meski lagi-lagi itu hanya judul nya saja terutama bagi anak-anak dari kaum atas. Biasalah, the power of money.
"Tidak usah bu. Ada perlu apa ibu memanggil saya?"
"Aku mau ngasih tahu kalo dia akan mulai, bersekolah di sini mulai Senin depan dan sudah di pastikan dia akan sekelas dengan mu. Mohon bantuannya ya"
"Ah, mulai Senin depan ya," Ulang ku lamat-lamat dan mengingat sedikit banyak jadwal yang harus aku lakukan
"Iya, jadi untuk perkenalan pertama dengan dia besok Minggu kamu bisa ikut aku jemput dia ke bandara?" Tanya Kak Hera dengan mata berbinar-binar penuh harap.
Terkadang aku berpikir tingkah maupun sifat-sikap kak Hera tidak cocok dengan umurnya. Andai kata dia mengatakan umurnya sebaya dengan ku, aku yakin banyak orang akan percaya mentah-mentah.
Mengenai 'dia' yang aku bicarakan dengan Kak Hera itu adalah adik Kak Hera yang akan kembali bersekolah di sini setelah dua tahun tidak bersekolah karena kecelakaan yang membuatnya koma. Dan ini juga alasan mendasar kenapa aku memperoleh beasiswa. Untuk membantu anak mereka beradaptasi dengan lingkungan sekolah yang akan asing untuk 'dia'
"Bi-" Tunggu, Minggu besok itu minggu ke-empat dalam bulan ini berarti pertemuan keluarga besar dan aku harus hadir di sana sebagai formalitas anak dari Tuan Ridwan Tanubrata. Tapi mungkin tidak masalah jika aku tidak hadir kali ini. Anak laki-laki lebih penting dari anak perempuan right? Jadi tidak akan ada yang mempermasalahkannya selama yang absen bukan salah satu dari ketiga kakak ku itu.
"Halo? Andrea?" Kak Hera melambai-lambaikan tangan tepat di depan wajah ku "Kamu bisa?"
"Iya aku bisa" Jawab ku cepat
"Nah bagus kalo gitu!" Seru kak Hera senang "Aku nggak sabar mau ngenalin Val ke kamu" Kak, Hera merangkul pundak ku dan kami berjalan masuk bersama ke dalam sekolah.
.........
"Cepat masuk!"
Aku kenal suara ini. Siapa lagi jika bukan Andros. Aku menuruti dan masuk ke dalam mobil sesuai perintahnya. Agak heran sebenarnya, jika berangkat sekolah Andros di haruskan ayah (tidak sopan jika aku terus memanggilnya Tuan Ridwan Tanubrata) untuk mengantar ku ke sekolah untuk mengurangi tugas supir di rumah. Tapi jika pulang sekolah ayah sudah tidak akan peduli lagi aku akan pulang dengan apapun, dengan siapapun, atau kapanpun selama tidak melewati batas.
Seperti biasa selama di dalam mobil kami hening tidak berbicara satu sama lain. Lagi pula apa yang ingin kami bicarakan? Tidak ada. Judulnya saja kami adalah saudara kandung. Tapi sejujurnya aku hampir tidak mengetahui apa-apa tentang Andros dan aku yakin sekali Andros kuga tidak tahu apa-apa tentang aku. Jika ada, penelitian yang mengatakan hubungan saudara kembar lebih dekat dari pada hubungan saudara kandung biasanya, maka aku akan menjadi orang pertama yang menertawakan teori tersebut. Nyatanya aku dan Andros yang notabene saudara kembar tidak memiliki hubungan khusus spesial apapun lainnya.
Mungkin aku bisa me-list tiga hal saja yang aku ketahui dari saudara kembar ku. Pertama sudara kembar ku berjenis kelamin laki-laki bernama Andros Tanubrata yang lebih tua 20 menit dari ku. Kedua, kami alergi pada makanan yang sama; kacang-kacangan dan yang ketiga, Andros tidak menyukai ku sebanyak aku tidak menyukainya. That's all. Tidak heran jika aku tidak akur dengan semua anggota keluarga ku jika dengan orang yang pernah berbagi tempat di rahim ibu saja tidak pernah dekat.
"Sekarang kau turun di sini"
Aku mengangkat sebelah alis ku, mobil Andros berhenti di pertokoan yang terdiri dari jajaran kafe dan toko pernak-pernik.
"Aku ada janji, jadi jika kau tidak ingin terkunci di dalam mobil, ku sarankan kau keluar dari mobil sekarang juga"
Hell, kehidupan sebagai anggota keluarga Tanubrata di mulai sekarang.
Minggu pagi sesuai dengan yang ku sepakati dengan Kak Hera, aku akan ikut menjemput adiknya yang bernama Val-entah apa lanjutannya- di bandara.
Dari awal aku tahu akan mendapat tugas sebagai 'baby sitter' hingga detik ini aku tidak tahu sama sekali seperti apa orang yang akan aku 'emong' nantinya. Tidak nama, tidak orang, tidak foto. Hanya sepenggal nama Val saja yang aku tahu.
Demi acara penjemputan ini pula yang membuat ku rela mengurangi jatah tidur hari libur untuk menjemput Val karena pesawatnya akan mendarat pukul 8 pagi.
Sebuah keajaiban untuk ku di hari libur ini, jam 6 pagi aku telah rapi siap keluar rumah. Untuk acara, keluarga saja paling pagi aku bangun jam sembilan, satu jam sebelum acara di mulai. Itu juga karena kami masih harus pergi ke tempat acara berlangsung, rumah kakek alias ayah dari tuan Ridwan Tanubrata a.k.a Tuan Besar Toni Tanubrata. Mungkin jika acara bulanan ini diadakan di rumah ayah, aku akan bangun lima belas menit sebelum acara. Mandi limat menit, pakai baju lima menit dan muncul di menit-menit terakhir sebelum acara di mulai.
Itu akan menjadi hal yang sangat indah di hari libur. Dalam kamus ku libur dan bangun siang adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.
"Mbak Andrea?" Aku melihat supir taksi online yang ku pesan sudah tiba di depan rumah. Aku mengangguk dan masuk ke dalam taksi.
"Pak Indra?"
"Iya mbak, tujuannya ke bandara kan pagi ini"
"Iya pak" Pagi ini aku sengaja tidak menelpon Jim untuk menyediakan sopir untuk ku seperti biasanya dan lebih memilih mengandalakan jasa taksi online.
Agar orang rumah tidak bingung mencari ku aku meninggalkan pesan di kulkas jika aku pergi dari pagi karena ada urusan mendadak serta untuk menghindari segala gangguan aku men-silent handphone ku sampai batas waktu yang tidak di tentukan.
Di dalam taksi mata ku kembali terasa lengket seperti ada lem super yang dioleskan di kedua kelopak mata ku. Tidak. Aku tidak boleh tidur jika tidak ingin blouse biru yang aku pakai kusut. Jangan sampai kamu tertidur Andrea. Jangan...
"Mbak, mbak Andrea"
"Hah, ya?" Aku bertanya linglung
"Sudah sampai di bandara mbak"
"Ah iya, dimana?" Tanya ku lagi masih bekum nyambung
"Di bandara mbak" Jawab Pak Indra sabar.
Seakan listrik menyengat tubuh ku aku terlonjak "Ya ampun! Maaf pak, maaf saya ketiduran. Saya nggak sengaja pak"
"Iya, nggak apa-apa mbak"
Aku segera merogoh uang dari dompet uang sudah aku sediakan sambil terus meurutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku ketiduran di dalam taksi dengan orang yang tidak aku kenal. Untung saja Pak Indra ini orang baik tidak mengapa-apakan aku dan justru membiarkan aku tidur nyenyak sepanjang perjalanan, jika tidak? Bisa saja sekarang bukannya sampai di bandara bisa jadi aku sampai di tempat penjualan manusia. Hii... Udah nggak usah di bayangin ngeri sendiri aku nanti
"Ini pak" aku menyerahkan beberapa lembar uang dan keluar dari taksi
Belum ada sepuluh langkah aku berjalan aku merasa ada yang memanggilku
"Eh mbak, mbak Andrea" Ternyata pak Indra supir taksi yang tadi aku naiki
"Mbak uang nya kelebihan banyak"
Hati ku tersentuh. Pak Indra ternyata berlari untuk mengembalikan uang yang sengaja aku beri tadi sebahai bonus. Jarang-jarang di zaman sekarang ini masih ada orang seperti Pak Indra yang baik dan jujur.
"Nggak pak, nggak apa. Saya memang kasih lebih buat bapak soalnya bapak sudah mau mengantar saya pagi-pagi buta kayak begini"
"Tapi mbak-"
"Tidak masalah kok pak. Hitung-hitung bapak juga membiarkan saya tidur sebentar tadi. Saya terbantu banget lho pak. Anggap saja rezeki untuk bapak dan keluarga bapak"
"Alhamdulillah. Terima kasih ya mbak, terimakasih banyak"
"Iya sama-sam pak. Saya duluan pak, teman saya sudah menunggu di dalam"
"Oh iya monggo, monggo. Silahka mbak mbak. Semoga harinya menyenangkan"
"Iya pak. Terimakasih, semoga hari bapak juga menyenangkan"
Setelanya aku kembali masuk ke dalam bandara. Aku melihat jam tangan masih jam setengah 8 untung nggak telat.
Di terminal international arrival aku sudah melihat kak Hera duduk di salah satu bangku tunggu dengan bermain handphone. Aku segera menghampiri kak Hera "Pagi kak, maaf aku telat"
Kak Hera mengangkat wajahnya dari layar handphone, matanya memancarkan kelegaan "Kamu akhirnya datang Re! Aku sudah pikir kamu nggak datang lho. Uggh.. aku bosen dari tadi nunggu di sini. Gara-gara terlalu exited berangkatnya jadi kepagian ke bandara. Kamu juga sih, mau sekalian aku jemput kamu nya malah nggak mau"
"Hahaha" Aku hanya bisa terbawa garing saja. Rumah ku dan rumah kak Hera ibarat dari utara ke selatan dan bandara itu ibarat kalo kita mau pergi ke timur. Bisa kebayangkan kak Hera harus bangun jam berapa kalo masih harus jemput aku?
Detik berikutnya berkat bakat ke-supelan dari kak Hera cerita-cerita meluncur dari mulutnya. Aku menjadi pendengar yang setia, mendengarkan sambil sesekali menanggapi ceritanya. Jika kak Hera cerita semua hal akan di katakannya. Mulai dari topik berbobot seperti masalah bencana yang terjadi di belahan dunia lain sana, lukisan-lukisan ku yang akan di pajang di salah satu hotel mereka -lagi-lagi sampai topik nggak penting jika teman satu kelas ku ada yang suka ngupil!
Tapi ya, aku dengarkan saja. Toh nggak ada ruginya juga. Sampai pengumuman pesawat dengan tujuan New York–Indonesia telah mendarat barulah kami menghentikan percakapan dan berdiri bersama ratusan orang lainnya untuk mencari orang yang di tunggu kedatangannya.
Kak Hera mengangkat papan berukuran sedang bertuliskan Valen Sastrawijaya. Jadi itu nama lengkap adik kak Hera. Sebagai info agar tidak bingung, adik kak Hera sebenarnya lebih tua dari ku dua tahun jadi jika di urut umur Val seharunya sama dengan Farrel dan seharusnya juga ia sudah duduk di kelas 12 saat ini, tapi karena kecelakaan tragis yang terjadi dua tahun lalu, tepat saat hari pertama ia menjadi siswa SMA. Saat di tengah jalan menuju sekolah tiba-tiba saja mobilnya di tabrak keras dari arah berlawanan oleh truk yang melaju kencang.
Akibatnya Val mengalami koma satu tahun dan untuk memulihkan fisiknya yang lemah setelah hanya terbaring selama satu setengah tahun lamanya Val membutuhkan nyaris setengah tahun lagi sebelum benar-benar di nyatakan sehat setelah menjalani seeangkaian terapi syaraf agar Val dapat berjalan dengan benar lagi. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa Val terlambat kembali ke Indinesia hingga satu bulan dan melewatkan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah.
"Kakak!" Di kejauhan aku melihat pria yang sebaya dengan ku sedang melambaikan tangan pada kak Hera. Val , ini pertama kalinya aku melihat sosok Val setelah hanya mendengar cerita dari Kak Hera.
Rambutnya lurus hitam legam, sama hitamnya dengan kedua netranya. Tubuhnya tinggi atletis, tidak ada jejak jika sebenarnya ia baru saja pulih dari koma. Bibir tipisnya tersenyum lebar, memeluk tubuh kak Hera. Lucu, tubuh kak Hera yang biasanya terlihat tinggi saat berdiri di sampingku terlihat kecil tidak ada apa-apa nya di banding tubuh Val. Aku berasa jadi manusia kerdil berdiri di samping keuda orang ini. Tahu film The Lord of The Ring? Jika di ibaratkan film tersebut sutradara akan senang hati menempatkanku sebagai peran hobbit dengan kependekan tubuh ku.
Aku melihat mereka berdua. Ada rasa, iri dalam hati ku. Sebentar aku membayangkan jika salah, satu dari kakak-kakak ku memeluk ku sepertu Val memeluk kakanya maka aku akan merasa sangat senang. Mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Mungkin jika ini adalah bagian dari adegan novel maka ini akan menjadi epilog yang sangat bagus. Kedua tokoh berpelukan hangat setelah berpisah selama dua tahun, finaly terucap lah kata-kata happily ever after. End.
"Nah, Val ini Andrea yang sering ku ceritakan padamu. Nanti kamu akan satu kelas dengan Andrea dan Andrea akan membantu mu beradaptasi di sekokah nantinya" Kak Hera mengenalkan ku pada Val.
Aku mengulurkan tangan "Andrea" ucap ku di sertai senyuman di wajah memberi kesan pertama yang baik wajib untuk di lakukan.
Val membalas uluran tanganku dengan senyum yang tak kalah lebarnya dengan yang do tunjukkan pada Kak Hera. Senyum Val tampak polos dan sedikit mengingatkan ku pada senyum anak kecil tanpa beban dan tulus. "Aku Val. Senang bertemu dengan mu Andrea"
"Yak!" Kak Hera bertepuk tangan satu kali "Kalian sudah kenalan sekarang waktunya kita jalan-jalan!" Seru Kak Hera riang tengan kanannya mengamit tangan kiri Val yang tidak membawa koper dan tangan kiri kak Hera mengamit tangan ku. Mungkin jika ukuran badan ku dan Val sekecil anak Tk maka Kak Hera akan terlihat seperti seirang ibu yang menggandeng tangan anak-anaknya.
"Sekarang kita mau ke mana dulu? Dufan? Ancol? Atau kamu mau ke.."
"Kak, apa sebaiknya Val nggak dibiarkan istirahat di rumah dulu? Perjalanan New York Jakarta nggak deket kak" aku memotong perkataan kak Hera. Tidak sopan memang tapi, kasihan juga jika Val masih harus di ajak keliling padahal baru saja mendarat. Mungkin saja Val jet lag, atau apalah, aku saja yang perjalanan dari Jakarta ke Bandung wanktu nyampe bawaannya mau soulmate-an sama kasur terus.
"Aku nggak capek kok. Malah kangen Jakarta dua tahun di New York dengan satu tahun koma dan satu tahun lagi stay di rumah sakit bikin energi aku penuh rasanya, kerjanya cuma di kasur terus" Dari kursi belakang Val menyahut.
"Tapi kata Andrea bener. Kamu baru perjalanan jauh. Gini aja, sekarang kita ke rumah dulu. Kamu istirahat bentar nanti kakak masakin makanan kesukaan mu. Sama Andrea juga. Kamu tahu masakan Andrea enak banget lho" Kak Hera mengedipkan satu matanya.
"Kamu bisa masak juga Andrea?" Seru Val takjub
Aku meringis dan mengangguk dasar kak Hera.
Val manggut-mamggut. "Jarang lho sekarang ada cewek yang bisa masak. Mama aja nggak bisa masak. Salut aja sih aku sama cewek yang bisa masak" Ujar Val sebelum kemudian ia garuk-garuk kepala "Aku berlebihan ya? Kamu belajar masak di mana? Kak Hera biar bisa masak makanan layak makan aja kursus satu tahun lebih"
"Yang itu jangan di ceritain juga dong Val!" Protes Kak Hera.
Val tertawa terbahak "Kamu tahu Andrea? Pertama kali kak Hera menunjukkan hasil dari kursus nya Kak Hera nyaris membuat satu rumah sakit perut berjamaah waktu itu. Untung saja aku tidak ikut makan masakannya kak Hera"
"Val!" Seru Kak Hera semakin keras.
Aku kembali terdiam menyaksikan keduanya. Ini seperti hiburan menarik bagi ku setelah mengalami sendiri hubungan yang tidak harmonis antar saudara di keluarga ku sendiri. Kursus? Aku ingin mendengus rasanya. Jika bisa memasak karena lebih sering di asuh di dapur oleh pembantu di sebut kursus, maka itu akan menjadi kursus yang sangat hebat.
Dulu, jauh sebelum aku memegang kuas dan cat aku lebih dulu mahir memainkan pisau dan spatula. Bermain dengan bumbu-bumbu sebelum aku kembali dilarang memasak. Aku masih teringat kata-kata ayah saat tahu aku sering ikut membantu memasak bersama para pembantu
"Kamu mau mempermalukan keluarga hah?! Kalau kamu ingin jadi pembantu jangan tinggal di sini lagi! Pergi dan jangan tunjukkan wajah mu pada ku lagi!"
Sadis? Memang, terlebih orang yang mengatakan itu adalah ayah ku sendiri. Mungkin jika kalimat menyakitkan itu di ucapkan sekarang tidak akan terlalu masalah untuk ku, tapi kata-kata itu di ucapkan sebelas tahun lalu. Saat usia ku baru lima tahun dan ingin menunjukkan jika aku bisa membuat brownis yang enak dengan harapan ayah akan bangga pada ku. Jika aku tahu cacian yang akan aku terima tentu saja aku tidak akan melakukan hal bodoh itu.
Melihat brownis yang aku hias susah payah dan aku letakkan dalam piring yang indah hancur berantakan karena tangan ku di tepis ayah.
Waktu itu bukan hanya aku sendiri yang menangis. Tapi para pembantu yang mengajariku juga ikut menangis. Tidak salahkan jika aku mengatakan aku adalah anak pembantu.
"An, Andrea kamu mau kan bantu kakak masak?" Guncang di pundak kubuat ku tersadar. Segera aku mengganti mimik muka ku. Semoga saja tidak ada yang melihat raut wajah ku tadi.
"Tenang kak, aku bantu nanti. Jangan khawatir"
"Bagus kalo begitu. Sekarang kita ke supermarket!"
"Hore!" Sorakan Val menggebu "Aku mau nyetok camilan. Bener-bener lama rasanya aku nggak pernah makan kue lagi"
Aku dan Kak Hera tertawa bersama. Val tak ada ubah nya anak kecil. Kami mengambil troli belanja hingga dua, Val sebagai pelaku yang mengambil troli ekstra memasang watados pada kami. Kak Hera menganggapi dengan santai dan mengatakan "Peecayalah Re, kita membutuhkan dua troli saat ini"
Secara resmi rombongan kami di bagi menkadi dua kubu. Satu kubu untuk membeli bahan makanan yang di butuhkan dan sisanya membeli segala camilan yang di jumpai. Kak Hera yang awalnya mengambil sayur bersama ku lama-lama menghilang dan sekarang Kak Hera juga ikut-ikutan Val berburu camilan di supermarket ini.
Aku mendorong troli menyusuri rak sayur-sayuran. Karena tidak ada list belanja aku harus berusaha mengingat apa saja yang harus aku beli dan apa yang sudah atau belum aku beli.
"Brokoli, baby corn, wortel, sawi putih, sawi daging, tomat, timun, apa lagi yang belum ya?" Uggh.. Kak Hera memang benar troli yang digunakan untuk membeli bahan makanan sudah penuh padahal masih ada yang belun terbeli.
Mendadak saat aku masih memikirkan apa yang haru kubeli lagi rroli yang aku dorong terasa jauh lebih ringan.
"Va.. Val?" Aku terkejut melihat kediran Val di samping ku. Bukannya Val bilang dia mau beli camilan ya? Rak camilankan jauh dari sini "Kenapa kami di sini Val, katanya kamu mau beli camilan? Sudah selesai? Kak Hera kemana?"
"Satu-satu dong tanya nya aku jadi bingung mau jawab yang mana dulu" Aku menundukkan kepala karena malu, Val terkekeh melihat ku.
"Tadi nya aku mau beli camilan tapi Kak Hera kayaknya lebig bersemangat dari ku membeli camilan. Troli yang ku bawa di ambil alih oleh Kak Hera, dari pada aku ribut masalah camilan lebih baik aku membantu mu membeli sayur saja. Aku yakin Kak Hera sudah membeli banyak camilan saat ini" Val mendorong troli menjauh dari ku. "Apa lagi yang harus di beli? Ayo aku bantu"
"Eh..eh, tunggu Val! Kau kan baru sembuh masa kamu yang bawa troli? Sini aku saja yang membawanya"
"Jangan dong Andrea, trolinya berat masa kamu yang bawa troli nya? Apa gunanya aku sebagai cowok kalau begitu?" Muka memelas Val sangat msnggemaskan membuat ku tidak berdaya menghadapinya.
"Ya.. justru karena berat aku yang membawa trolinya,"
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan perempuan melalukan hal berat semacam ini di depan mata ku terutama perempuan yang aku kenal. Tidak akan pernah" Kata-kata Val entah bagaima membuat pipi ku bersemu.
"Hufft" Aku menghela napas. "Paling tidak kita mendorong nya bersama dengan begitu troli ini tidak terlalu berat" Ku jajarkan tubuh ku di samping Val dan mulai mendorong troli ini bersama.
Ini kali kedua aku menginjakkan kaki di kediaman -orangtua- kak Hera. Rumah ini sama besarnya dengan rumah keluarga Tanubrata yang membedakan adalah design interior-nya. Jika di rumah kerluarga Tanubrata menggunakan kesan mewah dan elegan, rumah ini lebih memilih model mediterania yang terkesan lebih simple dengan banyak jendela besar yang menghisasi setiap sudut rumah. Sirkulasi udara dan cahaya menjadi sangat lancar di tambah banyaknya tumbuhan yang di tanaman yang menghiasi halaman di samping rumah. Dari rumah ini aku paling suka dengan hiasan kerang di sudut ruang makan, membuat suasana ruang makan seperti di pantai.
Seelah membongkar hasil belanjaan yang banyaknya lebih dari dua troli dan membawa se-kresek besar camilan Val langsung masuk ke dalam kamarnya di lantai dua sedangkan aku dan kak Hera mulai berkutat di dapur memasak berbagai makanan.
Udang saus inggris, ayam kalasan —yang sidah di bumbu dan hanya perlu menggoreng— capcay, sup krim, tumis kangkung, kwetiaw, dan untuk hidangan penutup puding mangga.
Menurut kak Hera selera makan Val itu campur-campur. Mulai dari makanan Indonesia, oriental, hingga western. Di lihat dari menu makanannya saja sudah kelihatan sih. Kata Kak Hera juga selera makan Val ini di pengaruhi teman Val yang berasal dari banyak jenis.
Pertama-tama kami menyiapkan semua bahan yang di perlukan. Aku membersihkan udang, mengiris timun utnuk tambahan isi udang saus inggris sedangkan Kak Hera memilih untuk menyiapkan capcay terbelih dahulu.
Setelah urusan udang selesai sembari menunggu udangnya matang aku beralih menumis kangkung yang sudah di potong bersama bawang merah dan putih serta diberi sedikit saus teriyaki untuk memberi rasa khas nya.
Begitu terus seterusnya, aku dan Kak Hera saling membantu menyiapkkan semua menu makanan. Hingga satu persatu makanan mulai matang dan harumnya menguar memenuhi dapur.
Dua jam setengah kemudian semua makanan telah matang dan tertata rapi di atas meja makan berbentuk lingkaran, kecuali puding mangga yang masih di diamkan di freezer
Aku melepas celemek yang di pinjamkan kak Hera untuk melindungi blouse putih tulang yang ku kenakan untuk melindungi blouse dari tumpahan noda yang tidak berpengaruh banyak. Akhirnya kak Hera meminjamkan satu bajunya untuk ku pakai kemeja lengan pendek warna hijau tosca. Selagi aku mengganti baju kak Hera memanggil Val untuk turun ke bawah dan kami akan memulai sarapan. Bukan sarapan juga sih kalo di makannya jam dua belas lebih cocok kalo di bilang makan siang.
Ruang makan kembali ramai dengan celotehan kaka dan adik. Sebegitu akrab-nya ya hubungan mereka.
"Makan enak kok nggak ajak-ajak sih?"
"Uhuk! Uhuk!" Aku tersedak karena terkejut mendengar suara tepat di belakang ku.
"Andrea, kamu nggak apa-apa? Ini minum dulu" Val yang duduk paling dekat dengan ku mengangsurkan segelas penuh air putih. Tanpa basa-basi aku langsung meminum tandas isi dari gelas tersebut. Sedangkan tangan lain di belakang ku menepuk-nepuk pelan punggung ku.
"Are you okay now?" Suara yang tadi mengagetkan ku bertanya
"Better" Jawab ku pelan. Tenggorokan ku masih agak sakit kareda tersedak.
"Sorry kalo aku bikin kamu kaget"
"No problem"
"Okay"
"Kak Rendra sih!" Cemberut kak Hera persis anak kecil
"Iya-iya kakak minta maaf" Ucap pria itu lagi.
"Minta maaf sama Andrea, bukan sama aku"
"Andrea, saya minta maaf karena mengejutkan mu" Kak Rendra melalukan persis seperti yang dikatakan Kak Hera. Namun dari pancaran matanya aku tahu Kak Rendra tulus meminta maaf pada ku.
"Iya, tidak masalah Kak"
"Oh iya, Andrea kenalin ini kakak sulung ku. Kak Rendra" Mood Kak Hera sudah berubah lagi. Tadi cemberut dan, sekarang kembali ceria.
"Rendra"
"Andrea" Ku balas uluran tangan Kak Rendra.
"Kak ayo sini gabung makan. Ini masakannya Andrea lho" Ajak Kak Hera menepuk-nepuk kursi kosong antara aku dan Kak Hera.
Kak Rendra bereaksi sama seperti reaksi Val di mobil tadi. Apakah sejarang itu ya, cewek bisa masak di zaman sekarang ini? Hm, entahlah. Kak Rendra duduk di kursi kosong antara aku dan Kak Hera dan mulai makan. Kak Rendra memuji masakan ku, ia mengatakan masakan ku sangat enak.
"Pinter masak ya Andrea, enak semua"
"Terima kasih kak" Sahut ku dengam senyum tak bisa ku sembunyikan.
Di rumah tidak pernah ada yang memuji apapun yang aku lakukan rasanya senang seperti ada kembang api meletup dalam dada ku. Aku jaminjika didakan kontes kakak idaman Kaka Rendra akan memenangkan kontes tersebut. Senyum rama memikat, wajah yang sedap di pandang mata, sifat baik yang perhatian pada adiknya. Aku juga mau jika ada satu kakak semacam kak Rendra.
Setelah makan siang Val mengajak untuk nonton film di bioskop berempat. Sudah lama katanya tidak mengikuti perkembangan film di Indonesia kami semua setuju-setuju saja.
Film yang di pilih Val adalah film ber-gendre horror yang sebenarnya tidak seberapa menyeramkan Maklum saja, aku bukan tipe wanita yang takut pada film horor semacam ini. Karena menurut ku terkadang film horor hanya sekadar cerita dengan seting bangunan angker, sound yang mendramatisir dan hantu yang bikin olahraga jantung dan bukannya takut. Tapi mereka enjoy-enjoy saja menonton film ini di sertai teriakan dari berbagai penjuru bioskop.
...
"Film nya nggak menakutkan sama sekali!" Seru Kak Hera
"Iya setuju. Aku kira filmnya bakalan serem. Kayak yang mama puterin dulu itu lho. Yang pemeran hantunya Suzana" Tambah Val
"Kalo mau yang itu sih ngambil aja di tumpukan cd filmnya mama nggak usah jauh-jauh sampe ke bioskop. Buang-buang uang aja" Cibir kak Hera. Val cengengesan.
"Permisi, silahkan di nikmati hidangannya" seorang pelayan menghampiri kami dan mengantarkan pesanan kami berempat, meja yang tadinya kosong mendadak penuh dengan tumpukan dessert aneka jenis.
Cafe bernuansa cozy dengan lantai dan dinding kayu, dan memu full dessert serta aneka makanan manis lainnya. Rupanya ketiga kakak beradik ini semuanya menyukai makanan manis. Val dan Kak Hera yang memesan paling banyak dari kami, macaroon, choco lava cake, strawberry cheesecake, panacota avocado, banana ice crem dan aku tidak tahu lagi nama menu yang lainnya, aku melihatnya saja sudah jadi kenyang duluan.
Dari pengamatanku Kak Rendra yang tidak terlalu menggilai makanan manis, seperti kedua saudranya. Dan aku juga memesan makanan yang tidak terlalu manis. Aku tidak tahu apa nama dessert yang aku pesan tapi dalam dessert ini terdapat banyak komponen buah-buahan bercitarasa asam seperti jeruk, strowberry, kiwi dan uah yang lainnya yang akan membantu menetralisir rasa manis dari sponge cake.
Sama seperti ku, yang di pesan kak Rendra adalah kue cokelat yang menggunakan dark cocholate yang cenderung pahit.
"Jadi ini pertama kali kita bertemu?" Kak Rendra yang duduk di samping ku memulai percakapan
"Iya, sepertinya begitu" Sahut ku masih agak canggung. Kak Rendra terkesan jauh lebih dewasa dari kedua adiknya yang cenderung mirip anak kecil. Kami berempat saat jalan bersama kak Rendra akan terlihat seperti sekumpulan ponakan yang di jaga om nya yang masih muda, apalagi setelan casual semi formal yang di pakai kak Rendra terkesan jauh lebih dewasa di banding kami yang rata-rata menggunakan kaus dan baju kekinian lainnya.
"Padahal aku sudah sering menggunakan lukisan mu tapi aku justru tidak pernah bertemu dengan mu" Kak Rendra mulai memakan kue cokelat nya, aku mengikuti Kak Rendra dan mulai memakan kue ku juga. Luapan rasa asam berpadu manis meledak di mulut ku menciptakan sensasi rasa yang nikmat. Aroma segar dan manis memperkaya rasa dari kue ini.
"Tidak masalah. Selama, lukisan ku dapat di nikmati banyak orang aku sudah senang"
"Ya, teruslah melukis. Ada banyak orang yang menanti karya mu berikutnya, termasuk aku" Kak Rendra mengedipkan sebelah matanya.
Aku mengangguk. Suasana canggung sudah hilang diantara kami. Mungkin kami akan menjalin hubungan yang baik kedepan nya. "Terimakasih Kak"
"Sama-sama"
"Ahh... Aku kekenyangan" Seru Va
"Aku juga" Kak Hera ikut-ikutan menepuk perutnya.
"Aku justru akan heran kalau kalian tidak kekenyangan. Kalian makan seperti tidak pernah makan satu tahun" Cibir Kak Rendra
"Iya. Memang tidak ada hari besok untuk makan lagi? Kalian sangat kalap"Tambah ku.
Val dan kak Hera kompak cemberut. Di lihat-lihat lagi muka Val dan Kak Hera terlihat sangat mirip satu sama lain. Otomatis aku mengingat tentang aku dan Andros. Pernah sekali aku memotong rambut ku sangat pendek dan aku tampak seperti Andros versi feminimnya.
Andai tubuh ku sama besarnya dengan tubuh Andros maka akan ada banyak orang yang salah mengenali kami sayang Andros memiliki tubuh yang jauh lebih besar dari ku tidak dulu tidak sekarang sama saja aku jadi curiga ala tumbuh kecil ku sekarang ini karena saat di perut ibu gen tinggi ku di embat Andros semua makannya dia bisa besar begitu? Ah, di dalam perut saja dia sudah suka mengambil milik orang lain, pantas saja perhatian semua orang tertuju pada Andros terus.
Muka kami mirip, tapi Andros lebih berkarisma dan di sukai banyak orang. Tubuhnya tinggi dan bertotot, sedang aku rasanya stuck diangka 155 kapan aku akan bertambah tinggi Tuhan...
"Hey! Andrea, ayo kita pulang. Kamu tidak mau menginap di sini bukan?"
Aku tersadar dari lamunan ku. Val langsung menarik tangan ku dan menarik ku menyusul kedua saudaranya. Tangannya besar, dan hangat. Aku kembali membayangkan jika Andros atau salah salah satu kakak ku yang menggenggam tangan ku seperti ini. Enyahkan khayalan mu yang tidak mungkin kesampaian itu Andrea!
"Terimakasih atas tumpangan nya. Aku pulang dulu ya Kak Hera, Kak Rendra , Val" Ucap ku setelah turun dari mobil yang di kendarai Kak Rendra berhenti di pagar samping rumah.
"Iya, sama-sama Andrea. Maaf seharian ini adik-adik ku menculik mu. Sampai bertemu lagi" Kak Rendra membalas dengan jenaka
"Hei! Apa-apaan kau itu kakak! Kau juga ikut bersenang-senang bersama kami hari ini!" Seru Val
"Iya! Dasar Kakak tidak setia!" Kak Hera ikut-ikutan.
"Hahaha! Sampai nanti Andrea sebelum aku habis di mangsa dua monster ini"
"Dadah Andrea! Sampai bertemu besok Senin di sekolah" Kak Hera melambaikan tangan.
"Iya Kak, hati-hati jalan" Aku turut melambaikan tangan membalas Kak Hera.
"Kak Rendra kau belum selesai dengan kami!" Teriakan Kak Hera masih terdengar karena mobil belum berjalan jauh.
"Awas saja nanti di rumah" seruan Val menyusul setelahnya.
Mobil melaju dengan keributan di dalamnya. Tapi menyenangkan, lama aku tidak merasakan kehangatan dalam keluarga dengan melibatkan aku sebagai bagian di dalamnya.
Aku membuka pintu gerbang samping dan langsung masuk ke dalam, basement alias kamar ku.
Ku rebahkan diri ke kasur berukuran sedang dengan sprei yang ku lukis sendiri. Sprei ini mulanya berwarna biru cerah, tapi karena bosan dan sedang kehabisan kanvas aku memakianya untuk menjadi kanvas ku. Dan hasilnya cukup memuaskan. Tidak hanya warna biru cerah polos kini ada tambahan padang bunga bagian bawah sprei dengan beberapa anak bermain di atasnya serta sebuah pohon sakura besar dengan seorang gadis remaja membaca buku di bawah pohon tersebut rambutnya berterbangan tertiup angin bersama beberapa bunga dandelion yang turut terbang bersama angin.
Semakin keatas warna biru cerah tersebut semakin menggelap hingga langit angkasa bertabur bintang menghiasi keseluruhan sprei bagian atas. Lalu agar senada aku juga menggambar sarung bantal, sarung guling dan selimut ku dengan gambar senada.
Cukup menyenangkan melakukannya. Tidak hanya satu ini saja yang menjadi tempat kreasi ku. Tapi hampir semua sprei, sarung bantal, dan sarung guling milik ku aku gambari. Beberapa milik pembantu juga ada yang menjadi hasil kreasi ku. Ada yang meminta gambar bunga, gambar pemandangan, gambar kartun untuk hadian anak mereka di kampung bahkan sampai ada yang meminta gambar oppa-oppa korea yang mukanya kelewat mulus. Semua itu ku kerjakan dengan senang hati terutama saat kanvas ku habis. Mau melukis di tembok kamar ku juga sudah tidak memungkinkan.
Mengenai kamar ku, kamar ku bisa di bilang adalah kamar paling luas yang ada di rumah ini, ukurannya saja mencapai dua kali lipat kamar utama alias kamar Tuan Ridwan Tanubrata dan istrinya yang perlu kalian tahu itu sangat luas. Karena awalnya ini adalah basement tempat menyimpan banyak barang. Kebetulan saat kami pindah kemari mereka semua ribut kamar mana yang harus aku gunakan, semua kamar besar yang ada sudah habis untuk kamar mereka dan dua sebagai kamar tamu, dan sisanya hanya kamar pembantu. Lelah melihat semua orang jadi ribut sendiri aku yang kebetulan melihat ada basemant di bawah rumah, langsung meminta basemant itu untuk menjadi kamar ku.
Mereka menyetujuinya. Yang untung saja, ayah berbaik hari sedikit memperbaiki keadaan basement hingga layak aku pakai. Selanjutnya hanya memindakan barang-barang ku ke basement saja. Saat ini aku memasang beberapa sekat di kamar ku. Sebagian untuk tempat tidur, lemari baju, dan meja belajar. Sebagian besar lainnya sebagai tempat ku meletakkan peralatan melukis dan sisanya aku meletakkan sofa, meja kecil, kulkas, serta kompor. Jadi saat aku malas ke rumah untuk makan aku bisa memenuhi sendiri kebutuhan ku tanpa, perlu naik ke atas.
Ada yang mengatakan tidak ada tempat lain yang senyaman rumah mu sendiri itu benar namun untuk ku ada yang sedikit berubah, tidak ada tempat lain yang senyaman kamar ku sendiri slogan yang selalu aku pegang sejak dulu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!