Plak!
Aku terdiam di tempat ku. Saat keluar ingin mandi kamar mandi di dekat ruang makan tamparan pedas menyambut pipi ku.
"Apa yang kamu lakukan hah?! Kamu pikir kamu kemana seharian ini? Kamu memang ingin mempermalukan ayah di depan keluarga besar? Iya?!" Ayah berkata dengan berapi-api. Kemarahan terdengar jelas dari setiap perkataannya yang tajam.
Awalnya aku mengalami disorientasi dan hanya diam di tempat ku. Tapi lama-kelamaan aku mengerti apa yang di maksud ayah. Aku berdiri menatap ayah. Tidak menangis, tidak berkata apa-apa. Hanya diam mendengarkan lanjutan dari rentetan cercaan yang masih akan di lontarkan Tuan Ridwan Tanubrata.
Sekuat tenaga aku menahan dengusan sinis yang akan memperkeruh suasana. Pada titik ini aku sudah kehabisan kesabaran untuk menghormati orang yang berstatus sebagai ayah kandung ku.
"Kamu tahu? Kakek mu bertanya terus kemana kamu dan ayah tidak bisa mengatakan kamu ada dimana! Kamu menghilang seharian dan tidak ada satu pun dari kami yang bisa menghubungi mu! Kamu tahu, kakek mu men-cap ayah tidak becus merawat anak" Telunjuk Tuan Ridwan Tanubrata menunjuk-nujuk muka ku sesuka hatinya. Memang dia pikir muka ku ini apa? Tapi aku hanya bisa diam. Semakin aku membela diri maka aku yang semakin salah di matanya. "Senang kau sudah? Bikin malu saja bisanya! Anak tidak berguna." Umpat nya.
"Bukannya kau memang tidak becus menjadi ayah?" Sayangnya ejekan ini hanya mampu ku ucapkan dalam hati. Bisa tambah runyam urusannya jika ku suarakan dengan lantang. Tidak perlu di ragukan lagi darah temperamen dan keras kepala di keluarga ini mengalir dari siapa. Siapa lagi jika bukan Tuan Ridwan Tanubrata yang terhormat dan maha tinggi ini sampai harga diri saja ribet banget urusannya.
Dari sudut mata ku dapat ku lihat jika semua anggota 'keluarga' ku yang lain secara lengkap —keucali Kak Deon karena ia tinggal di Semarang bersama nenek—menyaksikan pertunjukan sinetron antara aku dan Tuan Ridwan Tanubrata dengan judul sinetron "Ayah Tak Becus Anak Di Persalahkan"
Para pembantu juga pasti berdatangan setelah mendengar suara tamparaan keras yang menggema. Sudut bibir ku sampai robek dan memar di pipi ku akan terus ber-bekas hingga besok jika tidak segera di kompres.
"Jadi kau mengerti? Besok segera pergi ke rumah kakek mu dan jelaskan kemana kamu pergi padanya" Tuan Ridwan Tanubrata mengakhiri ceramahnya dengan tetap berlagak arogan "Dan ingat, jangan buat malu keluarga."
Aku tetap diam mematung. Dalam hati menghitung waktu sampai kapan aku bisa bertahan. Bertahan tidak ikut mengeluarkan umpatan juga maksud ku. Karena jika hanya untuk bertahan di caci maki aku yakin diri ku telah membangun daya tahan yang tidak akan hancur tapi untuk mengerem mulut ku, aku tidak bisa janji.
"Kamu mengerti?" Desisnya tajam di depan wajah ku.
Aku mengangguk. Terlalu malas membuang tenaga sekadar untuk ngomong menanggapi orang tua di depan ku. Nama baik, nama baik, nama baik saja yang di pikirkannya. Membuat ku muak. Memang dia pikir aku ini boneka?
Tiba-tiba kepala ku tertarik ke belakang, tangan orang ini dengan seenaknya menarik rambut ku kebelakang dengan cukup keras. Aku cukup yakin ada beberapa helai rambut ku yang rontok.
Don't judge book by it's cover, peribahasa yang sering di dengar dan paling sering berlaku di kehidupan nyata. Orang di depan ku memiliki wajah rupawan uang berhasil memikat hati ibu, namun sayang hatinya terlalu bengis untuk ukuran manusia.
"Aku tanya, sekali lagi, apa kamu mengerti?"
"Iya. Aku mengerti" Setelahnya ia melepaskan begitu saja cengkeraman-nya pada rambut ku dengan sedikit menghentak hingga tubuh ku jatuh terduduk. Tidak ada yang bergeming, semua tetap diam di tempat mereka masing-masing kecuali ayah yang langsung pergi dari tempat kejadian.
Kemudian satu-per-satu keluarga ku meninggalkan tempat ini. Yang paling akhir meninggalkan ruangan adalah Andros, dia menatap ku lama sekali tengan tatapan yang sukar untuk ku artikan, tapi aku tahu jenis tatapan itu tatapan kasihan saat kita melihat pemulung tua renta, tatapan kasihan saat melihat anak jalanan yang harus berusaha untuk sesuap nasi. Darah di dalam diri ku bergejolak marah. "Aku tidak butuh tatapan kasihan mu" Ucap ku dingin. Mata ku menatap lurus ke manik matanya yang sama dengan milik ku cokelat terang.
Andros tidak melakukan apa-apa lagi. Ia memalingkan wajahnya dan ikut pergi seperti yang lain. Sepeninggal semua orang aku berdiri dan pergi ke dapur.
Para pembantu berdiri berjajar dengan raut cemas. Tidak ada satupun dari mereka yang berani keluar karena takut ikut kena imbasnya jika secara terang-terangan membantu ku. Aku tidak menyalahkan mereka, salah ku saja kenapa bisa memiliki ayah seberutal itu.
Di dapur, sesuai perkiraan ku sudah tersedia baskom berisikan air hangat untuk mengompres lebam di pipi kanan ku. Juga untuk sudut bibir ku yang berdarah.
Mereka menanyakan apa aku baik-baik saja. Apa yang aku perlukan, atau apa aku ingin sesuatu. Aku menggeleng dan fokus mengompres 'luka' ku.
"Nona jangan terlalu memaksakan diri, jika sakit tidak usah di tahan" Ujar salah seorang pembantu yang meringis sendiri melihaat ku mengompres luka ku.
"Tidak apa, ini tidak sesakit itu"
"Nona yang kuat ya, tuan besar memang begitu orang nya. Jangan terlalu di ambil hati"
Aku memegang kain kompres dengan sedikit gamang sekarang. Aku berpikir jika ada kompres yang mampu mengompres hati ku aku akan meminta satu saja. Ringisan sakit yang aku tahan sedari tadi keluar sekarang. Aku benci saat seperti ini. Para pembantu di sekeliling ku memandang ku kasihan. Ingin rasanya aku berteriak jika aku tidak perlu mereka kasihani. Setelah merasa cukup aku pergi dari dapur dan langsung masuk dari kamar ku begitu saja mengganti pakaian ku dengan kaus dan celana olahraga nerwarna hitam serta hodie abu-abu. Aku perlu lari sekarang untuk menjernihkan pikiran ku sebelum aku gila.
...
Jam setengah 7 lebih sepuluh menit, pagi hari di kamar ku. Aku terbangun dengan sedikit tersentak.
Aku terlambat bangun!
Aku harus cepat siap-siap ke sekolah jika tidak ingin terlambat. Di jam seperti ini Andros biasanya sudah berangkat sekolah tidak ada pilihan lain bagi ku selain mencari kendaraan umum tercepat, menghubungi Jim dan meminta supir terlintas di benak ku tapi hanya sekilas. Mulut nyinyir Jim membuatku bergidik duluan walau hanya membayangkannya. Ocehan-nya yang tidak perlu, hal-hal yang tidak berguna, pemborosan uang yang tidak perlu. Tidak, tidak, tidak, jangan biarkan aku tuli di usia dini. Celotehan guru piket akan lebih baik dari pada mulut nyinyir Jim paling-paling juga hukumanya lari lapangan.
Mandi bebek andalan ku, ku keluarkan dan sesi basuh-membasuh tubuh menjadi sangat menyakitkan pagi ini, terutama saat mencuci muka. Seusai dugaan ku, bekas tamparan semalam kini berubah menjadi jejak kemerahan di pipi kanan ku. Aku harus menyediakan waktu ekstra untuk menunutupinya dengan bedak.
Di kamar aku menyusun buku pelajaran hari ini. Menjejalkan baju olahraga ke dalam ransel dan menyelipkan bedak di sela tas tidak ada waktu jika masih harus memakai bedak saat ini. Nanti saja jika aku sudah berada di dalam kendaraan.
Keluar dari kamar ku aku, sengaja tidak melalui pintu yang menghubungkan kamar dengan ruang makan. Aku juga, sengaja tidak memakai kamar mandi yang ada di dekat ruang makan. Aku memutar lewat pintu samping ke kamar mandi yang biasa di pakai pembantu.
Yang aneh adalah saat membuka pintu pagar samping. Mobil biru gelap yang ku kenali sebagai mobil milik Andros —hadiah dari ayah saat ia masuk SMA— mengahadang jalan ku. Perlahan kaca jendela terbuka menampakkan wajah Andros
"Masuk" Perintahnya.
Aku ingin menolak tapi tidak ada cukup waktu kecuali aku sungguh ingin telat masuk sekolah. Di mobil seperti biasa tidak ada percakapan yang terjadi. Ku raih bedak yang tadi aku selipkan di dalam tas dan mulai memulas muka terutama di pipi kanan ku hingga memarnya tidak terlalu kentara. Masih terlihat sebenarnya jika di perhatikan tapi selama sudah tidak mencolok lagi tidak ada masalah kan lucu jika aku bukan sampai sekolah tapi nyasar ke kantor Komnas HAM atau KPAI dengan kasus KDRT bisa-bisa bukan hanya KDRT justru lansung 'lewat' di gibeng Tuan Ridwan Tanubrata.
Dunia ini memang kejam dan hidup memang berat aku tahu itu, tapi aku juga masih belum siap mati. Masih banyak dosa yang aku lakukan terutama dalam hal mengatai seluruh anggota keluarga ku dengan segala perbendaharaan kata –yang tidak sepantasnya ku sebutkan pada kalian– meski hanya dalam hati dan nasib ku yang sial setidaknya kejam dunia masih tidak seberat kejam nya api neraka. Jadi bagi kalian yang ingin bunuh diri ingat-ingat saja api neraka, luka bakar aja sakit nya minta ampun apa lagi ke bakar terus badannya. Hii.. banyak-banyak tobat aja dulu.
Saat aku masih berkutat dengan segala imajinasi ku Andros meletakkan kotak makan kecil di pangkuan ku yang berisi roti tawar dengan olesan krim keju dan sekotak susu cokelat 250 ml dengan merk yang biasa aku minum di pangkuan ku.
"Makan" Perintah Andros singkat padat dan jelas. Aku melirik Andros yang pandangannya tidak berpindah sedikit pun dari jalan raya.
Ku mengembalikan lagi dua benda itu pada Andros "Aku tidak butuh"
Sial!! Bahkan untuk bicara saja mulut ku sakit untuk di buka. Aku meringis kecil dan reflek memgang sudut bibir ku sebelum tangan ku sampai di sudut bibir ku yang luka tangan Andros lebih dulu menahan tangan ku
"Jangan di pegang nanti malah infeksi. Dan makan. Aku tidak menerima penolakan" Suara Andros terdengar dingin dan tegas. Kali ini karena lampuh lalu lintas berubah warna menjadi merah Andros menatap ku sepenuhnya.
"Iya. Aku makan. Sekarang kamu foskus aja sama nyetirnya tuh udah berubah hijau lampunya"
Andros baru menuruti ku setelah aku menuruti perintah nya dan mulai dari meminum susu terlebih dahulu. Aku belum makan sama sekali sejak terakhir makan kue bersama Val dan yang lain hingga aku menyadari sesuatu.
"Andros kurasa kamu sudah melewatkan tikungan tempat biasanya kamu menurunkan ku" aku mengingatkan Andros siapa tahu Andros lupa.
"Kamu mau jalan setelah tadi malam kamu lari sampai lewat tengah malam?"
"Dari mana kamu tahu?" Aku sedikit tercengang. "Ah sudahlah tidak penting kamu tahu dari mana aku lari tadi malam, yang penting turunkan aku sekarang juga!"
Tidak mempan. Andros tetap fokus menyetir tanpa mengindahkan perkataan ku. "Jika kamu tidak berhenti sekarang aku akan lompat dari mobil" Tanpa menunggu reaksi Andros aku langsung membuka pintu mobil
"Kamu gila!!" Andros membanting setir ke kiri dan menghentikan mobil tak menyia-nyiakan kesempatan yang ada aku segera turun dari mobil dan, segera berlari menjauh sebelum Andros turun mengejar.
Saat tiba di sekolah napas ku tidak beraturan sama sekali. Aku duduk di bawah pohon sembari mengistirahatkan kaki juga ubtuk mengumpulkan napas yang hanya tersisa setengah.
"Andros!"
"Kyaa!! Andros datang! Andros datang!" Pekik hampir semua, murid berjenis kelamin perempuan.
Tunggu? Dia baru datang? Ada apa dengannya, tidak mungkin mobil sport melaju layaknya siput... Jangan bilang dia mengikuti ku dari belakang. Ku geleng-geleng kan kepala berulang kali mengenyah pikiran itu jauh-jauh dari otak ku. Tidak mungkin seperti itu. Andros keluar dan berdiri di samping mobilnya tidak bergerak dan memandang ke arah ku. Padangan kami bertemu. Ada apa dengan Andros sebenarnya? Apa dia salah makan? Andros aneh sekali hari ini.
"Andrea!"
"Aaa!" Sebuah teriakan di sertai tangan yang menyentuh pundak ku membuat ku terkejut setengah mati.
"Val!!" Teriak ku keras-keras. Tidak tahu apa orang lagi capek sekarang malah pake acara ngagetin segala.
"Ngapain Re? Capek amat keliatannya,"
"Diam dulu bisa nggak sih?" Sahut ku ketus sementara tangan ku sibuk mengobrak-abrik tas dan crap. Aku lupa bawa botol minum.
"Nih minum" Val mengangsurkan botol minum kemasan. Kupandangi botol itu dan Val bergantian.
"Tenang belum aku minum kok. Lihat nih, masih ada segelnya kan?" Val membuka tutup botol dan terdengar bunyi krek segel botol.
"Thanks,"Tanpa malu lagi ku minum setelah puas ku masukkan botol dalam tas "Nanti aku ganti airnya"
"Cuma airnya? Nggak mau di tambah yang lain? Kue gitu? Camilan? Atau es krim barang kali? "
"Jangan kayak anak kecil deh. Nanti aku telpon Kak Rendra habis kau" Ancam ku
"Ya Andrea kok kejam banget sih. Jangan gitu dong" Aku tertawa penuh kemenangan mendengar nada memelas Val, kemarin Kak Rendra memberikan nomor teleponnya dan mengatakan pada ku jika dua orang ini —kak Hera dan Val— mengganggu ku aku bebas menelpon Kak Rendra kapan pun aku mau tentu saja itu tidak sungguhan, buat apa menelpon Kak Rendra yang sibuk hanya untuk masalah sepele yang tidak penting?
"Makanya jangan macam-macam sama Andrea. Udah deh singkirin muka memelas mu bikin aku mau muntah nih. Mending aku tunjukin kantor kepsek aja ke kamu. Kamu perlu ke kantor TU dulu kan? Atau mau ke kantor kepsek?" Tanya ku dengan nada mnggoda. "Kantor BK kalau perlu"
"Apaan sih Re, ngapain juga pake kantor BK? Baru juga masuk masa langsung ke kantor BK" Protes Val.
Aku tertawa. "Ok, ok. Ke TU dulu kalo gitu. Yuk"
Val mengangguk. Setelah menunjukkan letak kantor TU kepada Val aku berjalan ke kelas dan menunggu bel masuk berbunyi dengan sejuta pikiran di otak ku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments
Eca Ayunie
visualnya d part mna yak....seru ini...ga bisa nebak jln ceritanya
2020-10-26
0
Cathy Yulianti
kazian andrea...
2020-04-01
3
MikhaiLa
Andrea Jgn Lembekk
emanG dosa Jdi anak Durhaka Tp kLu KeLuarga seperti Itu anak baik Manapun Tetap Jdi anak durHaka
klu setiap hari di asingkan
2020-03-23
1