Minggu pagi sesuai dengan yang ku sepakati dengan Kak Hera, aku akan ikut menjemput adiknya yang bernama Val-entah apa lanjutannya- di bandara.
Dari awal aku tahu akan mendapat tugas sebagai 'baby sitter' hingga detik ini aku tidak tahu sama sekali seperti apa orang yang akan aku 'emong' nantinya. Tidak nama, tidak orang, tidak foto. Hanya sepenggal nama Val saja yang aku tahu.
Demi acara penjemputan ini pula yang membuat ku rela mengurangi jatah tidur hari libur untuk menjemput Val karena pesawatnya akan mendarat pukul 8 pagi.
Sebuah keajaiban untuk ku di hari libur ini, jam 6 pagi aku telah rapi siap keluar rumah. Untuk acara, keluarga saja paling pagi aku bangun jam sembilan, satu jam sebelum acara di mulai. Itu juga karena kami masih harus pergi ke tempat acara berlangsung, rumah kakek alias ayah dari tuan Ridwan Tanubrata a.k.a Tuan Besar Toni Tanubrata. Mungkin jika acara bulanan ini diadakan di rumah ayah, aku akan bangun lima belas menit sebelum acara. Mandi limat menit, pakai baju lima menit dan muncul di menit-menit terakhir sebelum acara di mulai.
Itu akan menjadi hal yang sangat indah di hari libur. Dalam kamus ku libur dan bangun siang adalah satu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.
"Mbak Andrea?" Aku melihat supir taksi online yang ku pesan sudah tiba di depan rumah. Aku mengangguk dan masuk ke dalam taksi.
"Pak Indra?"
"Iya mbak, tujuannya ke bandara kan pagi ini"
"Iya pak" Pagi ini aku sengaja tidak menelpon Jim untuk menyediakan sopir untuk ku seperti biasanya dan lebih memilih mengandalakan jasa taksi online.
Agar orang rumah tidak bingung mencari ku aku meninggalkan pesan di kulkas jika aku pergi dari pagi karena ada urusan mendadak serta untuk menghindari segala gangguan aku men-silent handphone ku sampai batas waktu yang tidak di tentukan.
Di dalam taksi mata ku kembali terasa lengket seperti ada lem super yang dioleskan di kedua kelopak mata ku. Tidak. Aku tidak boleh tidur jika tidak ingin blouse biru yang aku pakai kusut. Jangan sampai kamu tertidur Andrea. Jangan...
"Mbak, mbak Andrea"
"Hah, ya?" Aku bertanya linglung
"Sudah sampai di bandara mbak"
"Ah iya, dimana?" Tanya ku lagi masih bekum nyambung
"Di bandara mbak" Jawab Pak Indra sabar.
Seakan listrik menyengat tubuh ku aku terlonjak "Ya ampun! Maaf pak, maaf saya ketiduran. Saya nggak sengaja pak"
"Iya, nggak apa-apa mbak"
Aku segera merogoh uang dari dompet uang sudah aku sediakan sambil terus meurutuki diriku sendiri. Bisa-bisanya aku ketiduran di dalam taksi dengan orang yang tidak aku kenal. Untung saja Pak Indra ini orang baik tidak mengapa-apakan aku dan justru membiarkan aku tidur nyenyak sepanjang perjalanan, jika tidak? Bisa saja sekarang bukannya sampai di bandara bisa jadi aku sampai di tempat penjualan manusia. Hii... Udah nggak usah di bayangin ngeri sendiri aku nanti
"Ini pak" aku menyerahkan beberapa lembar uang dan keluar dari taksi
Belum ada sepuluh langkah aku berjalan aku merasa ada yang memanggilku
"Eh mbak, mbak Andrea" Ternyata pak Indra supir taksi yang tadi aku naiki
"Mbak uang nya kelebihan banyak"
Hati ku tersentuh. Pak Indra ternyata berlari untuk mengembalikan uang yang sengaja aku beri tadi sebahai bonus. Jarang-jarang di zaman sekarang ini masih ada orang seperti Pak Indra yang baik dan jujur.
"Nggak pak, nggak apa. Saya memang kasih lebih buat bapak soalnya bapak sudah mau mengantar saya pagi-pagi buta kayak begini"
"Tapi mbak-"
"Tidak masalah kok pak. Hitung-hitung bapak juga membiarkan saya tidur sebentar tadi. Saya terbantu banget lho pak. Anggap saja rezeki untuk bapak dan keluarga bapak"
"Alhamdulillah. Terima kasih ya mbak, terimakasih banyak"
"Iya sama-sam pak. Saya duluan pak, teman saya sudah menunggu di dalam"
"Oh iya monggo, monggo. Silahka mbak mbak. Semoga harinya menyenangkan"
"Iya pak. Terimakasih, semoga hari bapak juga menyenangkan"
Setelanya aku kembali masuk ke dalam bandara. Aku melihat jam tangan masih jam setengah 8 untung nggak telat.
Di terminal international arrival aku sudah melihat kak Hera duduk di salah satu bangku tunggu dengan bermain handphone. Aku segera menghampiri kak Hera "Pagi kak, maaf aku telat"
Kak Hera mengangkat wajahnya dari layar handphone, matanya memancarkan kelegaan "Kamu akhirnya datang Re! Aku sudah pikir kamu nggak datang lho. Uggh.. aku bosen dari tadi nunggu di sini. Gara-gara terlalu exited berangkatnya jadi kepagian ke bandara. Kamu juga sih, mau sekalian aku jemput kamu nya malah nggak mau"
"Hahaha" Aku hanya bisa terbawa garing saja. Rumah ku dan rumah kak Hera ibarat dari utara ke selatan dan bandara itu ibarat kalo kita mau pergi ke timur. Bisa kebayangkan kak Hera harus bangun jam berapa kalo masih harus jemput aku?
Detik berikutnya berkat bakat ke-supelan dari kak Hera cerita-cerita meluncur dari mulutnya. Aku menjadi pendengar yang setia, mendengarkan sambil sesekali menanggapi ceritanya. Jika kak Hera cerita semua hal akan di katakannya. Mulai dari topik berbobot seperti masalah bencana yang terjadi di belahan dunia lain sana, lukisan-lukisan ku yang akan di pajang di salah satu hotel mereka -lagi-lagi sampai topik nggak penting jika teman satu kelas ku ada yang suka ngupil!
Tapi ya, aku dengarkan saja. Toh nggak ada ruginya juga. Sampai pengumuman pesawat dengan tujuan New York–Indonesia telah mendarat barulah kami menghentikan percakapan dan berdiri bersama ratusan orang lainnya untuk mencari orang yang di tunggu kedatangannya.
Kak Hera mengangkat papan berukuran sedang bertuliskan Valen Sastrawijaya. Jadi itu nama lengkap adik kak Hera. Sebagai info agar tidak bingung, adik kak Hera sebenarnya lebih tua dari ku dua tahun jadi jika di urut umur Val seharunya sama dengan Farrel dan seharusnya juga ia sudah duduk di kelas 12 saat ini, tapi karena kecelakaan tragis yang terjadi dua tahun lalu, tepat saat hari pertama ia menjadi siswa SMA. Saat di tengah jalan menuju sekolah tiba-tiba saja mobilnya di tabrak keras dari arah berlawanan oleh truk yang melaju kencang.
Akibatnya Val mengalami koma satu tahun dan untuk memulihkan fisiknya yang lemah setelah hanya terbaring selama satu setengah tahun lamanya Val membutuhkan nyaris setengah tahun lagi sebelum benar-benar di nyatakan sehat setelah menjalani seeangkaian terapi syaraf agar Val dapat berjalan dengan benar lagi. Dan itu juga yang menjadi alasan kenapa Val terlambat kembali ke Indinesia hingga satu bulan dan melewatkan kegiatan pengenalan lingkungan sekolah.
"Kakak!" Di kejauhan aku melihat pria yang sebaya dengan ku sedang melambaikan tangan pada kak Hera. Val , ini pertama kalinya aku melihat sosok Val setelah hanya mendengar cerita dari Kak Hera.
Rambutnya lurus hitam legam, sama hitamnya dengan kedua netranya. Tubuhnya tinggi atletis, tidak ada jejak jika sebenarnya ia baru saja pulih dari koma. Bibir tipisnya tersenyum lebar, memeluk tubuh kak Hera. Lucu, tubuh kak Hera yang biasanya terlihat tinggi saat berdiri di sampingku terlihat kecil tidak ada apa-apa nya di banding tubuh Val. Aku berasa jadi manusia kerdil berdiri di samping keuda orang ini. Tahu film The Lord of The Ring? Jika di ibaratkan film tersebut sutradara akan senang hati menempatkanku sebagai peran hobbit dengan kependekan tubuh ku.
Aku melihat mereka berdua. Ada rasa, iri dalam hati ku. Sebentar aku membayangkan jika salah, satu dari kakak-kakak ku memeluk ku sepertu Val memeluk kakanya maka aku akan merasa sangat senang. Mereka terlihat sangat akrab satu sama lain. Mungkin jika ini adalah bagian dari adegan novel maka ini akan menjadi epilog yang sangat bagus. Kedua tokoh berpelukan hangat setelah berpisah selama dua tahun, finaly terucap lah kata-kata happily ever after. End.
"Nah, Val ini Andrea yang sering ku ceritakan padamu. Nanti kamu akan satu kelas dengan Andrea dan Andrea akan membantu mu beradaptasi di sekokah nantinya" Kak Hera mengenalkan ku pada Val.
Aku mengulurkan tangan "Andrea" ucap ku di sertai senyuman di wajah memberi kesan pertama yang baik wajib untuk di lakukan.
Val membalas uluran tanganku dengan senyum yang tak kalah lebarnya dengan yang do tunjukkan pada Kak Hera. Senyum Val tampak polos dan sedikit mengingatkan ku pada senyum anak kecil tanpa beban dan tulus. "Aku Val. Senang bertemu dengan mu Andrea"
"Yak!" Kak Hera bertepuk tangan satu kali "Kalian sudah kenalan sekarang waktunya kita jalan-jalan!" Seru Kak Hera riang tengan kanannya mengamit tangan kiri Val yang tidak membawa koper dan tangan kiri kak Hera mengamit tangan ku. Mungkin jika ukuran badan ku dan Val sekecil anak Tk maka Kak Hera akan terlihat seperti seirang ibu yang menggandeng tangan anak-anaknya.
"Sekarang kita mau ke mana dulu? Dufan? Ancol? Atau kamu mau ke.."
"Kak, apa sebaiknya Val nggak dibiarkan istirahat di rumah dulu? Perjalanan New York Jakarta nggak deket kak" aku memotong perkataan kak Hera. Tidak sopan memang tapi, kasihan juga jika Val masih harus di ajak keliling padahal baru saja mendarat. Mungkin saja Val jet lag, atau apalah, aku saja yang perjalanan dari Jakarta ke Bandung wanktu nyampe bawaannya mau soulmate-an sama kasur terus.
"Aku nggak capek kok. Malah kangen Jakarta dua tahun di New York dengan satu tahun koma dan satu tahun lagi stay di rumah sakit bikin energi aku penuh rasanya, kerjanya cuma di kasur terus" Dari kursi belakang Val menyahut.
"Tapi kata Andrea bener. Kamu baru perjalanan jauh. Gini aja, sekarang kita ke rumah dulu. Kamu istirahat bentar nanti kakak masakin makanan kesukaan mu. Sama Andrea juga. Kamu tahu masakan Andrea enak banget lho" Kak Hera mengedipkan satu matanya.
"Kamu bisa masak juga Andrea?" Seru Val takjub
Aku meringis dan mengangguk dasar kak Hera.
Val manggut-mamggut. "Jarang lho sekarang ada cewek yang bisa masak. Mama aja nggak bisa masak. Salut aja sih aku sama cewek yang bisa masak" Ujar Val sebelum kemudian ia garuk-garuk kepala "Aku berlebihan ya? Kamu belajar masak di mana? Kak Hera biar bisa masak makanan layak makan aja kursus satu tahun lebih"
"Yang itu jangan di ceritain juga dong Val!" Protes Kak Hera.
Val tertawa terbahak "Kamu tahu Andrea? Pertama kali kak Hera menunjukkan hasil dari kursus nya Kak Hera nyaris membuat satu rumah sakit perut berjamaah waktu itu. Untung saja aku tidak ikut makan masakannya kak Hera"
"Val!" Seru Kak Hera semakin keras.
Aku kembali terdiam menyaksikan keduanya. Ini seperti hiburan menarik bagi ku setelah mengalami sendiri hubungan yang tidak harmonis antar saudara di keluarga ku sendiri. Kursus? Aku ingin mendengus rasanya. Jika bisa memasak karena lebih sering di asuh di dapur oleh pembantu di sebut kursus, maka itu akan menjadi kursus yang sangat hebat.
Dulu, jauh sebelum aku memegang kuas dan cat aku lebih dulu mahir memainkan pisau dan spatula. Bermain dengan bumbu-bumbu sebelum aku kembali dilarang memasak. Aku masih teringat kata-kata ayah saat tahu aku sering ikut membantu memasak bersama para pembantu
"Kamu mau mempermalukan keluarga hah?! Kalau kamu ingin jadi pembantu jangan tinggal di sini lagi! Pergi dan jangan tunjukkan wajah mu pada ku lagi!"
Sadis? Memang, terlebih orang yang mengatakan itu adalah ayah ku sendiri. Mungkin jika kalimat menyakitkan itu di ucapkan sekarang tidak akan terlalu masalah untuk ku, tapi kata-kata itu di ucapkan sebelas tahun lalu. Saat usia ku baru lima tahun dan ingin menunjukkan jika aku bisa membuat brownis yang enak dengan harapan ayah akan bangga pada ku. Jika aku tahu cacian yang akan aku terima tentu saja aku tidak akan melakukan hal bodoh itu.
Melihat brownis yang aku hias susah payah dan aku letakkan dalam piring yang indah hancur berantakan karena tangan ku di tepis ayah.
Waktu itu bukan hanya aku sendiri yang menangis. Tapi para pembantu yang mengajariku juga ikut menangis. Tidak salahkan jika aku mengatakan aku adalah anak pembantu.
"An, Andrea kamu mau kan bantu kakak masak?" Guncang di pundak kubuat ku tersadar. Segera aku mengganti mimik muka ku. Semoga saja tidak ada yang melihat raut wajah ku tadi.
"Tenang kak, aku bantu nanti. Jangan khawatir"
"Bagus kalo begitu. Sekarang kita ke supermarket!"
"Hore!" Sorakan Val menggebu "Aku mau nyetok camilan. Bener-bener lama rasanya aku nggak pernah makan kue lagi"
Aku dan Kak Hera tertawa bersama. Val tak ada ubah nya anak kecil. Kami mengambil troli belanja hingga dua, Val sebagai pelaku yang mengambil troli ekstra memasang watados pada kami. Kak Hera menganggapi dengan santai dan mengatakan "Peecayalah Re, kita membutuhkan dua troli saat ini"
Secara resmi rombongan kami di bagi menkadi dua kubu. Satu kubu untuk membeli bahan makanan yang di butuhkan dan sisanya membeli segala camilan yang di jumpai. Kak Hera yang awalnya mengambil sayur bersama ku lama-lama menghilang dan sekarang Kak Hera juga ikut-ikutan Val berburu camilan di supermarket ini.
Aku mendorong troli menyusuri rak sayur-sayuran. Karena tidak ada list belanja aku harus berusaha mengingat apa saja yang harus aku beli dan apa yang sudah atau belum aku beli.
"Brokoli, baby corn, wortel, sawi putih, sawi daging, tomat, timun, apa lagi yang belum ya?" Uggh.. Kak Hera memang benar troli yang digunakan untuk membeli bahan makanan sudah penuh padahal masih ada yang belun terbeli.
Mendadak saat aku masih memikirkan apa yang haru kubeli lagi rroli yang aku dorong terasa jauh lebih ringan.
"Va.. Val?" Aku terkejut melihat kediran Val di samping ku. Bukannya Val bilang dia mau beli camilan ya? Rak camilankan jauh dari sini "Kenapa kami di sini Val, katanya kamu mau beli camilan? Sudah selesai? Kak Hera kemana?"
"Satu-satu dong tanya nya aku jadi bingung mau jawab yang mana dulu" Aku menundukkan kepala karena malu, Val terkekeh melihat ku.
"Tadi nya aku mau beli camilan tapi Kak Hera kayaknya lebig bersemangat dari ku membeli camilan. Troli yang ku bawa di ambil alih oleh Kak Hera, dari pada aku ribut masalah camilan lebih baik aku membantu mu membeli sayur saja. Aku yakin Kak Hera sudah membeli banyak camilan saat ini" Val mendorong troli menjauh dari ku. "Apa lagi yang harus di beli? Ayo aku bantu"
"Eh..eh, tunggu Val! Kau kan baru sembuh masa kamu yang bawa troli? Sini aku saja yang membawanya"
"Jangan dong Andrea, trolinya berat masa kamu yang bawa troli nya? Apa gunanya aku sebagai cowok kalau begitu?" Muka memelas Val sangat msnggemaskan membuat ku tidak berdaya menghadapinya.
"Ya.. justru karena berat aku yang membawa trolinya,"
"Tidak. Aku tidak akan membiarkan perempuan melalukan hal berat semacam ini di depan mata ku terutama perempuan yang aku kenal. Tidak akan pernah" Kata-kata Val entah bagaima membuat pipi ku bersemu.
"Hufft" Aku menghela napas. "Paling tidak kita mendorong nya bersama dengan begitu troli ini tidak terlalu berat" Ku jajarkan tubuh ku di samping Val dan mulai mendorong troli ini bersama.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments