Cinta Dalam Senandung Rindu

Cinta Dalam Senandung Rindu

1. Kekasihku, gadis yang bercadar

Berawal dengan sebuah alunan qasidah arab yang diiringi dengan tiupan seruling yang begitu merdunya. Tak lupa dilengkapi dengan dendangan gendang, serta tabuhan marawis yang begitu meriah. Sehingga para santri pun menyorakinya dengan kata-kata arab “Thoyyib dan Aywah” Sambil menepukkan kedua tangan mereka. Itu adalah sebuah tarian khas budaya Timur Tengah tepatnya dari Yaman. Iya, tarian tersebut memiliki nama “Hajir Marawis” yang tarian tersebut mempersembahkan gerakan yang bermaju mundur, bergerak ke kiri dan ke kanan, berputar-putar, berloncat-loncat, dengan berlika-liku kaki yang telah terlatih.

Tarian ini memang jarang kita temui. Hanya saja tarian ini hadir dalam sebuah Majelis Ta’lim/Pondok Pesantren yang berbasis Arab atau bisa disebut juga Pondok Habib. Habib adalah seorang berdzuriyyah nabi Muhammad SAW atau disebut juga berketurunan nabi Muhammad SAW.

Di tengah-tengah kerumunan santri, ada salah satu anak yang sedang merenung pilu seperti di tindas oleh ribuan masalah. Dialah Salman Alfarisi. Yah… panggil saja Salman. Salman adalah seorang santri yang pendiam dan penurut. Dia sendiri juga tak banyak memiliki kawan. Apalagi, dia sering sekali dibully, dihina oleh kawan-kawannya. Karena dirinya yang pendiam dan kurang asyik tuk bergaul sehingga kawan-kawannya terlalu jengkel dengannya.

“ Salman, ente kenapa?” Tanya seorang sahabatnya dengan raut muka yang mulai kebingungan.

“ Ma fii Sye’ …, Mad”

“ Lah terus kenapa ente bengong kayak gitu? Lihat Shohib-shohib ente... senang riang melihat hajir marawis, Lah…ente malah sequt .” Gumam seorang sahabatnya.

Tak lama kemudian Salman pun terdiam sejenak. Dia mulai terisak-isak membendung air matanya. Dia tak kuat menahan air matanya yang akan mengalir deras. Lantas Salman mengajak Ahmad, sahabat karibnya berlari menuju ke lantai tiga. Itulah tempat jemuran santri.

“Ana gak kuat disini , Mad. Ana pingin waqof .”

Salman yang memulai tuk mengungkapkan seluruh isi hatinya itu, tak lama kemudian air matanya pun mulai mengalir deras,

“Kenapa ente man? Apa ada masalah? Kenapa.? Bicara aja sama ana. Ana kan sahabat ente, man”

Dengan dadanya yang masih menahan isak tangis, Salman pun mulai bercerita,

“Ana udah gak kuat disini, mad. Ana sering dibully shohib-shohib. Ana juga sering dihina, diejek, dan lain-lain. Padahal salah ana apa coba? Ana aja gak pernah mengganggu mereka. Tapi mereka malah suka sekali membully ana”

“Tenang, man. Ente harus sabar. Namanya juga mencari ilmu. Kan orang mencari ilmu pastinya juga banyak cobaannya. Kalau nggak ada cobaanya yah bukan mondok, man”

Salman pun mulai berhenti mengalirkan air matanya. Dia usapan kedua air matanya dan menenangkan isak tangisnya. Lantas dia pun menjawab walaupun air matanya masih saja mengalir.

“Ane sudah tahu mad, kalau orang mondok itu yah harus sabar menerjang dan melewati duri-duri tajam seperti mendapatkan cobaan dan musibah. Tapi bagaimana lagi, nafsu jahat mengajak diriku untuk waqof dari pesantren ini”

“Istighfar ente man… ente sudah kelas berapa? Diniyyah aja udah kelas Tsani Ibtida’. Sedangkan formal ente kelas dua Aliyyah. Sadarlah man, ente udah besar sekarang. Sebenarnya ente sudah bisa berpikir jernih dan tidak berpikir kekanak-kanakan seperti ini…!” Sahut Ahmad walaupun di hatinya masih ada sedikit gejolak kemarahan.

Kini Salman mulai berpikir dewasa. Walaupun dia sudah dikenal masih labil dengan sifatnya yang masih kekanak-kanakan. Karena pergaulan Salman lebih condong memilih untuk berkumpul dengan kawannya yang masih kecil. Dia berpikir bahwa dirinya lebih asyik bergaul dan berkumpul

dengan anak-anak kecil. Meskipun seperti itu, Salman memiliki bakat yang sangat luar biasa. Mulai dari menulis kaligrafi arab, vokal al-banjari, menulis puisi, novel, cerpen. Dan masih banyak lagi bakat-bakat Salman yang masih terpendam.

Percakapan bahasa arabnya wuihhh… jangan dikira. Dia paling suka sekali ngobrol dengan orang Arab Saudi, Yaman, Oman, Mesir, yang mereka berkesempatan untuk datang dan mampir di Pondok Pesantren tercintanya itu. Ahmad pun bergumam di dalam hatinya sembari berkata,

“Yah begitulah watak sahabatku. Kadang dirinya selalu minta waqof…waqof…dan waqof. Tapi nanti kalau filling nya udah enakan yah lupa dah dengan kata-kata waqof itu. Salman…Salman… pingin ketawa tapi takut dosa. Enggak ketawa yah kurang lega. Ealah… anak kok bikin happy aja. Wkwkwk….”

* * * * * * *

Qum…qum…qum… Ayo...ayo…ayo… Sambil terdengar suara pukulan rotan yang menggedor puluhan lemari. Terdengar keras, sehingga para santri pun terbangun dari tidur nyenyaknya. Mereka bersegera mengambil air wudhu’. Adapula yang masih mendepis lemas di tepi dinding kamar. Dan ada juga yang tidur di bawah ranjang, di dalam kamar mandi. Dan masih banyak lagi tempat persembunyian untuk bahan tidur para santri. Sesaat mereka ketahuan pengurus sambil membawa semprotan burung sehingga sesemprot air membasahi wajah mereka. Terkejutnya mereka segera berlari tebirit-birit menjauhi pengurus. Ada juga yang terkena pukulan rotan sampai menjalar merah di tubuhnya, karena sulit dibangunkan.

Setiap harinya para santri dibangunkan sebelum fajar terbit, atau bisa dibilang jam tiga pagi. Mereka dianjurkan bahkan diwajibkan untuk menunaikan shalat tahajjud, membaca Al Quran serta membaca wirid-wirid dan dzikir-dzikir yang telah ditentukan oleh pihak pondok. Tapi lucunya ada yang shalat dua rakaat dengan khusyu’ nya tanpa wudhu, lama sekali sujudnya. Ternyata tak diduga santri tersebut ketiduran dengan posisi sujud. Ada juga setelah menunaikan shalat dua rakaat langsung duduk bersila meletakkan kepalanya di atas paha kirinya. Begitu pulasnya santri tersebut hingga sulit dibangunkan. Kecuali pengurus membawa botol semprotan burung yang berisi air penuh. Beliau pun langung menyiramkan air tersebut di atas kepala santri itu. Seketika teman-temannya serentak berteriak “Ajiiib…. dapet siraman rohani ente dari pengurus. Mampus ente, wkwkwkwk…”

 

Tapi di tengah-tengah keadaan yang ramai dengan kelucuan perilaku yang telah dilakukan oleh salah satu santri disana, ternyata Salman begitu tentramnya menikmati keindahan alam di pagi itu. Dia menyaksikan keindahan alam di lantai empat, iya lantai paling atas. Itu adalah tempat jemuran dan tempat cangkrukan para santri. Dengan kedua matanya yang masih memandang langit yang begitu gelapnya, tiba\-tiba kedua buah matanya menggelinangkan gelinang air linang yang melecap baju takwa putihnya. Ternyata dia menangis. Mungkin dia teringat akan seorang kekasihnya yang tak kunjung datang menghampirimya. Walaupun dulu dia pernah bertemu bertatapan wajah langsung, tapi dengan pertemuannya sekali itu tidak dapat mengobati rasa sakitnya yang menggerogoti kerinduan hatinya itu. Karena di hatinya tertancap ukiran nama Maimunah Al Karimah, kekasih pujangganya. Duniannya dipenuhi dengan Maimunah yang dapat menyinari kegelapan malam dalam mimpi\-mimpi indahnya, tatkala dirinya benar\-benar rindu dengannya.

Tak lama kemudian, dari belakang Ahmad pun memukul punggung Salman. Dia bertanya,

 

“Wahai sahabatku, mengapa engkau berdiri mematung sendirian disini?”

“Gak ada masalah, ada seseorang yang sedang aku rindukan”

“Siapa itu, man? Katakan…!”

Salman tersenyum sendiri. Seakan-akan dirinya terbang di atas langit. Dengan suka cita Salman pun menjawab,

“Maimunah, harem bk itu yah”

“Ceritakan…! Mengapa engkau mencintai Maimunah? Dan siapakah Maimunah itu?” Tanya sahabat karibnya yang benar-benar ingin tahu.

“Maimunah adalah seorang putri kyai. Jadi ceritanya, dulu abi dan umi itu kan ngaji di Pondoknya Kyai Bachtiar, ayahnya Maimunah. Sangking dekatnya abi dan umi Salman dengan Kyai Bachtiar, maka sang Kyai menganggap kami seperti keluarga sendiri. Nah disitulah kisah Salman dan Maimunah dimulai”

Salman pun melanjutkan,

“Ketika itu Salman diajak abi dan umi ke rumah Abah Bachtiar. Abi dan umi sering sowan ke Abah Bachtiar. Dan ketika ana ikut kesana, sekilas ane lihat ada harem lewat di depan ane. Ane pun bingung penuh pertanyaan di pikiran ane. Siapa itu yah? Ane jadi keppo pingin tahu siapa harem itu. Singkat cerita, berapa tahun kemudian Abah Bachtiar memberikan saran ke abi untuk memondokkan ana ke Babul Khairat. Karena putrinya Kyai Bachtiar juga mondok disana. Ana pun menyetujuinya. Ana kira bisa ketemuan sama Maimunah dengan gampangnya. Eh… Ternyata nggak seperti apa yang ane kira. Tapi ane selalu ingin tahu gimana sih Maimunah itu? Ane cuma berharap suatu ketika nanti semoga Allah Swt mempertemukan diriku dan dia, amiin…”

 

Ahmad sedikit terheran akan cerita yang di ungkapkan Salman tadi. Pertanyaan tersebut selalu berputar di benak pikiran Ahmad. Dengan rasa keppo dan ingin tahu, Ahmad pun bertanya,

 

“Apakah Maimunah juga cinta sama ente?”

“Ketika ane udah dapat dua tahun di Babul Khairat, ane mulai penasaran dengan Maimunah. Ane pun mencoba untuk titip salam kepada Maimunah lewat Mak Syiah. Di hari berikutnya Maimunah membalas dengan sekilas perkataan yang dititipkan lewat Mak Syiah. Mak Syiah pun bilang ke ana,

“Man, kata Maimunah salam balik. Sambil senyum-senyum gitu dianya. Oh iya ini dia titip buah-buahan buat kamu.” Dan di situlah ane dan Maimunah mulai saling mencintai.”

“Oooh… Ehm…ehm…, Nah terus bagaimana ente menjalankan hubungan kasmaran ente dengan dia? Padahal nggak ada hape. Apalagi ketemuan.?”

Sahut Salman dengan nada penuh senyuman,

“Ane dan Maimunah hanya berhubungan kasmaran lewat lantunan doa, ane mendoakannya, Maimunah pun juga mendoakan ane. Kami hanya berharap semoga Allah memberikan cinta yang abadi antara ane dan Maimunah”

“Masya Allah man, sungguh kisah cinta yang amat suci sekali. Ente berusaha berjuang demi seorang harem Maimunah”

 

Salman pun mulai mengambil sebuah pena yang ada di dalam saku bajunya. Tak lupa dia juga membawa buku notes kecilnya di dalam saku baju. Dia memulai menulis sebuah sajak\-sajak puisi dengan rapi,

 

Mentari dalam Tahanan

Dulu aku selalu bersama-sama dalam dekapan

cinta…

Mentariku bercurah kan bersinar dalam jiwaku

yang gelap menggulita…

Dia selalu hadir dalam sebuah mimpiku walaupun

hanya sekelibat tak membuat diriku puas akan

bertemu dengannya…

Tapi, kini dia telah tertahan dalam penjara…

Iya, mungkin penjara kebencian ataupun penjara dusta…

Dia menghimpitkan tubuhnya di tepi samudera di bawah

langit yang kian tak menerbitkan cahaya fajar tapi kan

membenamkan siratan senja…

Dirinyapun melipur lara…

Tangisan air matanya berlinang dalam kehazinan

yang mulai berlabuh di tepi hatiku…

Aku menyapanya dalam alunan seruling yang

kian tertiup tak membeku…

Tapi, dia terpaku diatas papan kayu…

Terakhir aku memandang wajahnya

di balik dinding Madrasahku…

Aku melirik di cela-cela pintu…

Akupun menyelipkan surat awamatra

di bawah jeruji penjara yang menggandrung

rindu…

Aku dan dia dalam genggaman serdadu…

Walaupun kata-katanya tak seindah puitis pujangga seperti Fahmi Ilman, tapi baginya sudah berarti untuk mengobati rasa kerindunya yang mulai bertimpas-timpas. Ketika dirinya mengakhiri puisi tersebut, tiba-tiba air matanya mulai berlinang membasahi wajahnya. Sembari mematung terpaku pilu. Dirinya seakan-akan seperti terhempas oleh ribuan masalah. Akan tetapi masalah itu tak lain karena jauh dari kekasih tercintanya, Maimunah. Hatinya berdebar-debar seperti ingin bertemu dengan bidadari. Dan di benak hatinya selalu berkata,

“Maimunah…maimunah…maimunah…”

Dua hari telah berlalu. Salman pun menjalani kehidupan nyatanya yang selalu terhiasi dengan kata-kata Maimunah. Dirinya ingin sekali melihat wajahnya langsung di depan matanya. Tapi apa boleh buat, itu adalah hal yang sangat mustahil baginya “Ta’lim…ta’lim…ta’lim !” Teriak salah satu ustadz yang telah keluar dari kamar musyrifnya.

Salman pun bergegas pergi mengambil dan menata kitab yang akan dia pelajari di Madrasahnya. Iya, hari ini Salman akan belajar nahwu, bahasa arab, fikih, dan siroh nabi. Salman sangat menggemari pelajaran nahwu, bahasa arab, dan pelajaran-pelajaran yang mencangkup ilmu bahasa arab. Apalagi takallam bil a’robiyyahnya , lisannya sangat fasih sekali. Seperti orang asli arab. Begitu juga sahabat karibnya, Ahmad Al Kaff. Memang Al Kaff adalah salah satu gelar daripada cucu nabi Muhammad Saw dari berbagai fam-fam di Indonesia.

Uniknya, walaupun dia seorang cucu nabi. Dia tidak memandang siapapun, apalagi membeda-bedakan. Semuanya sama. Tapi dia lebih suka berkawan dengan ahwal daripada dengan jama’ah . Karena baginya berkawan dengan ahwal asli jawa itu lebih menyenangkan .Dia dapat mengetahui akan khas

budayanya, adat istiadat, makanan kesehariannya, dan masih banyak lagi yang dia dapatkan.

“Orang jawa itu makannya macam-macam. Ada gado-gado, rujak, tahu lontong, soto, rawon, bakso, tempe penyet, dan masih banyak lagi. Kalau kita orang sarapan pagi itu cuma makan roti maryam sama diolesi selai. Kadang kalau enggak gitu syawerma sama minum susu dikasih madu. Udah gitu doang, Man. Kalau makan siang sama malamnya, nasi kebuli, kafsah, biryani. Ane iri man sama ente”

 

Ahmad pun menceritakan seluruh kisah hidupnya di dalam lingkungan keluarganya yang keturunan arab. Salman pun hanya menahan tawanya yang terbahak\-bahak.

Salman dan Ahmad pun sangat menjaga persahabatnya. Apalagi Salman sangat beruntung sekali memiliki sahabat yang berketurunan nabi. Karena Salman selalu mengingat kata\-kata yang pernah disampaikan oleh ustadznya.

 

“Cintailah ahlul bait nabi, maka kalian akan dicintai nabi. Dan apabila nabi sudah mencintai kalian, maka nabi pun akan memberikan syafaat kepada kalian”

 

Tak lama kemudian salah satu temannya memanggil Salman dengan wajah penuh kelelahan tak berdaya. Dengan menghela nafasnya, dia pun berucap.

 

“Man, ente dipanggil Ustadz Fahmi di rumahnya.”

Salman pun terkejut. Dia langsung bergegas pergi menuju ke rumah beliau. Sesampainya disana, Salman mengetuk pintunya sembari mengucapkan salam. Ustadz Fahmi pun membuka pintu rumahnya.

“Assalamu’alaikum ustadz. Lebeykum … Ada yang bisa ane bantu? Katanya antum tadi manggil ane” Tanya Salman yang memulai mencari perhatian ustadznya.

“Salman… sini. Ente masuk sini” Beliau memerintah Salman untuk masuk ke dalam ruang tamu.

“Iya, Ustadz”

“Tenang, Salman. Ustadz sudah mengizinkan ente sama Ustadz Bahrul. Ustadz mau mengajak ente ke Kertosari. Pondok Banat .” Pinta Ustadz Fahmi sambil mengambil kunci mobilnya. Beliau bergegas pergi menaiki mobil yang terbilang mewah itu. Sebut saja mobil BMW. Salman pun mengikuti beliau sambil membuka pintu mobilnya dan segera menaikinya. Di sepanjang jalan dari Lawang hingga ke Pasuruan sangatlah ramai sekali. Ramai itupun karena terpenuhi oleh ribuan kendaraan yang menyebabkan macet total. Seiring waktu kendaraan semakin menjadi-jadi. Bukannya berkurang, malah sebaliknya.

“Mengapa hari ini terlihat macet sekali?”

 

Tanya Salman di benak hatinya. Dia mengingat bahwa hari ini adalah hari minggu. Benarlah bahwa hari ini dibilang

 

macet. Karena kota Malang jika menemui hari sabtu dan minggu jangan dibilang lagi. Pasti selalu macet total. Di bangku belakang, Salman berpikir. Bagaimana ini? Apakah aku akan menemui Maimunah? Ataupun sebaliknya? dan bagaimana diriku bila bertemu dengan sesosok Maimunah?

 

Pertanyaan itu selalu memutari pikiran jernihnya. Tak salah bila Salman memikirkan hal itu. Sudah menjadi biasa bila masa remaja selalu saling mencintai. Tapi apakah Salman akan mengatakan kepada Ustadznya akan cintanya dengan sesosok kekasihnya, Maimunah? Tidak… dia malah merahasiakan atas hubungan cintanya itu. Dia pendam sendiri cinta itu. Cinta yang membuat dirinya selalu terbang melayang diatas langit yang biru.

Dari kejauhan Pesantren Babul Khairat Putri yang berlokasi di Kertosari, Pasuruan mulai muncul terlihat oleh kedua buah mata Salman. Gedung yang menjulang tinggi berlantaikan lima itu seakan\-akan bagaikan hotel penginapan. Tapi sangatlah beruntung sekali bahwa gedung yang menjulang tinggi itu dibangun untuk menampung para santri putri yang setiap harinya untuk belajar dan beribadah.

 

* * * * * * *

 

Di belakang gedung maktabah telah berdiri sebuah gedung berlantaikan dua memanjang ke arah timur dan utara. Itulah Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, serta Diniyah Babul Khairat Putri. Di lantai dua terdapat kelas terdapat seorang gadis bercadar sedang melamun tak menghiraukan siapapun. Sekilas sesaat, Ustadzah Fatimah langsung melemparkan sebuah penghapus papan tulis putih ke arah gadis bercadar itu,

 

“Madza ta’mali ya Maymunah? ”

 

Maimunah seorang gadis bercadar itu bergegas menoleh dan menghadap ke arah Ustadzah Fatimah dengan raut mukanya yang penuh kecemasan dan ketakutan.

 

“Asyufu manadzirul a’lam ” Jawab Maimunah dengan perkataan bahasa arabnya yang fasih.

“Ente tahu nggak? Sekarang waktunya apa! Pelajaran kan…! Makanya dengarkan…!”

Ustadzah Fatimah pun mulai mengangkatkan suara lembutnya hingga menjadi kasar bergejolak kemarahan.

“Alafu Ustadzah…” Sambil menggenggam kedua tangannya seperti orang yang penuh pengharapan.

“Baiklah Maimunah, lain kali jangan diulangi lagi!”

 

Maimunah pun mulai menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengambil bolpoinnya dan selembar kertas putih yang masih bersih tanpa ada coretan sedikit pun. Di tengah\-tengah pelajaran dia pun menulis sebuah syair,

 

“Wahai Salmanku, dunia fanak ini hanyalah semata untukmu. Cintaku benar-benar sudi untuk menerbitkan sebuah mentari di lubuk hatiku. Sinar mentarinya selalu menerangi kegelapan di dalam hatiku tatkala diriku mulai kesepian. Hatiku bisa damai dan tentram bila diriku mendengar sebuah kata namamu. Walaupun diriku tak pernah melihat paras wajah tampanmu. Tapi ketampanan hatimulah yang dapat menghadirkan ribuan air mata kerinduan bagiku.

Wahai Salmanku, ku kira dirimu benar-benar telah memiliki kekasih yang kau cintai lainnya. Duniaku benar-benar telah hancur bagaikan ombak yang menghempas habis bangunan istana pasir. Aku benar-benar cinta dan rindu padamu. Akankah ku harus memendam cinta ini dengan himpitan abadi antara diriku dan dirimu? Bukankah dirimu juga mencintaiku dan merindukan diriku? Akankah para malaikat sang penerang hati dapat mendamaikan dan menyatukan hatiku ini denganmu? Sekali lagi Ana mencintai ente….

Wahai Salmanku, aku benar-benar dimabuk cinta. Aku tak dapat meninggalkan seorang pangeran pujaan hatiku yang selalu kuimpikan di setiap malam. Dirimu saja yang dapat membuatku turut cinta dan rindu padamu. Seakan-akan tubuhku telah terlilit oleh sebuah tali kerinduan. Alangkah indahnya bila dirimu datang menghampiriku. Aku berharap mendapat naungan cinta di bawah tangan abah Muhsin Al Attas. Dan aku pun berharap agar cinta ini akan selalu abadi hingga meninggalkan butiran-butiran kasih sayang yang melekat dan membekas di diri seorang yang menyaksikan atas cinta kita ini”

 

Air mata Maimunah pun mulai mengalir. Dunia cintanya mulai terbangun indah walaupun jauh jaraknya. Ketika mereka ingin mengungkapkan kecintaannya dan kerinduannya, maka dia hanya dapat melihat tulisan yang telah mereka buat. Bila dia ingin saling berkomunikasi, maka doanyalah yang dapat menyampaikan keduanya. Apabila mereka berdua menginginkan untuk saling bertemu, maka mereka hanya mengharapkan pada suatu ketika nanti dipertemukan oleh sang Maha Kuasa.

Benar Pondok Pesantren dengan lebel nama yang sama, akan tetapi tempat lokasinya yang berbeda. Itulah usaha cinta yang dapat dilakukan antara sang Salman dan Maimunah.

 

* * * * * * *

 

Tet..tet..tet, suara bel pulang pun telah berbunyi. Maimunah bergegas mengambil tas hitamnya dan kembali ke kamarnya. Dari kejauhan Maimunah melihat sebuah mobil bernama Mercedes yang telah diparkir di depan rumah Ustadzah Fatimah. Rumah Ustadzah Fatimah berada di dalam lingkup ma’had . Maimunah mengira bahwa itu adalah mobil milik Ustadz Fahmi. Akan tetapi akankah Salman Al Farisi juga berada disitu?. Ah… itu mah mustahil. Paling\-paling itu juga ilusi Maimunah. Tapi memang benar. Bukanlah kemustahilan yang nyata. Ustadz Fahmi yang sedang berjalan bersama sesosok lelaki Salman Al Farisi dengan membawa dua kardus kitab yang akan dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya.

Tak lama kemudian Ustadzah Fatimah memanggil Maimunah.

 

“Ya Maimunah, ta’ali… ”

“Lebeyki…Ya Ustadzah” Jawab seorang Maimunah dengan suaranya yang sangat halus nan lembut sekali.

“Mumpung ada ente tolong buatkan dua cangkir kopi sama ambilkan kue sambosa di dapur. Tadi ustadzah habis beli sambosa. Kalau ente mau ambil juga. Tafaddzoli… ”

“Marhaba ” Jawab Maimunah dengan tubuhnya yang penuh gemetar ketakutan. Dia akan bertemu sang kekasih tercintanya.

Maimunah pun menggerutu kegirangan. Seperti senang ria bercampur ketakutan. Tapi apa boleh buat, Maimunah bergegas menuju ke dapur untuk membuat dua cangkir kopi dan mengambil sepiring sambosa. Setelah mendekati jarak antara Maimunah dan Salman, dia pun bertambah bergemetar tubuhnya. Air mata cintanya menetes dari kedua mata cantiknya. Dia usapkan air matanya dengan kebaya hitamnya yang indah nan anggun. Akhirnya Maimunah pun mendekati mereka berdua, dan memberikannya kepada mereka berdua.

“Tafadzol ya ustadz.” Sambil menatap kedua mata Salman tanpa sepengetahuan Ustadz Fahmi. Salman pun membalas senyumannya yang memukau. Sedangkan Ustadz Fahmi menghiraukan mereka berdua seakan-akan tak tahu apa-apa.

 

Itulah cinta yang dapat mereka pertemukan yaitu hanya dapat melihat tampang mukanya yang hanya saling memandang. Dan hanya sekedar balas membalas senyuman saja. Itulah sebuah obat yang dapat membahagiakan hati sang Salman dan Maimunah. Cinta itu tidak harus bersentuhan kulit dengan kulit, akan tetapi cinta itu sudah cukup diungkapkan dengan tatapan kedua mata yang saling memandang. Dan itulah cinta suci yang sesungguhnya, bukan cinta yang didustakan dengan kesyahwatan dari mereka berdua.

 

Terpopuler

Comments

Penjaga Hati

Penjaga Hati

hai kk ceritanya menarik, baru baca satu episode aku suka.
aku dah like, rate 5 dan favorit
mampir juga ya dikaryaku
-cinta Maya
-Aku mencintai doaenku
feedback ya kk🙏

2020-07-10

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!