Yanabii Salam A’laika… Yarosul Salam A’laika… Yahabiib Salam A’laika… Sholawatullah A’laika…
Sebuah lantunan sholawat memuji sang baginda nabi Muhammad Saw, telah dinyanyikan oleh seluruh para santri putra “Babul Khairat”. Banyak dari mereka yang bercanda tatkala acara pembacaan “Mahallul Qiyam” tersebut dinyanyikan. Ada juga yang berbicara kepada teman sebelahnya tanpa ada faedahnya. Akan tetapi di dalam kegiatan pembacaan maulid “Ad diba’i” yang dilaksanakan setiap malam senin itu, ada seorang santri yang sedang berdiri mematung sambil menyanyi qasidah “Mahallul Qiyam” tersebut. Tentu, dia adalah seorang vokalis di pesantren itu. Sebut saja Salman Al Farisi yang tentunya dia juga seorang vokalis ternama di Pesantren tersebut. Dia menyanyikan shalawat tersebut bersama tiga vokalis lainnya, ada Hasan, Risky, dan Wildan. Mereka berempat benar-benar kompak melantunkan shalawat yang memuji baginda nabi tersebut. Akan tetapi Salman yang begitunya menghayati hingga merabaskan gelenang air linang yang mengalir hingga melecapkan gamis cokelatnya yang dipakainya.
Dia begitunya cinta dan rindu kepada sang baginda nabi. Rindunya bertimpas\-timpas. Begitunya dia sangat merindukan Rasulullah Saw. Dia benar\-benar ingin bermimpi Rasulullah. Dia ingin mendapatkan syafaat dari sang baginda nabi. Dia ingin bertemu dengan beliau. Kala dirinya benar\-benar merabaskan tetesan air mata cintanya. Seakan\-akan segala yang dimilikinya hanya untuk sang baginda nabi.
“Assalamua’laika ya Rosulullah. A’laikum bissyafa’ati liummatik. Fanarju a’la tilkas syafa’ah. Isyfa’ lana ya Rosulallah”
Sebuah kata\-kata cintanya kepada sang kekasihnya. Dirinya benar\-benar telah dilema oleh kecintaan dan kerinduannya kepada sang baginda nabi. Sang Salman yang sedang melantunkan shalawat “Mahallul Qiyam” tersebut sambil menangis, hingga memaksakan dirinya membendung air matanya tatkala mengalir deras membasahi pipi manisnya.
Dia hanya ingin berharap mendapatkan ridha dan syafa’at dari sang kekasihnya.
“Alah belagak amat lu, nangis-nangis segala. Emang lu enggak malu yah sama Rasulallah. Udah kebanyakan maksiat aja minta syafaat kepada beliau. Apalagi sampe nangis-nangis. Huh… munafik lu… Jangan kebanyakan drama udah”
Sebuah perkataan pahit telah keluar dari mulut getir sang Risky, seorang teman vokalis Salman yang kebetulan dia berdiri bersama di samping Salman.
“Iyah tu… bikin orang hawas aja. Ane sampe pingin nendang kepalanya sampe pecah. Mukanya itu lo caper banget”
Begitu pula dengan seorang Wildan yang menghina dan mengejek Salman dengan perkataan yang kotor tersebut.
Mereka berdua sang vokalis “Babul Khairat” yang memang benar-benar membenci Salman karena kesedihan dan menangisnya untuk sang baginda nabi, membuat mereka berdua sangatlah membenci nya sampai ingin mengeluarkannya dari grup sholawat tersebut.
Akan tetapi seorang Salman yang begitu menghiraukannya, membuat dirinya santai dan seperti tidak mendengarkan apa\-apa. Karena bagi dirinya, menjadi sang vokalis itu karena bukan dia sendiri yang ingin menjadi vokalis, akan tetapi Ustadz Fahmilah yang menyuruhnya bahkan memasukkannya ke dalam grup shalawat tersebut. Memanglah Salman seperti itu. Setiap menyanyikan atau mendengarkan shalawat Mahallul Qiyam, hatinya langsung terenyuh hingga merabaskan gelenang air linang. Dirinya sudah terbiasa dimungsuhi, diejek, dihina, bahkan dilecehkan oleh teman se grup shalawat nya tersebut. Salman hanya mengucapkan hamdallah dalam hatinya.
Salman hanya berdoa, semoga teman\-temannya yang menghina, mengejek, memungsuhi, bahkan melecehkannya mendapatkan hidayah dari Allah Swt. Dia hanya bersandar dan memegang perkataan al\-Habib Umar bin Hafidz yang artinya,
“Puncaknya kesabaran yaitu engkau diam, walaupun dalam hatimu ada luka yang menjerit. Dan puncaknya kuat yaitu engkau tersenyum walaupun dalam matamu mengalir ribuan air mata”
Tak lama kemudian Mahallul Qiyam pun telah usai. Para santri pun segera duduk kembali dan melanjutkan bacaan\-bacaan rowi dalam kitab Maulid ad Diba’ tersebut. Keadaan pada saat itu terasa hening. Seketika itu mereka benar\-benar mendengarkan lantunan sebuah suluk. Iya, suluk ialah sebuah qasidah tanpa tabuhan alat al banjari, hanya saja sang vokalis melantunkan qasidah dengan penghayatan yang sangat mendalam. Hasan lah yang telah melantunkan suluk tersebut. Sebuah suluk berjudul Lau kana bainanal Habib merubah seluruh keadaan yang ramai hingga hening tanpa adanya suara perbincangan sama sekali. Banyak dari kalangan santri yang menangis, karena menghayati dan ikut membaca suluk tersebut. Seakan\-akan pada pembacaan Maulid ad Diba’ tersebut telah hadir sesosok nabi yang begitunya mereka merindukan dan mencintai beliau. Muhammad bin Abdullah Saw.
Hanya Hasan saja yang tak pernah menghina, mengejek, bahkan melecehkan Salman. Malah seorang Hasan sangat menyukai Salman. Karena dirinya yang bisa membawakan qasidah dengan penghayatannya hingga dapat membuat para pendengarnya menangis. Akan tetapi sang Hasan tidak memiliki seorang teman karib atau bisa disebut sahabat. Karena baginya sahabat sejatinya hanyalah kitab yang selalu menerangi kehidupannya di setiap harinya. Dia hanya menganggap bahwa seorang teman itu hanya datang ketika dia butuh saja, dan ketika dia tidak membutuhkannya, dia menjauhi bahkan meninggalkannya. Dia juga berpikir ketika dia memiliki uang teman\-temanya mendekatinya, dan ketika dirinya tak memiliki uang, teman\-temannya pun menjauhinya.
Hasan memang percaya dengan Salman, karena kesabarannya atas pembullyan dari teman\-temannya. Akan tetapi waktu yang belum menentukan bahwa Allah belum menakdirkan kedua seorang Hasan dan Salman itu bersahabat. Mungkin Allah Swt memberikan jalan yang terbaik untuk Hasan.
Setelah selesai pembacaan Maulid ad Diba’ tersebut, tepat pukul delapan malam. Ustadz Fahmi pun segera menutup kegiatan tersebut dengan pembacaan doa penutup. Beliau pun berdoa mengharapkan syafaat dari baginda nabi Muhammad. Dan kelak beliau ingin masuk surge bersama Rasululah Saw.
Selesailah sudah pembacaan doa tersebut dengan ditutup doa Kafarotul Majelis. Para santri pun langsung kembali ke kamarnya masing\-masing dan segera mengambil kitab\-kitab mereka untuk segera melanjutkan kegiatan. Yaitu muthola’ah atau bisa disebut juga belajar malam. Mereka dituntut untuk belajar di setiap malam sehabis pelajaran tambahan atau disebut juga idzofi sampai pukul setengah sepuluh malam. Pelajaran yang dimutbola’ahi para santri adalah kitab\-kitab diniyyah. Mereka pun banyak yang semangat menjalani kegiatan keseharian tersebut. Dan juga ada yang sebagian bermalas\-malasan karena tak suka dengan kegiatan keseharian itu. Tapi apa boleh buat, sudah kewajiban yah harus dilakukan. Walaupun dengan keterpaksaan tapi lama\-lama juga menjadi biasa.
Salman pun belajar bersama Ahmad. Iya, mereka mempelajari kitab Fathul Qarib, sebuah kitab fikih yang dipelajari di kelas dua ibtida’. Mereka berdua saling berdebat mencari referensi didalam beberapa kitab. Seperti yang sering dipakai rujukan para santri adalah kitab Hasyiyah Al Baijuri, Busyro’ Karim, Tausyeh ala ibni Qasim, dan masih banyak lagi kitab\-kitab fikih lainnya. Selain itu mereka berdua pun juga mempelajari kitab Al Imriti yaitu sebuah kitab menjelaskan ilmu nahwu.
Dengan semangatnya mereka berdua belajar, bermuthola’ah hingga tak terasa bahwa jam belajar pun telah usai. Mereka berdua pun segera berlari menuju syirkah untuk membeli camilan ringan untuk dimakan. Mereka berdua pun memakannya bersama sambil bercanda tawa.
* * * * * * *
“Pada suatu ketika Salman berdiri mematung melihat banyak orang saling berlarian ketakutan. Dia melihat di sekitar padang pasir yang begitu gersangnya, Tertampak sebuah angin ** beliung berputar kencang menghabisi apapun yang berada di depannya. Dia pun sangat merasa ketakutan hingga badannya bergemetar tak berdaya. Dari kejauhan terlihat seorang berwajah terang karena sinarnya yang memancar, berimamah, bersorban putih, berjubah putih, dan membawa tongkat. Salman pun mulai mendekatinya. Dia bertanya, “Yarosulullah mengapa engkau berdiri disini? Sedangkan banyak dari orang-orang berlari ketakutan karena ada angin ** beliung itu?”
Salman pun dengan tak sadarnya langsung memanggil beliau dengan nama Rasulullah. Dengan tak sengaja nya, orang tersebut pun menjawab, “Pergilah engkau akan selamat!”
Salman pun bertanya kembali, “Yarosulallah, saya tidak akan meninggalkan engkau kecuali engkau juga akan pergi”
Lantas beliau pun menjawab,
“Pergilah engkau akan selamat!”
Akhirnya Salman pun menuruti apa yang telah diperintahkan oleh orang tersebut. Salman pun mulai meninggalkan sambil berlari menjauhi orang itu. Dari kejauhan angin yang begitu besarnya semakin mendekati orang tersebut. Dan ketika angin itu pun sampai di depannya, orang tersebut pun segera terbang ke atas langit hingga meninggalkan segoret sinar cahaya yang putih mengkilat.”
Seketika itu, Salman terbangun dari tidurnya. Dia ternyata hanyalah bermimpi. Bukan nyata… Tapi dia benar\-benar menangis ketika itu. Dia tidak percaya bahwa dia telah bermimpi yang begitu indahnya. Salman pun menangis deras.
Tapi dia tidak percaya bahwa dia bermimpi Rasulullah. Akankah itu Rasulullah? Mengapa beliau begitu maunya mendatangi Salman walaupun hanya dalam sebuah mimpinya? Akhirnya dia pun segera mengambil air wudhu dan melakukan shalat tahajjud. Iya, saat itu jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Masih pagi sekali. Para Ustadz pun juga masih belum ada yang membangunkan para santri. Bergegaslah Salman berjalan menuruni anak tangga hingga sampai di lantai dua. Itu adalah Mushalla. Dia bertawajjuh di hadapan kiblat sambil merabaskan gelenang air mata. Dia angkatkan kedua tangannya sambil berdoa “Yallah Yarobbi bila itu adalah Rasulullah, maka sampaikan salam kerinduanku kepada beliau. Hamba benar\-benar berterima kasih yang tak dapat terhingga karena hamba tak pernah bermimpi seperti itu. Bila tidak maka mimpikanlah dan pertemukanlah hamba dengan beliau, Yarabbi… Dengan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang maka kabulkanlah doa\-doa hamba, amiin….”
Salman pun langsung berdiri menunaikan shalat tahajjud. Ruku’ dan sujudnya menjadi saksi seorang hamba yang taat beribadah. Air matanya masih meleleh. Akankah ini benar\-benar dinamakan rindu yang bertimpas\-timpas? Ataukah sebuah kecintaan dan kerinduan kepada sang baginda nabi yang membirahi? Dia pun bershalawat tak ada hentinya. Rindunya pun membuncah ruah. Air matanya tak dapat terbendungkan.
Dari belakang Ahmad memukul Salman hingga terkejutlah dia. Salman benar\-benar terkejut,
“Tumben ente mad, udah bangun jam segini?”
Tanya seorang Salman kepada Ahmad dengan penuh keheranan.
“Enggak papa, man. Ane terkejut aja. Ente bangun ane langsung bangun. Emang ente juga tumben bangun pagi-pagi. Kadang nunggu Ustadz bangunin ente, ente pun barusan bangun?
Salman mulai terhenti sejenak. Mulutnya mulai membisu. Dia mulai bingung, mencari bahan omongan untuk menjawab pertanyaan si Ahmad itu,
“Ma fii sye’, mad. Ane males aja. Pingin sendirian dan bertawajjuh kepada Allah. Ane enggak bisa tidur, mad.”
“Tapi kayaknya ente ada masalah deh… Ane liat dari muka ente ada sedikit gugup dan kenapa tubuh ente agak gemetar? Ente kalau ada masalah bilang aja, man. Mungkin ane bisa membantu…”
Akhirnya Salman mulai menceritakan mimpi yang dialaminya tadi malam,
“Tadi malam aku bermimpi Rasulullah!”
Ahmad pun terkejut. Dia tidak percaya atas mimpi yang telah dialami oleh Salman tersebut. Ahmad pun bergegas menyahut,
“Yaallah, yang benar kamu…!”
“Tapi mad, ane seperti ragu-ragu. Apakah itu Rasulullah apa enggak. Tapi ane bener-bener memanggil beliau Rasulullah…!”
“Coba ente ceritakan mimpi itu ke ana semuanya.”
Salman pun menceritakan mimpi yang dialaminya itu dengan detail. Dia ceritakan mulai dari pertemuannya, pembicaraannya, hingga beliau tersebut terbang ke atas langit. Setelah Ahmad mendengarkan seluruh cerita yang telah diungkapkan oleh Salman, akhirnya Ahmad pun menjawab,
“Enak yah ente bisa mimpi ketemu sama Rasulullah. Ane aja cicitnya nggak pernah dimimpiin sama beliau. Memang ente pilihan Allah…! Tapi alangkah baiknya coba ente tanya sama Ustadz Fahmi. Kan lebih afdzol…!”
Akhirnya Salman pun mulai mengangguk. Tak lama kemudian dia bangkit dan segera mengambil mushaf Al Qur’an. Begitu juga Ahmad, dia segera melakukan shalat tahajjud. Mereka berdua memanglah orang yang baik. Allah pun sampai\-sampai memilihkan dan mempertemukan mereka berdua dalam satu saujana keimanan dan keshalihan serta patuh terhadap agama.
Sekitar lima belas menit berlalu, para santri pun telah bangun dari tidurnya dan segera menuju ke Mushalla untuk menjalankan kegiatan shalat sunnah dan membaca mushaf Al Qur’an. Tak lupa mereka diajarkan untuk berwiridan serta berdzikir “Wirdul Latif” yaitu sebuah kitab wirid karya al\-Habib Abdullah bin Alwi al\-Haddad. Beliau pun mengatakan
dalam sebuah kitabnya “Man laysal wirid fahuwal kirid” Yang artinya siapapun seseorang yang tidak memiliki wiridan maka dia adalah monyet.
Setelah melakukan shalat tahajjud, membaca Al Qur’an, dan membaca wirid akhirnya salah satu santri segera mengumandangkan adzan shubuh. Begitu juga para santri, mereka mendengarkan adzan tersebut dengan seksama serta menjawab di setiap kalimat\-kalimat adzan. Setelah adzan dikumandangkan, mereka pun diperintah untuk melakukan shalat sunnah fajar dan kemudian melakukan shalat shubuh berjamaah.
Ketika itu yang mengimami adalah Ustadz Fahrul. Beliau juga yang memimpin bacaan wirid pagi hari. Dan setelah berdzikir bersama\-sama, para santri pun bergegas menempati tempat pengajiannya masing\-masing. Akan tetapi Salman yang begitu cemas dan penuh kebingungan, akhirnya dia segera menuju ke rumah bawah. Iya, rumah Abah Muhsin. Dia langkahkan satu persatu anak tangga hingga sampai di depan pintu rumah Abah Muhsin. Dari sebuah cendela yang terlihat terbuka sedikit, ternyata Ustadz Fahmi berada di dalam rumah tersebut. Akhirnya, Salman pun mulai masuk sembari menguluk salam. Ustadz Fahmi pun menjawabnya sambil mensenyumkan bibir mungilnya. Salman pun dipersilahkan duduk. Dia segera menceritakan mimpi tersebut. Salman ceritakan dengan detailnya, sehingga Ustadz Fahmi pun memberikan jawabannya,
“Ente sungguh anak yang beruntung…! Susah orang bermimpi Rasulullah kalau enggak dia benar-benar mencintai dan rindu baginda nabi. Terus yang kedua itu bener-bener nabi, karena Rasulullah Saw bersabda,
“Barangsiapa yang melihatku di dalam mimpinya sungguh itu adalah aku. Karena sesungguhnya setan tidak bisa menyerupai aku”
Dan terakhir adalah Rasulullah menasehatimu untuk menjauhi dari kemaksiatan. Itu adalah sebuah arti dari mimpi tersebut. Tapi jangan sampai kamu ceritakan ke siapapun kecuali guru, orang tua, serta teman yang benar\-benar deket dan yang ente percayai”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments