Sebuah mentari pagi telah terbit menyinari kegelapan langit di malam hari. Kicauan burung menghiasi alam yang indah di pagi yang mulai mencerahkan langit itu. Alunan seruling yang begitu merdu menjadikan kedamaian di saat keadaan mulai bergaduh. Iya, alunan seruling dan lantunan qasidah arab “Qad Kafani” mendatangkan ribuan kata dalam kehidupan di dunia fanak ini.
Di saat pagi yang cerah ini, kau taburi dengan jutaan keindahan yang dapat menghilangkan kegundahan di sepanjang hari. Benar… Qasidah “Qad Kafani” dan alunan serulinglah yang dapat menghadirkan imajinasi dan sebuah motivasi. Selain itu, qasidah dan alunan seruling itu benar\-benar dapat menentramkan dan menyejukkan hati tatkala pikiran benar\-benar penuh dengan kegundahan. Salman Al Farisilah yang telah menyanyikan qasidah “Qad Kafani” dengan alunan seruling yang ditiup oleh Ahmad Assegaf. Qasidah yang bermakna kedamaian itu membuat rasa kegundahan terasa hilang. Tak terasa bahwa kegundahan tersebut telah diobati dengan lantunan qasidah. Iya, gundah tersebut telah datang dari hati Salman. Memang, di pagi ini Salman merasa sangat gundah sekali. Entah karena dia merindukan Maimunah ataupun keluarganya yang ada di rumah.
Sekejap dia terkejut di tengah\-tengah lamunannya. Dia melihat seekor merpati putih terbang melayang di atas langit dan tak diduga, ternyata merpati itu mendekati seekor merpati betina yang amat indahnya. Merpati jantan tersebut semakin mendekat. Seakan\-akan dirinya ingin mengungkapkan kecintaannya kepada sang kekasih yang dipuja\-pujanya. Selain mendekat, merpati jantan tersebut mulai mengeluarkan suaranya di dekat sang kekasih. Akan tetapi, sayangnya merpati itupun terbang meninggalkan merpati jantan tersebut.
“Ente lihat apa, Man? Kok seperti melamun begitu? Wah… Pasti melamun si Maimunah yah!”
Ahmad mulai menggoda dengan tertawanya yang agak diatahan.
“Laa, ahmad. Ana liat dua ekor merpati itu. Kasihan merpati jantan tersebut. Dia berharap mendapatkan cintanya dari sang kekasih yang diharap-harapkannya. Yah… Malah ditinggal terbang. Jadinya kan sendirian”
Lantas Ahmad pun melanjutkan,
“Itulah kehidupan, Man. Tidak selalu kita merasa senang terus. Pastinya juga ada yang menyedihkan dalam kehidupan. Apalagi yang dilakukan kedua merpati itu. Apa yang dapat ente ambil hikmahnya dari kisah sandiwara kedua merpati itu, Man?”
Salman mulai merasa kebingungan. Ada hikmah apakah di balik kisah kedua merpati itu?
“Enggak tahu lah, mad. Menurut ente apa hikmah yang dapat ente ambil dari kisah kedua merpati tersebut?”
Dengan senyum manisnya dan terlihat penuh ceria, Ahmad pun menjawab,
“Yang dapat ane ambil hikmahnya dari kedua ekor merpati itu ialah kedua merpati tersebut mungkin bukanlah jodohnya yang dipilihkan oleh Allah. Tapi ane yakin dengan kisah sang merpati jantan yang ditinggal seorang diri itu mungkin oleh Allah Swt telah memilihkan yang terbaik untuknya.”
Sesaat Salman pun langsung termenung pilu. Air matanya tiba\-tiba jatuh menetes. Dia takut ataukah Allah telah memilihkan nya yang terbaik untuk diri Salman. Salman pun juga berpikir bahwa tidaklah mungkin jika dia benar\-benar akan dijodohkan dengan seorang putri yang bernasabkan anak kyai. Itu adalah sebuah kemustahilan. Salman menganggap bahwa dirinya bukanlah siapa\-siapa akan tetapi dengan keyakinannya yang kuat, akhirnya dia percaya bahwa suatu ketika Allah pasti akan mempertemukan dengan seorang kekasihnya, Maimunah.
Pada pukul sembilan pagi, Salman dan Ahmad mulai meminta izin keluar kepada pengurus Pondok. Dan akhirnya kedua anak tersebut pun keluar dari Pondok dengan menikmati indahnya pemandangan\-pemandangan alam di sekitar. Dari jalan Ngamarto, tak disangka\-sangka ternyata mereka berdua menginjakkan di depan pasar Lawang. Entah karena perbincangan mereka berdua yang terlalu panjang dan mengasyikkan sampai mereka berdua terkejut dan tak sadarkan diri bahwa ternyata mereka berdiri di depan pasar.
“Eh mad, perasaan tadi kita berjalan masih di depan stasiun, ealah sekarang udah nyampek di depan pasar.”
Ahmad menjawab sambil meletakkan kedua tangannya di atas kepala,
“Iya, man. Wallah… Enggak terasa banget… Mungkin ini gara-gara kita banyak ngobrol tadi.” Salman mulai bergurau.
“Tapi kalau dipikir-pikir, masak kedua mata kita tadi enggak ngeliat sama sekali… Mata kita kan baik-baik saja kan?”
Ahmad pun mulai tertawa terbahak-bahak. Di tenga-tengah candaannya yang masih mengisak kegirangan, Ahmad pun melanjutkan,
“Ha…ha…ha… Yah enggak lah, man. Eh… Tapi bisa jadi… Barangkali waktu kita di tengah-tengah perjalan tadi, mata kita ketinggalan di Pondok”
Mereka berdua pun tak kuat menahan tertawanya yang terlalu terbahak-bahak. Air mata kegembiraannya sampai mengalir. Mungkin inilah yang dinamakan sahabat. Ketika satu sahabatnya sedih maka sahabat yang lainnya pun juga merasakan kesedihan pula. Sedangkan satu sahabatnya senang dan penuh suka cita maka sahabat yang lainnya pun juga merasakan kesenang itu pula.
Ketika mereka berdua memasuki Pasar, Ahmad mengajak Salman mampir ke sebuah Warung. Iya, Warung itu adalah Warung bakso “Al Hikmah” yang terkenal enak sekali. Banyak sekali dari kalangan para santri dan para pengunjung lainnya yang membeli bakso disitu. Karena jika memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa kita adalah anak Pondok maka pak tukang bakso tersebut pun terkadang memberikannya bonus bahkan gratis.
“Ahmad, Salman… Nah baru nongol. Kemana aja kalian kok jarang kesini?”
“Maaf, pak Jufri kami jarang kesini, soalnya padat kegiatannya di pondok. Jadi kami enggak ada waktu luang. Apalagi sekarang perizinan keluar cuma dikasih waktu dua minggu sekali.”
Sahut Ahmad dengan wajah yang penuh keceriaan.
“Oooh gitu, yah… Mad. Ooh kalau gitu kalian duduk aja dulu. Sini mau beli apa?”
Akhirnya mereka berdua pun mendekati dan segera duduk menempati kursi dan meja pesanan. Ahmad dan Salman pun memesan dua porsi mangkuk bakso yang berisikan dua pentol kasar yang besar, goreng, mie kuning, tahu, somay, dan lontong. Tak lupa pula pak Jufri si tukang bakso tersebut menaburkan bawang goreng dan daun bawang di atas dua porsi mangkuk yang berisi bakso tersebut. Pak Jufri pun langsung memberikan dua porsi bakso kepada Ahmad dan Salman. Dengan lahapnya, Ahmad dan Salman menyantap bakso tersebut. Di tengah\-tengah makan, Salman pun mulai mengatakan,
“Baksone panjenengan enak tenan pak. Kulo sampek ketagihan lek tumbas teng mriki”
“Bisa aja kamu ini, man. Yah inilah bakso bapak ala kadarnya. Ada kalau sepuluh tahun bapak disini yah enggak ada perubahan sama sekali”
Salman dan Ahmad pun mulai terkejut. Mereka berdua tak menyangka jika pak Jufri telah berjualan bakso selama sepuluh tahun lamanya. Salman yang begitu terkejutnya langsung bergegas untuk menjawabnya dengan bahasa jawanya yang kental,
“Nopo pak, sedoso tahun? Masyaallah kuat temen panjenengan. Wong kulo teng pondok mawon tasek kaleh tahun mawon pun mboten kiat pak”
“Bagaimana sih kamu ini le…le… Orang cuma cari ilmu aja enggak kuat. Saya aja yang sudah sepuluh tahun banting tulang disini aja kuat dan Alhamdulillah masih dikasih kesehatan oleh Allah Swt. Makanya syukuri apa adanya, Man. Apalagi toh cuma cari ilmu. Enggak butuh menguras tenaga badan. Hanya saja cuma butuh pikiran aja. Semangat aja, man cari ilmunya. Sebelum kamu menyesal seperti bapak sekarang”
Pak Jufri yang begitu perhatiannya kepada Salman dan Ahmad tersebut. Beliau tidak menginginkan jika nasibnya nanti sama seperti nasibnya. Akhirnya mereka berdua pun menyantap dua porsi mangkuk tersebut. Mereka berdua juga memesan dua gelas minuman.
Salman memesan es jeruk, sedangkan Ahmad memesan jus jambu. Dengan terik matahari yang begitu panasnya hingga menusuk kedalam tulang, Ahmad dan Salman pun mengusap butiran-butiran keringat dari sekujur tubuhnya. Tak terasa bahwa mereka telah duduk di Warung Pak Jufri selama jam lamanya.
* * * * * * *
Jarum jam pun menunjukkan pukul sepuluh siang. Sang mentari yang begitu cerahnya menyinari bumi di siang hari itu. Ahmad dan Salman bergegas pergi ke Pondok karena mereka berdua akan segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Masjid menunaikan shalat Jum’at berjamaah.
Sesampainnya Pondok mereka segera bergegas mandi, berganti pakaian gamis putih. Tak lupa mereka menyemprotkan minyak wangi yang begitu semerbak memberikan aroma kewangian. Di sekujur gamisnya yang membalut tubuh mereka. Setelah selesai persiapan, mereka berdua pun langsung bergegas mengangkat kedua kakinya dan melangkah menuju Masjid “Ar Rohmah” yang berhadapan dengan Gereja. Sudah lama sekali Masjid “Ar Rohmah” berdiri. Kisaran lima belas tahun lamanya. Ahmad dan Salman pun mengambil air wudhu dan segera mencari shaf yang masih kosong. Mereka berdua langsung menunaikan shalat sunnah tahiyyatul masjid, bermunajat, dan berdoa kepada Allah sambil menunggu sang khatib berkhutbah.
Tak lama kemudian sang khatib menaiki mimbar yang telah tersedia di dalam masjid tersebut. Kali ini yang berkhutbah ialah Ustadz Aminullah. Beliau adalah juga salah satu ustadz yang berpengaruh di kota Lawang. Tak tertampak sesosok Ahmad dan Salman ternyata tertidur sekejap. Tak terasa bahwa kedua mata mereka seketika menutup rapat. Di tengah\-tengah Ustadz Amin berkhutbah, seketika itu Salman langsung memejamkan kedua matanya. Dia mulai mendengarkan khutbah Ustadz Aminullah dengan seksama,
“Bersabda Rasulullah SAW : “Al Muslim lil Muslim kal bunyan yasyuddu ba’duha ba’dzon” Yang artinya seorang muslim satu dengan orang muslim lainnya bagaikkan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Maka dari itu Yama’syarol Hadzirin… Jagalah tali persaudaraan kalian sesama muslim. Karena kita adalah saudara. Jika satu saudara semuslim mu membutuhkan dan meminta pertolongan kepadamu maka bantulah! Maka tolonglah! Karena diri kalian dan dirinya itu seperti jati tubuh sampai-sampai Rasulullah mengibaratkan, jika salah satu orang muslim mengalami penyakit demam maka saudara muslim lainnya juga merasakan demam pula. Itulah saudara muslim yang haqiqi. Fattaqullah ya jami’ul Ikhwanii…”
Salman pun mulai meneteskan air mata. Hatinya telah tersentuh oleh khutbah yang telah disampaikan oleh Ustadz Aminullah. Seketika itu Ahmad pun langsung terbangun dari tidur sejenaknya. Dia bingung dengan Salman yang sedang meneteskan air matanya. Ahmad pun bertanya dengan penuh keheranan
“Ente kenapa, man la tabki man apa yang membuat ente menangis”
Salman masih menghela nafasnya. Tangisan air matanya masih membasai surban putih yang melelilit di lehernya. Isakan tangisnya masih terdengar dari kedua telinga Ahmad,
“Ma Fi Sye’ Mad ”.ane hanya teringat saja atas hadits yang telah disampaikan oleh Ustadz Aminullah. Ane mengira…Ane tidak bisa melakukan hadits itu. Ane terlalu kotor… Sebenarnya ane gak pantes jadi sahabat ente”
Gumam seorang santri dengan wajahnya yang berkulit sawo matang, hidungnya yang mancung, dan kedua kelopak matanya yang agak lebar. Dialah Salman Alfarizi.
“Lah… Ente kok kalam kadzalik ? Keyf ente? Ahmad udah bener-bener percaya kalau ente adalah sahabat ana yang benar-benar baik. Ente sudah membantu hidup ane untuk menjalani bersama. Itu sudah cukup buat ane. Hadist yang telah dibawakan Ustadz Aminullah itu sudah ada kriteria sifat-sifatnya ente”
Jawab Ahmad dengan nadanya yang dapat meluluhkan hati Salman.
Kini Salman mulai mengusapkan kedua buah matanya dengan serban putihnya. Dia benar\-benar merasa bersalah. Akan tetapi Ahmad telah membenarkan nya. Dia tidak bersalah hanya saja Salman yang menganggap dirinya bersalah.
Seusai sholat jum’at Ahmad dan Salman pun kembali ke Pondok. Mereka berdua akan mengantri di depan dapur, karena jatah makan siang akan segera di berikan oleh pembantu Ponpes. Berpuluh\-puluh santri, ternyata telah mengantri begitu lama di depan dapur. Iya mereka berbondong\-bondong untuk mempercepat langkahan kakinya kembali ke Pesantren.
Memang, Pondok Pesantren Babul Khairat Putra tidak sebanding dengan Pondok Pesantren Putri Babul Khairat. Jumlahnya lebih sedikit. Paling juga bisa dihitung tujuh puluhan lebih. Sedangkan santri Pondok Pesantren Babul Khairat Putri berjumlah lima ratus lebih. Memang, sang pendiri yakni al\-Habib Muhsin bin Umar al\-Attas mendirikan Pesantren Putri dahulu. Karena beliau mendapat pemasukan dari seorang ulama’ di Lawang. Di salah satu Pondok Pesantren,. Darun Nasyiin namanya. Beliau adalah al\-Habib Abdullah Ba’bud yang memang menyuruh al\-Habib Muhsin untuk mendirikan Pondok Pesantren Putri. Karena al\-Habib Abdullah Ba’bud telah mendirikan Pondok Pesantren Putra Darun Nasyiin.
Salman dan Ahmad pun menikmati hidangan makan siang yang telah di siapkan oleh pembantunya Bu Umi dan Bu Habibah. Mereka berdua memang santri paling disayang oleh Bu Umi, Bu Habibah, Ustadz Fahmi, dan masih banyak lagi.
“Salman, Ahmad gak kurang ta iwak e? segone barang gak kurang ta? Lek kurang kene imbuho maneh. Jek akeh segone”
Sahut Bu Umi di tengah Ahmad dan Salman menyantap hidangan makan siangnya.
“Enggeh, Bu”
Siang itu terlihat gelap. Sang mentari yang menyinari dunia dengan cahayanya yang begitu terang. Tiba-tiba awan mendung pun menggelutinya. Sang mentari yang tak memiliki
dosa, mengalah atas datangnya awan mendung yang menutupi dirinya. Mungkin selepas ini hujan pun akan turun.
Tapi dari kejauhan ada sesosok orang yang datang dan memasuki gerbang Pesantren. Banyak dari kalangan santri mengenalnya. Iya sesosok orang laki-laki yang sedang berjalan dengan penuh kewibawaan seolah-olah seperti kesatria yang telah mengalahkan ribuan prajurit. Beliau adalah Abah Jamal. Iya, beliau adalah ayahnya Salman. Sudah lama sekali mereka berdua berpisah. Akan tetapi, tak lama kemudian di belakang Abah Jamal ada sesosok wanita cantik yang belum terlalu tua. Pipinya begitu lesung kemerahan. Kedua matanya agak terlalu lebar. Dan hidungnya juga terlihat manag. Dia adalah Umi Salamah ibunda Salman tercinta. Dia sangat merindukan Salman tercinta.
Di siang yang penuh dengan kegelapan awan mendung Abah Jamal dan Umi Salamah mulai berteduh. Mereka berdua merasakan ada detakan jantung yang mulai berkobar. Memang rindu mereka mulai bertimpas\-timpas. Dengan munculnya Salman hati seorang ayah dan ibunda mulai bercahaya penuh dengan kebahagiaan. Salman menangis. Air matanya berderai membasahi gamisnya. Rindu antara seorang anak dan orang tuanya sangat lah kuat sekali. Karena sudah berbulan\-bulan ayahanda Salman tak berkunjung ke Pesantren. Mungkin karena sibuk bekerja ataupun kegiatan yang begitu padat di rumahnya. Ayahanda Salman, Abah Jamal mulai menangis. Rindunya mungkin dalam sendalu. Mereka benar\-benar telah dilanda oleh rindu. Rindunya bertimpas\-timpas, sehingga air matanya pun mulai merabas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
Sahabat Pena
keep jamaah author...
2020-05-10
48
🌝mommychilly🌙
beneran nih...belum pernah aada yang baca...
go authorrr...dont give up...👍👍🧕🧕
2020-04-10
49