Berawal dengan sebuah alunan qasidah arab yang diiringi dengan tiupan seruling yang begitu merdunya. Tak lupa dilengkapi dengan dendangan gendang, serta tabuhan marawis yang begitu meriah. Sehingga para santri pun menyorakinya dengan kata-kata arab “Thoyyib dan Aywah” Sambil menepukkan kedua tangan mereka. Itu adalah sebuah tarian khas budaya Timur Tengah tepatnya dari Yaman. Iya, tarian tersebut memiliki nama “Hajir Marawis” yang tarian tersebut mempersembahkan gerakan yang bermaju mundur, bergerak ke kiri dan ke kanan, berputar-putar, berloncat-loncat, dengan berlika-liku kaki yang telah terlatih.
Tarian ini memang jarang kita temui. Hanya saja tarian ini hadir dalam sebuah Majelis Ta’lim/Pondok Pesantren yang berbasis Arab atau bisa disebut juga Pondok Habib. Habib adalah seorang berdzuriyyah nabi Muhammad SAW atau disebut juga berketurunan nabi Muhammad SAW.
Di tengah-tengah kerumunan santri, ada salah satu anak yang sedang merenung pilu seperti di tindas oleh ribuan masalah. Dialah Salman Alfarisi. Yah… panggil saja Salman. Salman adalah seorang santri yang pendiam dan penurut. Dia sendiri juga tak banyak memiliki kawan. Apalagi, dia sering sekali dibully, dihina oleh kawan-kawannya. Karena dirinya yang pendiam dan kurang asyik tuk bergaul sehingga kawan-kawannya terlalu jengkel dengannya.
“ Salman, ente kenapa?” Tanya seorang sahabatnya dengan raut muka yang mulai kebingungan.
“ Ma fii Sye’ …, Mad”
“ Lah terus kenapa ente bengong kayak gitu? Lihat Shohib-shohib ente... senang riang melihat hajir marawis, Lah…ente malah sequt .” Gumam seorang sahabatnya.
Tak lama kemudian Salman pun terdiam sejenak. Dia mulai terisak-isak membendung air matanya. Dia tak kuat menahan air matanya yang akan mengalir deras. Lantas Salman mengajak Ahmad, sahabat karibnya berlari menuju ke lantai tiga. Itulah tempat jemuran santri.
“Ana gak kuat disini , Mad. Ana pingin waqof .”
Salman yang memulai tuk mengungkapkan seluruh isi hatinya itu, tak lama kemudian air matanya pun mulai mengalir deras,
“Kenapa ente man? Apa ada masalah? Kenapa.? Bicara aja sama ana. Ana kan sahabat ente, man”
Dengan dadanya yang masih menahan isak tangis, Salman pun mulai bercerita,
“Ana udah gak kuat disini, mad. Ana sering dibully shohib-shohib. Ana juga sering dihina, diejek, dan lain-lain. Padahal salah ana apa coba? Ana aja gak pernah mengganggu mereka. Tapi mereka malah suka sekali membully ana”
“Tenang, man. Ente harus sabar. Namanya juga mencari ilmu. Kan orang mencari ilmu pastinya juga banyak cobaannya. Kalau nggak ada cobaanya yah bukan mondok, man”
Salman pun mulai berhenti mengalirkan air matanya. Dia usapan kedua air matanya dan menenangkan isak tangisnya. Lantas dia pun menjawab walaupun air matanya masih saja mengalir.
“Ane sudah tahu mad, kalau orang mondok itu yah harus sabar menerjang dan melewati duri-duri tajam seperti mendapatkan cobaan dan musibah. Tapi bagaimana lagi, nafsu jahat mengajak diriku untuk waqof dari pesantren ini”
“Istighfar ente man… ente sudah kelas berapa? Diniyyah aja udah kelas Tsani Ibtida’. Sedangkan formal ente kelas dua Aliyyah. Sadarlah man, ente udah besar sekarang. Sebenarnya ente sudah bisa berpikir jernih dan tidak berpikir kekanak-kanakan seperti ini…!” Sahut Ahmad walaupun di hatinya masih ada sedikit gejolak kemarahan.
Kini Salman mulai berpikir dewasa. Walaupun dia sudah dikenal masih labil dengan sifatnya yang masih kekanak-kanakan. Karena pergaulan Salman lebih condong memilih untuk berkumpul dengan kawannya yang masih kecil. Dia berpikir bahwa dirinya lebih asyik bergaul dan berkumpul
dengan anak-anak kecil. Meskipun seperti itu, Salman memiliki bakat yang sangat luar biasa. Mulai dari menulis kaligrafi arab, vokal al-banjari, menulis puisi, novel, cerpen. Dan masih banyak lagi bakat-bakat Salman yang masih terpendam.
Percakapan bahasa arabnya wuihhh… jangan dikira. Dia paling suka sekali ngobrol dengan orang Arab Saudi, Yaman, Oman, Mesir, yang mereka berkesempatan untuk datang dan mampir di Pondok Pesantren tercintanya itu. Ahmad pun bergumam di dalam hatinya sembari berkata,
“Yah begitulah watak sahabatku. Kadang dirinya selalu minta waqof…waqof…dan waqof. Tapi nanti kalau filling nya udah enakan yah lupa dah dengan kata-kata waqof itu. Salman…Salman… pingin ketawa tapi takut dosa. Enggak ketawa yah kurang lega. Ealah… anak kok bikin happy aja. Wkwkwk….”
* * * * * * *
Qum…qum…qum… Ayo...ayo…ayo… Sambil terdengar suara pukulan rotan yang menggedor puluhan lemari. Terdengar keras, sehingga para santri pun terbangun dari tidur nyenyaknya. Mereka bersegera mengambil air wudhu’. Adapula yang masih mendepis lemas di tepi dinding kamar. Dan ada juga yang tidur di bawah ranjang, di dalam kamar mandi. Dan masih banyak lagi tempat persembunyian untuk bahan tidur para santri. Sesaat mereka ketahuan pengurus sambil membawa semprotan burung sehingga sesemprot air membasahi wajah mereka. Terkejutnya mereka segera berlari tebirit-birit menjauhi pengurus. Ada juga yang terkena pukulan rotan sampai menjalar merah di tubuhnya, karena sulit dibangunkan.
Setiap harinya para santri dibangunkan sebelum fajar terbit, atau bisa dibilang jam tiga pagi. Mereka dianjurkan bahkan diwajibkan untuk menunaikan shalat tahajjud, membaca Al Quran serta membaca wirid-wirid dan dzikir-dzikir yang telah ditentukan oleh pihak pondok. Tapi lucunya ada yang shalat dua rakaat dengan khusyu’ nya tanpa wudhu, lama sekali sujudnya. Ternyata tak diduga santri tersebut ketiduran dengan posisi sujud. Ada juga setelah menunaikan shalat dua rakaat langsung duduk bersila meletakkan kepalanya di atas paha kirinya. Begitu pulasnya santri tersebut hingga sulit dibangunkan. Kecuali pengurus membawa botol semprotan burung yang berisi air penuh. Beliau pun langung menyiramkan air tersebut di atas kepala santri itu. Seketika teman-temannya serentak berteriak “Ajiiib…. dapet siraman rohani ente dari pengurus. Mampus ente, wkwkwkwk…”
Tapi di tengah-tengah keadaan yang ramai dengan kelucuan perilaku yang telah dilakukan oleh salah satu santri disana, ternyata Salman begitu tentramnya menikmati keindahan alam di pagi itu. Dia menyaksikan keindahan alam di lantai empat, iya lantai paling atas. Itu adalah tempat jemuran dan tempat cangkrukan para santri. Dengan kedua matanya yang masih memandang langit yang begitu gelapnya, tiba\-tiba kedua buah matanya menggelinangkan gelinang air linang yang melecap baju takwa putihnya. Ternyata dia menangis. Mungkin dia teringat akan seorang kekasihnya yang tak kunjung datang menghampirimya. Walaupun dulu dia pernah bertemu bertatapan wajah langsung, tapi dengan pertemuannya sekali itu tidak dapat mengobati rasa sakitnya yang menggerogoti kerinduan hatinya itu. Karena di hatinya tertancap ukiran nama Maimunah Al Karimah, kekasih pujangganya. Duniannya dipenuhi dengan Maimunah yang dapat menyinari kegelapan malam dalam mimpi\-mimpi indahnya, tatkala dirinya benar\-benar rindu dengannya.
Tak lama kemudian, dari belakang Ahmad pun memukul punggung Salman. Dia bertanya,
“Wahai sahabatku, mengapa engkau berdiri mematung sendirian disini?”
“Gak ada masalah, ada seseorang yang sedang aku rindukan”
“Siapa itu, man? Katakan…!”
Salman tersenyum sendiri. Seakan-akan dirinya terbang di atas langit. Dengan suka cita Salman pun menjawab,
“Maimunah, harem bk itu yah”
“Ceritakan…! Mengapa engkau mencintai Maimunah? Dan siapakah Maimunah itu?” Tanya sahabat karibnya yang benar-benar ingin tahu.
“Maimunah adalah seorang putri kyai. Jadi ceritanya, dulu abi dan umi itu kan ngaji di Pondoknya Kyai Bachtiar, ayahnya Maimunah. Sangking dekatnya abi dan umi Salman dengan Kyai Bachtiar, maka sang Kyai menganggap kami seperti keluarga sendiri. Nah disitulah kisah Salman dan Maimunah dimulai”
Salman pun melanjutkan,
“Ketika itu Salman diajak abi dan umi ke rumah Abah Bachtiar. Abi dan umi sering sowan ke Abah Bachtiar. Dan ketika ana ikut kesana, sekilas ane lihat ada harem lewat di depan ane. Ane pun bingung penuh pertanyaan di pikiran ane. Siapa itu yah? Ane jadi keppo pingin tahu siapa harem itu. Singkat cerita, berapa tahun kemudian Abah Bachtiar memberikan saran ke abi untuk memondokkan ana ke Babul Khairat. Karena putrinya Kyai Bachtiar juga mondok disana. Ana pun menyetujuinya. Ana kira bisa ketemuan sama Maimunah dengan gampangnya. Eh… Ternyata nggak seperti apa yang ane kira. Tapi ane selalu ingin tahu gimana sih Maimunah itu? Ane cuma berharap suatu ketika nanti semoga Allah Swt mempertemukan diriku dan dia, amiin…”
Ahmad sedikit terheran akan cerita yang di ungkapkan Salman tadi. Pertanyaan tersebut selalu berputar di benak pikiran Ahmad. Dengan rasa keppo dan ingin tahu, Ahmad pun bertanya,
“Apakah Maimunah juga cinta sama ente?”
“Ketika ane udah dapat dua tahun di Babul Khairat, ane mulai penasaran dengan Maimunah. Ane pun mencoba untuk titip salam kepada Maimunah lewat Mak Syiah. Di hari berikutnya Maimunah membalas dengan sekilas perkataan yang dititipkan lewat Mak Syiah. Mak Syiah pun bilang ke ana,
“Man, kata Maimunah salam balik. Sambil senyum-senyum gitu dianya. Oh iya ini dia titip buah-buahan buat kamu.” Dan di situlah ane dan Maimunah mulai saling mencintai.”
“Oooh… Ehm…ehm…, Nah terus bagaimana ente menjalankan hubungan kasmaran ente dengan dia? Padahal nggak ada hape. Apalagi ketemuan.?”
Sahut Salman dengan nada penuh senyuman,
“Ane dan Maimunah hanya berhubungan kasmaran lewat lantunan doa, ane mendoakannya, Maimunah pun juga mendoakan ane. Kami hanya berharap semoga Allah memberikan cinta yang abadi antara ane dan Maimunah”
“Masya Allah man, sungguh kisah cinta yang amat suci sekali. Ente berusaha berjuang demi seorang harem Maimunah”
Salman pun mulai mengambil sebuah pena yang ada di dalam saku bajunya. Tak lupa dia juga membawa buku notes kecilnya di dalam saku baju. Dia memulai menulis sebuah sajak\-sajak puisi dengan rapi,
Mentari dalam Tahanan
Dulu aku selalu bersama-sama dalam dekapan
cinta…
Mentariku bercurah kan bersinar dalam jiwaku
yang gelap menggulita…
Dia selalu hadir dalam sebuah mimpiku walaupun
hanya sekelibat tak membuat diriku puas akan
bertemu dengannya…
Tapi, kini dia telah tertahan dalam penjara…
Iya, mungkin penjara kebencian ataupun penjara dusta…
Dia menghimpitkan tubuhnya di tepi samudera di bawah
langit yang kian tak menerbitkan cahaya fajar tapi kan
membenamkan siratan senja…
Dirinyapun melipur lara…
Tangisan air matanya berlinang dalam kehazinan
yang mulai berlabuh di tepi hatiku…
Aku menyapanya dalam alunan seruling yang
kian tertiup tak membeku…
Tapi, dia terpaku diatas papan kayu…
Terakhir aku memandang wajahnya
di balik dinding Madrasahku…
Aku melirik di cela-cela pintu…
Akupun menyelipkan surat awamatra
di bawah jeruji penjara yang menggandrung
rindu…
Aku dan dia dalam genggaman serdadu…
Walaupun kata-katanya tak seindah puitis pujangga seperti Fahmi Ilman, tapi baginya sudah berarti untuk mengobati rasa kerindunya yang mulai bertimpas-timpas. Ketika dirinya mengakhiri puisi tersebut, tiba-tiba air matanya mulai berlinang membasahi wajahnya. Sembari mematung terpaku pilu. Dirinya seakan-akan seperti terhempas oleh ribuan masalah. Akan tetapi masalah itu tak lain karena jauh dari kekasih tercintanya, Maimunah. Hatinya berdebar-debar seperti ingin bertemu dengan bidadari. Dan di benak hatinya selalu berkata,
“Maimunah…maimunah…maimunah…”
Dua hari telah berlalu. Salman pun menjalani kehidupan nyatanya yang selalu terhiasi dengan kata-kata Maimunah. Dirinya ingin sekali melihat wajahnya langsung di depan matanya. Tapi apa boleh buat, itu adalah hal yang sangat mustahil baginya “Ta’lim…ta’lim…ta’lim !” Teriak salah satu ustadz yang telah keluar dari kamar musyrifnya.
Salman pun bergegas pergi mengambil dan menata kitab yang akan dia pelajari di Madrasahnya. Iya, hari ini Salman akan belajar nahwu, bahasa arab, fikih, dan siroh nabi. Salman sangat menggemari pelajaran nahwu, bahasa arab, dan pelajaran-pelajaran yang mencangkup ilmu bahasa arab. Apalagi takallam bil a’robiyyahnya , lisannya sangat fasih sekali. Seperti orang asli arab. Begitu juga sahabat karibnya, Ahmad Al Kaff. Memang Al Kaff adalah salah satu gelar daripada cucu nabi Muhammad Saw dari berbagai fam-fam di Indonesia.
Uniknya, walaupun dia seorang cucu nabi. Dia tidak memandang siapapun, apalagi membeda-bedakan. Semuanya sama. Tapi dia lebih suka berkawan dengan ahwal daripada dengan jama’ah . Karena baginya berkawan dengan ahwal asli jawa itu lebih menyenangkan .Dia dapat mengetahui akan khas
budayanya, adat istiadat, makanan kesehariannya, dan masih banyak lagi yang dia dapatkan.
“Orang jawa itu makannya macam-macam. Ada gado-gado, rujak, tahu lontong, soto, rawon, bakso, tempe penyet, dan masih banyak lagi. Kalau kita orang sarapan pagi itu cuma makan roti maryam sama diolesi selai. Kadang kalau enggak gitu syawerma sama minum susu dikasih madu. Udah gitu doang, Man. Kalau makan siang sama malamnya, nasi kebuli, kafsah, biryani. Ane iri man sama ente”
Ahmad pun menceritakan seluruh kisah hidupnya di dalam lingkungan keluarganya yang keturunan arab. Salman pun hanya menahan tawanya yang terbahak\-bahak.
Salman dan Ahmad pun sangat menjaga persahabatnya. Apalagi Salman sangat beruntung sekali memiliki sahabat yang berketurunan nabi. Karena Salman selalu mengingat kata\-kata yang pernah disampaikan oleh ustadznya.
“Cintailah ahlul bait nabi, maka kalian akan dicintai nabi. Dan apabila nabi sudah mencintai kalian, maka nabi pun akan memberikan syafaat kepada kalian”
Tak lama kemudian salah satu temannya memanggil Salman dengan wajah penuh kelelahan tak berdaya. Dengan menghela nafasnya, dia pun berucap.
“Man, ente dipanggil Ustadz Fahmi di rumahnya.”
Salman pun terkejut. Dia langsung bergegas pergi menuju ke rumah beliau. Sesampainya disana, Salman mengetuk pintunya sembari mengucapkan salam. Ustadz Fahmi pun membuka pintu rumahnya.
“Assalamu’alaikum ustadz. Lebeykum … Ada yang bisa ane bantu? Katanya antum tadi manggil ane” Tanya Salman yang memulai mencari perhatian ustadznya.
“Salman… sini. Ente masuk sini” Beliau memerintah Salman untuk masuk ke dalam ruang tamu.
“Iya, Ustadz”
“Tenang, Salman. Ustadz sudah mengizinkan ente sama Ustadz Bahrul. Ustadz mau mengajak ente ke Kertosari. Pondok Banat .” Pinta Ustadz Fahmi sambil mengambil kunci mobilnya. Beliau bergegas pergi menaiki mobil yang terbilang mewah itu. Sebut saja mobil BMW. Salman pun mengikuti beliau sambil membuka pintu mobilnya dan segera menaikinya. Di sepanjang jalan dari Lawang hingga ke Pasuruan sangatlah ramai sekali. Ramai itupun karena terpenuhi oleh ribuan kendaraan yang menyebabkan macet total. Seiring waktu kendaraan semakin menjadi-jadi. Bukannya berkurang, malah sebaliknya.
“Mengapa hari ini terlihat macet sekali?”
Tanya Salman di benak hatinya. Dia mengingat bahwa hari ini adalah hari minggu. Benarlah bahwa hari ini dibilang
macet. Karena kota Malang jika menemui hari sabtu dan minggu jangan dibilang lagi. Pasti selalu macet total. Di bangku belakang, Salman berpikir. Bagaimana ini? Apakah aku akan menemui Maimunah? Ataupun sebaliknya? dan bagaimana diriku bila bertemu dengan sesosok Maimunah?
Pertanyaan itu selalu memutari pikiran jernihnya. Tak salah bila Salman memikirkan hal itu. Sudah menjadi biasa bila masa remaja selalu saling mencintai. Tapi apakah Salman akan mengatakan kepada Ustadznya akan cintanya dengan sesosok kekasihnya, Maimunah? Tidak… dia malah merahasiakan atas hubungan cintanya itu. Dia pendam sendiri cinta itu. Cinta yang membuat dirinya selalu terbang melayang diatas langit yang biru.
Dari kejauhan Pesantren Babul Khairat Putri yang berlokasi di Kertosari, Pasuruan mulai muncul terlihat oleh kedua buah mata Salman. Gedung yang menjulang tinggi berlantaikan lima itu seakan\-akan bagaikan hotel penginapan. Tapi sangatlah beruntung sekali bahwa gedung yang menjulang tinggi itu dibangun untuk menampung para santri putri yang setiap harinya untuk belajar dan beribadah.
* * * * * * *
Di belakang gedung maktabah telah berdiri sebuah gedung berlantaikan dua memanjang ke arah timur dan utara. Itulah Madrasah Tsanawiyah, Aliyah, serta Diniyah Babul Khairat Putri. Di lantai dua terdapat kelas terdapat seorang gadis bercadar sedang melamun tak menghiraukan siapapun. Sekilas sesaat, Ustadzah Fatimah langsung melemparkan sebuah penghapus papan tulis putih ke arah gadis bercadar itu,
“Madza ta’mali ya Maymunah? ”
Maimunah seorang gadis bercadar itu bergegas menoleh dan menghadap ke arah Ustadzah Fatimah dengan raut mukanya yang penuh kecemasan dan ketakutan.
“Asyufu manadzirul a’lam ” Jawab Maimunah dengan perkataan bahasa arabnya yang fasih.
“Ente tahu nggak? Sekarang waktunya apa! Pelajaran kan…! Makanya dengarkan…!”
Ustadzah Fatimah pun mulai mengangkatkan suara lembutnya hingga menjadi kasar bergejolak kemarahan.
“Alafu Ustadzah…” Sambil menggenggam kedua tangannya seperti orang yang penuh pengharapan.
“Baiklah Maimunah, lain kali jangan diulangi lagi!”
Maimunah pun mulai menganggukkan kepalanya. Dia langsung mengambil bolpoinnya dan selembar kertas putih yang masih bersih tanpa ada coretan sedikit pun. Di tengah\-tengah pelajaran dia pun menulis sebuah syair,
“Wahai Salmanku, dunia fanak ini hanyalah semata untukmu. Cintaku benar-benar sudi untuk menerbitkan sebuah mentari di lubuk hatiku. Sinar mentarinya selalu menerangi kegelapan di dalam hatiku tatkala diriku mulai kesepian. Hatiku bisa damai dan tentram bila diriku mendengar sebuah kata namamu. Walaupun diriku tak pernah melihat paras wajah tampanmu. Tapi ketampanan hatimulah yang dapat menghadirkan ribuan air mata kerinduan bagiku.
Wahai Salmanku, ku kira dirimu benar-benar telah memiliki kekasih yang kau cintai lainnya. Duniaku benar-benar telah hancur bagaikan ombak yang menghempas habis bangunan istana pasir. Aku benar-benar cinta dan rindu padamu. Akankah ku harus memendam cinta ini dengan himpitan abadi antara diriku dan dirimu? Bukankah dirimu juga mencintaiku dan merindukan diriku? Akankah para malaikat sang penerang hati dapat mendamaikan dan menyatukan hatiku ini denganmu? Sekali lagi Ana mencintai ente….
Wahai Salmanku, aku benar-benar dimabuk cinta. Aku tak dapat meninggalkan seorang pangeran pujaan hatiku yang selalu kuimpikan di setiap malam. Dirimu saja yang dapat membuatku turut cinta dan rindu padamu. Seakan-akan tubuhku telah terlilit oleh sebuah tali kerinduan. Alangkah indahnya bila dirimu datang menghampiriku. Aku berharap mendapat naungan cinta di bawah tangan abah Muhsin Al Attas. Dan aku pun berharap agar cinta ini akan selalu abadi hingga meninggalkan butiran-butiran kasih sayang yang melekat dan membekas di diri seorang yang menyaksikan atas cinta kita ini”
Air mata Maimunah pun mulai mengalir. Dunia cintanya mulai terbangun indah walaupun jauh jaraknya. Ketika mereka ingin mengungkapkan kecintaannya dan kerinduannya, maka dia hanya dapat melihat tulisan yang telah mereka buat. Bila dia ingin saling berkomunikasi, maka doanyalah yang dapat menyampaikan keduanya. Apabila mereka berdua menginginkan untuk saling bertemu, maka mereka hanya mengharapkan pada suatu ketika nanti dipertemukan oleh sang Maha Kuasa.
Benar Pondok Pesantren dengan lebel nama yang sama, akan tetapi tempat lokasinya yang berbeda. Itulah usaha cinta yang dapat dilakukan antara sang Salman dan Maimunah.
* * * * * * *
Tet..tet..tet, suara bel pulang pun telah berbunyi. Maimunah bergegas mengambil tas hitamnya dan kembali ke kamarnya. Dari kejauhan Maimunah melihat sebuah mobil bernama Mercedes yang telah diparkir di depan rumah Ustadzah Fatimah. Rumah Ustadzah Fatimah berada di dalam lingkup ma’had . Maimunah mengira bahwa itu adalah mobil milik Ustadz Fahmi. Akan tetapi akankah Salman Al Farisi juga berada disitu?. Ah… itu mah mustahil. Paling\-paling itu juga ilusi Maimunah. Tapi memang benar. Bukanlah kemustahilan yang nyata. Ustadz Fahmi yang sedang berjalan bersama sesosok lelaki Salman Al Farisi dengan membawa dua kardus kitab yang akan dimasukkan ke dalam bagasi mobilnya.
Tak lama kemudian Ustadzah Fatimah memanggil Maimunah.
“Ya Maimunah, ta’ali… ”
“Lebeyki…Ya Ustadzah” Jawab seorang Maimunah dengan suaranya yang sangat halus nan lembut sekali.
“Mumpung ada ente tolong buatkan dua cangkir kopi sama ambilkan kue sambosa di dapur. Tadi ustadzah habis beli sambosa. Kalau ente mau ambil juga. Tafaddzoli… ”
“Marhaba ” Jawab Maimunah dengan tubuhnya yang penuh gemetar ketakutan. Dia akan bertemu sang kekasih tercintanya.
Maimunah pun menggerutu kegirangan. Seperti senang ria bercampur ketakutan. Tapi apa boleh buat, Maimunah bergegas menuju ke dapur untuk membuat dua cangkir kopi dan mengambil sepiring sambosa. Setelah mendekati jarak antara Maimunah dan Salman, dia pun bertambah bergemetar tubuhnya. Air mata cintanya menetes dari kedua mata cantiknya. Dia usapkan air matanya dengan kebaya hitamnya yang indah nan anggun. Akhirnya Maimunah pun mendekati mereka berdua, dan memberikannya kepada mereka berdua.
“Tafadzol ya ustadz.” Sambil menatap kedua mata Salman tanpa sepengetahuan Ustadz Fahmi. Salman pun membalas senyumannya yang memukau. Sedangkan Ustadz Fahmi menghiraukan mereka berdua seakan-akan tak tahu apa-apa.
Itulah cinta yang dapat mereka pertemukan yaitu hanya dapat melihat tampang mukanya yang hanya saling memandang. Dan hanya sekedar balas membalas senyuman saja. Itulah sebuah obat yang dapat membahagiakan hati sang Salman dan Maimunah. Cinta itu tidak harus bersentuhan kulit dengan kulit, akan tetapi cinta itu sudah cukup diungkapkan dengan tatapan kedua mata yang saling memandang. Dan itulah cinta suci yang sesungguhnya, bukan cinta yang didustakan dengan kesyahwatan dari mereka berdua.
Hari ini adalah hari yang dibenci para santri. Hari dimana dihiasi oleh terbitnya mentari pagi yang menyinari dunia. Akan tetapi Salman merasa sangat benci sekali. Begitu juga Ahmad Al Kaff. Mereka berbincang dengan kebenciannya di hari itu. Apakah yang menyebabkan mereka berdua dan para santri putra seluruhnya benci terhadap hari jum’at ini?
“Ya Allah Mad, jum’at minggu ini bikin hawas ” Ucap Salman dengan raut mukanya yang penuh kebencian.
“Begitu juga ana, Man. Habis ini kita akan setoran hafalan, benarkan?”
“Iya, Mad. Setiap dua minggu sekali Ustadz Fahmi menyuruh kakak senior untuk menyimak kita untuk menyetor setoran hafalan sepuluh bab hadits arba’in dan seratus bet nadzom imriti” Jawab Salman dengan gemetar penuh ketakutan.
“Apa yang dilakukan Ustadz Fahmi kalau nggak hafal? Apa disuruh sekot jam? Apa dipukul?, atau disuruh membersihkan WC satu kamar?”
“Aduh sih Mad kayaknya minggu ini Ustadz Fahmi bawa rotan…! Ane fezak ”
“Ya Allah, Man. Ane juga fezak!” Sembari Ahmad pun menjawab dengan lantas penuh ketakutan.
Ketika di pertengahan perbincangan, datanglah seorang Ustadz yang memakai kopyah putih bertuliskan Babul Khairat, berbaju takwa putih, dan bersarung abu\-abu kotak putih. Sambil membawa rotan yang menjulur panjang. Dengan berjalan dengan begitu tegasnya. Kakinya yang berjalan dengan satu langkahnya bagaikan melangkah di antara langit dan bumi, beliau pun mulai mebuka mulut manisnya,
“Ayo, kholas..kholas.. Bayaktafi . Tutup kitabnya dan cari kelompoknya masing-masing.”
Para santri bergegas lari mencari tempatnya masing-masing. Mereka merasa ketakutan bercampur gemetar bagaikan bumi yang dilanda gempa. Setelah mereka menemukan kelompoknya masing-masing, mereka mulai duduk dan segera menyetorkan hafalan-hafalan mereka. Berbeda kelas tentunya berbeda hafalan. Dan kelas paling rendah adalah kelas Awal Tamhidi, mereka dituntut untuk menghafal satu kitab af’al yang berisi delapan belas bab.
Begitulah seterusnya. Bertambah tinggi kelasnya bertambah sulit dan banyak juga hafalannya. Pikiran dan otak mereka benar\-benar berputar seperti orang penuh kebingungan. Ustadz Fahmi memang melatih kepada mereka untuk selalu mengasah otak\-otak mereka agar kelak tidak tumpul penuh karat kebodohan. Maka otak\-otak mereka yang bagaikan pisau berawal tumpul maka menjadi tajam dan dengan cepatnya pisau tersebut dapat memotong dan mencincang. Begitu juga otak\-otak mereka, semakin mereka banyak menghafal semakin tajam pula otak\-otak mereka untuk berpikir dan menghafal.
Tapi berbeda dengan seorang Salman, dia begitu cepatnya menghafal. Tak disadari bahwa yang tadinya dia sangatlah takut untuk dita’zir dengan rotan, ternyata dia pun sudah hafal mulai seminggu yang lalu. Begitulah Salman, padahal dia sudah hafal tapi takut dita’zir. Jadi Salman pun bersantai, duduk menepis memojok membayangkan dan memikirkan seorang Maimunah. Dia selalu melantunkan doa\-doa cintanya untuk seorang kekasih yang dia cintai. Walaupun mereka tak saling bertatapan muka.
Dengan penuh keheranan dan bercampur banyak pertanyaan di dalam otak pikirannya, Ustadz Fahmi pun mulai bertanya kepada Salman,
“Salman, ente sudah nyetor?”
Dengan riang gembiranya, Salman pun menjawab dengan nada suaranya yang sangat lembut,
“Belum Ustadz”
“Yang lain masih hafalan, ngapain ente justru santai-santai duduk memojok begitu? Apa ente sudah hafal?”
“Kholas, Ustadz, tinggal nyetor saja” dia pun menjawab pertanyaan Ustadz Fahmi dengan penuh kebanggaan.
Ustadz Fahmi pun tersenyum senang. Beliau mengucapkan, “Ahsanta Barokallah fiik ” kepada seorang Salman. Beliau benar\-benar cinta dengan Salman. Karena sifatnya yang penurut dan tak pernah membantah, serta tutur katanya yang tak pernah kasar dan selalu membawa keadaan\-keadaan yang membuat beliau tenang dan tentram. Maka beliau pun menganggap Salman seperti adiknya sendiri.
Setelah waktu berjalan lama, Salman telah menyetorkan hafalan sepuluh hadits Arba’in Nawawi dan seratus bet nadzom Imritinya kepada kakak seniornya, bang Hasan namanya. Salman bersyukur kepada Allah, karena Allah lah yang telah membantu Salman sehingga dia dengan mudah dan lancarnya dalam menyetorkan hafalannya tadi. Waktu penyetoran pun telah usai. Jam menunjukkan pukul sepuluh siang.
Bergegaslah para santri beristirahat sejenak. Dan ada juga sebagian yang mulai mandi agar tidak saling mengantri terlalu lama. Mereka pun juga tak lupa bahwa hari ini adalah hari Jum’at yang penuh keberkahan dan penuh makna. Sebenarnya hari itu adalah hari libur para santri, akan tetapi hari itu mereka habiskan untuk menghafal dan menyetor. Sungguh menyedihkan…
Di tengah-tengah antrian kamar mandi itu, Salman dan Ahmad pun mulai bertanya-tanya akan hafalan yang telah disetorkan tadi,
“Mad ente tadi gimana, lancar nggak?” Tanya Salman dengan penuh kecemasan.
“Alhamdulillah, Man. Berkat Allah, beliau yang telah memberikanku kelancaran dalam menyetorkan hafalan tadi. Kalau ente, Man?”
“Alhamdulillah juga Mad, sama. Tadi ustadz Fahmi bilang ahsanta barokallah fiik”
“Gitu tadi ngapain ente tadi takut? Sampai tubuhmu gemetaran kayak bumi kena gempa gitu. Huh Man…man. Buktinya juga lancar.”
“Iya, Mad. Hehehe…”
Mereka berdua pun saling bercanda tawa di tengah\-tengah antrian kamar mandi yang cukup lama itu. Tak lama kemudian dua orang santri keluar dari kedua kamar mandi yang berjejeran. Mereka berdua pun langsung memasuki kamar mandi tersebut. Mereka basahi seluruh tubuhnya yang terlumuri oleh keringat dengan segayung air yang menyegarkan tubuh.
Setelah mandi selama tujuh menit, mereka bersegera memakai gamis putih dan dililitkan seulur surban putih yang berkapelan memutari leher keduannya. Tak lupa mereka mereka memakai kopyah putih diatas kepalanya yang bertuliskan “Babul Khairat” dengan tulisan arab. Ahmad dan Salman pun berjalan bersama dengan langkahan kaki yang melimpahkan pahala di setiap langkahannya menuju bangunan yang megah dan diatasnya terdapat kubah yang melingkar diatas bangunan tersebut. Itu adalah masjid “Ar Rahman” yang terletak tidak terlalu jauh dengan Pesantren mereka. Mereka duduk bersandingan, bersipuh dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa bersama karena mengharapkan pengampun dan ridha dari Allah semata.
“Dawaul qulub liqoul mahbuub” yang berarti obatnya hati adalah bertemu dengan seorang kekasih. Sebuah pepatah ulama’ itu telah diucapkan oleh Ahmad kepada Salman. Dia sendiri yang begitu banyaknya memiliki pepatah cinta. Mungkin dia adalah seorang pujangga yang butuh terhadap cinta? Atau bahasa ngetren nya bucin…
Tapi tidak seperti itu. Ahmad adalah sesosok pria yang tak terlalu memikirkan terhadap cinta. Tetapi hanya saja dia punya pepatah atau kata\-kata cinta yang banyak. Dia hanya menfokuskan dirinya untuk mengejar impiannya nanti. Yaitu meneruskan studynya di Darul Mustafa, iya sebuah Pondok Pesantren yang diasuh oleh Al Habib Umar bin Hafidz bertempat di kota Tarem, Hadramaut, Yaman Utara. Akan tetapi berbeda dengan Salman yang ingin melanjutkan studynya di Jami’ah Al Ahgaf, Hudaydah, Yaman Selatan yang diasuh oleh Prov. Dr. Al Habib Abdullah Baharun. Mereka berdua memiliki cita\-cita yang berbeda, akan tetapi dalam satu ajaran dan alumni Babul Khairat yang sama. Ahmad pun berharap semoga kelak dia dijodohkan oleh abi tercintanya tanpa menginginkan untuk mencari sendiri. Dia yakin bahwa orang tuanya benar\-benar membawa jodoh seorang gadis yang cocok untuk Ahmad. Mulai dari wajah yang cantik, agama dan keyakinannya yang kuat, sholehah, dan berbudi pekerti yang baik dan santun. Itulah yang diinginkan seorang Ahmad Al Kaff.
Sesampainya di Pondok, Salman dan Ahmad bergegas menuju ke dapur untuk mengambil jatah makan siangnya. Di Pondok benar\-benar diajarkan untuk disiplin dan penuh tirakat untuk menuju jalan kesuksesan. Mereka hanya memakan seadanya saja. Berlauk pauk tempe tahu dan diguyur oleh kuah tewel. Begitulah makanan kesehariannya di Pondok. Seadannya saja. Tanpa mengharapkan makanan yang lezat dan nikmat. Bagi mereka makan bersama adalah sebuah kenikmatan yang tak ada duanya. Tanpa disadari di belakang Ahmad ada seorang lelaki bernama Ubaid dan teman karibnya yaitu Faruq. Mereka berdua bersahabat dalam satu saudara berketurunan nabi. Ubaid memiliki fam Al Jufri sedangkan Faruq memiliki fam Assegaf. Mereka berdua sangatlah jail sekali. Yah mereka berdualah yang telah mengusik dan membully Salman. Kalau enggak gitu mereka mengejek dan menghina Salman dengan kata\-kata “ Harem…Harem…”. Seketika itu dirinya langsung terpaku meletakkan kedua kakinya sembari meneteskan butiran air mata. Salman yang begitu sabarnya menghadapi kedua harimau jahat itu. Salman hanya mengucapkan banyak hamdalah di benak hatinya ketika dia terbully oleh keduanya.
Malam pun telah tiba. Seusai sholat isya’ bukannya idzofi ataupun muthola’ah akan tetapi di Pondok ada seorang Ustadz Fahmi yang sedang duduk sambil membawa rotan yang menjulur panjang. Beliau juga didampingi oleh dua ustadz yang bermukim, mereka adalah Ustadz Bahrul dan Ustadz Fahrul. Mereka bertiga membawa rotan. Iya rotan yang sangat menakutkan. Tak lama kemudian Ustadz Fahmi pun berdiri membawa kertas hasil setoran hafalan pagi tadi. Beliau pun berkata,
“Disini banyak sekali yang dzoif hafalannya. Ustadz juga menta’zir yang pagi tadi tak mengikuti kegiatan wiridan.”
“Hah…Itukan kita, iya kan, mad?” Jawab Salman sambil bergemetar tubuhnya.
“Yaallah, man benar itu adalah kita…!”
Ustadz Fahmi langsung melanjutkan ucapannya tadi,
“Tadi Ustadz baru saja diberi tahu, Ustadz Bahrul. Katanya Salman dan Ahmad tidak mengikuti wiridan. Sudah berani ente tinggalkan istiqomah di Pondok?”
Beliau pun langsung mendekati Ahmad dan Salman. Beliau pun juga mengangkat rotannya dan memukuli keduanya. Ustadz Fahmi memang begitu. Beliau sangatlah disiplin dalam mengatur waktu. Begitu juga mendidik murid\-muridnya. Beliau benar\-benar marah besar. Tapi kemarahan beliau bukanlah kemarahan dari nafsu. Tetapi kemarahan tersebut benar\-benar datang dari hatinya. Beliau marah bukan karena membenci mereka, akan tetapi justru beliau sangatlah cinta dan sayang kepada mereka berdua. Beliau benar\-benar memperhatikan dan menjaga keduannya.
Setelah pukulan rotan yang menjalar merah di kedua tangan mereka, beliau langsung kembali ke tempatnya dan duduk dengan nyaman. Kemudian dilanjutkan Ustadz Bahrul dan Ustadz Fahrul yang berdiri. Beliau berdua memanggil para santri yang hafalannya dzoif. Segeralah beliau menta’zir para santri yang dzoif tersebut dengan pukulan rotan hingga menjalar merah. Begitu juga Salman dan Ahmad. Mereka berdua merenung pilu, merasakan butiran\-butiran kesalahan yang berada di dalam diri mereka. Dan mereka memulai meminta maaf kepada para Asatidz walaupun permintaan maaf itu masih belum terungkapkan di depan para Asatidz mereka berdua.
* * * * * * *
Maimunah yang sedang merenungi alam di atas ketinggian lantai lima, tak lama kemudian sahabat sejatinya Najwa pun mulai mendekatinya.
“Kita seperti terpenjara yah di Pondok ini.”
“Iya, wa. Ane sendiri juga iri dengan Pondok Banin . Di Banat mah ketat banget. Hari libur gini kayak gak libur. Keluar satu jengkal dari gerbang saja udah dita’zir”
Memang mereka mengira bahwa Pondok Banin lebih bebas daripada Pondok Banat. Tapi nyatanya, Banat lah yang lebih bebas dan tak terlalu ketat. Benar Pondok Banin tak terlalu ketat karena mulai dari keluar masuk gerbang Pondok itu tak dita’zir tapi jarak keluar masih tetap dibatasi. Kadang-kadang Ustadz Fahmi mengajak para santri keluar mencari wisata alam agar para santri tidak terus untuk menerima keketatan yang berkepanjangan. Dan yang paling ketat di Pondok Banin adalah masalah pendidikan. Memang sangatlah digembleng. Mereka dituntut untuk terus menghafal, menghafal, dan menghafal.
Berbeda dengan Pondok Banat yang tak terlalu ketat dalam Pendidikan, akan tetapi mereka diketatkan dalam masalah bergaul dan keluar masuk Pesantren. Ustadzah Fatimah pernah membentak salah satu santri putri ketika mereka akan melangkahkan satu injakan kaki dari gerbang esantren.
“Ente bahlul…! Khimar ente…! Fikiran ente buntu yah…! Bukannya ente belajar akhlak dan fikih? Bagaimana hukumnya keluar bagi kaum wanita! Bagi kami itu adalah sebuah aib yang sangat besar. Kami takut kalau ente nanti digoda oleh orang yang berada di depan sana. Bukannya Ustadzah benci sama ente. Tetapi ana malah cinta dan perhatian untuk menjaga ente.”
Tak lama kemudian Maimunah yang mengangkat sebuah cangkir kopi, dan tak disengaja cangkir tersebut pun jatuh hingga pecah. Hati Maimunah benar\-benar tak tenang. Dia mengira ada sebuah masalah yang dialami oleh Salman. Najwa penuh keheranan. Dia pun bertanya,
“Kenapa ente mun? Apa ada masalah? Kalau ada masalah bilang saja sama Najwa. Ane kan sahabat ente. Ungkapkan saja isi hati ente dengan penuh cinta dan ketenangan. Mungkin Najwa bisa membantu”
Maimunah benar\-benar tidak tenang. Hatinya mulai bergemetar ketakutan. Air matanya mulai mengalir. Dia pun mulai mengungkapkan isi hatinya,
“Ane benar-benar tidak tenang sekarang. Ane merasa ada yang menjanggal dalam hati. Mungkin ada masalah yang dialami Salman. Tetapi ane benar-benar merasakan ada yang menjanggal perasaan yang ada di dalam benak hati ane. Ane masyghul bil qolbi .”
Najwa yang begitu sedih melihat sahabatnya yang meneteskan air matanya, Najwa pun mulai menghiburnya,
“Tenang, Mun. Ente nggak usah banyak pikiran. Banyak istighfar aja. Barangkali itu adalah firasat yang baik. Jangan berpikir yang enggak-enggak. Mungkin tadi kamu terkena panasnya cangkir kopi yang sangat panas itu. Akhirnya kamu nggak kuat sehingga terjatuh hingga pecah, Atau bisa jadi ente melamun.?”
Setelah lamanya Maimunah menangis tak ada henti\-henti nya, Akhirnya dia mulai mengusapkan butiran air matanya. Dari kejauhan ada salah satu santri putri memanggil Maimunah sambil berlari menaiki anak tangga,
“Mun…munah…”
“Lebeyki Ya Aisyah.”
Jawab Maimunah dengan suaranya yang begitu lembutnya dan penuh sopan santun.
“Ente dipanggil Mak Syiah, katanya ada titipan dari anak Pondok Banin”
Mungkinkah itu Salman yang diharap\-harapkan atas kabar hidupnya? Raut wajah Maimunah yang seolah\-olah menunjukkan kesedihannya, dia pun langsung tersenyum sendiri. Seperti salah tingkah. Mukanya seketika itu terlihat sangat ceria sekali. Dia langsung bergegas menuruni anak tangga tersebut dengan cepatnya karena tak sabar ingin bertemu menemui Mak Syiah. Dia hanya berharap semoga ada titipan barang atau surat yang dibawa Mak Syiah adalah titipan dari kekasih yang diinginkannya, Salman.
Dengan beraninya Maimunah mulai mengangkatkan suaranya, dan bertanya kepada Mak Syiah,
“Mak, katanya Aisyah. Maimunah dapat titipan dari anak banin, benarkah…?”
“Iya, Mun. Ini titipan surat dan sebuah hadiah buat kamu. Katanya sih enggak boleh kasih tahu sebelum kamu sendiri yang membukanya.”
“Baiklah Mak Syiah sayang”
Jawab Maimunah dengan raut muka penuh bahagia, sambil memeluk Mak Syiah dengan erat. Bergegaslah Maimunah berjalan menuju ke maktabah. Dia berlari kegirangan sambil memanggil sahabatnya, Najwa Assegaf. Mereka berdua berjalan bersama menaiki anak tangga hingga sampai di lantai dua, itulah maktabah. Sambil berjalan tak sabar Maimunah yang ingin segera membuka hadiah itu. Dan ketika Maimunah membuka hadiah tersebut, dia melihat ada sebuah buku diary kecil yang terkunci dengan gembok kecil.
Hatinya mulai berdebar\-debar. Seakan\-akan dirinya seperti terbang melayang diatas langit. Kemudian Maimunah membuka selembar kertas putih yang bersih dengan hatinya yang mulai bergetar merasakan nada\-nada cinta yang telah ditiupkan oleh jiwa Salman. Dia pun mulai membacanya,
To: Bintu Bachtiar
From: Abdullah (Hamba Allah)
Assalamualaikum Wr. Wb.
Keyf haluk fi hadzal yaum? Kher? Ana senang bila ente sehat dan dapat menjaga jasmani ente. Hari ini ane benar-benar telah sirna. Ane merasa sedih dan pilu merenungkan sesuatu. Ada yang sakit di hati ane. Ane benar-benar merasakan sesuatu. Jaga baik-baik diri ente, Mun. Ane bener-bener cinta dan merindukan ente. Hati ane tak bisa hancur bila diri ente lah yang menusuk hati ane. Begitulah cinta, bila dirimu munafik di belakangku yang seakan-akan engkau membenciku dan menganggap diri ane sebagai musuh kekal ente. Engkau benar-benar mencintai ane kan? Engkau benar-benar merasakan getaran cinta yang datang dari hati ane kan? Ane berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggapai sebuah hati yang dapat menyatukan separuh hati ane. Cintailah ane walaupun hati ane jauh dari hati ente. Cintailah apa adanya. Dan jagalah sepasang hati ini dengan erat dan melindunginya dengan ribuan doa-doa. Ane berpesan “Bila diri ente memiliki kekasih yang benar-benar ente cintai… Carilah sebuah hati yang dapat menyatukan dan mendamaikan hati ente… Tolong jangan khianati ane… Jagalah dan lindungi dengan erat. Ane akan selalu mencintai ente… Uhibbuki fillah…”
Seketika itu hati Maimunah meluluh. Dia taburkan buah hatinya dengan serbukan manis cinta sucinya. Air matanya mulai berderai kan menetes membasahi hingga melecap kertas surat cinta sucinya itu. Surat yang diberikan dari sang kekasihnya, Salman Al Farisi. Dunia dan seisinya mulai menyaksikan isakan tangisan cinta sesosok Maimunah. Dia mengharapkan cinta sucinya selalu terbit menerangi sepasang hati yang penuh kegelapan. Sambil terisak tangis Maimunah mulai membuka mulut manisnya dan segera mengatakan kepada sahabat karibnya, Najwa Assegaf.
“Ane janji, wa. Ane bakalan menjaga cinta ini untuk selama-lamanya. Walaupun kedua pandangan mata yang tak saling melihat dan menyaksikan janji setia ini, tapi engkaulah yang harus menjadi saksinya, wa. Ane berjanji bakalan menjaga dan mentaburi sepasang hati suci ini dengan butiran cinta dan ribuan air mata. Cukup entelah yang menjadi saksinya. Hiks…hiks…hiks…(Sambil menangis terisak-isak dan tersedu-sedu)”
“Baiklah, Mun. Ane berjanji bakalan menjaga dan menjadi saksi yang setia ini, mun. Biarkanlah dunia dan alam semesta ini juga menjadi saksi cinta abadimu ini. Jadikanlah air mata sucimu itu sebagai obat kerinduan di dalam lubuk hatimu. Aku berharap ente senantiasa bisa menyatukkan dan menjaga sepasang hati yang tulus hadirnya cinta yang abadi ini.”
Lantas sesaat rundukkan kepala Maimunah yang memandang ke bawah, langsung dia bergegas mengangkat dengan secepat mungkin ke arah Najwa dengan air matanya yang mulai terusap oleh gamis hitamnya. Dia segera berlari menuju kamarnya sambil menggenggam erat telapak tangan Najwa. Sesampainya di kamar, Maimunah mulai membuka buku diary cinta itu yang telah diberikan Salman untuk sang kekasihnya. Dengan cepat, Maimunah mengambil pena dan mulai menggeliutkan tinta pena tersebut di atas buku diary cinta itu,
Syauqun bil Mahabbah
Lentera cinta yang bertaburkan ribuan nada…
Ribuan air mata mulai memendam rasa…
Cinta yang abadi takkan pernah sirna…
Walaupun badai kan berhembus menghabisi jutaan manusia…
Cukup sudah kau membuatku bahagia…
Dengan senyum manismu hatiku merasa penuh ceria…
Apakah cinta ini benar-benar sebuah saksi buta…
Dengan kehadiranmu cinta ini akan berkobar tak membara…
Lambaikan tanganmu wahai kekasih…
Rinduku takkan pernah membuncah ruah…
Cinta itu datang menghadirkan kenangan di atas lembah…
Tanpa dirimu cinta takkan pernah datang…
Akankah cinta haruslah saling memandang?
Akankah cinta hanyalah saling berpegangan tangan yang mulai merenggang?
Bukankah cinta itu sudah cukup dengan melantunkan doa melintang?
Maka janganlah pernah kau dustakan cinta ini…
Duhai kekasih…
“Dan jangan kau dustakan cinta ini wahai Salman. Kita benar\-benar telah menjaga janji cinta suci ini. Akankah dunia akan menyaksikan dan mendengarkan janji suci dan setia ini? Maka tunggulah saat\-saat cinta itu benar\-benar membuktikan antara kita berdua, Wahai Salman…
Ana Musytaq Ilayk…
Sebuah mentari pagi telah terbit menyinari kegelapan langit di malam hari. Kicauan burung menghiasi alam yang indah di pagi yang mulai mencerahkan langit itu. Alunan seruling yang begitu merdu menjadikan kedamaian di saat keadaan mulai bergaduh. Iya, alunan seruling dan lantunan qasidah arab “Qad Kafani” mendatangkan ribuan kata dalam kehidupan di dunia fanak ini.
Di saat pagi yang cerah ini, kau taburi dengan jutaan keindahan yang dapat menghilangkan kegundahan di sepanjang hari. Benar… Qasidah “Qad Kafani” dan alunan serulinglah yang dapat menghadirkan imajinasi dan sebuah motivasi. Selain itu, qasidah dan alunan seruling itu benar\-benar dapat menentramkan dan menyejukkan hati tatkala pikiran benar\-benar penuh dengan kegundahan. Salman Al Farisilah yang telah menyanyikan qasidah “Qad Kafani” dengan alunan seruling yang ditiup oleh Ahmad Assegaf. Qasidah yang bermakna kedamaian itu membuat rasa kegundahan terasa hilang. Tak terasa bahwa kegundahan tersebut telah diobati dengan lantunan qasidah. Iya, gundah tersebut telah datang dari hati Salman. Memang, di pagi ini Salman merasa sangat gundah sekali. Entah karena dia merindukan Maimunah ataupun keluarganya yang ada di rumah.
Sekejap dia terkejut di tengah\-tengah lamunannya. Dia melihat seekor merpati putih terbang melayang di atas langit dan tak diduga, ternyata merpati itu mendekati seekor merpati betina yang amat indahnya. Merpati jantan tersebut semakin mendekat. Seakan\-akan dirinya ingin mengungkapkan kecintaannya kepada sang kekasih yang dipuja\-pujanya. Selain mendekat, merpati jantan tersebut mulai mengeluarkan suaranya di dekat sang kekasih. Akan tetapi, sayangnya merpati itupun terbang meninggalkan merpati jantan tersebut.
“Ente lihat apa, Man? Kok seperti melamun begitu? Wah… Pasti melamun si Maimunah yah!”
Ahmad mulai menggoda dengan tertawanya yang agak diatahan.
“Laa, ahmad. Ana liat dua ekor merpati itu. Kasihan merpati jantan tersebut. Dia berharap mendapatkan cintanya dari sang kekasih yang diharap-harapkannya. Yah… Malah ditinggal terbang. Jadinya kan sendirian”
Lantas Ahmad pun melanjutkan,
“Itulah kehidupan, Man. Tidak selalu kita merasa senang terus. Pastinya juga ada yang menyedihkan dalam kehidupan. Apalagi yang dilakukan kedua merpati itu. Apa yang dapat ente ambil hikmahnya dari kisah sandiwara kedua merpati itu, Man?”
Salman mulai merasa kebingungan. Ada hikmah apakah di balik kisah kedua merpati itu?
“Enggak tahu lah, mad. Menurut ente apa hikmah yang dapat ente ambil dari kisah kedua merpati tersebut?”
Dengan senyum manisnya dan terlihat penuh ceria, Ahmad pun menjawab,
“Yang dapat ane ambil hikmahnya dari kedua ekor merpati itu ialah kedua merpati tersebut mungkin bukanlah jodohnya yang dipilihkan oleh Allah. Tapi ane yakin dengan kisah sang merpati jantan yang ditinggal seorang diri itu mungkin oleh Allah Swt telah memilihkan yang terbaik untuknya.”
Sesaat Salman pun langsung termenung pilu. Air matanya tiba\-tiba jatuh menetes. Dia takut ataukah Allah telah memilihkan nya yang terbaik untuk diri Salman. Salman pun juga berpikir bahwa tidaklah mungkin jika dia benar\-benar akan dijodohkan dengan seorang putri yang bernasabkan anak kyai. Itu adalah sebuah kemustahilan. Salman menganggap bahwa dirinya bukanlah siapa\-siapa akan tetapi dengan keyakinannya yang kuat, akhirnya dia percaya bahwa suatu ketika Allah pasti akan mempertemukan dengan seorang kekasihnya, Maimunah.
Pada pukul sembilan pagi, Salman dan Ahmad mulai meminta izin keluar kepada pengurus Pondok. Dan akhirnya kedua anak tersebut pun keluar dari Pondok dengan menikmati indahnya pemandangan\-pemandangan alam di sekitar. Dari jalan Ngamarto, tak disangka\-sangka ternyata mereka berdua menginjakkan di depan pasar Lawang. Entah karena perbincangan mereka berdua yang terlalu panjang dan mengasyikkan sampai mereka berdua terkejut dan tak sadarkan diri bahwa ternyata mereka berdiri di depan pasar.
“Eh mad, perasaan tadi kita berjalan masih di depan stasiun, ealah sekarang udah nyampek di depan pasar.”
Ahmad menjawab sambil meletakkan kedua tangannya di atas kepala,
“Iya, man. Wallah… Enggak terasa banget… Mungkin ini gara-gara kita banyak ngobrol tadi.” Salman mulai bergurau.
“Tapi kalau dipikir-pikir, masak kedua mata kita tadi enggak ngeliat sama sekali… Mata kita kan baik-baik saja kan?”
Ahmad pun mulai tertawa terbahak-bahak. Di tenga-tengah candaannya yang masih mengisak kegirangan, Ahmad pun melanjutkan,
“Ha…ha…ha… Yah enggak lah, man. Eh… Tapi bisa jadi… Barangkali waktu kita di tengah-tengah perjalan tadi, mata kita ketinggalan di Pondok”
Mereka berdua pun tak kuat menahan tertawanya yang terlalu terbahak-bahak. Air mata kegembiraannya sampai mengalir. Mungkin inilah yang dinamakan sahabat. Ketika satu sahabatnya sedih maka sahabat yang lainnya pun juga merasakan kesedihan pula. Sedangkan satu sahabatnya senang dan penuh suka cita maka sahabat yang lainnya pun juga merasakan kesenang itu pula.
Ketika mereka berdua memasuki Pasar, Ahmad mengajak Salman mampir ke sebuah Warung. Iya, Warung itu adalah Warung bakso “Al Hikmah” yang terkenal enak sekali. Banyak sekali dari kalangan para santri dan para pengunjung lainnya yang membeli bakso disitu. Karena jika memperkenalkan diri dan mengatakan bahwa kita adalah anak Pondok maka pak tukang bakso tersebut pun terkadang memberikannya bonus bahkan gratis.
“Ahmad, Salman… Nah baru nongol. Kemana aja kalian kok jarang kesini?”
“Maaf, pak Jufri kami jarang kesini, soalnya padat kegiatannya di pondok. Jadi kami enggak ada waktu luang. Apalagi sekarang perizinan keluar cuma dikasih waktu dua minggu sekali.”
Sahut Ahmad dengan wajah yang penuh keceriaan.
“Oooh gitu, yah… Mad. Ooh kalau gitu kalian duduk aja dulu. Sini mau beli apa?”
Akhirnya mereka berdua pun mendekati dan segera duduk menempati kursi dan meja pesanan. Ahmad dan Salman pun memesan dua porsi mangkuk bakso yang berisikan dua pentol kasar yang besar, goreng, mie kuning, tahu, somay, dan lontong. Tak lupa pula pak Jufri si tukang bakso tersebut menaburkan bawang goreng dan daun bawang di atas dua porsi mangkuk yang berisi bakso tersebut. Pak Jufri pun langsung memberikan dua porsi bakso kepada Ahmad dan Salman. Dengan lahapnya, Ahmad dan Salman menyantap bakso tersebut. Di tengah\-tengah makan, Salman pun mulai mengatakan,
“Baksone panjenengan enak tenan pak. Kulo sampek ketagihan lek tumbas teng mriki”
“Bisa aja kamu ini, man. Yah inilah bakso bapak ala kadarnya. Ada kalau sepuluh tahun bapak disini yah enggak ada perubahan sama sekali”
Salman dan Ahmad pun mulai terkejut. Mereka berdua tak menyangka jika pak Jufri telah berjualan bakso selama sepuluh tahun lamanya. Salman yang begitu terkejutnya langsung bergegas untuk menjawabnya dengan bahasa jawanya yang kental,
“Nopo pak, sedoso tahun? Masyaallah kuat temen panjenengan. Wong kulo teng pondok mawon tasek kaleh tahun mawon pun mboten kiat pak”
“Bagaimana sih kamu ini le…le… Orang cuma cari ilmu aja enggak kuat. Saya aja yang sudah sepuluh tahun banting tulang disini aja kuat dan Alhamdulillah masih dikasih kesehatan oleh Allah Swt. Makanya syukuri apa adanya, Man. Apalagi toh cuma cari ilmu. Enggak butuh menguras tenaga badan. Hanya saja cuma butuh pikiran aja. Semangat aja, man cari ilmunya. Sebelum kamu menyesal seperti bapak sekarang”
Pak Jufri yang begitu perhatiannya kepada Salman dan Ahmad tersebut. Beliau tidak menginginkan jika nasibnya nanti sama seperti nasibnya. Akhirnya mereka berdua pun menyantap dua porsi mangkuk tersebut. Mereka berdua juga memesan dua gelas minuman.
Salman memesan es jeruk, sedangkan Ahmad memesan jus jambu. Dengan terik matahari yang begitu panasnya hingga menusuk kedalam tulang, Ahmad dan Salman pun mengusap butiran-butiran keringat dari sekujur tubuhnya. Tak terasa bahwa mereka telah duduk di Warung Pak Jufri selama jam lamanya.
* * * * * * *
Jarum jam pun menunjukkan pukul sepuluh siang. Sang mentari yang begitu cerahnya menyinari bumi di siang hari itu. Ahmad dan Salman bergegas pergi ke Pondok karena mereka berdua akan segera mempersiapkan diri untuk berangkat ke Masjid menunaikan shalat Jum’at berjamaah.
Sesampainnya Pondok mereka segera bergegas mandi, berganti pakaian gamis putih. Tak lupa mereka menyemprotkan minyak wangi yang begitu semerbak memberikan aroma kewangian. Di sekujur gamisnya yang membalut tubuh mereka. Setelah selesai persiapan, mereka berdua pun langsung bergegas mengangkat kedua kakinya dan melangkah menuju Masjid “Ar Rohmah” yang berhadapan dengan Gereja. Sudah lama sekali Masjid “Ar Rohmah” berdiri. Kisaran lima belas tahun lamanya. Ahmad dan Salman pun mengambil air wudhu dan segera mencari shaf yang masih kosong. Mereka berdua langsung menunaikan shalat sunnah tahiyyatul masjid, bermunajat, dan berdoa kepada Allah sambil menunggu sang khatib berkhutbah.
Tak lama kemudian sang khatib menaiki mimbar yang telah tersedia di dalam masjid tersebut. Kali ini yang berkhutbah ialah Ustadz Aminullah. Beliau adalah juga salah satu ustadz yang berpengaruh di kota Lawang. Tak tertampak sesosok Ahmad dan Salman ternyata tertidur sekejap. Tak terasa bahwa kedua mata mereka seketika menutup rapat. Di tengah\-tengah Ustadz Amin berkhutbah, seketika itu Salman langsung memejamkan kedua matanya. Dia mulai mendengarkan khutbah Ustadz Aminullah dengan seksama,
“Bersabda Rasulullah SAW : “Al Muslim lil Muslim kal bunyan yasyuddu ba’duha ba’dzon” Yang artinya seorang muslim satu dengan orang muslim lainnya bagaikkan sebuah bangunan yang saling menguatkan satu sama lain. Maka dari itu Yama’syarol Hadzirin… Jagalah tali persaudaraan kalian sesama muslim. Karena kita adalah saudara. Jika satu saudara semuslim mu membutuhkan dan meminta pertolongan kepadamu maka bantulah! Maka tolonglah! Karena diri kalian dan dirinya itu seperti jati tubuh sampai-sampai Rasulullah mengibaratkan, jika salah satu orang muslim mengalami penyakit demam maka saudara muslim lainnya juga merasakan demam pula. Itulah saudara muslim yang haqiqi. Fattaqullah ya jami’ul Ikhwanii…”
Salman pun mulai meneteskan air mata. Hatinya telah tersentuh oleh khutbah yang telah disampaikan oleh Ustadz Aminullah. Seketika itu Ahmad pun langsung terbangun dari tidur sejenaknya. Dia bingung dengan Salman yang sedang meneteskan air matanya. Ahmad pun bertanya dengan penuh keheranan
“Ente kenapa, man la tabki man apa yang membuat ente menangis”
Salman masih menghela nafasnya. Tangisan air matanya masih membasai surban putih yang melelilit di lehernya. Isakan tangisnya masih terdengar dari kedua telinga Ahmad,
“Ma Fi Sye’ Mad ”.ane hanya teringat saja atas hadits yang telah disampaikan oleh Ustadz Aminullah. Ane mengira…Ane tidak bisa melakukan hadits itu. Ane terlalu kotor… Sebenarnya ane gak pantes jadi sahabat ente”
Gumam seorang santri dengan wajahnya yang berkulit sawo matang, hidungnya yang mancung, dan kedua kelopak matanya yang agak lebar. Dialah Salman Alfarizi.
“Lah… Ente kok kalam kadzalik ? Keyf ente? Ahmad udah bener-bener percaya kalau ente adalah sahabat ana yang benar-benar baik. Ente sudah membantu hidup ane untuk menjalani bersama. Itu sudah cukup buat ane. Hadist yang telah dibawakan Ustadz Aminullah itu sudah ada kriteria sifat-sifatnya ente”
Jawab Ahmad dengan nadanya yang dapat meluluhkan hati Salman.
Kini Salman mulai mengusapkan kedua buah matanya dengan serban putihnya. Dia benar\-benar merasa bersalah. Akan tetapi Ahmad telah membenarkan nya. Dia tidak bersalah hanya saja Salman yang menganggap dirinya bersalah.
Seusai sholat jum’at Ahmad dan Salman pun kembali ke Pondok. Mereka berdua akan mengantri di depan dapur, karena jatah makan siang akan segera di berikan oleh pembantu Ponpes. Berpuluh\-puluh santri, ternyata telah mengantri begitu lama di depan dapur. Iya mereka berbondong\-bondong untuk mempercepat langkahan kakinya kembali ke Pesantren.
Memang, Pondok Pesantren Babul Khairat Putra tidak sebanding dengan Pondok Pesantren Putri Babul Khairat. Jumlahnya lebih sedikit. Paling juga bisa dihitung tujuh puluhan lebih. Sedangkan santri Pondok Pesantren Babul Khairat Putri berjumlah lima ratus lebih. Memang, sang pendiri yakni al\-Habib Muhsin bin Umar al\-Attas mendirikan Pesantren Putri dahulu. Karena beliau mendapat pemasukan dari seorang ulama’ di Lawang. Di salah satu Pondok Pesantren,. Darun Nasyiin namanya. Beliau adalah al\-Habib Abdullah Ba’bud yang memang menyuruh al\-Habib Muhsin untuk mendirikan Pondok Pesantren Putri. Karena al\-Habib Abdullah Ba’bud telah mendirikan Pondok Pesantren Putra Darun Nasyiin.
Salman dan Ahmad pun menikmati hidangan makan siang yang telah di siapkan oleh pembantunya Bu Umi dan Bu Habibah. Mereka berdua memang santri paling disayang oleh Bu Umi, Bu Habibah, Ustadz Fahmi, dan masih banyak lagi.
“Salman, Ahmad gak kurang ta iwak e? segone barang gak kurang ta? Lek kurang kene imbuho maneh. Jek akeh segone”
Sahut Bu Umi di tengah Ahmad dan Salman menyantap hidangan makan siangnya.
“Enggeh, Bu”
Siang itu terlihat gelap. Sang mentari yang menyinari dunia dengan cahayanya yang begitu terang. Tiba-tiba awan mendung pun menggelutinya. Sang mentari yang tak memiliki
dosa, mengalah atas datangnya awan mendung yang menutupi dirinya. Mungkin selepas ini hujan pun akan turun.
Tapi dari kejauhan ada sesosok orang yang datang dan memasuki gerbang Pesantren. Banyak dari kalangan santri mengenalnya. Iya sesosok orang laki-laki yang sedang berjalan dengan penuh kewibawaan seolah-olah seperti kesatria yang telah mengalahkan ribuan prajurit. Beliau adalah Abah Jamal. Iya, beliau adalah ayahnya Salman. Sudah lama sekali mereka berdua berpisah. Akan tetapi, tak lama kemudian di belakang Abah Jamal ada sesosok wanita cantik yang belum terlalu tua. Pipinya begitu lesung kemerahan. Kedua matanya agak terlalu lebar. Dan hidungnya juga terlihat manag. Dia adalah Umi Salamah ibunda Salman tercinta. Dia sangat merindukan Salman tercinta.
Di siang yang penuh dengan kegelapan awan mendung Abah Jamal dan Umi Salamah mulai berteduh. Mereka berdua merasakan ada detakan jantung yang mulai berkobar. Memang rindu mereka mulai bertimpas\-timpas. Dengan munculnya Salman hati seorang ayah dan ibunda mulai bercahaya penuh dengan kebahagiaan. Salman menangis. Air matanya berderai membasahi gamisnya. Rindu antara seorang anak dan orang tuanya sangat lah kuat sekali. Karena sudah berbulan\-bulan ayahanda Salman tak berkunjung ke Pesantren. Mungkin karena sibuk bekerja ataupun kegiatan yang begitu padat di rumahnya. Ayahanda Salman, Abah Jamal mulai menangis. Rindunya mungkin dalam sendalu. Mereka benar\-benar telah dilanda oleh rindu. Rindunya bertimpas\-timpas, sehingga air matanya pun mulai merabas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!