Hari ini adalah hari yang dibenci para santri. Hari dimana dihiasi oleh terbitnya mentari pagi yang menyinari dunia. Akan tetapi Salman merasa sangat benci sekali. Begitu juga Ahmad Al Kaff. Mereka berbincang dengan kebenciannya di hari itu. Apakah yang menyebabkan mereka berdua dan para santri putra seluruhnya benci terhadap hari jum’at ini?
“Ya Allah Mad, jum’at minggu ini bikin hawas ” Ucap Salman dengan raut mukanya yang penuh kebencian.
“Begitu juga ana, Man. Habis ini kita akan setoran hafalan, benarkan?”
“Iya, Mad. Setiap dua minggu sekali Ustadz Fahmi menyuruh kakak senior untuk menyimak kita untuk menyetor setoran hafalan sepuluh bab hadits arba’in dan seratus bet nadzom imriti” Jawab Salman dengan gemetar penuh ketakutan.
“Apa yang dilakukan Ustadz Fahmi kalau nggak hafal? Apa disuruh sekot jam? Apa dipukul?, atau disuruh membersihkan WC satu kamar?”
“Aduh sih Mad kayaknya minggu ini Ustadz Fahmi bawa rotan…! Ane fezak ”
“Ya Allah, Man. Ane juga fezak!” Sembari Ahmad pun menjawab dengan lantas penuh ketakutan.
Ketika di pertengahan perbincangan, datanglah seorang Ustadz yang memakai kopyah putih bertuliskan Babul Khairat, berbaju takwa putih, dan bersarung abu\-abu kotak putih. Sambil membawa rotan yang menjulur panjang. Dengan berjalan dengan begitu tegasnya. Kakinya yang berjalan dengan satu langkahnya bagaikan melangkah di antara langit dan bumi, beliau pun mulai mebuka mulut manisnya,
“Ayo, kholas..kholas.. Bayaktafi . Tutup kitabnya dan cari kelompoknya masing-masing.”
Para santri bergegas lari mencari tempatnya masing-masing. Mereka merasa ketakutan bercampur gemetar bagaikan bumi yang dilanda gempa. Setelah mereka menemukan kelompoknya masing-masing, mereka mulai duduk dan segera menyetorkan hafalan-hafalan mereka. Berbeda kelas tentunya berbeda hafalan. Dan kelas paling rendah adalah kelas Awal Tamhidi, mereka dituntut untuk menghafal satu kitab af’al yang berisi delapan belas bab.
Begitulah seterusnya. Bertambah tinggi kelasnya bertambah sulit dan banyak juga hafalannya. Pikiran dan otak mereka benar\-benar berputar seperti orang penuh kebingungan. Ustadz Fahmi memang melatih kepada mereka untuk selalu mengasah otak\-otak mereka agar kelak tidak tumpul penuh karat kebodohan. Maka otak\-otak mereka yang bagaikan pisau berawal tumpul maka menjadi tajam dan dengan cepatnya pisau tersebut dapat memotong dan mencincang. Begitu juga otak\-otak mereka, semakin mereka banyak menghafal semakin tajam pula otak\-otak mereka untuk berpikir dan menghafal.
Tapi berbeda dengan seorang Salman, dia begitu cepatnya menghafal. Tak disadari bahwa yang tadinya dia sangatlah takut untuk dita’zir dengan rotan, ternyata dia pun sudah hafal mulai seminggu yang lalu. Begitulah Salman, padahal dia sudah hafal tapi takut dita’zir. Jadi Salman pun bersantai, duduk menepis memojok membayangkan dan memikirkan seorang Maimunah. Dia selalu melantunkan doa\-doa cintanya untuk seorang kekasih yang dia cintai. Walaupun mereka tak saling bertatapan muka.
Dengan penuh keheranan dan bercampur banyak pertanyaan di dalam otak pikirannya, Ustadz Fahmi pun mulai bertanya kepada Salman,
“Salman, ente sudah nyetor?”
Dengan riang gembiranya, Salman pun menjawab dengan nada suaranya yang sangat lembut,
“Belum Ustadz”
“Yang lain masih hafalan, ngapain ente justru santai-santai duduk memojok begitu? Apa ente sudah hafal?”
“Kholas, Ustadz, tinggal nyetor saja” dia pun menjawab pertanyaan Ustadz Fahmi dengan penuh kebanggaan.
Ustadz Fahmi pun tersenyum senang. Beliau mengucapkan, “Ahsanta Barokallah fiik ” kepada seorang Salman. Beliau benar\-benar cinta dengan Salman. Karena sifatnya yang penurut dan tak pernah membantah, serta tutur katanya yang tak pernah kasar dan selalu membawa keadaan\-keadaan yang membuat beliau tenang dan tentram. Maka beliau pun menganggap Salman seperti adiknya sendiri.
Setelah waktu berjalan lama, Salman telah menyetorkan hafalan sepuluh hadits Arba’in Nawawi dan seratus bet nadzom Imritinya kepada kakak seniornya, bang Hasan namanya. Salman bersyukur kepada Allah, karena Allah lah yang telah membantu Salman sehingga dia dengan mudah dan lancarnya dalam menyetorkan hafalannya tadi. Waktu penyetoran pun telah usai. Jam menunjukkan pukul sepuluh siang.
Bergegaslah para santri beristirahat sejenak. Dan ada juga sebagian yang mulai mandi agar tidak saling mengantri terlalu lama. Mereka pun juga tak lupa bahwa hari ini adalah hari Jum’at yang penuh keberkahan dan penuh makna. Sebenarnya hari itu adalah hari libur para santri, akan tetapi hari itu mereka habiskan untuk menghafal dan menyetor. Sungguh menyedihkan…
Di tengah-tengah antrian kamar mandi itu, Salman dan Ahmad pun mulai bertanya-tanya akan hafalan yang telah disetorkan tadi,
“Mad ente tadi gimana, lancar nggak?” Tanya Salman dengan penuh kecemasan.
“Alhamdulillah, Man. Berkat Allah, beliau yang telah memberikanku kelancaran dalam menyetorkan hafalan tadi. Kalau ente, Man?”
“Alhamdulillah juga Mad, sama. Tadi ustadz Fahmi bilang ahsanta barokallah fiik”
“Gitu tadi ngapain ente tadi takut? Sampai tubuhmu gemetaran kayak bumi kena gempa gitu. Huh Man…man. Buktinya juga lancar.”
“Iya, Mad. Hehehe…”
Mereka berdua pun saling bercanda tawa di tengah\-tengah antrian kamar mandi yang cukup lama itu. Tak lama kemudian dua orang santri keluar dari kedua kamar mandi yang berjejeran. Mereka berdua pun langsung memasuki kamar mandi tersebut. Mereka basahi seluruh tubuhnya yang terlumuri oleh keringat dengan segayung air yang menyegarkan tubuh.
Setelah mandi selama tujuh menit, mereka bersegera memakai gamis putih dan dililitkan seulur surban putih yang berkapelan memutari leher keduannya. Tak lupa mereka mereka memakai kopyah putih diatas kepalanya yang bertuliskan “Babul Khairat” dengan tulisan arab. Ahmad dan Salman pun berjalan bersama dengan langkahan kaki yang melimpahkan pahala di setiap langkahannya menuju bangunan yang megah dan diatasnya terdapat kubah yang melingkar diatas bangunan tersebut. Itu adalah masjid “Ar Rahman” yang terletak tidak terlalu jauh dengan Pesantren mereka. Mereka duduk bersandingan, bersipuh dan mengangkat kedua tangannya sambil berdoa bersama karena mengharapkan pengampun dan ridha dari Allah semata.
“Dawaul qulub liqoul mahbuub” yang berarti obatnya hati adalah bertemu dengan seorang kekasih. Sebuah pepatah ulama’ itu telah diucapkan oleh Ahmad kepada Salman. Dia sendiri yang begitu banyaknya memiliki pepatah cinta. Mungkin dia adalah seorang pujangga yang butuh terhadap cinta? Atau bahasa ngetren nya bucin…
Tapi tidak seperti itu. Ahmad adalah sesosok pria yang tak terlalu memikirkan terhadap cinta. Tetapi hanya saja dia punya pepatah atau kata\-kata cinta yang banyak. Dia hanya menfokuskan dirinya untuk mengejar impiannya nanti. Yaitu meneruskan studynya di Darul Mustafa, iya sebuah Pondok Pesantren yang diasuh oleh Al Habib Umar bin Hafidz bertempat di kota Tarem, Hadramaut, Yaman Utara. Akan tetapi berbeda dengan Salman yang ingin melanjutkan studynya di Jami’ah Al Ahgaf, Hudaydah, Yaman Selatan yang diasuh oleh Prov. Dr. Al Habib Abdullah Baharun. Mereka berdua memiliki cita\-cita yang berbeda, akan tetapi dalam satu ajaran dan alumni Babul Khairat yang sama. Ahmad pun berharap semoga kelak dia dijodohkan oleh abi tercintanya tanpa menginginkan untuk mencari sendiri. Dia yakin bahwa orang tuanya benar\-benar membawa jodoh seorang gadis yang cocok untuk Ahmad. Mulai dari wajah yang cantik, agama dan keyakinannya yang kuat, sholehah, dan berbudi pekerti yang baik dan santun. Itulah yang diinginkan seorang Ahmad Al Kaff.
Sesampainya di Pondok, Salman dan Ahmad bergegas menuju ke dapur untuk mengambil jatah makan siangnya. Di Pondok benar\-benar diajarkan untuk disiplin dan penuh tirakat untuk menuju jalan kesuksesan. Mereka hanya memakan seadanya saja. Berlauk pauk tempe tahu dan diguyur oleh kuah tewel. Begitulah makanan kesehariannya di Pondok. Seadannya saja. Tanpa mengharapkan makanan yang lezat dan nikmat. Bagi mereka makan bersama adalah sebuah kenikmatan yang tak ada duanya. Tanpa disadari di belakang Ahmad ada seorang lelaki bernama Ubaid dan teman karibnya yaitu Faruq. Mereka berdua bersahabat dalam satu saudara berketurunan nabi. Ubaid memiliki fam Al Jufri sedangkan Faruq memiliki fam Assegaf. Mereka berdua sangatlah jail sekali. Yah mereka berdualah yang telah mengusik dan membully Salman. Kalau enggak gitu mereka mengejek dan menghina Salman dengan kata\-kata “ Harem…Harem…”. Seketika itu dirinya langsung terpaku meletakkan kedua kakinya sembari meneteskan butiran air mata. Salman yang begitu sabarnya menghadapi kedua harimau jahat itu. Salman hanya mengucapkan banyak hamdalah di benak hatinya ketika dia terbully oleh keduanya.
Malam pun telah tiba. Seusai sholat isya’ bukannya idzofi ataupun muthola’ah akan tetapi di Pondok ada seorang Ustadz Fahmi yang sedang duduk sambil membawa rotan yang menjulur panjang. Beliau juga didampingi oleh dua ustadz yang bermukim, mereka adalah Ustadz Bahrul dan Ustadz Fahrul. Mereka bertiga membawa rotan. Iya rotan yang sangat menakutkan. Tak lama kemudian Ustadz Fahmi pun berdiri membawa kertas hasil setoran hafalan pagi tadi. Beliau pun berkata,
“Disini banyak sekali yang dzoif hafalannya. Ustadz juga menta’zir yang pagi tadi tak mengikuti kegiatan wiridan.”
“Hah…Itukan kita, iya kan, mad?” Jawab Salman sambil bergemetar tubuhnya.
“Yaallah, man benar itu adalah kita…!”
Ustadz Fahmi langsung melanjutkan ucapannya tadi,
“Tadi Ustadz baru saja diberi tahu, Ustadz Bahrul. Katanya Salman dan Ahmad tidak mengikuti wiridan. Sudah berani ente tinggalkan istiqomah di Pondok?”
Beliau pun langsung mendekati Ahmad dan Salman. Beliau pun juga mengangkat rotannya dan memukuli keduanya. Ustadz Fahmi memang begitu. Beliau sangatlah disiplin dalam mengatur waktu. Begitu juga mendidik murid\-muridnya. Beliau benar\-benar marah besar. Tapi kemarahan beliau bukanlah kemarahan dari nafsu. Tetapi kemarahan tersebut benar\-benar datang dari hatinya. Beliau marah bukan karena membenci mereka, akan tetapi justru beliau sangatlah cinta dan sayang kepada mereka berdua. Beliau benar\-benar memperhatikan dan menjaga keduannya.
Setelah pukulan rotan yang menjalar merah di kedua tangan mereka, beliau langsung kembali ke tempatnya dan duduk dengan nyaman. Kemudian dilanjutkan Ustadz Bahrul dan Ustadz Fahrul yang berdiri. Beliau berdua memanggil para santri yang hafalannya dzoif. Segeralah beliau menta’zir para santri yang dzoif tersebut dengan pukulan rotan hingga menjalar merah. Begitu juga Salman dan Ahmad. Mereka berdua merenung pilu, merasakan butiran\-butiran kesalahan yang berada di dalam diri mereka. Dan mereka memulai meminta maaf kepada para Asatidz walaupun permintaan maaf itu masih belum terungkapkan di depan para Asatidz mereka berdua.
* * * * * * *
Maimunah yang sedang merenungi alam di atas ketinggian lantai lima, tak lama kemudian sahabat sejatinya Najwa pun mulai mendekatinya.
“Kita seperti terpenjara yah di Pondok ini.”
“Iya, wa. Ane sendiri juga iri dengan Pondok Banin . Di Banat mah ketat banget. Hari libur gini kayak gak libur. Keluar satu jengkal dari gerbang saja udah dita’zir”
Memang mereka mengira bahwa Pondok Banin lebih bebas daripada Pondok Banat. Tapi nyatanya, Banat lah yang lebih bebas dan tak terlalu ketat. Benar Pondok Banin tak terlalu ketat karena mulai dari keluar masuk gerbang Pondok itu tak dita’zir tapi jarak keluar masih tetap dibatasi. Kadang-kadang Ustadz Fahmi mengajak para santri keluar mencari wisata alam agar para santri tidak terus untuk menerima keketatan yang berkepanjangan. Dan yang paling ketat di Pondok Banin adalah masalah pendidikan. Memang sangatlah digembleng. Mereka dituntut untuk terus menghafal, menghafal, dan menghafal.
Berbeda dengan Pondok Banat yang tak terlalu ketat dalam Pendidikan, akan tetapi mereka diketatkan dalam masalah bergaul dan keluar masuk Pesantren. Ustadzah Fatimah pernah membentak salah satu santri putri ketika mereka akan melangkahkan satu injakan kaki dari gerbang esantren.
“Ente bahlul…! Khimar ente…! Fikiran ente buntu yah…! Bukannya ente belajar akhlak dan fikih? Bagaimana hukumnya keluar bagi kaum wanita! Bagi kami itu adalah sebuah aib yang sangat besar. Kami takut kalau ente nanti digoda oleh orang yang berada di depan sana. Bukannya Ustadzah benci sama ente. Tetapi ana malah cinta dan perhatian untuk menjaga ente.”
Tak lama kemudian Maimunah yang mengangkat sebuah cangkir kopi, dan tak disengaja cangkir tersebut pun jatuh hingga pecah. Hati Maimunah benar\-benar tak tenang. Dia mengira ada sebuah masalah yang dialami oleh Salman. Najwa penuh keheranan. Dia pun bertanya,
“Kenapa ente mun? Apa ada masalah? Kalau ada masalah bilang saja sama Najwa. Ane kan sahabat ente. Ungkapkan saja isi hati ente dengan penuh cinta dan ketenangan. Mungkin Najwa bisa membantu”
Maimunah benar\-benar tidak tenang. Hatinya mulai bergemetar ketakutan. Air matanya mulai mengalir. Dia pun mulai mengungkapkan isi hatinya,
“Ane benar-benar tidak tenang sekarang. Ane merasa ada yang menjanggal dalam hati. Mungkin ada masalah yang dialami Salman. Tetapi ane benar-benar merasakan ada yang menjanggal perasaan yang ada di dalam benak hati ane. Ane masyghul bil qolbi .”
Najwa yang begitu sedih melihat sahabatnya yang meneteskan air matanya, Najwa pun mulai menghiburnya,
“Tenang, Mun. Ente nggak usah banyak pikiran. Banyak istighfar aja. Barangkali itu adalah firasat yang baik. Jangan berpikir yang enggak-enggak. Mungkin tadi kamu terkena panasnya cangkir kopi yang sangat panas itu. Akhirnya kamu nggak kuat sehingga terjatuh hingga pecah, Atau bisa jadi ente melamun.?”
Setelah lamanya Maimunah menangis tak ada henti\-henti nya, Akhirnya dia mulai mengusapkan butiran air matanya. Dari kejauhan ada salah satu santri putri memanggil Maimunah sambil berlari menaiki anak tangga,
“Mun…munah…”
“Lebeyki Ya Aisyah.”
Jawab Maimunah dengan suaranya yang begitu lembutnya dan penuh sopan santun.
“Ente dipanggil Mak Syiah, katanya ada titipan dari anak Pondok Banin”
Mungkinkah itu Salman yang diharap\-harapkan atas kabar hidupnya? Raut wajah Maimunah yang seolah\-olah menunjukkan kesedihannya, dia pun langsung tersenyum sendiri. Seperti salah tingkah. Mukanya seketika itu terlihat sangat ceria sekali. Dia langsung bergegas menuruni anak tangga tersebut dengan cepatnya karena tak sabar ingin bertemu menemui Mak Syiah. Dia hanya berharap semoga ada titipan barang atau surat yang dibawa Mak Syiah adalah titipan dari kekasih yang diinginkannya, Salman.
Dengan beraninya Maimunah mulai mengangkatkan suaranya, dan bertanya kepada Mak Syiah,
“Mak, katanya Aisyah. Maimunah dapat titipan dari anak banin, benarkah…?”
“Iya, Mun. Ini titipan surat dan sebuah hadiah buat kamu. Katanya sih enggak boleh kasih tahu sebelum kamu sendiri yang membukanya.”
“Baiklah Mak Syiah sayang”
Jawab Maimunah dengan raut muka penuh bahagia, sambil memeluk Mak Syiah dengan erat. Bergegaslah Maimunah berjalan menuju ke maktabah. Dia berlari kegirangan sambil memanggil sahabatnya, Najwa Assegaf. Mereka berdua berjalan bersama menaiki anak tangga hingga sampai di lantai dua, itulah maktabah. Sambil berjalan tak sabar Maimunah yang ingin segera membuka hadiah itu. Dan ketika Maimunah membuka hadiah tersebut, dia melihat ada sebuah buku diary kecil yang terkunci dengan gembok kecil.
Hatinya mulai berdebar\-debar. Seakan\-akan dirinya seperti terbang melayang diatas langit. Kemudian Maimunah membuka selembar kertas putih yang bersih dengan hatinya yang mulai bergetar merasakan nada\-nada cinta yang telah ditiupkan oleh jiwa Salman. Dia pun mulai membacanya,
To: Bintu Bachtiar
From: Abdullah (Hamba Allah)
Assalamualaikum Wr. Wb.
Keyf haluk fi hadzal yaum? Kher? Ana senang bila ente sehat dan dapat menjaga jasmani ente. Hari ini ane benar-benar telah sirna. Ane merasa sedih dan pilu merenungkan sesuatu. Ada yang sakit di hati ane. Ane benar-benar merasakan sesuatu. Jaga baik-baik diri ente, Mun. Ane bener-bener cinta dan merindukan ente. Hati ane tak bisa hancur bila diri ente lah yang menusuk hati ane. Begitulah cinta, bila dirimu munafik di belakangku yang seakan-akan engkau membenciku dan menganggap diri ane sebagai musuh kekal ente. Engkau benar-benar mencintai ane kan? Engkau benar-benar merasakan getaran cinta yang datang dari hati ane kan? Ane berusaha dengan sekuat tenaga untuk menggapai sebuah hati yang dapat menyatukan separuh hati ane. Cintailah ane walaupun hati ane jauh dari hati ente. Cintailah apa adanya. Dan jagalah sepasang hati ini dengan erat dan melindunginya dengan ribuan doa-doa. Ane berpesan “Bila diri ente memiliki kekasih yang benar-benar ente cintai… Carilah sebuah hati yang dapat menyatukan dan mendamaikan hati ente… Tolong jangan khianati ane… Jagalah dan lindungi dengan erat. Ane akan selalu mencintai ente… Uhibbuki fillah…”
Seketika itu hati Maimunah meluluh. Dia taburkan buah hatinya dengan serbukan manis cinta sucinya. Air matanya mulai berderai kan menetes membasahi hingga melecap kertas surat cinta sucinya itu. Surat yang diberikan dari sang kekasihnya, Salman Al Farisi. Dunia dan seisinya mulai menyaksikan isakan tangisan cinta sesosok Maimunah. Dia mengharapkan cinta sucinya selalu terbit menerangi sepasang hati yang penuh kegelapan. Sambil terisak tangis Maimunah mulai membuka mulut manisnya dan segera mengatakan kepada sahabat karibnya, Najwa Assegaf.
“Ane janji, wa. Ane bakalan menjaga cinta ini untuk selama-lamanya. Walaupun kedua pandangan mata yang tak saling melihat dan menyaksikan janji setia ini, tapi engkaulah yang harus menjadi saksinya, wa. Ane berjanji bakalan menjaga dan mentaburi sepasang hati suci ini dengan butiran cinta dan ribuan air mata. Cukup entelah yang menjadi saksinya. Hiks…hiks…hiks…(Sambil menangis terisak-isak dan tersedu-sedu)”
“Baiklah, Mun. Ane berjanji bakalan menjaga dan menjadi saksi yang setia ini, mun. Biarkanlah dunia dan alam semesta ini juga menjadi saksi cinta abadimu ini. Jadikanlah air mata sucimu itu sebagai obat kerinduan di dalam lubuk hatimu. Aku berharap ente senantiasa bisa menyatukkan dan menjaga sepasang hati yang tulus hadirnya cinta yang abadi ini.”
Lantas sesaat rundukkan kepala Maimunah yang memandang ke bawah, langsung dia bergegas mengangkat dengan secepat mungkin ke arah Najwa dengan air matanya yang mulai terusap oleh gamis hitamnya. Dia segera berlari menuju kamarnya sambil menggenggam erat telapak tangan Najwa. Sesampainya di kamar, Maimunah mulai membuka buku diary cinta itu yang telah diberikan Salman untuk sang kekasihnya. Dengan cepat, Maimunah mengambil pena dan mulai menggeliutkan tinta pena tersebut di atas buku diary cinta itu,
Syauqun bil Mahabbah
Lentera cinta yang bertaburkan ribuan nada…
Ribuan air mata mulai memendam rasa…
Cinta yang abadi takkan pernah sirna…
Walaupun badai kan berhembus menghabisi jutaan manusia…
Cukup sudah kau membuatku bahagia…
Dengan senyum manismu hatiku merasa penuh ceria…
Apakah cinta ini benar-benar sebuah saksi buta…
Dengan kehadiranmu cinta ini akan berkobar tak membara…
Lambaikan tanganmu wahai kekasih…
Rinduku takkan pernah membuncah ruah…
Cinta itu datang menghadirkan kenangan di atas lembah…
Tanpa dirimu cinta takkan pernah datang…
Akankah cinta haruslah saling memandang?
Akankah cinta hanyalah saling berpegangan tangan yang mulai merenggang?
Bukankah cinta itu sudah cukup dengan melantunkan doa melintang?
Maka janganlah pernah kau dustakan cinta ini…
Duhai kekasih…
“Dan jangan kau dustakan cinta ini wahai Salman. Kita benar\-benar telah menjaga janji cinta suci ini. Akankah dunia akan menyaksikan dan mendengarkan janji suci dan setia ini? Maka tunggulah saat\-saat cinta itu benar\-benar membuktikan antara kita berdua, Wahai Salman…
Ana Musytaq Ilayk…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments