Saat Cinta Harus Memilih
Bab I
S. Dengki, Tanjungbalai Asahan.
“Niaaa…!” suara panggilan Bu Rani terdengar dari depan rumah papan berukuran 6 X 12 meter itu.
Sore yang mendung, saat Nia tengah menceburkan diri di tepi Sungai Asahan yang kebetulan berada di ujung jalan dari barisan rumah penduduk di kawasan tempat tinggal mereka.
Nia mengeluarkan kepalanya dari hamparan air yang mulai bergelombang pasang dengan deburan-deburan kecil yang semakin lama semakin kencang. Digoyang-goyangkannya kepalanya ke kiri dan ke kanan hingga rambutnya yang basah dan panjang terurai ikut berhamburan ke kiri dan ke kanan.
Ada apa, sih? pikir Nia sambil buru-buru berenang dari jarak 10 meter ke arah tepian sungai. Tak biasanya sang ibu memanggil namanya keras walaupun nyaris setiap sore dia menceburkan diri bercengkerama dengan deburan ombak.
Barangkali ada hal penting yang hendak disampaikannya segera jadi dirinya dipanggil saat belum selesai menghibur diri di dalam sungai yang sudah akrab dengannya sejak dirinya masih balita. Kalau dihitung, berarti sudah 17 tahun air di sungai itu menjadi sahabatnya.
Nia menyentuh tanah di tepian sungai itu dengan kedua tangannya, menjadikan kedua telapak tangannya yang bertumpu menopang badannya untuk keluar dari dalam air. Wajahnya yang ayu nan jelita tampak jelas diterpa cahaya matahari sore yang menerobos lewat celah pepohonan rindang.
Sinar matahari sore seolah malu membelai wajah gadis cantik bertubuh molek yang tengah memasuki usia tujuh belasan itu. Walaupun demikian, kecantikan gadis itu seolah tersembunyi di rumah paling ujung di salah satu gang rumah penduduk di kawasan itu. Hanya hamparan air yang tahu dan mengerti betapa molek tubuh, ayu kemayu, dan cantik rupawan gadis belia yang juga berhati polos dan putih seputih salju.
Langkahnya sampai di depan rumah papan yang dibangun di atas aliran sungai. Rumah papan sederhana tak berloteng yang mengakrabinya sejak belasan tahun lalu. Rumah itu hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Kamar utama tempat ayah ibunya dan kamarnya sendiri yang merupakan anak tunggal dari kedua orangtuanya.
“Ada apa, Bu?” tanya Nia saat dirinya telah berdiri di samping ibunya yang memandangnya dari jauh dan menungguinya sedari tadi.
Biasanya, sehabis mandi di sungai, dia akan mandi lagi di kamar mandi sebelum malam menjelang. Tapi melihat sang ibu seperti tak sabar lagi hendak mengabarkan suatu hal penting, membuat Nia mengurungkan niatnya sejenak, menunggu kata-kata terucap dari mulut beliau.
“Begini, Nia,” mulai Bu Rani, “Barusan tadi Om Wisnu telepon ke ponsel Ibu. Om Wisnu menawarkan suatu hal yang penting buat masa depanmu. Karena ini menyangkut dirimu, maka Ibu memintanya untuk menanyakan langsung padamu. Kamu tadi lagi di sungai, jadi Om Wisnu berkata akan telepon sebentar lagi.”
“Oh, hal penting apa, Bu? Om Wisnu yang Ibu maksud itu papanya Ardiankah, Ma? Yang dulu bertetanga dengan kita?” tanya Nia mengingat nama itu.
“Iya, betul! Ternyata kamu masih ingat ya, Nia,” senang Bu Rani. “Sudah sepuluh tahun Om Wisnu pindah ke kota Medan, memulai bisnisnya di sana dan sekarang Om Wisnu sudah berhasil menjadi pengusaha sukses. Kabarnya, Om Wisnu tinggal di kawasan elit, di rumah villa yang harganya miliaran. Beruntung sekali dia memperistri anak orang kaya dari kota besar, bisa mendukungnya menjadi orang sukses dan kaya-raya seperti sekarang.”
Nia menggigil. Entah karena kedinginan karena tubuhnya yang basah diterpa angin sore cukup kencang, ataukah karena mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan ibunya.
Ingatannya kembali ke masa 10 tahun lalu, saat dirinya masih berusia 7 tahun.
Om Wisnu memiliki seorang istri yang sakit-sakitan dan kurus, juga seorang anak laki-laki kurus sebaya dirinya atau lebih tua 1-2 tahun darinya. Anak laki-laki itu, karena bertetangga dengannya, jadi sering main ke rumahnya. Mereka berenang di sungai bersama, bermain layangan di depan rumah, kelereng, lompat tali, sampai petak umpet.
Kenangan itu masih terekam di benaknya walaupun agak samar. Juga ketika di suatu sore yang mendung dalam curahan hujan deras, dia mendengar tangisan Ardian dan kabar mengejutkan dari rumah sebelah. Istri Om Wisnu meninggal karena sakit. Ardian seketika menjadi piatu di usianya yang masih 7 tahun.
Sejak saat itu, Ardian sering berwajah murung. Keceriaannya saat bermain bersama Nia seolah sirna, berganti gurat-gurat kesedihan di wajahnya yang meskipun masih kanak-kanak tapi sudah menunjukkan garis-garis ketampanan seorang laki-laki, sama seperti garis-garis kecantikan yang ditunjukkan oleh Nia di usianya yang masih kanak-kanak itu.
Nia berusaha menghibur sahabat masa kecilnya itu dengan mengajaknya bermain aneka permainan yang biasa mereka lakoni, tapi Ardian selalu menanggapinya tanpa semangat dan bahkan kadang membentak Nia saat merasa dipaksa. Tak jarang, setelah kepergian ibunya, Ardian menjadikan Nia sebagai tempat pelampiasan kemarahan dan segala emosi buruk, hingga selama setengah tahun Nia seperti ikut mengalami mimpi buruk.
Untunglah atau malah buntung, Nia mendengar kabar ini dari ibunya. Om Wisnu akan pindah ke kota Medan, ibu kota dari provinsi Sumatra Utara.
Ada famili Om Wisnu yang mengenal seorang gadis tua dari keluarga kaya-raya. Usianya lebih tua 5 tahun dari Om Wisnu atau sekitar 40 puluh tahun. Gadis tua itu belum pernah menikah dan merupakan putri tunggal sekaligus anak semata wayang dari seorang pengusaha sukses di Medan.
Om Wisnu yang sedang kebingungan menjadi orang tua tunggal dan mencari ibu pengganti bagi Ardian yang tampak semakin tak bersemangat sepeninggal ibunya, dengan hati resah dan bimbang menerima tawaran itu, menikahi gadis itu dengan imbalan diperkenankan tinggal di istana megahnya.
Kebetulan, gadis dari keluarga kaya itu tidak menginginkan laki-laki yang sederajat dengannya alias yang berstatus ekonomi sama atau dari kalangan atas. Uang banyak sudah dia punyai, jadi untuk apa lagi dia mencari pria kaya? Dengan umurnya yang sudah kepala empat, dia takut pria kaya tak akan bisa menerimanya dengan ikhlas, apalagi mencintai dan memperlakukannya dengan baik. Yang dicari gadis itu adalah duren alias dua keren berwajah tampan dan baik hati.
Kebetulan kedua syarat itu ada pada Om Wisnu yang familinya bekerja di perusahaan ayah gadis itu.
Tiba-tiba saja Om Wisnu, tetangga Bu Rani yang sudah belasan tahun harus pindah ke kota Medan. Tiba-tiba saja Nia harus berpisah dengan sahabatnya dan kehilangan Ardian di saat yang buruk, saat emosi Ardian belum sepenuhnya pulih dari kehilangan ibunya.
Nia masih ingat hari perpisahan itu. Langit mendung semendung wajah Ardian. Walaupun tak berdaya tapi ada gurat-gurat kesedihan seperti tak rela berpisah dengan sahabat kecilnya. Mata Ardian menatapnya lekat dan penuh arti di pagi itu, sebelum kereta api siang jurusan Tanjungbalai-Medan membawanya menjauh ratusan kilometer darinya.
Tak berkata apa-apa, Nia hanya mampu membalas tatapan Ardian dengan bibir mulut ternganga dan mata tercekat. Antara mereka tak terucap sepatah kata pun. Bahkan, Ardian melengoskan kepala saat harus membalikkan badan dari Nia dan mengikuti langkah-langkah kaki ayahnya menyusuri sepanjang jalan gang itu menuju ke luar mendapatkan becak dayung yang akan membawa mereka menuju stasiun kereta api.
Nia menggigil mengingat semua itu. Menggigil saat terkenang kembali momen perpisahan dengan Ardian itu.
Air matanya mengalir deras menatapi punggung Ardian yang menjauh dan menjauh. Sementara wajah Ardian sendiri apakah meneteskan air mata atau tidak, Nia tidak tahu karena Ardian sama sekali tidak menoleh barang sekali pun ke belakang.
Tak terasa, sudut-sudut mata Nia mulai basah mengingat itu lagi. Dengan tergesa dan tanpa pamit, dia berjalan menuju kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya yang sedari tadi menggigil mengingat kenangan dan karena diterpa angin kencang.
Bu Nia terpelongo. “Lho, kok malah menangis?” celetuknya bingung.
Bukankah Nia belum tahu tawaran apa yang akan disampaikan Om Wisnu kepadanya, kenapa cepat sekali dia sudah meneteskan airmata? Lagipula, kalau dia tahu pun, tawaran itu akan baik baginya. Bu Rani, sudah tahu tawaran Om Wisnu, dia menawarkan Nia kuliah di Medan karena tahun ini pas Nia tamat SMA. Om Wisnu ingat Nia lebih muda setahun dari putranya, Ardian. Di sekolah pun, saat Ardian kelas III SD, Nia kelas II SD.
Tahun lalu, Ardian sudah kuliah di sebuah universitas swasta ternama di kota Medan. Tahun ini, Ardian akan memulai semester 3 bila masa perkuliahan di kampus dimulai pada bulan September. Sekarang baru bulan Juni. Nia baru menamatkan SMA-nya di kota kelahirannya dan tak bermaksud untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
Dia berpikir akan segera mencari kerja di toko atau di mana saja yang masih meminimalkan ijazah SMA dalam syarat penerimaan pegawai. Bu Rani pun menuruti kehendak putri semata wayangnya saja kalau tidak datang telepon sekaligus tawaran dari tetangga lamanya, Om Wisnu.
Kalau Nia bersedia, kata Om Wisnu tadi, dia boleh tinggal di rumah Om Wisnu yang besar. Istrinya sudah mengizinkan suaminya mendatangkan anak tetangga dari jauh. Istri Om Wisnu yang bernama Siska sendiri jarang di rumah karena sibuk mengurusi perusahaan alamarhum papanya. Mertua perempuan Om Wisnu pun sudah meninggal. Jadi sebagai anak tunggal, Siska-lah yang mengurus semua warisan papanya dibantu Om Wisnu. Beruntung sekali Siska menikahi Om Wisnu yang telah menunjukkan sikap baik padanya selama sepuluh tahun ini.
Om Wisnu memiliki karakter yang sabar dan baik. Dia juga tak pernah membantah kata-kata istrinya. Tak heran, Siska sangat menyayangi suaminya yang mantan duda itu.
Selain itu, Om Wisnu juga turut bersumbangsih, bahu-membahu bersama istrinya menjaga perusahaan warisan orangtua istrinya supaya tetap eksis dan bertahan di era persaingan global yang semakin ketat. Walaupun tak memiliki dasar-dasar ilmu bisnis alias tidak pernah mengecap dunia pendidikan bisnis, tapi dari pengalaman sehari-hari terjun langsung di perusahaan, membuat Om Wisnu mampu masuk dan mengelola perusahaan, apalagi Om Wisnu juga memang seorang yang pintar dan cerdas.
Bila Om Wisnu menawarkan Nia kuliah di Medan dan tinggal di rumahnya, itu semata-mata bukan alasan ingin membantu anak tetangga lama. Barangkali, ada maksud lain Om Wisnu, mendekatkan kembali Ardian dan Nia yang dia tahu dulunya kedua muda-mudi itu bersahabat baik dan akrab di masa kanak-kanak. Apakah Om Wisnu menawarkan Nia tinggal di rumahnya dan kuliah di Medan itu adalah demi putranya atau atas permintaan Ardian?
Entahlah, Bu Rani tidak berani bertanya sejauh itu. Hanya tadi dia sempat berucap terima kasih dan bilang Om Wisnu harus bertanya langsung pada Nia.
Saat Nia sudah selesai membilas tubuhnya di kamar mandi dan berpakaian tidur, telepon dari Om Wisnu berdering di ponsel Bu Rani.
“Nah, ini dia telepon dari Om Wisnu, Nia! Ayo, kamu yang terima dan bicara langsung dnegan Om Wisnu!” kata Bu Rani sambil berjalan mendekati putrinya dan menyodorkan ponsel di tangannya.
“Halo, Om Wisnu?” sapa Nia duluan ketika ponsel itu berpindah ke tangannya.
“Halo juga, Nia, anak yang manis dan baik, sekarang pasti sudah besar, ya? Masih ingat Om, Nia?” tanya suara di seberang sana.
“Masih, Om. Gimana kabarnya Om di Medan?”
“Baik sekali, Nia. Nia juga gimana kabarnya? Masih tinggal di rumah yang lamakah Nia bersama Ayah dan Ibu?”
“Masih, Om. Kami tetap setia berada di sini.”
Ups! Tiba-tiba Nia merasa salah bicara. Kalimatnya tadi bisa-bisa disangka Om Wisnu menyindir.
“Hahaha,” suara Om Wisnu tertawa di seberang sana. “Syukurlah, Nia, Om senang Nia masih berada di tempat yang dulu. Om rindu tempat tinggal Om yang dulu, tapi belum ada kesempatan dan waktu yang tepat untuk pulang menjenguk kalian. Gimana kabar studi Nia sekarang. Setamat SMA ini hendak melanjutkan ke mana?”
Nia terdiam sebentar sebelum menjawab, “Nia berkehendak mencari kerja, Om.”
“Di Tanjungbalai?” tanya Om Wisnu.
“Iya, Om.”
“Nia, apa tidak terpikir untuk melanjutkan kuliah, di Medan misalnya?”
“Kuliah untuk apa, Om? Nia tidak punya cita-cita tinggi. Hanya ingin mencari kerja, mendapat gaji dan meringankan beban orangtua.”
“Oh…,” suara di seberang sana menghela napas.
“Kenapa memangnya, Om?”
“Nggak, Om bermaksud menawarkan Nia kuliah di Medan. Di universitas swasta ternama. Kalau Nia setuju, nanti bakal sekampus dengan Ardian.”
Hati Nia berdesir mendengar nama itu disebut. Walau sudah 10 tahun berlalu tanpa kabar berita, namun entah mengapa hati Nia masih bergetar tatkala mendengar nama itu disebut Om Wisnu.
“Dengan…,” Nia meneguk ludah.
“Iya, dengan Ardian. Nia masih ingat, kan? Ardian anak Om yang dulu sering bermain bersama Nia di depan rumah. Berenang bersama, bermain layang-layang. kelereng, lompat tali, sampai petak umpet.”
Nia menggigit bibirnya perlahan. “Masih, Om. Gimana kabar… Ardian… sekarang?” Nia memberanikan diri bertanya, seolah hal yang wajar. padahal suaranya terpatah-patah.
“Mmm… yah biasa saja, Nia. Agak susah Om jelaskan melalui telepon. Bagaimana kalau Nia sendiri yang datang menjenguk Ardian di Medan?” tanya Om Wisnu hati-hati.
“Nia-menjenguk-Ardian?” tanya Nia terputus-putus.
“Iya, Nia datanglah ke Medan jalan-jalan dulu sebulan dua bulan. Nanti Om suruh Ardian membawa Nia mengitari kota Medan, melihat-lihat kampusnya. Mana tahu Nia tertarik untuk kuliah di situ. Kalau Nia mau, Om bersedia membiayai kuliah Nia dan Nia boleh tinggal di rumah Om.”
Nia tercekat. Tawaran Om Wisnu ini terasa amat membingungkan sekaligus mengagetkannya. Menjenguk Ardian, jalan-jalan ke Medan, melihat kampus, kuliah di Medan, tinggal di rumah Om Wisnu. Semua itu datangnya seperti peluru yang berhamburan ke arahnya, membuatnya tak tahu harus bagaimana menangkis.
“Mmm… Nia agak bingung, Om,” jawab Nia jujur.
“Nggak apa,” kata Om Wisnu. “Nia boleh memikirkan tawaran Om ini perlahan-lahan. Om tidak memaksa, cuma Om memang berharap Nia bersedia menerimanya. Karena… karena…”
Karena? Nia menunggu sambungan kalimat Om Wisnu, tapi Om Wisnu tampaknya susah menyelesaikan ucapannya.
“Karena apa, Om?” tanya Nia dengan suara kecil.
“Karena Ardian, Nia. Demi Ardian. Nanti Nia akan mengerti kalau sudah datang ke Medan. Nia masih ingat dengan Ardian, berarti masih sayang Ardian, masih menganggapnya sahabat baik. Kedatangan Nia nanti adalah demi Ardian. Om sangat membutuhkan kehadiran Nia di sini.”
“Apa yang terjadi dengan Ardian, Om?” tanya Nia penasaran.
“Nggak, nggak apa-apa. Dia sehat-sehat dan baik-baik saja. Cuma itulah, Nia harus datang sendiri melihat Ardian. Mau ya Nia datang ke Medan? Setidaknya walaupun tidak bermaksud kuliah di sini, tapi jalan-jalan dululah. Bukankah Nia sementara sudah tamat SMA dan tidak ada kegiatan lain selain sedang mencari kerja, iya, kan?”
“Iya, sih,” jawab Nia agak ragu.
“Kalau begitu, datang ya, Nia. Om tunggu. Kabari Om kalau hendak datang. Nanti Om jemput Nia di stasiun kereta api Medan.”
“Iyalah, Om, nanti Nia kabari,” jawab gadis itu akhirnya.
“Terima kasih, Nia. Selamat sore,” putus suara Om Wisnu.
“Selamat sore, Om,” putus Nia.
Nia membalikkan ponsel di tangannya kepada ibunya. Bu Rani yang sedari tadi menguping pembicaraan antara putrinya dengan Om Wisnu, tak sabar bertanya.
“Gimana, Nia? Apa yang dikatakan Om Wisnu. Apakah kamu setuju ke Medan menjenguk Ardian? Jalan-jalan melihat kampusnya dulu, mana tahu kamu tertarik kuliah di situ?”
Nia terdiam. Matanya memandang Bu Rani yang menunggu jawabannya dengan mata penuh harap. Dia menerka, ibunya itu memang berkeinginan putri semata wayangnya itu kuliah di Medan. Setidaknya, bila selesai kuliah dan mendapat gelar, dia bisa mendapatkan kerja di perusahaan yang bagus. Di bank misalnya, pasti akan lebih besar gajinya daripada kerja di toko. Dan pegawai bank yang berseragam bagus pastilah lebih menarik penampilannya di mata banyak orang. Dia akan dengan bangga mengatakan kalau putri cantiknya itu sudah menjadi pegawai bank, walaupun tahap untuk itu masih lama, beberapa tahun lagi kalau Nia jadi kuliah dan selesai dengan memuaskan.
Seolah mengerti maksud hati ibunya, Nia mencoba tersenyum. “Iya, Nia sedikit tertarik dengan tawaran Om Wisnu untuk kuliah di Medan. Tapi, Nia merasa segan bila harus tinggal di rumahnya dan dibiayai Om Wisnu uang kuliah dan segala keperluan Nia nantinya. Setidaknya, Nia harus kuliah sambil kerja di Medan, supaya tidak memberatakan Om Wisnu.”
Bu Rani tertawa keras mendengar perkataan putrinya. “Memberatkan Om Wisnu? Hahaha…”
“Lho, kenapa ketawa, Bu?” tanya Nia tak mengerti.
“Nggak, Nia. Ibu merasa Nia tak akan memberatkan Om Wisnu sama sekali. Tahukah kamu, Nia, kalau Om Wisnu bukan lagi orang sederhana seperti kita. Dia bukan lagi Om Wisnu yang biasa-biasa saja seperti dulu. Sekarang dia pengusaha sukses, kaya-raya, tinggal di rumah villa megah. Begitulah cerita yang Ibu dengar dari familinya yang tinggal di Medan.”
Nia terdiam. Bagaimana pun juga, dia merasa tak enak jika harus tinggal gratis di rumah Om Wisnu, apalagi sampai dibiayai uang kuliah dan segala keperluannya. Tapi, seolah ada satu harapan Om Wisnu memang dari ucapan-ucapannya tadi, kalau dia memang berkehendak Nia tinggal di Medan dan kuliah di kampus yang sama dengan Ardian. Entah untuk apa, Nia tak tahu. Tapi pastinya, itu ada hubugannya dengan Ardian, sahabat masa kecilnya.
“Nanti Nia pikirkan lagi, Bu,” kata Nia dengan suara kecil. Setelah itu dia masuk ke kamarnya dan mengeringkan rambutnya dengan hair-dryer.
Malam itu, Nia tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang-layang ke kejadian masa lampau. Saat dia dan Ardian kanak-kanak, bermain bersama di halaman rumah, berenang di Sungai Asahan, menapaki pasir putih dalam jarak belasan meter dari tepian saat pasang surut, dan mengumpulkan kulit kerang. Lalu, saat-saat ceria itu berubah menjadi duka bekepanjangan bagi sahabatnya itu tatkala sang ibu dipanggil Yang Maha Kuasa. Ardian menjadi piatu tanpa kasih sayang seorang ibu.
Sejak saat itu, sikapnya berubah total, menjadi pendiam, pemurung, penyedih, dan si pemarah yang cepat tersinggung. Nia masih ingat betapa buruk perlakuan Ardian padanya sejak kepergian ibundanya. Nia seolah harus ikut menanggung segala kepiluan sahabatnya itu akibat ditinggal ibunya untuk selamanya. Dan itu menjadi mimpi buruk bagi gadis kecil itu selama setengah tahun, bahkan kerap menghantui mimpi-mimpi malamnya selama 10 tahun ini.
Dan sekarang, tiba-tiba datang telepon dari ayahnya Ardian, menyuruhnya ke Medan menjenguk sahabatnya itu. Bahkan menawarkan untuk kuliah dan tinggal di rumahnya. Tinggal di rumahnya, sama dengan tinggal serumah dengan sahabat masa kecilnya itu.
Wah, Nia tak berani membayangkan bagaimana jadinya bila dia harus tinggal serumah dengan Ardian yang terakhir kali bersikap sangat buruk padanya. Apakah sikapnya nanti akan berubah ataukah tetap sama seperti 10 tahun lalu? Kalau masih sama, Nia tak berkehendak sama sekali untuk ke sana menjenguknya. Tapi, keingintahuan dan sepercik kerinduan di dadanya membuatnya tak mampu membendung lontaran peluru yang dihamburkan ke arahnya. Pikirannya berkecamuk tentang bagaimana keadaan Ardian, bagaimana rupanya sekarang, bagaimana perawakannya, perangainya, dan juga hasil pendidikannya di kampus.
Akhirnya, malam itu pun Nia tertidur lelap setelah lelah memikirkan semua hal tentang Ardian dan mempertimbangkan tawaran Om Wisnu. Nia merasa, Om Wisnu ada alasan lain menyuruhnya ke Medan. Bukan sekadar tinggal di rumahnya dan kuliah di kampus yang sama dengan Ardian. Tapi juga maksud lain yang berkaitan dengan putra tunggalnya itu.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 140 Episodes
Comments
Bunga
Hay kak mampir di karya ku
Karena kejadian malam itu
2022-03-18
1
oyttigiz
mantap Kaka
2022-01-29
1
Emma The@
Mampir disini kak
2021-08-27
1