Bab 4
Om Wisnu membelokkan mobilnya ke kanan memasuki kompleks perumahan tempat tinggalnya. Kompleks perumahan itu sangat luas dengan banyak blok di tiap sisi kiri kanan yang dipenuhi bangunan-bangunan megah, begitu juga bila melaju lurus ke depan, juga akan melihat bangunan-bangunan villa luas dan mewah.
Om Wisnu melajukan kendaraannya lurus saja hingga tiba di setengah perjalanan mobil itu pun berhenti di sisi kiri dari ruas jalan lebar itu.
Nia melihat pintu gerbang dibuka oleh seorang kakek berusia sekitar 60-an.
“Siapa itu, Om?” tanya Nia seketika saat pintu terbuka dan mobil melaju masuk.
“Itu pegawai Om, Nia, namanya Amat. Panggil saja Wak Amat nanti.”
“Oh… Wak Amat, terima kasih ya…!” spontan Nia melongokkan kepalanya dari jendela mobil yang terbuka saat mobilnya melewati gerbang yang dijaga Wak Amat.
“O-o, Nia, kamu ramah sekali,” senyum Om Wisnu melihat keramahan gadis belia itu menyapa dan memberi hormat pada pegawai yang menjaga depan rumahnya itu.
“He-eh. Wak Amat tinggal di rumah ini juga, Om?” tanya Nia ingin tahu.
“Iya, Wak Amat punya istri namanya Bik Aini. Mereka tinggal berdua di rumah belakang.”
“Rumah belakang?” Nia menaikkan alis.
“Iya, nanti kamu akan mengerti. Ya sudah, Nia ke sini kan bukan mau ngurusi Wak Amat dan Bik Aini. Tapi ada tugas lain yang lebih penting nanti,” kata Om Wisnu.
“Tugas penting apa, Om?” tanya Nia tak mengerti.
“Tugas yang berkaitan dengan Ardian,” jawab Om Wisnu pendek.
“Oh...,” Nia hanya mendesis. Dia tak bertanya lagi, karena tampaknya Om Wisnu pun sudah lelah menjemput Nia dari stasiun kereta api tadi, melewati perjalanan ramai dan padat, jadi terasa jauh dan melelahkan.
Om Wisnu memarkirkan mobilnya di garasi rumah. Nia melompat turun dan buru-buru mengambil tas besarnya dari jok belakang.
Wak Amat yang tadi membukakan gerbang untuk mereka, berjalan tergopoh-gopoh mendekati Om Wisnu. Tapi Om Wisnu cuma berkata, “Bantuin Nia saja, Wak. Itu ada tas besar bawaannya.”
Wak Amat pun berjalan mendekati Nia. “Mari, Non, biar tasnya saya yang bawakan ke dalam.”
“Oh, nggak usah, Wak. Saya bisa sendiri, Wak,” jawab Nia.
“Aduh, biar saya yang bawakan, Non. Saya jadi nggak enak kalau Non menolak,” kata Wak Amat sambil setengah memaksa mengambil tas besar itu dari tangan Nia.
Dengan terpelongo, Nia pun membiarkan tasnya diambil dan dibawa Wak Amat masuk ke dalam rumah.
Setelah berada di luar garasi, Nia menoleh lagi ke dalam garasi.
Tampaknya, selain tempat parkiran mobil Pajero Sport yang tadi ditumpanginya, juga ada 2 tempat parkir lain untuk 2 mobil lain. Mobil siapakah itu? Mungkinkah mobil yang dikendarai Ardian dan mama tirinya?
Nia berjalan mengikuti langkah kaki Om Wisnu menuju ke dalam rumah.
Matanya tak lepas-lepas menyapu seantero halaman rumah gedung mewah itu. Ada banyak tanaman dengan bunga-bunga yang sedang bermekaran di area taman. Juga sepertinya ada kolam ikan dan kolam renang pribadi. Wah, sungguh menyenangkan rumah besar milik Om Wisnu ini, pikir Nia dalam hati.
Kedua kaki jenjangnya yang biasanya hanya menginjak lantai rumah papan dengan tanah di halaman depan dan pasir-pasir putih juga deburan ombak, kini berkesempatan menginjak lantai keramik berwarna hijau anggun yang mengkilap dan tampak mahal.
Saat pertama kali kaki Nia melangkah memasuki rumah itu, dia disambut seorang wanita kurus berusia sekitar 50-an. Wanita itu langsung membungkukkan badan sedikit menyambut kedatangan Nia dan Om Wisnu.
“Ohiya, ini Bik Aini yang tadi Om bilang, Nia,” kata Om Wisnu sambil memperkenalkan pada Nia wanita yang berdiri di ambang pintu masuk itu.
“Oh, Bik Aini, saya Nia,” kata Nia sopan pada wanita yang dibilang Om Wisnu bernama Aini itu.
“Selamat sore, Non. Silakan masuk, Non Nia. Kamarnya sudah Bibik persiapkan di lantai 2.”
“Iya,” Nia mengangguk, mengikuti langkah-langkah kaki Bik Aini yang membawa jalan Nia ke lantai 2, sementara Om Wisnu berjalan menuju ruang kerjanya di lantai 1.
Bik Aini yang memegang tas besar Nia yang tadi diserahkan oleh Wak Amat di ambang pintu masuk, berjalan menaiki tangga besar yang lebar dan melingkar dengan desain indah dan mewah seperti di hotel-hotel bintang lima.
Karena baru pertama kali menaiki tangga yang demikian aneh di mata Nia, dia pun berjalan hati-hati selangkah demi selangkah untuk sampai di lantai 2.
Langkah mereka sampai di depan pintu kamar yang letaknya agak di ujung. Di seberang kamar itu, ada satu kamar besar. Nia menurut saja ketika Bik Aini menyuruhnya masuk ke kamar yang disediakan untuknya.
“Sori, Non. Kamarnya tidak begitu besar. Semoga Non suka dan betah tinggal di sini,” kata Bik Aini.
Apa?! Kamar segini besar dan mewah dibilang tidak begitu besar? pikir Nia hampir pingsan. Terbayang olehnya kamarnya sendiri di Tanjungbalai, kamar kecil berukuran 3 X 4 meter, yang dinding-dindingnya terbuat dari papan, bahkan di bawah alas rumahnya langsung aliran air Sungai Asahan.
Nia mengucapkan terima kasih pada Bik Aini yang meletakkan tasnya di dekat meja rias.
“Tas Non Nia nanti boleh dikeluarkan isinya dan disusun baju-bajunya di dalam lemari baju ini, Non,” kata Bik Aini sambil menunjuk sebuah lemari baju besar berwarna pink, senada dengan warna ranjang dan sprei motif bunga-bunga yang menutupi sping bed empuk itu.
“Iya, makasih, Bik,” kata Nia.
“Ohiya, karena di kamar Non ini tidak ada kamar mandi, jadi Non Nia nanti mandinya di kamar mandi yang di luar kamar ini saja ya, Non. Non tahu, kan?”
“Iya, Bik,” angguk Nia. Memang tadi sebelum masuk kamar, dia ada melihat satu kamar mandi yang letaknya tak jauh dari kamarnya ini.
“Mmm… sudah sore, Non boleh mandi sekarang. Sehabis mandi nanti Non turun ke bawah makan malam yang Bibik sediakan.”
“Iya,” Nia mengangguk lagi, mendengarkan semua instruksi Bik Aini.
“Mmm… Ada lagi yang mau ditanyakan, Non? Kalau tak ada, Bibik mau turun ke bawah beres-beres dan masak dulu.”
Nia menggeleng. Walaupun di benaknya terbersit sebuah nama “Ardian”. Ke mana Ardian, sahabat masa kecilnya itu? Kenapa sedari tadi tak melihat penampakannya? Tapi Nia segan untuk bertanya.
“Ohiya, Non,” kata Bik Aini bagai teringat sebelum langkahnya keluar kamar. “Kamarnya Nak Ardian ada di seberang kamar ini. Dia tak suka diganggu dan agak pemarah. Mudah-mudahan Non nanti nggak terkejut kalau dia bisa tiba-tiba marah tanpa sebab.”
“Oh… Begitukah, Bik?” tanya Nia tercekat.
“Iya, Non. Sebaiknya Non berhati-hati bila berhadapan dengan Nak Ardian. Emosinya buruk walaupun hatinya baik.”
“Oh… Jadi sekarang, di mana dia?” tanya Nia tak mampu membendung rasa ingin tahunya sedari tadi.
“Nak Ardian belum pulang sedari pagi. Biasalah, Non, perginya pagi-pagi, pulangnya malam-malam. Bukan kerja, tapi keluyuran sama teman-temannya yang seabrek. Hehe.”
Nia ternganga. Begitukah Ardian sekarang? pikirnya. Apakah sikap buruknya saat terakhir kali mereka bersama itu belum berubah dan tetap berlanjut hingga sekarang? Ya, ampun! Itu sudah 10 tahun! Masa Ardian masih mempertahankan sikap buruknya selama 10 tahun ini hanya gara-gara kepergian ibunya?
“Bagaimana dengan istrinya Om Wisnu, Bik?” tanya Nia teringat.
Rasanya, dia memang perlu tahu sedikit tentang mama tiri Ardian ini yang dinikahi Om Wisnu 10 tahun lalu. Mama tiri Ardian yang tidak memiliki anak kandung karena belum pernah menikah sebelumnya dan saat dinikahi Om Wisnu pun usianya sudah 40 tahun.
Bik Aini mengurungkan niatnya keluar dari kamar. Gadis belia ini banyak juga pertanyaan dan rasa ingin tahunya, pikir Bik Aini. Tapi tak apa, orang yang banyak bertanya dan ingin tahu tentang orang lain biasanya adalah orang yang peduli. Peduli bukan dalam artian ingin tahu untuk dijadikan bahan gosip, melainkan benar-benar peduli ingin tahu tentang diri seseorang.
“Nyonya Siska jarang ada di rumah, Non. Begitu juga Om Wisnu. Mereka suami istri sibuk mengurus perusahaan besar yang ditinggalkan almarhum papanya Nyonya Siska. Nanti Non jangan heran ya, kalau mereka lebih banyak di luar rumah daripada di rumah. Sering-sering ke luar negeri seminggu dua minggu. Makanya, Nak Ardian juga ikut-ikutan, jarang ada di rumah. Hehe.”
Nia mendengarkan “gosip” Bik Aini dengan mulut yang masih menganga. Semua cerita Bik Aini terasa aneh di telinganya. Kehidupan Om Wisnu dan Ardian di kota Medan ini sangat bertolak belakang dari kehidupan mereka di Tanjungbalai 10 tahun lalu.
Saat itu, mereka hidup sederhana di rumah papan yang di dekat Sungai Asahan. Walaupun tak berkecukupan, namun hari-hari mereka terlewati dengan tenang tanpa banyak kesibukan berarti.
Sampai ketika ibu kandung Ardian sering sakit-sakitan, kehidupan mereka menjadi agak muram.
Walau begitu, Nia selalu berusaha menghibur Ardian dan sahabatnya itu pun masih bisa tertawa ceria sesekali saat bermain bersamanya. Apalagi ketika mereka berenang bersama di Sungai Asahan menjelang senja.
Momen-momen seperti itu sangat disukai dan dirindukan Nia setiap saat. Karena Ardian akan dengan usil mengguyur Nia dengan percikan-percikan air yang dicipratkannya ke wajah dan rambut sahabatnya itu. Lalu Nia akan balas menepuk air yang bergelombang itu hingga Ardian pun pura-pura berenang menjauh dan Nia mengejarnya.
Kenangan itu terasa sangat indah dan berharga buat dilupakan. Apakah Ardian masih mengingat semua kenangan itu? pikir Nia.
“Kalau tak ada yang ditanyakan lagi, Bibik ke bawah dulu ya, Non,” kata Bik Aini saat melihat Nia seperti melamunkan sesuatu yang tidak diketahuinya.
“Iya, Bik, silakan,” Nia mengatup bibirnya dan tersenyum kecil.
Bik Aini mendesis, cantik juga gadis belia ini, kata hatinya. Bik Aini tak tahu banyak tentang Nia. Dia hanya tahu tuannya mendatangkan anak tetangga lama dari kampung halamannya dulu. Mau untuk berlibur sementara saja ataukah untuk tinggal lama sampai kuliah segala, Bik Aini tak tahu. Anak tetangga lama tuannya ini pastilah temannya Nak Ardian juga, tebak hatinya.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
oyttigiz
lanjutkan
2022-01-29
1
Yukity
hai kak...
Salken...
Mampir yuk ke novelku
GADIS TIGA KARAKTER
2021-09-28
0
Jungkook wife
teruskan
2021-09-03
2