NovelToon NovelToon

Saat Cinta Harus Memilih

Telepon dari Om Wisnu

Bab I

S. Dengki, Tanjungbalai Asahan.

“Niaaa…!” suara panggilan Bu Rani terdengar dari depan rumah papan berukuran 6 X 12 meter itu.

Sore yang mendung, saat Nia tengah menceburkan diri di tepi Sungai Asahan yang kebetulan berada di ujung jalan dari barisan rumah penduduk di kawasan tempat tinggal mereka.

Nia mengeluarkan kepalanya dari hamparan air yang mulai bergelombang pasang dengan deburan-deburan kecil yang semakin lama semakin kencang. Digoyang-goyangkannya kepalanya ke kiri dan ke kanan hingga rambutnya yang basah dan panjang terurai ikut berhamburan ke kiri dan ke kanan.

Ada apa, sih? pikir Nia sambil buru-buru berenang dari jarak 10 meter ke arah tepian sungai. Tak biasanya sang ibu memanggil namanya keras walaupun nyaris setiap sore dia menceburkan diri bercengkerama dengan deburan ombak.

Barangkali ada hal penting yang hendak disampaikannya segera jadi dirinya dipanggil saat belum selesai menghibur diri di dalam sungai yang sudah akrab dengannya sejak dirinya masih balita. Kalau dihitung, berarti sudah 17 tahun air di sungai itu menjadi sahabatnya.

Nia menyentuh tanah di tepian sungai itu dengan kedua tangannya, menjadikan kedua telapak tangannya yang bertumpu menopang badannya untuk keluar dari dalam air. Wajahnya yang ayu nan jelita tampak jelas diterpa cahaya matahari sore yang menerobos lewat celah pepohonan rindang.

Sinar matahari sore seolah malu membelai wajah gadis cantik bertubuh molek yang tengah memasuki usia tujuh belasan itu. Walaupun demikian, kecantikan gadis itu seolah tersembunyi di rumah paling ujung di salah satu gang rumah penduduk di kawasan itu. Hanya hamparan air yang tahu dan mengerti betapa molek tubuh, ayu kemayu, dan cantik rupawan gadis belia yang juga berhati polos dan putih seputih salju.

Langkahnya sampai di depan rumah papan yang dibangun di atas aliran sungai. Rumah papan sederhana tak berloteng yang mengakrabinya sejak belasan tahun lalu. Rumah itu hanya terdiri dari 2 kamar tidur. Kamar utama tempat ayah ibunya dan kamarnya sendiri yang merupakan anak tunggal dari kedua orangtuanya.

“Ada apa, Bu?” tanya Nia saat dirinya telah berdiri di samping ibunya yang memandangnya dari jauh dan menungguinya sedari tadi.

Biasanya, sehabis mandi di sungai, dia akan mandi lagi di kamar mandi sebelum malam menjelang. Tapi melihat sang ibu seperti tak sabar lagi hendak mengabarkan suatu hal penting, membuat Nia mengurungkan niatnya sejenak, menunggu kata-kata terucap dari mulut beliau.

“Begini, Nia,” mulai Bu Rani, “Barusan tadi Om Wisnu telepon ke ponsel Ibu. Om Wisnu menawarkan suatu hal yang penting buat masa depanmu. Karena ini menyangkut dirimu, maka Ibu memintanya untuk menanyakan langsung padamu. Kamu tadi lagi di sungai, jadi Om Wisnu berkata akan telepon sebentar lagi.”

“Oh, hal penting apa, Bu? Om Wisnu yang Ibu maksud itu papanya Ardiankah, Ma? Yang dulu bertetanga dengan kita?” tanya Nia mengingat nama itu.

“Iya, betul! Ternyata kamu masih ingat ya, Nia,” senang Bu Rani. “Sudah sepuluh tahun Om Wisnu pindah ke kota Medan, memulai bisnisnya di sana dan sekarang Om Wisnu sudah berhasil menjadi pengusaha sukses. Kabarnya, Om Wisnu tinggal di kawasan elit, di rumah villa yang harganya miliaran. Beruntung sekali dia memperistri anak orang kaya dari kota besar, bisa mendukungnya menjadi orang sukses dan kaya-raya seperti sekarang.”

Nia menggigil. Entah karena kedinginan karena tubuhnya yang basah diterpa angin sore cukup kencang, ataukah karena mendengar kalimat-kalimat yang diucapkan ibunya.

Ingatannya kembali ke masa 10 tahun lalu, saat dirinya masih berusia 7 tahun.

Om Wisnu memiliki seorang istri yang sakit-sakitan dan kurus, juga seorang anak laki-laki kurus sebaya dirinya atau lebih tua 1-2 tahun darinya. Anak laki-laki itu, karena bertetangga dengannya, jadi sering main ke rumahnya. Mereka berenang di sungai bersama, bermain layangan di depan rumah, kelereng, lompat tali, sampai petak umpet.

Kenangan itu masih terekam di benaknya walaupun agak samar. Juga ketika di suatu sore yang mendung dalam curahan hujan deras, dia mendengar tangisan Ardian dan kabar mengejutkan dari rumah sebelah. Istri Om Wisnu meninggal karena sakit. Ardian seketika menjadi piatu di usianya yang masih 7 tahun.

Sejak saat itu, Ardian sering berwajah murung. Keceriaannya saat bermain bersama Nia seolah sirna, berganti gurat-gurat kesedihan di wajahnya yang meskipun masih kanak-kanak tapi sudah menunjukkan garis-garis ketampanan seorang laki-laki, sama seperti garis-garis kecantikan yang ditunjukkan oleh Nia di usianya yang masih kanak-kanak itu.

Nia berusaha menghibur sahabat masa kecilnya itu dengan mengajaknya bermain aneka permainan yang biasa mereka lakoni, tapi Ardian selalu menanggapinya tanpa semangat dan bahkan kadang membentak Nia saat merasa dipaksa. Tak jarang, setelah kepergian ibunya, Ardian menjadikan Nia sebagai tempat pelampiasan kemarahan dan segala emosi buruk, hingga selama setengah tahun Nia seperti ikut mengalami mimpi buruk.

Untunglah atau malah buntung, Nia mendengar kabar ini dari ibunya. Om Wisnu akan pindah ke kota Medan, ibu kota dari provinsi Sumatra Utara.

Ada famili Om Wisnu yang mengenal seorang gadis tua dari keluarga kaya-raya. Usianya lebih tua 5 tahun dari Om Wisnu atau sekitar 40 puluh tahun. Gadis tua itu belum pernah menikah dan merupakan putri tunggal sekaligus anak semata wayang dari seorang pengusaha sukses di Medan.

Om Wisnu yang sedang kebingungan menjadi orang tua tunggal dan mencari ibu pengganti bagi Ardian yang tampak semakin tak bersemangat sepeninggal ibunya, dengan hati resah dan bimbang menerima tawaran itu, menikahi gadis itu dengan imbalan diperkenankan tinggal di istana megahnya.

Kebetulan, gadis dari keluarga kaya itu tidak menginginkan laki-laki yang sederajat dengannya alias yang berstatus ekonomi sama atau dari kalangan atas. Uang banyak sudah dia punyai, jadi untuk apa lagi dia mencari pria kaya? Dengan umurnya yang sudah kepala empat, dia takut pria kaya tak akan bisa menerimanya dengan ikhlas, apalagi mencintai dan memperlakukannya dengan baik. Yang dicari gadis itu adalah duren alias dua keren berwajah tampan dan baik hati.

Kebetulan kedua syarat itu ada pada Om Wisnu yang familinya bekerja di perusahaan ayah gadis itu.

Tiba-tiba saja Om Wisnu, tetangga Bu Rani yang sudah belasan tahun harus pindah ke kota Medan. Tiba-tiba saja Nia harus berpisah dengan sahabatnya dan kehilangan Ardian di saat yang buruk, saat emosi Ardian belum sepenuhnya pulih dari kehilangan ibunya.

Nia masih ingat hari perpisahan itu. Langit mendung semendung wajah Ardian. Walaupun tak berdaya tapi ada gurat-gurat kesedihan seperti tak rela berpisah dengan sahabat kecilnya. Mata Ardian menatapnya lekat dan penuh arti di pagi itu, sebelum kereta api siang jurusan Tanjungbalai-Medan membawanya menjauh ratusan kilometer darinya.

Tak berkata apa-apa, Nia hanya mampu membalas tatapan Ardian dengan bibir mulut ternganga dan mata tercekat. Antara mereka tak terucap sepatah kata pun. Bahkan, Ardian melengoskan kepala saat harus membalikkan badan dari Nia dan mengikuti langkah-langkah kaki ayahnya menyusuri sepanjang jalan gang itu menuju ke luar mendapatkan becak dayung yang akan membawa mereka menuju stasiun kereta api.

Nia menggigil mengingat semua itu. Menggigil saat terkenang kembali momen perpisahan dengan Ardian itu.

Air matanya mengalir deras menatapi punggung Ardian yang menjauh dan menjauh. Sementara wajah Ardian sendiri apakah meneteskan air mata atau tidak, Nia tidak tahu karena Ardian sama sekali tidak menoleh barang sekali pun ke belakang.

Tak terasa, sudut-sudut mata Nia mulai basah mengingat itu lagi. Dengan tergesa dan tanpa pamit, dia berjalan menuju kamar mandi untuk mengguyur tubuhnya yang sedari tadi menggigil mengingat kenangan dan karena diterpa angin kencang.

Bu Nia terpelongo. “Lho, kok malah menangis?” celetuknya bingung.

Bukankah Nia belum tahu tawaran apa yang akan disampaikan Om Wisnu kepadanya, kenapa cepat sekali dia sudah meneteskan airmata? Lagipula, kalau dia tahu pun, tawaran itu akan baik baginya. Bu Rani, sudah tahu tawaran Om Wisnu, dia menawarkan Nia kuliah di Medan karena tahun ini pas Nia tamat SMA. Om Wisnu ingat Nia lebih muda setahun dari putranya, Ardian. Di sekolah pun, saat Ardian kelas III SD, Nia kelas II SD.

Tahun lalu, Ardian sudah kuliah di sebuah universitas swasta ternama di kota Medan. Tahun ini, Ardian akan memulai semester 3 bila masa perkuliahan di kampus dimulai pada bulan September. Sekarang baru bulan Juni. Nia baru menamatkan SMA-nya di kota kelahirannya dan tak bermaksud untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Dia berpikir akan segera mencari kerja di toko atau di mana saja yang masih meminimalkan ijazah SMA dalam syarat penerimaan pegawai. Bu Rani pun menuruti kehendak putri semata wayangnya saja kalau tidak datang telepon sekaligus tawaran dari tetangga lamanya, Om Wisnu.

Kalau Nia bersedia, kata Om Wisnu tadi, dia boleh tinggal di rumah Om Wisnu yang besar. Istrinya sudah mengizinkan suaminya mendatangkan anak tetangga dari jauh. Istri Om Wisnu yang bernama Siska sendiri jarang di rumah karena sibuk mengurusi perusahaan alamarhum papanya. Mertua perempuan Om Wisnu pun sudah meninggal. Jadi sebagai anak tunggal, Siska-lah yang mengurus semua warisan papanya dibantu Om Wisnu. Beruntung sekali Siska menikahi Om Wisnu yang telah menunjukkan sikap baik padanya selama sepuluh tahun ini.

Om Wisnu memiliki karakter yang sabar dan baik. Dia juga tak pernah membantah kata-kata istrinya. Tak heran, Siska sangat menyayangi suaminya yang mantan duda itu.

Selain itu, Om Wisnu juga turut bersumbangsih, bahu-membahu bersama istrinya menjaga perusahaan warisan orangtua istrinya supaya tetap eksis dan bertahan di era persaingan global yang semakin ketat. Walaupun tak memiliki dasar-dasar ilmu bisnis alias tidak pernah mengecap dunia pendidikan bisnis, tapi dari pengalaman sehari-hari terjun langsung di perusahaan, membuat Om Wisnu mampu masuk dan mengelola perusahaan, apalagi Om Wisnu juga memang seorang yang pintar dan cerdas.

Bila Om Wisnu menawarkan Nia kuliah di Medan dan tinggal di rumahnya, itu semata-mata bukan alasan ingin membantu anak tetangga lama. Barangkali, ada maksud lain Om Wisnu, mendekatkan kembali Ardian dan Nia yang dia tahu dulunya kedua muda-mudi itu bersahabat baik dan akrab di masa kanak-kanak. Apakah Om Wisnu menawarkan Nia tinggal di rumahnya dan kuliah di Medan itu adalah demi putranya atau atas permintaan Ardian?

Entahlah, Bu Rani tidak berani bertanya sejauh itu. Hanya tadi dia sempat berucap terima kasih dan bilang Om Wisnu harus bertanya langsung pada Nia.

Saat Nia sudah selesai membilas tubuhnya di kamar mandi dan berpakaian tidur, telepon dari Om Wisnu berdering di ponsel Bu Rani.

“Nah, ini dia telepon dari Om Wisnu, Nia! Ayo, kamu yang terima dan bicara langsung dnegan Om Wisnu!” kata Bu Rani sambil berjalan mendekati putrinya dan menyodorkan ponsel di tangannya.

“Halo, Om Wisnu?” sapa Nia duluan ketika ponsel itu berpindah ke tangannya.

“Halo juga, Nia, anak yang manis dan baik, sekarang pasti sudah besar, ya? Masih ingat Om, Nia?” tanya suara di seberang sana.

“Masih, Om. Gimana kabarnya Om di Medan?”

“Baik sekali, Nia. Nia juga gimana kabarnya? Masih tinggal di rumah yang lamakah Nia bersama Ayah dan Ibu?”

“Masih, Om. Kami tetap setia berada di sini.”

Ups! Tiba-tiba Nia merasa salah bicara. Kalimatnya tadi bisa-bisa disangka Om Wisnu menyindir.

“Hahaha,” suara Om Wisnu tertawa di seberang sana. “Syukurlah, Nia, Om senang Nia masih berada di tempat yang dulu. Om rindu tempat tinggal Om yang dulu, tapi belum ada kesempatan dan waktu yang tepat untuk pulang menjenguk kalian. Gimana kabar studi Nia sekarang. Setamat SMA ini hendak melanjutkan ke mana?”

Nia terdiam sebentar sebelum menjawab, “Nia berkehendak mencari kerja, Om.”

“Di Tanjungbalai?” tanya Om Wisnu.

“Iya, Om.”

“Nia, apa tidak terpikir untuk melanjutkan kuliah, di Medan misalnya?”

“Kuliah untuk apa, Om? Nia tidak punya cita-cita tinggi. Hanya ingin mencari kerja, mendapat gaji dan meringankan beban orangtua.”

“Oh…,” suara di seberang sana menghela napas.

“Kenapa memangnya, Om?”

“Nggak, Om bermaksud menawarkan Nia kuliah di Medan. Di universitas swasta ternama. Kalau Nia setuju, nanti bakal sekampus dengan Ardian.”

Hati Nia berdesir mendengar nama itu disebut. Walau sudah 10 tahun berlalu tanpa kabar berita, namun entah mengapa hati Nia masih bergetar tatkala mendengar nama itu disebut Om Wisnu.

“Dengan…,” Nia meneguk ludah.

“Iya, dengan Ardian. Nia masih ingat, kan? Ardian anak Om yang dulu sering bermain bersama Nia di depan rumah. Berenang bersama, bermain layang-layang. kelereng, lompat tali, sampai petak umpet.”

Nia menggigit bibirnya perlahan. “Masih, Om. Gimana kabar… Ardian… sekarang?” Nia memberanikan diri bertanya, seolah hal yang wajar. padahal suaranya terpatah-patah.

“Mmm… yah biasa saja, Nia. Agak susah Om jelaskan melalui telepon. Bagaimana kalau Nia sendiri yang datang menjenguk Ardian di Medan?” tanya Om Wisnu hati-hati.

“Nia-menjenguk-Ardian?” tanya Nia terputus-putus.

“Iya, Nia datanglah ke Medan jalan-jalan dulu sebulan dua bulan. Nanti Om suruh Ardian membawa Nia mengitari kota Medan, melihat-lihat kampusnya. Mana tahu Nia tertarik untuk kuliah di situ. Kalau Nia mau, Om bersedia membiayai kuliah Nia dan Nia boleh tinggal di rumah Om.”

Nia tercekat. Tawaran Om Wisnu ini terasa amat membingungkan sekaligus mengagetkannya. Menjenguk Ardian, jalan-jalan ke Medan, melihat kampus, kuliah di Medan, tinggal di rumah Om Wisnu. Semua itu datangnya seperti peluru yang berhamburan ke arahnya, membuatnya tak tahu harus bagaimana menangkis.

“Mmm… Nia agak bingung, Om,” jawab Nia jujur.

“Nggak apa,” kata Om Wisnu. “Nia boleh memikirkan tawaran Om ini perlahan-lahan. Om tidak memaksa, cuma Om memang berharap Nia bersedia menerimanya. Karena… karena…”

Karena? Nia menunggu sambungan kalimat Om Wisnu, tapi Om Wisnu tampaknya susah menyelesaikan ucapannya.

“Karena apa, Om?” tanya Nia dengan suara kecil.

“Karena Ardian, Nia. Demi Ardian. Nanti Nia akan mengerti kalau sudah datang ke Medan. Nia masih ingat dengan Ardian, berarti masih sayang Ardian, masih menganggapnya sahabat baik. Kedatangan Nia nanti adalah demi Ardian. Om sangat membutuhkan kehadiran Nia di sini.”

“Apa yang terjadi dengan Ardian, Om?” tanya Nia penasaran.

“Nggak, nggak apa-apa. Dia sehat-sehat dan baik-baik saja. Cuma itulah, Nia harus datang sendiri melihat Ardian. Mau ya Nia datang ke Medan? Setidaknya walaupun tidak bermaksud kuliah di sini, tapi jalan-jalan dululah. Bukankah Nia sementara sudah tamat SMA dan tidak ada kegiatan lain selain sedang mencari kerja, iya, kan?”

“Iya, sih,” jawab Nia agak ragu.

“Kalau begitu, datang ya, Nia. Om tunggu. Kabari Om kalau hendak datang. Nanti Om jemput Nia di stasiun kereta api Medan.”

“Iyalah, Om, nanti Nia kabari,” jawab gadis itu akhirnya.

“Terima kasih, Nia. Selamat sore,” putus suara Om Wisnu.

“Selamat sore, Om,” putus Nia.

Nia membalikkan ponsel di tangannya kepada ibunya. Bu Rani yang sedari tadi menguping pembicaraan antara putrinya dengan Om Wisnu, tak sabar bertanya.

“Gimana, Nia? Apa yang dikatakan Om Wisnu. Apakah kamu setuju ke Medan menjenguk Ardian? Jalan-jalan melihat kampusnya dulu, mana tahu kamu tertarik kuliah di situ?”

Nia terdiam. Matanya memandang Bu Rani yang menunggu jawabannya dengan mata penuh harap. Dia menerka, ibunya itu memang berkeinginan putri semata wayangnya itu kuliah di Medan. Setidaknya, bila selesai kuliah dan mendapat gelar, dia bisa mendapatkan kerja di perusahaan yang bagus. Di bank misalnya, pasti akan lebih besar gajinya daripada kerja di toko. Dan pegawai bank yang berseragam bagus pastilah lebih menarik penampilannya di mata banyak orang. Dia akan dengan bangga mengatakan kalau putri cantiknya itu sudah menjadi pegawai bank, walaupun tahap untuk itu masih lama, beberapa tahun lagi kalau Nia jadi kuliah dan selesai dengan memuaskan.

Seolah mengerti maksud hati ibunya, Nia mencoba tersenyum. “Iya, Nia sedikit tertarik dengan tawaran Om Wisnu untuk kuliah di Medan. Tapi, Nia merasa segan bila harus tinggal di rumahnya dan dibiayai Om Wisnu uang kuliah dan segala keperluan Nia nantinya. Setidaknya, Nia harus kuliah sambil kerja di Medan, supaya tidak memberatakan Om Wisnu.”

Bu Rani tertawa keras mendengar perkataan putrinya. “Memberatkan Om Wisnu? Hahaha…”

“Lho, kenapa ketawa, Bu?” tanya Nia tak mengerti.

“Nggak, Nia. Ibu merasa Nia tak akan memberatkan Om Wisnu sama sekali. Tahukah kamu, Nia, kalau Om Wisnu bukan lagi orang sederhana seperti kita. Dia bukan lagi Om Wisnu yang biasa-biasa saja seperti dulu. Sekarang dia pengusaha sukses, kaya-raya, tinggal di rumah villa megah. Begitulah cerita yang Ibu dengar dari familinya yang tinggal di Medan.”

Nia terdiam. Bagaimana pun juga, dia merasa tak enak jika harus tinggal gratis di rumah Om Wisnu, apalagi sampai dibiayai uang kuliah dan segala keperluannya. Tapi, seolah ada satu harapan Om Wisnu memang dari ucapan-ucapannya tadi, kalau dia memang berkehendak Nia tinggal di Medan dan kuliah di kampus yang sama dengan Ardian. Entah untuk apa, Nia tak tahu. Tapi pastinya, itu ada hubugannya dengan Ardian, sahabat masa kecilnya.

“Nanti Nia pikirkan lagi, Bu,” kata Nia dengan suara kecil. Setelah itu dia masuk ke kamarnya dan mengeringkan rambutnya dengan hair-dryer.

Malam itu, Nia tak bisa tidur. Pikirannya terus melayang-layang ke kejadian masa lampau. Saat dia dan Ardian kanak-kanak, bermain bersama di halaman rumah, berenang di Sungai Asahan, menapaki pasir putih dalam jarak belasan meter dari tepian saat pasang surut, dan mengumpulkan kulit kerang. Lalu, saat-saat ceria itu berubah menjadi duka bekepanjangan bagi sahabatnya itu tatkala sang ibu dipanggil Yang Maha Kuasa. Ardian menjadi piatu tanpa kasih sayang seorang ibu.

Sejak saat itu, sikapnya berubah total, menjadi pendiam, pemurung, penyedih, dan si pemarah yang cepat tersinggung. Nia masih ingat betapa buruk perlakuan Ardian padanya sejak kepergian ibundanya. Nia seolah harus ikut menanggung segala kepiluan sahabatnya itu akibat ditinggal ibunya untuk selamanya. Dan itu menjadi mimpi buruk bagi gadis kecil itu selama setengah tahun, bahkan kerap menghantui mimpi-mimpi malamnya selama 10 tahun ini.

Dan sekarang, tiba-tiba datang telepon dari ayahnya Ardian, menyuruhnya ke Medan menjenguk sahabatnya itu. Bahkan menawarkan untuk kuliah dan tinggal di rumahnya. Tinggal di rumahnya, sama dengan tinggal serumah dengan sahabat masa kecilnya itu.

Wah, Nia tak berani membayangkan bagaimana jadinya bila dia harus tinggal serumah dengan Ardian yang terakhir kali bersikap sangat buruk padanya. Apakah sikapnya nanti akan berubah ataukah tetap sama seperti 10 tahun lalu? Kalau masih sama, Nia tak berkehendak sama sekali untuk ke sana menjenguknya. Tapi, keingintahuan dan sepercik kerinduan di dadanya membuatnya tak mampu membendung lontaran peluru yang dihamburkan ke arahnya. Pikirannya berkecamuk tentang bagaimana keadaan Ardian, bagaimana rupanya sekarang, bagaimana perawakannya, perangainya, dan juga hasil pendidikannya di kampus.

Akhirnya, malam itu pun Nia tertidur lelap setelah lelah memikirkan semua hal tentang Ardian dan mempertimbangkan tawaran Om Wisnu. Nia merasa, Om Wisnu ada alasan lain menyuruhnya ke Medan. Bukan sekadar tinggal di rumahnya dan kuliah di kampus yang sama dengan Ardian. Tapi juga maksud lain yang berkaitan dengan putra tunggalnya itu.

* * *

Nia Menerima Tawaran Om Wisnu

Bab II

Nia terbangun saat suara kapal penangkap ikan terdengar di belakang pintu rumahnya. Pintu dapur yang merupakan pintu belakang rumah papan itu langsung menghadap ke Sungai Asahan yang luas. Suara mesin dari kapal nelayan penangkap ikan bisa langsung terdengar dari rumahnya di saat menjelang pagi. Suara itulah yang membangunnya setiap hari.

Nia melirik jam dindingnya, pukul 6 pagi. Dengan bergegas dia bangkit dari kasurnya, berjalan keluar dari kamar. Dilihatnya, ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi, nasi goreng telur dadar dikitari irisan tomat dan mentimun. Harumnya terasa lezat dan memancing rasa lapar di perut Nia.

“Mandi dululah, Nia, sebelum sarapan,” kata Bu Rani saat melihat putrinya itu hendak langsung mencicipi nasi goreng buatannya.

“Iya, Bu. Tapi nanti nasi gorengnya keburu dingin, deh!” kata Nia.

Bu Rani tersenyum. “Iyalah, kalau begitu, kamu makan dululah saja selagi panas. Nampaknya kamu kelaparan, ya?” gurau Bu Rani.

“Iya, Bu. Kelaparan karena otak dipaksa terlampau banyak mikir. Hahaha,” tawa Nia.

“Mikir tawaran yang kemarinkah?” tanya ibunya.

Nia mengangguk. “Iya, Bu.”

Bu Rani duduk di samping putrinya. Dia turut mencicipi sepiring lagi nasi goreng yang di atas meja. Suaminya alias ayahnya Rani telah berangkat kerja ke pelabuhan sejak subuh tadi. Tentunya setelah sarapan nasi goreng yang dibuat istrinya juga.

Bu Rani membiarkan Nia menyelesaikan dulu sarapan nasi gorengnya tanpa bicara apa-apa. Setelah melihat Nia selesai, Bu Rani pun bertanya, “Bagaimana keputusanmu?”

Nia meluruskan badannya di kursi plastik. Seolah tahu jawaban apa yang diinginkan ibunya, gadis itu mengangguk. “Iya, Bu. Nia setuju.”

Bu Rani tersenyum lega. Dia memang lebih menginginkan putrinya itu melanjutkan studi S1 daripada cuma tamat SMA. Karena Nia anak satu-satunya, masa depannya nanti pasti menentukan juga masa depan ayah ibunya. Semakin tinggi ilmunya, semakin terjamin masa depannya, otomatis kehidupan ekonomi orangtuanya bisa ikut terdongkrak bilamana Nia mendapat pekerjaan yang bagus selepas kuliah nanti.

“Nia memutuskan untuk jalan-jalan saja dulu ke Medan atau langsung menyetujui tawaran Om Wisnu kuliah di sana?” hati-hati Bu Rani bertanya.

“Nia mau kuliah di Medan, Bu. Usia Nia kan masih muda, jalan masih panjang dan terbentang lebar. Rasanya memang lebih baik bila Nia melanjutkan studi ke perguruan tinggi baru mencari kerja yang lebih bagus.”

“Yapz! Betul sekali, Nia! Ibu setuju!” cetus Bu Rani senang dengan senyum lebar. Suara tawanya terdengar sesekali.

Nia hanya memasang senyum kecil mendengarkan ceplosan ibunya itu yang tampak semangat bercerita tentang masa mudanya dulu yang sebenarnya memiliki cita-cita tinggi menjadi orang sukses secara ekonomi, tapi karena ortunya tidak memiliki biaya cukup untuk menyekolahkannya ke perguruan tinggi, akhirnya Bu Rani pun terpaksa menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.

Suaminya pun bukan seorang pengusaha sukses, melainkan tenaga kerja di pelabuhan, mengurus saat kapal masuk dan berlabuh, menjaga gudang ikan, dan menaikkan hasil tangkapan laut itu ke dek-dek kapal untuk diangkut ke pelabuhan lain.

Sekitar setengah jam Bu Rani bercerita di meja makan dan Nia mendengarkan dengan telaten. Walaupun cerita tentang masa muda kedua ortunya sudah pernah didengarnya dulu, tapi dia tak hendak memotong cerita ibunya tercinta atau mengatakan bahwa dia sudah pernah mendengarnya.

Setelah Bu Rani selesai bercerita, Nia membereskan meja dan piring. Mengguyur tubuhnya di kamar mandi dan air yang terasa dingin dan sabun wangi. Selesai mandi dan bersisiran di kamar, Nia berjalan menuju pintu depan. Diambilnya sapu dan dibersihkannya setiap sudut rumah. Nia memang anak yang rajin dan gemar membantu orangtua.

Bersih sudah semuanya. Nia duduk-duduk di beranda rumah, di atas batu semen yang ada di samping kiri kanan dari pintu depan.

Setamat SMA rasanya dia tak tahu harus berbuat apa setiap hari selain hanya berenang di sungai, duduk-duduk di beranda rumah, memandang air sungai yang kadang bergelombang di saat pasang naik, dan melamun.

Selain Ardian, Nia tidak punya teman lain di gang rumah mereka. Kebanyakan para gadis seusianya sudah pindah ke Medan atau Jakarta begitu tamat SMA.

Sebelumnya pun Nia jarang bergaul dengan mereka karena sikap Nia yang agak tertutup. Dia hanya pernah memiliki sahabat baik di masa kecil, yaitu Ardian yang telah pindah.

Sepuluh tahun tak melihatnya atau mendengar suaranya, kira-kira bagaimana dia harus bersikap nanti bila bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya itu yang sekarang pastinya sudah menjadi laki-laki dewasa.

Tampan atau jelekkah Ardian? Baik atau burukkah karakternya sekarang? pikir Nia terus-menerus.

Benaknya tak mampu menghapus sosok Ardian kecil dari ingatannya dan membangun bayangan sosok baru Ardian dewasa yang ada dalam khayalannya. Pastilah dia masih tetap kurus seperti dulu, dengan kulit sawo matang seperti dirinya. Tampan? Hmmm, pasti tak akan jauh berbeda dari wajahnya di masa lalu. Walaupun tampan tapi kurus ceking.

Hahaha. Nia tak mampu menahan tawanya mengingat sosok Ardian dewasa yang ada di perkiraannya. Setelah dewasa tapi masih bertubuh kurus ceking seperti dulu, pastilah jelek. Harusnya cowok dewasa itu bertubuh atletis seperti atlet renang baru kelihatan bagus, pikir Nia.

Tapi Nia sebenarnya tak begitu memedulikan bagaimana perawakan Ardian sekarang. Dia hanya merasa ada kerinduan yang membuncah tiba-tiba di dadanya sejak nama itu disebut lagi oleh Om Wisnu.

Padahal selama 10 tahun ini dia berusaha melupakan nama itu dari relung hatinya juga tak berani memikirkan tentang Ardian, karena dia pikir semua itu akan sia-sia. Ardian sudah pindah ke Medan, dan di hari perpisahan mereka itu pun sikapnya sangat cuek pada Nia. Juga setelah kepergiaannya sama sekali tak ada kabar berita darinya, bahkan sepucuk surat atau sekali deringan di ponsel yang mencarinya pun tak pernah ada. Karena itulah Nia pikir hubungannya dengan Ardian sudah berakhir dan antara dia dengan Ardian tak ada jodoh pertemanan lagi.

Sekitar satu jam Nia duduk melamun di beranda rumah ketika ponsel Bu Rani berbunyi.

Ibunya itu sengaja meninggalkan ponselnya di rumah sementara dia sendiri pergi ke pasar belanja. Karena Nia sendiri tak memiliki ponsel, maka telepon dari Om Wisnu harusnya ditunggu masuk ke ponsel ibunya itu.

Nia beranjak ke dalam rumah. Dilihatnya nomor yang masuk itu, “Om Wisnu”.

Pastilah ibunya sudah menyimpan nomor ponsel Om Wisnu semalam jadi langsung tahu begitu ada telepon darinya masuk lagi.

“Iya, Om?” sapa Nia.

“Pagi, Nia,” suara di seberang sana.

“Pagi juga, Om,” balas Nia.

“Gimana kabar Nia hari ini? Baik, kan? Dan juga keputusan Nia atas tawaran Om semalam?”

“Iya, Om. Nia setuju kuliah di Medan dan tinggal di rumah Om,” kata Nia cepat dengan suara pasti.

“Nia setuju?” cetus Om Wisnu seketika. Hatinya terlonjak senang, tak menyangka tawarannya yang agak berat itu diterima gadis anak tetangganya dulu.

“Iya, Om. Jadi kapan Nia harus ke Medan dan mulai melihat kampusnya? Nia tak sabar lagi ingin kuliah, mengecap pendidikan tinggi supaya bisa menjadi orang berguna nanti, terutama bagi ayah dan ibu Nia.”

“Iya, iya, nanti akan Om atur secepatnya kedatangan Nia ke Medan,” jawab Om Wisnu semangat. Suaranya terdengar gembira sekali.

Kedatangan Nia ke Medan diharapkannya mampu memecahkan masalah hatinya yang terus-menerus gundah-gulana akibat dari sikap dan karakter Ardian yang semakin hari semakin meresahkannya.

Barangkali, gadis itu akan punya cara nanti untuk bicara baik-baik dengan Ardian dan mengubah putranya itu kembali menjadi anak baik seperti di kampung halamannya dulu sebelum kepergian ibunya.

“Bagaimana kalau Nia datang ke Medan akhir pekan ini?” tanya Om Wisnu. Coba Nia ke stasiun kereta api beli tiketnya dulu hari ini, mana tahu kehabisan?”

“Akhir pekan ini? Maksudnya hari Sabtu inikah, Om?” perjelas Nia.

“Betul, Nia. Kalau bisa Nia berangkat dengan kereta api siang jadi sampai di Medan sore. Om akan jemput Nia langsung di stasiun Medan. Ohiya, karena sudah lama tak berjumpa, pastinya kita akan asing satu sama lain. Bagaimana kalau kita pakai baju yang warnanya sama? Om baju kaos hitam celana putih, dan Nia juga baju kaos hitam celana putih?”

“Mmm… mmm…, yah boleh juga, Om. Nanti Nia akan cari bajunya dan ke stasiun beli tiketnya.”

“Iya, Nia. Makasih banyak ya sudah bersedia menerima tawaran Om.”

“Sama-sama, Om. Malah Nia yang harus berterima kasih pada Om karena sudah memberi kesempatan Nia mengecap pendidikan lebih tinggi.”

“He-eh. Selamat pagi, Nia,” salam suara di seberang sana sebelum memutus sambungan.

“Selamat pagi, Om,” balas Nia memutuskan pembicaraan.

Kota Medan. Itulah yang terlintas di benak Nia sekarang. Seumur begini, Nia belum pernah menginjakkan kaki ke kota Medan. Dia memang pernah menaiki kereta api jurusan Tanjungbalai-Medan, tapi cuma sampai di stasiun Kisaran, menemani ibunya menghadiri pesta pernikahan kerabatnya yang tinggal di sana. Lalu, dia juga pernah berhenti di stasiun Perlanaan, jalan-jalan ke kotanya seperti diajak ibunya. Selain dari itu, Nia tidak pernah.

Sekarang, tiba-tiba saja dia harus sendiri ke Medan. Iya, sendiri, karena Om Wisnu toh tidak menyebut atau mengundang Bu Rani turut serta menemani putrinya. Barangkali Om Wisnu punya alasan lain, menyembunyikan sesuatu atau…? Ah, kenapa harus dipikirin, toh katanya famili Om Wisnu yang di Medan, kalau Om Wisnu sekarang sudah menjadi pengusaha sukses kaya-raya. Dan kata familinya Om Wisnu yang juga berteman dengan Bu Rani, kalau Ardian sekarang sudah tumbuh dewasa dan kuliah di sebuah universitas swasta ternama, tempat di mana Nia nanti akan kuliah juga.

Lebih baik langsung saja menghadapi hal itu daripada sibuk, pusing, atau cemas memikirkan dan menebak-nebak yang tidak pasti, pikir Nia. Toh dia juga sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya sendiri seandainya pun seorang diri di Medan nanti. Apalagi ini ada Om Wisnu, tetangga lama yang sudah dikenal baik oleh keluarganya dulu. Bahkan Nia masih mengingat kebaikan-kebaikan Om Wisnu dulu sewaktu masih bertetangga dengan mereka. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan?

* * *

Nia Sampai di Kota Medan

Bab 3

Nia melirik jam tangannya. Hampir pukul 5 sore. Kereta api dari stasiun Tanjungbalai tadi berangkat pukul 12.15 WIB, dan menurut waktu yang tertera di tiket, akan tiba sebentar lagi di stasiun Medan.

Benarlah, tak berapa lama kemudian, suara pemberitahuan dari pengeras suara yang ada di dalam kereta api bergema, memberi informasi bahwasanya kereta api sudah sampai di stasiun Medan.

Para penumpang di dalam kereta api tampak berdiri dari duduknya masing-masing, mengambil barang-barang maupun tasnya yang diletakkan di atas bagasi. Karena padatnya penumpang di akhir pekan ini, Nia memilih untuk duduk dulu saja, membiarkan penumpang-penumpang lain duluan turun dengan berbaris rapi menunggu giliran.

Perjalanan selama empat jam lebih dari kampung halamannya ke ibu kota Sumatra Utara ini dirasa Nia cukup menghibur.

Di dalam kereta api yang full AC dan lumayan tenang membuat Nia merasa nyaman dan sejuk memandangi pemandangan alam di luar jendela yang didominasi oleh deretan pepohonan di sepanjang perjalanan di atas rel. Juga tampak sawah-sawah yang terhampar dengan rumah-rumah penduduk yang beratapkan jerami. Sesekali barulah tampak area perkotaan yang ramai oleh lalu lintas berbagai macam kendaraan saat kereta api tiba di stasiun tertentu.

Namun semua keramaian di area perkotaan seluruh stasiun yang dilewatinya, tidak ada yang seramai stasiun terakhir, Medan.

Nia bangkit dari duduknya, mengambil tas besarnya dari atas bagasi yang ada di atas tempat duduk penumpang dekat jendela. Saat penumpang yang berbaris turun mulai sepi, Nia menggerakkan badannya ke samping, menyusul penumpang lain.

Langkahnya menapak di atas tanah, turun dari gerbong yang cukup tinggi. Dia mengikuti langkah penumpang lain yang berjalan lagi menuju gerbang keluar.

Tampak dua barisan di kiri-kanan gerbang keluar yang diisi oleh abang-abang penarik betor. Mereka memanggil penumpang yang baru sampai, menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan.

Nia berdiri bimbang di dekat gerbang keluar. Di mana Om Wisnu yang katanya akan menjemput dia sesampainya di Medan? Bagaimana kalau Om Wisnu lupa? Bisa-bisa dia kesasar di kota besar ini, ditambah pula Nia tak punya famili lain di Medan. Jadi, ke mana dia hendak pergi?

Mata Nia mencari-cari di luar pintu gerbang. Mencari seorang pria berusia 40-an yang memakai baju kaos hitam dan celana putih seperti yang dijanjikan sebelumnya. Nia sendiri sudah memakai stelan pakaian hitam putih seperti yang disepakati bersama.

Matanya berhenti mencari saat melihat sebuah tangan melambai-lambai di kejauhan. Tangan seorang laki-laki nyaris separuh baya yang berusaha ditinggikan supaya terlihat oleh penumpang yang baru sampai.

Nia keluar dari gerbang utama itu dan mencoba mendekati si pelambai. Ups! Sepertinya itu memang Om Wisnu. Wajahnya walaupun agak menua tapi masih terasa familiar di ingatan Nia.

Apalagi stelan pakaiannya adalah baju kaos hitam dan celana panjang putih. Senyum dan kumisnya yang khas membuat Nia sulit melupakan tetangga lamanya itu. Tak salah lagi! Itu memang Om Wisnu!

Tergesa, Nia berjalan semakin mendekat sampai kini dirinya berada di samping si pelambai. “Om… Om… Om Wisnu!” panggil Nia yang sudah berdiri di sampingnya, tapi tampaknya mata Om Wisnu kurang awas, karena dianya masih melongok-longok dan melihat ke gerbang utama.

Laki-laki yang dipanggil Om Wisnu itu menoleh ke arah gadis yang memanggil namanya. “O-o! Kamu, Nia, ya?!” terlonjak laki-laki nyaris separuh abad namun masih tampak ganteng dan berkharisma dengan kumis tipisnya.

“Iya, Om! Ini saya, Nia!” senyum Nia dengan bibir terkembang. Lega sudah hatinya bertemu dengan Om Wisnu. Sebelumnya, hatinya sempat khawatir kalau-kalau Om Wisnu lupa menjemputnya dikarenakan pekerjaan penting.

“O-o, kamu memang Nia! Nia manis yang dulu masih kecil, sekarang sudah besar!” seru Om Wisnu sambil memukul lengan Nia. Karena senangnya, pukulan itu terlontar cukup keras hingga membuat Nia meringis.

“Ups! Sori, sori, Om Wisnu terlalu bersemangat dan senang sampai lupa mengendalikan diri!” tawanya renyah.

“Iya, Om, nggak apa-apa,” kata Nia sambil tersenyum tipis.

“Mari-mari, naik ke mobil Om!” ajaknya pada Nia samibl membantu menenteng tas besar Nia.

Nia mengikuti langkah kaki Om Wisnu menuju tempat parkiran. Cukup jauh Nia berjalan baru sampai di tempat mobil Om Wisnu berada.

“Sori ya, Nia, jadi harus jalan cukup jauh karena Om memilih tempat parkir yang agak jauh dan tidak macet. Ayo, naik saja ke dalam mobil!” kata Om Wisnu.

Nia mengangguk dan naik ke dalam mobil Pajero Sport terbaru berwarna hitam mengkilap itu. Di dalam mobil terasa nyaman. Nia duduk di samping Om Wisnu yang mengendari mobil sendiri.

“Om tinggal di mana?” tanya Nia.

Walaupun tak mengetahui sama sekali alamat-alamat di Medan, setidaknya dengan bertanya kelak dia akan bisa menjawab bila sewaktu-waktu ditanya siapapun, “Di Medan kamu tinggal di mana?”

“Oh, Om tinggal di villa Graha Helvetia, Nia. Nia pernah ke sana?” balik bertanya Om Wisnu.

“Hahaha. Jangankan ke sana, Om. Ke Medan saja Nia belum pernah,” jawab gadis itu sambil membetulkan letak rambutnya yang diterpa angin tadi. Rambut panjangnya dikibaskannya ke belakang.

Diam-diam, Om Wisnu memperhatikan gadis belia itu dan mengagumi kemolekannya.

Gadis kecil anak tetangganya itu kini sudah tumbuh dewasa. Tampak cantik dan lembut. Wajahnya yang ayu dan manis membuat Om Wisnu merasa tak sia-sia mengundangnya dari jauh. Pasti Ardian, putranya itu akan melirik gadis teman masa kecilnya ini. Menyukai, jatuh cinta, lalu mendengarkan nasihat atau kata-katanya. Om Wisnu berharap, Nia bisa membantunya membawa Ardian kembali menjadi “anak baik”.

Mobil Pajero Sport itu pun melaju perlahan membelah jalan raya di kota Medan yang sangat ramai dan padat oleh berbagai jenis kendaraan di sore itu.

Saat jam pulang kerja, adalah saat jam sibuk yang mana kota besar seperti Medan ini pasti akan ramai lalu-lintasnya. Apalagi menjelang malam dan saat malam tiba, semakin ramailah kendaraan yang hilir-mudik hendak ke berbagai tempat hiburan yang tersebar di seluruh area perkotaan. Bahkan, masih akan ramai saat malam semakin larut, yang mana para pengunjung akan pulang ke rumahnya masing-masing dari mendapat hiburan di mal-mal, restoran, studio film, karaoke, taman hiburan, tempat bermain, sampai berbagai arena pujasera di ruang terbuka yang tak terkira banyaknya di seantero kota Medan.

Konon, kota ini sangat terkenal akan wisata kulinernya yang lezat tiada tara. Bahkan, aneka jajanan pun bisa dinikmati dengan harga bervariasi, mulai dari yang murah di kaki lima, yang terjangkau di puluhan pujasera, mal, sampai yang eksklusif di restoran-restoran mewah.

Mata Nia asyik memandang keluar jendela mobil. Dilihatnya arus lalu-lintas sekeluarnya dari stasiun kereta api tadi tetap padat dan macet di setiap ruas jalan. Bahkan di tempat-tempat tertentu seperti di persimpangan lampu merah atau simpang empat, kemacetan itu bertambah parah. Bunyi klakson mobil, sepeda motor, dan angkot kadang terdengar saat masing-masing merasa gerah dan ada kendaraan yang bergerak sedikit lambat.

Nia memandang kemacetan ruas jalan yang dilaluinya dengan pandangan takjub. Mal-mal besar, luas, dan megah, gedung-gedung perkantoran tinggi, hotel-hotel mewah pencakar langit, semuanya ada di pusat kota, walaupun juga banyak tersebar di setiap sudut kota.

Saat mobil yang dikendarai Om Wisnu berbelok untuk yang ke sekian kali, beliau berkata, “Inilah universitas swasta ternama tempat kuliah Ardian, Nia,” beritahu Om Wisnu sambil sebelah tanganya menunjuk ke bangunan luas megah yang ada di tepi jalan besar.

Nia memperhatikan gedung kampus yang dimaksud. Kebetulan arus kendaraan sedang agak macet, jadi Nia bisa lebih lama melihat-lihat.

Memang kampus itu terlihat besar dan megah. Seperti beberapa tingkat dengan pembagian fakultas-fakultas di tiap sisi gedungnya. Nia merasa takjub. Tak pernah terbayangkan olehnya kalau dia akan bisa kuliah di sana nanti.

Pikirnya, dia akan tetap menetap di kota kelahirannya setamat SMA, bekerja di toko roti atau toko pakaian barangkali dengan gaji kecil dan hari-hari yang monoton. Tanjungbalai tanpa tempat-tempat hiburan seperti mal-mal besar dan studio film yang bertaburan di pusat-pusat perbelanjaan. Walaupun sudah ada beberapa hotel bintang tiga yang lumayan mewah dengan restoran di dalamnya. Tapi tak bisa dibandingkan dengan kota Medan sebagai ibukota provinsi.

“Wah, kampusnya besar dan megah, Om,” celetuk Nia.

“Betul, Nia. Nanti Nia juga akan kuliah di sini bersama Ardian, walaupun beda tingkat.”

“Ini apa, Om?” tanya Nia ketika mobil mereka melewati bangunan tinggi yang tampak sedang dikerjakan di lahan yang sangat luas. Luas dan tingginya tampaknya bahkan akan melampaui hotel bintang lima yang ada di dekat situ, namun terletak di arah yang berseberangan dari bangunan tinggi yang sedang dikerjakan itu.

“Oh, ini bakal menjadi bangunan terbaru dan termegah yang ada di kota Medan nanti, Nia, setelah Sun Plaza dan Centre Point. Akan banyak apartmen mewah yang dibangun di sini, juga segala macam hotel, restoran, mal, pujasera, dan sebagainya. Lengkap!”

“Oh, menakjubkan sekali, Om!” reaksi Nia.

”Iya, Nia. Begitulah kota Medan di abad milenial ini.”

Om Wisnu dan Nia terus berbincang-bincang di sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal Om Wisnu di Graha Helvetia. Jarak dari stasiun kereta api ke rumah Om Wisnu sebenarnya tak begitu jauh, tapi karena arus lalu lintas yang padat dan macet di mana-mana, membuat perjalanan jadi terasa lama.

Namun karena Nia berada di dalam mobil yang sejuk dan besar, dia tak merasa gerah atau tak sabaran. Bahkan dia menikmati setiap detik perjalanannya menyusuri kota Medan hingga sampai ke tempat tujuan.

* * *

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!