Bab II
Nia terbangun saat suara kapal penangkap ikan terdengar di belakang pintu rumahnya. Pintu dapur yang merupakan pintu belakang rumah papan itu langsung menghadap ke Sungai Asahan yang luas. Suara mesin dari kapal nelayan penangkap ikan bisa langsung terdengar dari rumahnya di saat menjelang pagi. Suara itulah yang membangunnya setiap hari.
Nia melirik jam dindingnya, pukul 6 pagi. Dengan bergegas dia bangkit dari kasurnya, berjalan keluar dari kamar. Dilihatnya, ibunya sedang menyiapkan sarapan pagi, nasi goreng telur dadar dikitari irisan tomat dan mentimun. Harumnya terasa lezat dan memancing rasa lapar di perut Nia.
“Mandi dululah, Nia, sebelum sarapan,” kata Bu Rani saat melihat putrinya itu hendak langsung mencicipi nasi goreng buatannya.
“Iya, Bu. Tapi nanti nasi gorengnya keburu dingin, deh!” kata Nia.
Bu Rani tersenyum. “Iyalah, kalau begitu, kamu makan dululah saja selagi panas. Nampaknya kamu kelaparan, ya?” gurau Bu Rani.
“Iya, Bu. Kelaparan karena otak dipaksa terlampau banyak mikir. Hahaha,” tawa Nia.
“Mikir tawaran yang kemarinkah?” tanya ibunya.
Nia mengangguk. “Iya, Bu.”
Bu Rani duduk di samping putrinya. Dia turut mencicipi sepiring lagi nasi goreng yang di atas meja. Suaminya alias ayahnya Rani telah berangkat kerja ke pelabuhan sejak subuh tadi. Tentunya setelah sarapan nasi goreng yang dibuat istrinya juga.
Bu Rani membiarkan Nia menyelesaikan dulu sarapan nasi gorengnya tanpa bicara apa-apa. Setelah melihat Nia selesai, Bu Rani pun bertanya, “Bagaimana keputusanmu?”
Nia meluruskan badannya di kursi plastik. Seolah tahu jawaban apa yang diinginkan ibunya, gadis itu mengangguk. “Iya, Bu. Nia setuju.”
Bu Rani tersenyum lega. Dia memang lebih menginginkan putrinya itu melanjutkan studi S1 daripada cuma tamat SMA. Karena Nia anak satu-satunya, masa depannya nanti pasti menentukan juga masa depan ayah ibunya. Semakin tinggi ilmunya, semakin terjamin masa depannya, otomatis kehidupan ekonomi orangtuanya bisa ikut terdongkrak bilamana Nia mendapat pekerjaan yang bagus selepas kuliah nanti.
“Nia memutuskan untuk jalan-jalan saja dulu ke Medan atau langsung menyetujui tawaran Om Wisnu kuliah di sana?” hati-hati Bu Rani bertanya.
“Nia mau kuliah di Medan, Bu. Usia Nia kan masih muda, jalan masih panjang dan terbentang lebar. Rasanya memang lebih baik bila Nia melanjutkan studi ke perguruan tinggi baru mencari kerja yang lebih bagus.”
“Yapz! Betul sekali, Nia! Ibu setuju!” cetus Bu Rani senang dengan senyum lebar. Suara tawanya terdengar sesekali.
Nia hanya memasang senyum kecil mendengarkan ceplosan ibunya itu yang tampak semangat bercerita tentang masa mudanya dulu yang sebenarnya memiliki cita-cita tinggi menjadi orang sukses secara ekonomi, tapi karena ortunya tidak memiliki biaya cukup untuk menyekolahkannya ke perguruan tinggi, akhirnya Bu Rani pun terpaksa menikah muda dan menjadi ibu rumah tangga.
Suaminya pun bukan seorang pengusaha sukses, melainkan tenaga kerja di pelabuhan, mengurus saat kapal masuk dan berlabuh, menjaga gudang ikan, dan menaikkan hasil tangkapan laut itu ke dek-dek kapal untuk diangkut ke pelabuhan lain.
Sekitar setengah jam Bu Rani bercerita di meja makan dan Nia mendengarkan dengan telaten. Walaupun cerita tentang masa muda kedua ortunya sudah pernah didengarnya dulu, tapi dia tak hendak memotong cerita ibunya tercinta atau mengatakan bahwa dia sudah pernah mendengarnya.
Setelah Bu Rani selesai bercerita, Nia membereskan meja dan piring. Mengguyur tubuhnya di kamar mandi dan air yang terasa dingin dan sabun wangi. Selesai mandi dan bersisiran di kamar, Nia berjalan menuju pintu depan. Diambilnya sapu dan dibersihkannya setiap sudut rumah. Nia memang anak yang rajin dan gemar membantu orangtua.
Bersih sudah semuanya. Nia duduk-duduk di beranda rumah, di atas batu semen yang ada di samping kiri kanan dari pintu depan.
Setamat SMA rasanya dia tak tahu harus berbuat apa setiap hari selain hanya berenang di sungai, duduk-duduk di beranda rumah, memandang air sungai yang kadang bergelombang di saat pasang naik, dan melamun.
Selain Ardian, Nia tidak punya teman lain di gang rumah mereka. Kebanyakan para gadis seusianya sudah pindah ke Medan atau Jakarta begitu tamat SMA.
Sebelumnya pun Nia jarang bergaul dengan mereka karena sikap Nia yang agak tertutup. Dia hanya pernah memiliki sahabat baik di masa kecil, yaitu Ardian yang telah pindah.
Sepuluh tahun tak melihatnya atau mendengar suaranya, kira-kira bagaimana dia harus bersikap nanti bila bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya itu yang sekarang pastinya sudah menjadi laki-laki dewasa.
Tampan atau jelekkah Ardian? Baik atau burukkah karakternya sekarang? pikir Nia terus-menerus.
Benaknya tak mampu menghapus sosok Ardian kecil dari ingatannya dan membangun bayangan sosok baru Ardian dewasa yang ada dalam khayalannya. Pastilah dia masih tetap kurus seperti dulu, dengan kulit sawo matang seperti dirinya. Tampan? Hmmm, pasti tak akan jauh berbeda dari wajahnya di masa lalu. Walaupun tampan tapi kurus ceking.
Hahaha. Nia tak mampu menahan tawanya mengingat sosok Ardian dewasa yang ada di perkiraannya. Setelah dewasa tapi masih bertubuh kurus ceking seperti dulu, pastilah jelek. Harusnya cowok dewasa itu bertubuh atletis seperti atlet renang baru kelihatan bagus, pikir Nia.
Tapi Nia sebenarnya tak begitu memedulikan bagaimana perawakan Ardian sekarang. Dia hanya merasa ada kerinduan yang membuncah tiba-tiba di dadanya sejak nama itu disebut lagi oleh Om Wisnu.
Padahal selama 10 tahun ini dia berusaha melupakan nama itu dari relung hatinya juga tak berani memikirkan tentang Ardian, karena dia pikir semua itu akan sia-sia. Ardian sudah pindah ke Medan, dan di hari perpisahan mereka itu pun sikapnya sangat cuek pada Nia. Juga setelah kepergiaannya sama sekali tak ada kabar berita darinya, bahkan sepucuk surat atau sekali deringan di ponsel yang mencarinya pun tak pernah ada. Karena itulah Nia pikir hubungannya dengan Ardian sudah berakhir dan antara dia dengan Ardian tak ada jodoh pertemanan lagi.
Sekitar satu jam Nia duduk melamun di beranda rumah ketika ponsel Bu Rani berbunyi.
Ibunya itu sengaja meninggalkan ponselnya di rumah sementara dia sendiri pergi ke pasar belanja. Karena Nia sendiri tak memiliki ponsel, maka telepon dari Om Wisnu harusnya ditunggu masuk ke ponsel ibunya itu.
Nia beranjak ke dalam rumah. Dilihatnya nomor yang masuk itu, “Om Wisnu”.
Pastilah ibunya sudah menyimpan nomor ponsel Om Wisnu semalam jadi langsung tahu begitu ada telepon darinya masuk lagi.
“Iya, Om?” sapa Nia.
“Pagi, Nia,” suara di seberang sana.
“Pagi juga, Om,” balas Nia.
“Gimana kabar Nia hari ini? Baik, kan? Dan juga keputusan Nia atas tawaran Om semalam?”
“Iya, Om. Nia setuju kuliah di Medan dan tinggal di rumah Om,” kata Nia cepat dengan suara pasti.
“Nia setuju?” cetus Om Wisnu seketika. Hatinya terlonjak senang, tak menyangka tawarannya yang agak berat itu diterima gadis anak tetangganya dulu.
“Iya, Om. Jadi kapan Nia harus ke Medan dan mulai melihat kampusnya? Nia tak sabar lagi ingin kuliah, mengecap pendidikan tinggi supaya bisa menjadi orang berguna nanti, terutama bagi ayah dan ibu Nia.”
“Iya, iya, nanti akan Om atur secepatnya kedatangan Nia ke Medan,” jawab Om Wisnu semangat. Suaranya terdengar gembira sekali.
Kedatangan Nia ke Medan diharapkannya mampu memecahkan masalah hatinya yang terus-menerus gundah-gulana akibat dari sikap dan karakter Ardian yang semakin hari semakin meresahkannya.
Barangkali, gadis itu akan punya cara nanti untuk bicara baik-baik dengan Ardian dan mengubah putranya itu kembali menjadi anak baik seperti di kampung halamannya dulu sebelum kepergian ibunya.
“Bagaimana kalau Nia datang ke Medan akhir pekan ini?” tanya Om Wisnu. Coba Nia ke stasiun kereta api beli tiketnya dulu hari ini, mana tahu kehabisan?”
“Akhir pekan ini? Maksudnya hari Sabtu inikah, Om?” perjelas Nia.
“Betul, Nia. Kalau bisa Nia berangkat dengan kereta api siang jadi sampai di Medan sore. Om akan jemput Nia langsung di stasiun Medan. Ohiya, karena sudah lama tak berjumpa, pastinya kita akan asing satu sama lain. Bagaimana kalau kita pakai baju yang warnanya sama? Om baju kaos hitam celana putih, dan Nia juga baju kaos hitam celana putih?”
“Mmm… mmm…, yah boleh juga, Om. Nanti Nia akan cari bajunya dan ke stasiun beli tiketnya.”
“Iya, Nia. Makasih banyak ya sudah bersedia menerima tawaran Om.”
“Sama-sama, Om. Malah Nia yang harus berterima kasih pada Om karena sudah memberi kesempatan Nia mengecap pendidikan lebih tinggi.”
“He-eh. Selamat pagi, Nia,” salam suara di seberang sana sebelum memutus sambungan.
“Selamat pagi, Om,” balas Nia memutuskan pembicaraan.
Kota Medan. Itulah yang terlintas di benak Nia sekarang. Seumur begini, Nia belum pernah menginjakkan kaki ke kota Medan. Dia memang pernah menaiki kereta api jurusan Tanjungbalai-Medan, tapi cuma sampai di stasiun Kisaran, menemani ibunya menghadiri pesta pernikahan kerabatnya yang tinggal di sana. Lalu, dia juga pernah berhenti di stasiun Perlanaan, jalan-jalan ke kotanya seperti diajak ibunya. Selain dari itu, Nia tidak pernah.
Sekarang, tiba-tiba saja dia harus sendiri ke Medan. Iya, sendiri, karena Om Wisnu toh tidak menyebut atau mengundang Bu Rani turut serta menemani putrinya. Barangkali Om Wisnu punya alasan lain, menyembunyikan sesuatu atau…? Ah, kenapa harus dipikirin, toh katanya famili Om Wisnu yang di Medan, kalau Om Wisnu sekarang sudah menjadi pengusaha sukses kaya-raya. Dan kata familinya Om Wisnu yang juga berteman dengan Bu Rani, kalau Ardian sekarang sudah tumbuh dewasa dan kuliah di sebuah universitas swasta ternama, tempat di mana Nia nanti akan kuliah juga.
Lebih baik langsung saja menghadapi hal itu daripada sibuk, pusing, atau cemas memikirkan dan menebak-nebak yang tidak pasti, pikir Nia. Toh dia juga sudah dewasa, sudah bisa menjaga dirinya sendiri seandainya pun seorang diri di Medan nanti. Apalagi ini ada Om Wisnu, tetangga lama yang sudah dikenal baik oleh keluarganya dulu. Bahkan Nia masih mengingat kebaikan-kebaikan Om Wisnu dulu sewaktu masih bertetangga dengan mereka. Jadi, apa yang perlu dikhawatirkan?
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
oyttigiz
like
2022-01-29
1
Jungkook wife
lanjut
2021-09-03
1
Ulfa Zahra
hadir di sini
2021-08-23
1