Bab 3
Nia melirik jam tangannya. Hampir pukul 5 sore. Kereta api dari stasiun Tanjungbalai tadi berangkat pukul 12.15 WIB, dan menurut waktu yang tertera di tiket, akan tiba sebentar lagi di stasiun Medan.
Benarlah, tak berapa lama kemudian, suara pemberitahuan dari pengeras suara yang ada di dalam kereta api bergema, memberi informasi bahwasanya kereta api sudah sampai di stasiun Medan.
Para penumpang di dalam kereta api tampak berdiri dari duduknya masing-masing, mengambil barang-barang maupun tasnya yang diletakkan di atas bagasi. Karena padatnya penumpang di akhir pekan ini, Nia memilih untuk duduk dulu saja, membiarkan penumpang-penumpang lain duluan turun dengan berbaris rapi menunggu giliran.
Perjalanan selama empat jam lebih dari kampung halamannya ke ibu kota Sumatra Utara ini dirasa Nia cukup menghibur.
Di dalam kereta api yang full AC dan lumayan tenang membuat Nia merasa nyaman dan sejuk memandangi pemandangan alam di luar jendela yang didominasi oleh deretan pepohonan di sepanjang perjalanan di atas rel. Juga tampak sawah-sawah yang terhampar dengan rumah-rumah penduduk yang beratapkan jerami. Sesekali barulah tampak area perkotaan yang ramai oleh lalu lintas berbagai macam kendaraan saat kereta api tiba di stasiun tertentu.
Namun semua keramaian di area perkotaan seluruh stasiun yang dilewatinya, tidak ada yang seramai stasiun terakhir, Medan.
Nia bangkit dari duduknya, mengambil tas besarnya dari atas bagasi yang ada di atas tempat duduk penumpang dekat jendela. Saat penumpang yang berbaris turun mulai sepi, Nia menggerakkan badannya ke samping, menyusul penumpang lain.
Langkahnya menapak di atas tanah, turun dari gerbong yang cukup tinggi. Dia mengikuti langkah penumpang lain yang berjalan lagi menuju gerbang keluar.
Tampak dua barisan di kiri-kanan gerbang keluar yang diisi oleh abang-abang penarik betor. Mereka memanggil penumpang yang baru sampai, menawarkan jasa untuk mengantar sampai ke tujuan.
Nia berdiri bimbang di dekat gerbang keluar. Di mana Om Wisnu yang katanya akan menjemput dia sesampainya di Medan? Bagaimana kalau Om Wisnu lupa? Bisa-bisa dia kesasar di kota besar ini, ditambah pula Nia tak punya famili lain di Medan. Jadi, ke mana dia hendak pergi?
Mata Nia mencari-cari di luar pintu gerbang. Mencari seorang pria berusia 40-an yang memakai baju kaos hitam dan celana putih seperti yang dijanjikan sebelumnya. Nia sendiri sudah memakai stelan pakaian hitam putih seperti yang disepakati bersama.
Matanya berhenti mencari saat melihat sebuah tangan melambai-lambai di kejauhan. Tangan seorang laki-laki nyaris separuh baya yang berusaha ditinggikan supaya terlihat oleh penumpang yang baru sampai.
Nia keluar dari gerbang utama itu dan mencoba mendekati si pelambai. Ups! Sepertinya itu memang Om Wisnu. Wajahnya walaupun agak menua tapi masih terasa familiar di ingatan Nia.
Apalagi stelan pakaiannya adalah baju kaos hitam dan celana panjang putih. Senyum dan kumisnya yang khas membuat Nia sulit melupakan tetangga lamanya itu. Tak salah lagi! Itu memang Om Wisnu!
Tergesa, Nia berjalan semakin mendekat sampai kini dirinya berada di samping si pelambai. “Om… Om… Om Wisnu!” panggil Nia yang sudah berdiri di sampingnya, tapi tampaknya mata Om Wisnu kurang awas, karena dianya masih melongok-longok dan melihat ke gerbang utama.
Laki-laki yang dipanggil Om Wisnu itu menoleh ke arah gadis yang memanggil namanya. “O-o! Kamu, Nia, ya?!” terlonjak laki-laki nyaris separuh abad namun masih tampak ganteng dan berkharisma dengan kumis tipisnya.
“Iya, Om! Ini saya, Nia!” senyum Nia dengan bibir terkembang. Lega sudah hatinya bertemu dengan Om Wisnu. Sebelumnya, hatinya sempat khawatir kalau-kalau Om Wisnu lupa menjemputnya dikarenakan pekerjaan penting.
“O-o, kamu memang Nia! Nia manis yang dulu masih kecil, sekarang sudah besar!” seru Om Wisnu sambil memukul lengan Nia. Karena senangnya, pukulan itu terlontar cukup keras hingga membuat Nia meringis.
“Ups! Sori, sori, Om Wisnu terlalu bersemangat dan senang sampai lupa mengendalikan diri!” tawanya renyah.
“Iya, Om, nggak apa-apa,” kata Nia sambil tersenyum tipis.
“Mari-mari, naik ke mobil Om!” ajaknya pada Nia samibl membantu menenteng tas besar Nia.
Nia mengikuti langkah kaki Om Wisnu menuju tempat parkiran. Cukup jauh Nia berjalan baru sampai di tempat mobil Om Wisnu berada.
“Sori ya, Nia, jadi harus jalan cukup jauh karena Om memilih tempat parkir yang agak jauh dan tidak macet. Ayo, naik saja ke dalam mobil!” kata Om Wisnu.
Nia mengangguk dan naik ke dalam mobil Pajero Sport terbaru berwarna hitam mengkilap itu. Di dalam mobil terasa nyaman. Nia duduk di samping Om Wisnu yang mengendari mobil sendiri.
“Om tinggal di mana?” tanya Nia.
Walaupun tak mengetahui sama sekali alamat-alamat di Medan, setidaknya dengan bertanya kelak dia akan bisa menjawab bila sewaktu-waktu ditanya siapapun, “Di Medan kamu tinggal di mana?”
“Oh, Om tinggal di villa Graha Helvetia, Nia. Nia pernah ke sana?” balik bertanya Om Wisnu.
“Hahaha. Jangankan ke sana, Om. Ke Medan saja Nia belum pernah,” jawab gadis itu sambil membetulkan letak rambutnya yang diterpa angin tadi. Rambut panjangnya dikibaskannya ke belakang.
Diam-diam, Om Wisnu memperhatikan gadis belia itu dan mengagumi kemolekannya.
Gadis kecil anak tetangganya itu kini sudah tumbuh dewasa. Tampak cantik dan lembut. Wajahnya yang ayu dan manis membuat Om Wisnu merasa tak sia-sia mengundangnya dari jauh. Pasti Ardian, putranya itu akan melirik gadis teman masa kecilnya ini. Menyukai, jatuh cinta, lalu mendengarkan nasihat atau kata-katanya. Om Wisnu berharap, Nia bisa membantunya membawa Ardian kembali menjadi “anak baik”.
Mobil Pajero Sport itu pun melaju perlahan membelah jalan raya di kota Medan yang sangat ramai dan padat oleh berbagai jenis kendaraan di sore itu.
Saat jam pulang kerja, adalah saat jam sibuk yang mana kota besar seperti Medan ini pasti akan ramai lalu-lintasnya. Apalagi menjelang malam dan saat malam tiba, semakin ramailah kendaraan yang hilir-mudik hendak ke berbagai tempat hiburan yang tersebar di seluruh area perkotaan. Bahkan, masih akan ramai saat malam semakin larut, yang mana para pengunjung akan pulang ke rumahnya masing-masing dari mendapat hiburan di mal-mal, restoran, studio film, karaoke, taman hiburan, tempat bermain, sampai berbagai arena pujasera di ruang terbuka yang tak terkira banyaknya di seantero kota Medan.
Konon, kota ini sangat terkenal akan wisata kulinernya yang lezat tiada tara. Bahkan, aneka jajanan pun bisa dinikmati dengan harga bervariasi, mulai dari yang murah di kaki lima, yang terjangkau di puluhan pujasera, mal, sampai yang eksklusif di restoran-restoran mewah.
Mata Nia asyik memandang keluar jendela mobil. Dilihatnya arus lalu-lintas sekeluarnya dari stasiun kereta api tadi tetap padat dan macet di setiap ruas jalan. Bahkan di tempat-tempat tertentu seperti di persimpangan lampu merah atau simpang empat, kemacetan itu bertambah parah. Bunyi klakson mobil, sepeda motor, dan angkot kadang terdengar saat masing-masing merasa gerah dan ada kendaraan yang bergerak sedikit lambat.
Nia memandang kemacetan ruas jalan yang dilaluinya dengan pandangan takjub. Mal-mal besar, luas, dan megah, gedung-gedung perkantoran tinggi, hotel-hotel mewah pencakar langit, semuanya ada di pusat kota, walaupun juga banyak tersebar di setiap sudut kota.
Saat mobil yang dikendarai Om Wisnu berbelok untuk yang ke sekian kali, beliau berkata, “Inilah universitas swasta ternama tempat kuliah Ardian, Nia,” beritahu Om Wisnu sambil sebelah tanganya menunjuk ke bangunan luas megah yang ada di tepi jalan besar.
Nia memperhatikan gedung kampus yang dimaksud. Kebetulan arus kendaraan sedang agak macet, jadi Nia bisa lebih lama melihat-lihat.
Memang kampus itu terlihat besar dan megah. Seperti beberapa tingkat dengan pembagian fakultas-fakultas di tiap sisi gedungnya. Nia merasa takjub. Tak pernah terbayangkan olehnya kalau dia akan bisa kuliah di sana nanti.
Pikirnya, dia akan tetap menetap di kota kelahirannya setamat SMA, bekerja di toko roti atau toko pakaian barangkali dengan gaji kecil dan hari-hari yang monoton. Tanjungbalai tanpa tempat-tempat hiburan seperti mal-mal besar dan studio film yang bertaburan di pusat-pusat perbelanjaan. Walaupun sudah ada beberapa hotel bintang tiga yang lumayan mewah dengan restoran di dalamnya. Tapi tak bisa dibandingkan dengan kota Medan sebagai ibukota provinsi.
“Wah, kampusnya besar dan megah, Om,” celetuk Nia.
“Betul, Nia. Nanti Nia juga akan kuliah di sini bersama Ardian, walaupun beda tingkat.”
“Ini apa, Om?” tanya Nia ketika mobil mereka melewati bangunan tinggi yang tampak sedang dikerjakan di lahan yang sangat luas. Luas dan tingginya tampaknya bahkan akan melampaui hotel bintang lima yang ada di dekat situ, namun terletak di arah yang berseberangan dari bangunan tinggi yang sedang dikerjakan itu.
“Oh, ini bakal menjadi bangunan terbaru dan termegah yang ada di kota Medan nanti, Nia, setelah Sun Plaza dan Centre Point. Akan banyak apartmen mewah yang dibangun di sini, juga segala macam hotel, restoran, mal, pujasera, dan sebagainya. Lengkap!”
“Oh, menakjubkan sekali, Om!” reaksi Nia.
”Iya, Nia. Begitulah kota Medan di abad milenial ini.”
Om Wisnu dan Nia terus berbincang-bincang di sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal Om Wisnu di Graha Helvetia. Jarak dari stasiun kereta api ke rumah Om Wisnu sebenarnya tak begitu jauh, tapi karena arus lalu lintas yang padat dan macet di mana-mana, membuat perjalanan jadi terasa lama.
Namun karena Nia berada di dalam mobil yang sejuk dan besar, dia tak merasa gerah atau tak sabaran. Bahkan dia menikmati setiap detik perjalanannya menyusuri kota Medan hingga sampai ke tempat tujuan.
* * *
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
@Kristin
like Komen 🥰
2022-08-16
1
oyttigiz
mantap
2022-01-29
1
Jungkook wife
seru cerita nya
2021-09-03
1