Bab 19 Masa Lalu Pilihan Mertua

Semakin hari, beban di dada Arman kian berat. Ia mulai kehilangan arah dalam permainan yang ia ciptakan sendiri. Setiap kebohongan terasa seperti jerat yang siap menjerumuskannya kapan saja. Wajah Diva yang berusaha percaya padanya, sorot mata Arini yang diam-diam menyimpan kecewa, semuanya perlahan mengusik nuraninya.

“Aku harus selesaikan ini,” lirihnya sore itu, sebelum memutuskan untuk tidak langsung pulang.

Ia mengirim pesan singkat pada Raya, meminta bertemu. Seperti yang diduga, Raya merespons cepat dan antusias, bahkan terdengar senang. Tak butuh waktu lama, mereka sudah duduk di sebuah kafe yang agak tersembunyi, tempat biasa mereka bertemu dulu.

Raya tersenyum manis, namun Arman menatapnya dengan raut penuh pertimbangan. Ia tahu, kali ini ia harus bicara jujur atau setidaknya, cukup jujur untuk membuat Raya tidak mengacaukan rencana yang ia susun rapat-rapat.

“Ray, kita harus bicara serius… tentang semua ini,” ucap Arman pelan, tapi tegas

Raya menyesap minumannya pelan, menatap Arman dengan tatapan penasaran.

“Kamu terlihat beda, Man. Ada apa?” tanyanya hati-hati.

Arman menarik napas panjang sebelum menjawab, “Ray, aku minta tolong… jangan datang lagi ke rumah untuk sementara waktu.”

Raya mematung sejenak. “Kenapa? Bukannya kamu bilang semua sudah lancar? Diva sudah di rumah lagi, kan? Bukankah itu bagian dari rencanamu?”

Arman mengangguk pelan, wajahnya mulai terlihat lelah. “Iya… Tapi keadaan makin rumit. Diva mulai curiga. Kalau dia tahu, semua bisa runtuh. Aku butuh waktu untuk atur semuanya dengan rapi.”

Raya menatap Arman lama, ada rasa tak nyaman mengendap di matanya. “Kamu masih mencintai dia?”

Pertanyaan itu membuat Arman terdiam. Ia tak menjawab langsung, hanya menunduk sejenak.

“Ray, ini bukan soal cinta sekarang… Ini soal bagaimana semua tidak hancur jadi lebih buruk,” ujarnya akhirnya, setengah berbohong pada Raya, setengah berbohong pada dirinya sendiri.

Raya menggenggam tangannya. “Aku udah terlalu jauh, Man. Aku nggak mau kehilangan kamu lagi.”

Arman memaksakan senyum tipis. “Kamu nggak akan kehilangan aku. Tapi sekarang, kamu harus bantu aku jaga semuanya tetap terkendali. Sementara ini… diam dulu.”

Raya mengangguk, meski jelas terlihat ragu. “Baiklah. Tapi jangan terlalu lama, Man. Aku nggak mau hanya jadi bayangan lagi.”

Malam itu, Diva berdiri di jendela kamarnya. Angin malam berhembus pelan, tapi hatinya justru berkecamuk tak karuan. Ia baru saja menerima pesan dari seseorang yang ia percayai untuk mengamati gerak-gerik Arman.

"Baru saja keluar dari sebuah kafe bersama wanita itu, mereka terlihat serius berbicara."

Diva mengepalkan tangannya di sisi tubuh. Matanya menatap lurus ke halaman rumah yang gelap, namun pikirannya mengembara jauh. Arman bilang semuanya sudah berakhir, tapi kenapa masih bertemu diam-diam? pikirnya getir.

“Baik, Arman. Kalau memang ini hanya permainan, aku akan ikut bermain. Kita lihat siapa yang lebih kuat bertahan dalam kepalsuan,” ucap Diva pelan namun tegas.

Ia kembali masuk ke dalam kamar, meraih ponselnya. Ia mulai menyiapkan langkah berikutnya. Tak akan ada lagi air mata yang terbuang sia-sia. Kalau Arman mengira ia bisa memainkan peran ganda dengan mudah, maka Diva akan jadi penonton yang tak tinggal diam.

"Aku akan ikuti permainan ini… sampai tahu sejauh mana kalian berani," gumamnya dingin.

Diva duduk di meja rias, menatap bayangannya sendiri di cermin. Wajah itu tak lagi menampilkan kesedihan, melainkan sorot mata yang tenang tapi menyimpan amarah. Tangannya meraih ponsel, kemudian mulai mencatat sesuatu.

"Aku tahu kalian semua licik," gumamnya pelan, senyum kecil namun dingin muncul di sudut bibirnya. "Tapi jangan pernah mengira aku akan terus jadi korban. Jika permainan ini dimulai dengan kebohongan, maka aku akan menyelesaikannya dengan cara yang jauh lebih licik."

Ia mulai menghubungi beberapa kontak lamanya teman-teman lama yang tahu caranya menyusun strategi dalam diam. Ia tidak akan membuat keributan. Ia tidak akan berteriak. Ia hanya akan menunjukkan bahwa jika mereka bisa menyembunyikan kebenaran, ia bisa menggali dan membalikkan semuanya tepat di hadapan mereka.

Langkah pertamanya: mendapatkan bukti. Bukan hanya sekadar kabar, tapi sesuatu yang tak bisa dibantah. Foto. Rekaman. Bukti pasti.

Langkah kedua: membalik keadaan, membuat semuanya berbalik menyerang Arman dan Bu Susan, tanpa ia harus mengangkat satu jari pun.

“Mainkan saja, Man… Tapi jangan lupa, aku juga bisa jadi aktor utama dalam cerita yang kau ciptakan ini,” lirihnya sambil menatap pantulan wajahnya yang kini terlihat lebih kuat dari sebelumnya.

Malam itu, ponsel Diva berbunyi. Sebuah pesan masuk dari orang yang ia percaya untuk mengikuti pergerakan Arman dan Raya. Tangannya sedikit bergetar saat membuka foto-foto yang dikirim.

Di sana terlihat jelas Arman dan Raya duduk di sebuah kafe, berbicara serius. Tapi bukan itu yang membuat napas Diva tercekat. Ada satu foto, satu rekaman suara potongan pembicaraan saat Arman berjanji akan menyembunyikan semuanya dari Diva demi melancarkan rencana pernikahan diam-diam mereka.

Namun yang paling menyakitkan bukan dari mulut Arman, melainkan dari ucapan Raya yang terekam begitu jelas:

"Aku gak peduli kamu masih sama Diva atau tidak. Yang penting aku hidup nyaman, Arman. Kamu PNS, gaji besar, tunjangan lancar. Aku udah cukup capek hidup susah."

Diva menutup matanya. Kepalanya menunduk, namun kali ini bukan karena lemah tapi karena pikirannya bekerja dengan sangat cepat. Semua kepingan mulai menyatu. Kenapa Bu Susan begitu ngotot? Kenapa Arman begitu takut? Dan kenapa Raya kembali setelah bertahun-tahun?

“Jadi semua ini bukan soal cinta,” gumamnya lirih. “Ini tentang harta. Tentang kenyamanan. Tentang warisan yang belum tentu jadi milikmu, Ray.”

Diva berdiri perlahan, menatap ke luar jendela rumah Arman. Wajahnya tak lagi penuh air mata, tapi keteguhan.

“Aku tidak akan merebut apa pun dari kalian,” ucapnya pada dirinya sendiri. “Tapi aku juga tidak akan membiarkan kalian mencuri apa yang menjadi hakku. Kalian ingin permainan? Aku akan jadi pemain terakhir yang tersisa.”

Diva duduk di depan meja rias kamar rumah Arman. Di depannya, laptop menyala dengan beberapa jendela terbuka. Satu folder berisi foto-foto, tangkapan layar pesan, dan rekaman percakapan antara Arman dan Raya. Setiap file ia beri label rapi Tanggal, Lokasi, Isi Singkat.

Tangannya cekatan, matanya tajam. Tak ada lagi sisa air mata di wajahnya, hanya ketenangan yang berbahaya.

"Kalau kamu pikir aku akan diam, Man," bisiknya lirih sambil menempelkan flashdisk ke laptop, "maka kamu belum benar-benar mengenalku."

Satu salinan dikompresi, dikirim ke email pribadinya, satu lagi ia unggah ke penyimpanan cloud yang hanya dia tahu. Sisanya? Tersimpan dalam flashdisk kecil yang ia sembunyikan di dompetnya.

"Biar ini jadi pegangan," lanjutnya. "Kalau nanti kamu tetap bersikukuh menikahi dia diam-diam, aku akan ajukan gugatan cerai. Semua bukti akan kubawa. Termasuk pengkhianatanmu dan niat busuk keluargamu."

Seketika, Diva menatap bayangannya di layar laptop. Senyum kecil mengembang.

"Kamu tidak ingin melepasku, Man? Bagus. Tapi jangan kira aku akan membiarkanmu memenjarakanku dalam pernikahan yang kamu nodai sendiri."

Pagi itu, Arman duduk di ruang makan sambil menyesap kopi yang bahkan tak terasa hangat di lidahnya. Pikirannya penuh sesak. Bu Susan duduk di seberangnya, menatap penuh harap.

Sambil melihat-lihat ke arah kamar takut Diva tiba-tiba keluar "Man, ibu rasa sudah waktunya. Tidak usah ditunda-tunda lagi. Ibu sudah bicara dengan keluarga Raya, mereka setuju kalau minggu depan pernikahan dilangsungkan," ucap Bu Susan dengan nada tegas namun penuh semangat.

Arman terdiam sejenak. Dada sesak, tapi akhirnya ia mengangguk pelan.

"Iya, Bu… satu minggu lagi," jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar.

Bu Susan langsung tersenyum lebar. Wajahnya berbinar, seperti beban besar telah terangkat dari pundaknya.

"Akhirnya! Ibu sudah tidak sabar punya cucu dari kamu, Man. Ini semua demi kebaikan keluarga kita," ujarnya bahagia, seolah tak menyadari gejolak yang menghantam batin anaknya.

Namun Arman hanya memandangi cangkir di tangannya. Senyumnya tidak muncul, matanya kosong.

Dalam hati, ia bergumam, "Satu minggu… cukupkah waktuku untuk memperbaiki semuanya, asal Diva sudah bersama ku"

Sudah beberapa hari sejak Diva kembali ke rumah Arman. Ia bersikap seperti biasanya, tenang, lembut, bahkan lebih perhatian dari sebelumnya. Namun di balik sikap itu, pikirannya terus bekerja. Ia tahu, pertahanan terbaik adalah permainan yang rapi dan tak terbaca.

Pagi itu, saat Bu Susan dan Arman pergi lebih awal, Diva beralasan ingin ke pasar membeli bahan masakan. Namun yang dituju bukan pasar melainkan sebuah kafe kecil arah menuju kota, tempat ia telah membuat janji dengan seorang pengacara.

Seorang pria paruh baya sudah duduk menunggunya di sudut meja. Begitu melihat Diva datang, ia bangkit dan menjabat tangannya.

“Bu Diva, saya sudah mempelajari semua dokumen yang Anda kirim. Dan… saya paham maksud Anda. Anda punya dasar kuat,” ujarnya serius.

Diva duduk dengan tenang, tatapannya tajam namun tetap santun. Ia mengeluarkan map berisi bukti-bukti, lalu meletakkannya di atas meja.

“Saya ingin semua ini disiapkan dengan rapi. Kalau Arman benar-benar menikah diam-diam dengan Raya… saya akan ajukan gugatan. Tapi sebelum itu, saya ingin dia tahu bahwa saya bukan perempuan yang bisa dibodohi.”

Sang pengacara mengangguk pelan. “Tentu, Bu. Kita akan siapkan semuanya. Bila perlu, surat peringatan pun bisa kita layangkan sebelum hari itu tiba.”

Diva tersenyum tipis. “Kali ini, aku akan bermain lebih licik dari mereka.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!